Dam Bili-bili Mengkhawatirkan, Makassar Bisa Seperti Wasior
DISKUSI BENCANA. Dari kiri, Muh Ilham (moderator), M Nawir, Syamsu Rizal, Abdul Thalib Mustafa dan Kahar Mustari dalam Diskusi Publik memperingati Hari Pengurangan Risiko Bencana Sedunia 2010 yang digelar di studio mini redaksi harian FAJAR, Rabu 13 Oktober. (FOTO YUSRAN/FAJAR)
TAK banyak orang peduli terhadap kelestarian lingkungan hingga bencana itu datang. Bercermin dari bencana ekologis di Wasior, Papua Barat, kita di Sulawesi Selatan pun diharap dapat memetik hikmahnya.
SEBUAH kalimat yang dilontarkan pakar lingkungan hidup dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Kahar Mustari sempat membuat tersentak. Ia mengungkapkan sebuah fakta bahwa sebenarnya Waduk Jeneberang atau lebih dikenal dengan Dam Bilibili, juga menyimpan bencana yang tinggal menunggu waktu seperti bencana di Wasior. Seperti apa ancaman itu?
Kahar Mustari tampil sebagai salah satu pembicara dalam Diskusi Publik memperingati Hari Pengurangan Risiko Bencana Sedunia 2010 yang digelar di studio mini redaksi harian FAJAR, Rabu 13 Oktober. Ia tampil bersama Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Makassar Syamsu Rizal, Staf Ahli Perencanaan Bappeda Makassar Abdul Thalib Mustafa, serta Koordinator Simpul Siaga 2010, M Nawir.
Diskusi itu dipandu Redaktur FAJAR, Muhammad Ilham. Sepanjang diskusi, masalah yang dibahas adalah bagaimana kondisi riil Sulsel khususnya Makassar, ancaman bencana yang dihadapi serta kesiapan daerah ini menghadapi bencana atau peristiwa besar.
Kahar Mustari yang juga ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unhas mengungkapkan bahwa bencana alam dan bencana ekologis cukup rentan terjadi di Sulsel. Dan itu, sebutnya, karena ulah manusia yang merusak ekosistem.
"Bencana itu ada dua, yakni bencana alam dan bencana ekologis. Bencana ekologis cirinya terjadi terus-menerus tiap tahun seperti banjir bandang di Wasior. Dan kejadian itu sebenarnya bisa diprediksi. Di Makassar pun bisa terjadi seperti di Wasior jika tidak ada upaya menjaga ekosistem di bagian hulu," ujarnya.
Ia menuturkan, Makassar masuk kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang. Padatnya aktivitas pertanian di daerah hulu akan berakibat fatal bagi kota ini. Lebih jelasnya dia mengungkapkan, aktivitas pertanian tersebut menyebabkan erosi dan sedimennya tertampung di waduk Jeneberang (Bili-bili).
Sedimen bertambah membuat daya tampung waduk juga berkurang, terlebih jika hujan terus-menerus. "Tiap hujan deras bisa saja terjadi bencana. Untungnya kita punya waduk Bili-bili. Tapi hasil riset mahasiswa program doktor dua tahun lalu, menunjukkan bahwa usia Dam itu tinggal 10 tahun.
Padahal, di awal pembangunannya, diharapkan bisa mencapai 50 tahun. Ini karena adanya aktivitas berlebih dari daerah hutan lindung," ungkapnya.
Jika tak ada monitoring dan upaya menggali sedimentasi tersebut, maka saat hujan deras bisa saja pintu air waduk dibuka untuk mengurangi kemungkinan jebolnya waduk. Dengan demikian, banjir akan mengarah ke Makassar. Jika waduk jebol, dampaknya juga akan besar bagi kota Daeng. "Makanya, perlu ada koordinasi antara pemerintah Gowa agar bencana ekologis ini tidak terjadi," tandasnya.
Tak hanya bencana ekologis yang sewaktu-waktu bisa melanda daerah ini. Menurut staf ahli Bappeda Makassar Thalib Mustafa, bencana sosial ekonomi dari kalangan marginal juga perlu diwaspadai. Kondisi lingkungan yang kumuh, minimnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan serta buruknya sanitasi, dapat menjadi pemicu bencana.
Misalnya saja, kata dia, kondisi rumah yang bocor, kanal yang kotor serta rawan banjir, serta potensi kondisi sosial ekonomi yang berpotensi konflik. "Untuk mengatasi itu, Pemkot Makassar membuat program bedah rumah.
Ada 3.100 KK sudah tertangani. Ke depan, pemkot juga akan memerhatikan permukiman penduduk sepanjang kanal agar tidak menjadi tempat pembuangan sampah. Diperlukan pula kesadaran dari masyarakat," ujar Thalib.
Hal senada diungkap Ketua PMI Kota Makassar Syamsu Rizal. Menurutnya, masyarakat terkesan kaget saat mengetahui ada bencana besar di daerah lain. "Masyarakat kita cuma ngeri saat mendengar ada bencana tapi belum diikuti kesadaran bahwa bencana itu juga bisa terjadi di daerahnya sendiri," kata mantan anggota DPRD Kota Makassar ini.
Ical, sapaan akrabnya mengatakan perlunya kampanye yang gencar kepada masyarakat mengenai kesiagaan menghadapi bencana. Paling tidak, dapat meminimalisasi dampak yang terjadi jika bencana itu datang.
Perlunya kesadaran dan membangun kultur baru di masyarakat akan perlunya kesiagaan menghadapi bencana, juga dilontarkan pembicara dari Siaga atau Aliansi Masyarakat Siaga Bencana, M Nawir. Dia membeberkan, Makassar selama ini juga kerap dilanda bencana seperti kebakaran, banjir yang berulang. Pemerintah dan masyarakat, katanya, kadang tidak siap menghadapinya.
"Bagaimana jika bencana alam yang besar itu datang. Siapkah kita menghadapinya? Kita membutuhkan leadership yang baik serta kerja dari semua pihak untuk kesiagaan bencana," tandasnya.
SEBUAH kalimat yang dilontarkan pakar lingkungan hidup dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Kahar Mustari sempat membuat tersentak. Ia mengungkapkan sebuah fakta bahwa sebenarnya Waduk Jeneberang atau lebih dikenal dengan Dam Bilibili, juga menyimpan bencana yang tinggal menunggu waktu seperti bencana di Wasior. Seperti apa ancaman itu?
Kahar Mustari tampil sebagai salah satu pembicara dalam Diskusi Publik memperingati Hari Pengurangan Risiko Bencana Sedunia 2010 yang digelar di studio mini redaksi harian FAJAR, Rabu 13 Oktober. Ia tampil bersama Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Makassar Syamsu Rizal, Staf Ahli Perencanaan Bappeda Makassar Abdul Thalib Mustafa, serta Koordinator Simpul Siaga 2010, M Nawir.
Diskusi itu dipandu Redaktur FAJAR, Muhammad Ilham. Sepanjang diskusi, masalah yang dibahas adalah bagaimana kondisi riil Sulsel khususnya Makassar, ancaman bencana yang dihadapi serta kesiapan daerah ini menghadapi bencana atau peristiwa besar.
Kahar Mustari yang juga ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unhas mengungkapkan bahwa bencana alam dan bencana ekologis cukup rentan terjadi di Sulsel. Dan itu, sebutnya, karena ulah manusia yang merusak ekosistem.
"Bencana itu ada dua, yakni bencana alam dan bencana ekologis. Bencana ekologis cirinya terjadi terus-menerus tiap tahun seperti banjir bandang di Wasior. Dan kejadian itu sebenarnya bisa diprediksi. Di Makassar pun bisa terjadi seperti di Wasior jika tidak ada upaya menjaga ekosistem di bagian hulu," ujarnya.
Ia menuturkan, Makassar masuk kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang. Padatnya aktivitas pertanian di daerah hulu akan berakibat fatal bagi kota ini. Lebih jelasnya dia mengungkapkan, aktivitas pertanian tersebut menyebabkan erosi dan sedimennya tertampung di waduk Jeneberang (Bili-bili).
Sedimen bertambah membuat daya tampung waduk juga berkurang, terlebih jika hujan terus-menerus. "Tiap hujan deras bisa saja terjadi bencana. Untungnya kita punya waduk Bili-bili. Tapi hasil riset mahasiswa program doktor dua tahun lalu, menunjukkan bahwa usia Dam itu tinggal 10 tahun.
Padahal, di awal pembangunannya, diharapkan bisa mencapai 50 tahun. Ini karena adanya aktivitas berlebih dari daerah hutan lindung," ungkapnya.
Jika tak ada monitoring dan upaya menggali sedimentasi tersebut, maka saat hujan deras bisa saja pintu air waduk dibuka untuk mengurangi kemungkinan jebolnya waduk. Dengan demikian, banjir akan mengarah ke Makassar. Jika waduk jebol, dampaknya juga akan besar bagi kota Daeng. "Makanya, perlu ada koordinasi antara pemerintah Gowa agar bencana ekologis ini tidak terjadi," tandasnya.
Tak hanya bencana ekologis yang sewaktu-waktu bisa melanda daerah ini. Menurut staf ahli Bappeda Makassar Thalib Mustafa, bencana sosial ekonomi dari kalangan marginal juga perlu diwaspadai. Kondisi lingkungan yang kumuh, minimnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan serta buruknya sanitasi, dapat menjadi pemicu bencana.
Misalnya saja, kata dia, kondisi rumah yang bocor, kanal yang kotor serta rawan banjir, serta potensi kondisi sosial ekonomi yang berpotensi konflik. "Untuk mengatasi itu, Pemkot Makassar membuat program bedah rumah.
Ada 3.100 KK sudah tertangani. Ke depan, pemkot juga akan memerhatikan permukiman penduduk sepanjang kanal agar tidak menjadi tempat pembuangan sampah. Diperlukan pula kesadaran dari masyarakat," ujar Thalib.
Hal senada diungkap Ketua PMI Kota Makassar Syamsu Rizal. Menurutnya, masyarakat terkesan kaget saat mengetahui ada bencana besar di daerah lain. "Masyarakat kita cuma ngeri saat mendengar ada bencana tapi belum diikuti kesadaran bahwa bencana itu juga bisa terjadi di daerahnya sendiri," kata mantan anggota DPRD Kota Makassar ini.
Ical, sapaan akrabnya mengatakan perlunya kampanye yang gencar kepada masyarakat mengenai kesiagaan menghadapi bencana. Paling tidak, dapat meminimalisasi dampak yang terjadi jika bencana itu datang.
Perlunya kesadaran dan membangun kultur baru di masyarakat akan perlunya kesiagaan menghadapi bencana, juga dilontarkan pembicara dari Siaga atau Aliansi Masyarakat Siaga Bencana, M Nawir. Dia membeberkan, Makassar selama ini juga kerap dilanda bencana seperti kebakaran, banjir yang berulang. Pemerintah dan masyarakat, katanya, kadang tidak siap menghadapinya.
"Bagaimana jika bencana alam yang besar itu datang. Siapkah kita menghadapinya? Kita membutuhkan leadership yang baik serta kerja dari semua pihak untuk kesiagaan bencana," tandasnya.
Diskusi soal bencana dan lingkungan ini mendapat respons dari peserta diskusi, baik yang hadir di redaksi maupun yang berpartisipasi secara langsung lewat Radio FAJAR FM.
Sudirman misalnya, menanyakan kesiapan pemerintah dan masyarakat jika air laut memasuki daratan Makassar. Alasannya, tinggi permukaan laut dan daratan Makassar hampir sama.
Penanya lain, Irawan, juga mempertanyakan kesiapan Makassar termasuk personel, peralatan dan perlengkapan jika bencana alam dan ekologis serta konflik sosial terjadi. "Menangani kebakaran saja biasa kewalahan," ujarnya.
Thalib yang mewakili unsur Pemkot Makassar menjawab bahwa Pemkot Makassar telah melaksanakan program mengantipasi bencana alam maupun bencana sosial. Untuk bencana sosial, Pemkot Makassar mengalokasikan dana sebesar Rp1,8 miliar dalam tiga tahun terakhir untuk Bedah Rumah bagi masyarakat kurang mampu. Rencananya, kata dia, angka itu akan ditingkatkan lagi menjadi Rp3,6 miliar tahun ini.
"Untuk antisipasi bencana sosial, pemkot siapkan program bedah rumah dan sebagainya. Harus ada kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mengatasi bencana tersebut. Masyarakat juga harus sadar memelihara lingkungan, serta menata kanal. Selain itu ada rencana tata ruang wilayah yang baru untuk kota ini," bebernya.
Kahar Mustari juga menyoroti maraknya pembangunan yang mengambil area resapan dan tangkapan air hujan. "Di mana saja mau dibangun, ya dibangun, walaupun itu daerah resapan air. Kita lihat sejarah Makassar, dari ahli geologi kota ini mengatakan bahwa Makassar tak akan kena tsunami.
Tapi kalau pembangunan tidak terkendali, tata ruang tidak bagus, ada hujan deras di hulu dan bersamaan air laut pasang, maka banjir besar juga bisa terjadi di daerah ini," ucapnya.
Untuk itu, dia mengingatkan perlunya perencanaan wilayah yang baik, menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30 persen sesuai undang-undang, mengurangi lingkungan kumuh serta penataan lingkungan dari sampah. "Untuk RTH harus diperhatikan kualitas dan persebarannya. Amdal juga jangan hanya sekadar formalitas," tandasnya. (*)
Sudirman misalnya, menanyakan kesiapan pemerintah dan masyarakat jika air laut memasuki daratan Makassar. Alasannya, tinggi permukaan laut dan daratan Makassar hampir sama.
Penanya lain, Irawan, juga mempertanyakan kesiapan Makassar termasuk personel, peralatan dan perlengkapan jika bencana alam dan ekologis serta konflik sosial terjadi. "Menangani kebakaran saja biasa kewalahan," ujarnya.
Thalib yang mewakili unsur Pemkot Makassar menjawab bahwa Pemkot Makassar telah melaksanakan program mengantipasi bencana alam maupun bencana sosial. Untuk bencana sosial, Pemkot Makassar mengalokasikan dana sebesar Rp1,8 miliar dalam tiga tahun terakhir untuk Bedah Rumah bagi masyarakat kurang mampu. Rencananya, kata dia, angka itu akan ditingkatkan lagi menjadi Rp3,6 miliar tahun ini.
"Untuk antisipasi bencana sosial, pemkot siapkan program bedah rumah dan sebagainya. Harus ada kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mengatasi bencana tersebut. Masyarakat juga harus sadar memelihara lingkungan, serta menata kanal. Selain itu ada rencana tata ruang wilayah yang baru untuk kota ini," bebernya.
Kahar Mustari juga menyoroti maraknya pembangunan yang mengambil area resapan dan tangkapan air hujan. "Di mana saja mau dibangun, ya dibangun, walaupun itu daerah resapan air. Kita lihat sejarah Makassar, dari ahli geologi kota ini mengatakan bahwa Makassar tak akan kena tsunami.
Tapi kalau pembangunan tidak terkendali, tata ruang tidak bagus, ada hujan deras di hulu dan bersamaan air laut pasang, maka banjir besar juga bisa terjadi di daerah ini," ucapnya.
Untuk itu, dia mengingatkan perlunya perencanaan wilayah yang baik, menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30 persen sesuai undang-undang, mengurangi lingkungan kumuh serta penataan lingkungan dari sampah. "Untuk RTH harus diperhatikan kualitas dan persebarannya. Amdal juga jangan hanya sekadar formalitas," tandasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar