Dekan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB
Ada dua momentum pada 22 April: "Hari Bumi dan Hari Terumbu Karang." Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menetapkan tahun 2010 sebagai "Tahun Keragaman Hayati" dengan tema ”Biodiversity is Life, Biodiversity is our Life”. Ketiga momentum itu sangat penting untuk menanggulangi krisis ekologis yang terjadi.
Di Indonesia, terumbu karang yang sangat baik tinggal 6 persen. Padahal, terumbu karang memberi keuntungan ekonomi 1,6 miliar dollar AS per tahun (Tun et al, 2004). Hutan mangrove juga rusak. Stok ikan menipis. Bahkan, di dunia, 77 persen dari 441 spesies ikan sudah dalam lampu kuning. Belum lagi masalah pencemaran dan kerusakan ekologis akibat pertambangan dan aktivitas ekonomi lainnya. Bisakah konsep pembangunan berkelanjutan mengatasinya?
Pembangunan berkelanjutan ditafsirkan sebagai pembangunan yang bisa dinikmati generasi sekarang dan mendatang. Ini merupakan respon terhadap pembangunan gaya kapitalisme yang tidak ramah lingkungan. Suatu konsep yang mencerminkan paradigma modernisasi ekologi.
Tiga Strategi
Asumsi utama modernisasi ekologi adalah bahwa pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis, yang selanjutnya bertumpu pada tiga strategi (Low dan Gleeson, 1998).
Pertama, ekologisasi produksi, yang berarti pengurangan limbah dan pencemaran melalui perbaikan teknologi ramah lingkungan. Kedua, perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk proekologis. Ketiga, menghijaukan nilai sosial dan korporat beserta praktiknya.
Tentu pemikiran modernisasi ekologi semakin populer. Kini semakin banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi ramah lingkungan. Teknologi asap cair menjadi salah satu solusi minimisasi limbah. Instrumen amdal jadi pengendali dampak lingkungan. Kampanye earth hour, jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah upaya kultural dari modernisasi ekologi.
Begitu pula solusi perdagangan karbon untuk mengatasi perubahan iklim. Intinya solusi krisis ekologis adalah manajemen lingkungan melalui teknologi, pasar, dan intervensi negara.
Selain manajemen lingkungan, modernisasi ekologi juga tecermin dalam pengelolaan sumber daya. Cirinya adalah pendekatan teknokratik yang berbasis sains dan pasar untuk mengatasi krisis ekologis. Contohnya, ekolabeling untuk produk hutan, ikan, serta pertanian. Juga berbagai kawasan konservasi yang dikembangkan untuk kelestarian sumber daya.
Meski demikian, pendekatan modernisasi ekologi sering dipertanyakan karena melupakan konflik kepentingan antaraktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah.
Modernisasi ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut terhadap masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak perdagangan karbon terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik kepentingan itu membutuhkan solusi yang adil.
Keadilan Ekologis
Oleh karena itu, konsep keadilan ekologis perlu segera dikembangkan. Menurut Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis.
Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini.
Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.
Masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang bisa jadi lebih efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi tamu di wilayahnya sendiri.
Ketidakadilan ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Kontradiksi ini bisa diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains dan pengetahuan lokal.
Modernisasi ekologi dan keadilan ekologis bukan saling meniadakan. Modernisasi ekologi penting, tetapi lebih penting lagi bila diiringi keadilan ekologis. Bahkan, kata Low dan Gleeson (1998), ”sustainable development without environmental justice is an empty formula”.
(Diunggah dari www.unisosdem.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar