27 Jun 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Manado


Latardepan Kota

Kota Manado berpenduduk 600.000 jiwa, mayoritasnya adalah penganut agama Kristen protestan. Ada 23.000 jiwa penduduk di antaranya adalah kelompok miskin. Sektor informal (PKL) sekitar 3000-an, yang mayoritasnya adalah muslim dari etnis Gorontalo, Jawa, dan Bugis-Makassar.

Pemerintah Daerah Manado mencanangkan Manado Kota Pariwisata 2010. Sebelum itu akan dilaksanakan World Asean Conference 2009 di Manado. Pemerintah kota melakukan percepatan pembangunan di wilayah pesisir yang menghubungkan roda ekonomi selatan dan utara kota.

Proyek reklamasi pantai sudah dilakukan sejak tahun 1998 yang dimotori oleh pengusaha lokal/nasional seperti Theo Syafei dan Benny Tungka yang mendapat konsesi lahan 65 Ha, keluarga Edy Baramuli, serta pengusaha non-pribumi. Tahap I proyek sudah selesai di selatan kota (Boulevard I). Sepanjang 5 km kawasan reklamasi itu adalah ruko, pusat perbelanjaan, sector jasa, penginapan, dan tempat hiburan. Tahap selanjutnya (Boulevard II) diarahkan ke utara kota yang dimulai dengan pembangunan jalan/jembatan Soekarno-Hatta dan Megawati sebagai penghubung jalur transportasi, serta pembersihan lokasi PKL di pasar Calaca.


Dengan misi Manado Kota Pariwisata 2010 itu, Pemkot dan pengusaha membatasi dan meggusur lokasi kegiatan sektor informal di sepanjang jalan Boulevard seperti PKL, Bendi, Becak Motor dan Tunanetra sampai ke Calaca. Bahkan pusat kedai kopi di jalan Roda pun kabarnya akan digusur.

Jarod

Jalan Roda (Jarod) adalah ruang social-ekonomi yang menghimpun moda interaksi informal dalam satu atap di pusat kota Manado. Tempat ini cukup luas, tetapi kelihatan kecil dan terkesan digencet oleh ruko-ruko dan pusat-pusat perniagaan di sekelilingnya. Seperti biasanya selalu diramaikan beraneka orang yang ngobrol serius tapi kelihatan santai sambil ngopi atau pun makan.


Sekretariat Uplink Manado terletak di kampong Mahakam kelurahan Wawonasa, sekitar 1 km dari Jarod, tetapi dengan angkot sekitar 15 menit. Sekretariat Uplink lebih ramai dibanding setahun lalu. Ilham dan beberapa mahasiswa PMII menjadikan secretariat Uplink sebagai “base-camp” atau pondokan mereka di malam hari.
Pagi hingga sore hari, mereka di kampus atau di Jarod.

Di Jarod berdiskusi dengan aktifis mahasiswa PMII. Komunitas jaringan Uplink. Mereka yang sehari-hari bermarkas di Jarod, berbagi pengalaman mengenai aktivitisme mahasiswa di Manado. Pertama, secara internal, kebanyakan aktifis itu berasal dari luar Sulawesi Utara. Misalnya, Ismail, Aji, Irfan, Christ, Tuti berasal dari luar Sultra (Sulawesi Selatan, Gorontalo, Jawa). Kedua, kecenderungan para aktifis itu dipengaruhi oleh dinamika politik di Manado. Sehingga kerja advokasi maupun pendampingan komunitas tidak pernah tuntas, dan tidak ada strategi jangka panjang. Di satu sisi gerakan aktifis di tingkatan komunitas bersifat reaksioner, istilah mereka “pemadam kebakaran”; di sisi lain gerakan aktifis itu dikendalikan oleh kekuatan senioritas, yang umumnya bermain di arena politik. Misalnya dalam kasus penggusuran PKL, kekuatan yang bermain selain mahasiswa dan LSM adalah partai politik. Ketiga, militansi perlawanan yang dibangun oleh para aktifis dengan mudah dibubarkan oleh kekuatan pemerintah kota dengan Satpol PP, preman bayaran yang didatangkan dari berbagai kelurahan, bahkan melibatkan brigade milisi, selain aparat kepolisian. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan para aktifis ini adalah dimainkannya isu etnik dan agama. Misalnya, pemerintah berkuasa adalah Golkar, etnis minahasa dan Kristen dihadap-hadapkan dengan komunitas aktifis yang umumnya adalah etnik Gorontalo, Muslim, dan didukung oleh politisi muslim.


Pada kesempatan lain, berbincang dengan
kelompok Tunanetra di Jarod. Kami membicarakan perkembangan advokasi ke Pemkot mengenai lapangan kerja kelompok tunantera. Menurut mereka belum ada hasil yang nyata dari beberapa kali pertemuan dengan pemkot dan pengusaha. Hambatan utamanya, para pengusaha belum bersedia mengakomodir kelompok tunanetra untuk menyediakan lapangan kerja pengganti asongan. Namun, pemkot tidak melarang tunanetra berjualan kacang dan menawarkan jasa pijat.

Kelompok Tabungan Pedagang Pasar

Di kampung Texas, di kawasan Megamas Boulevard I. Pemukiman yang tersisa ini memanjang kurang lebih 400 meter dengan 1 mesjid. Luasnya sekitar 200 x 100 meter. Sebelah barat pemukiman ini menghadap teluk manado, dengan rumah-rumah semi permanen yang sebagian reot. Beberapa tempat menjadi warung makan/kopi tempat para sopir, calo-calo dan preman berkumpul. Di sebelah timur menghadap jalan raya, berjejer ruko-ruko yang kusam tetapi berisik sekali oleh penjual VCD dan peralatan elektronik. Di sekitarnya berkeliaran Satpol PP yang setiap hari bergerombol di beberapa titik mengawasi jalanan dari PKL dan asongan yang sudah tidak ada.

Di Pasar Bersehati, berbincang dengan sekretaris PPIM. Mengenal PMII sejak kasus penggusuran PKL pasar Calaca tahun lalu. PMII menyuarakan kepentingan pedagang ikan yang bakal digusur oleh pembangunan jembatan penghubung Boulevard I dengan II. Pedagang bersedia merelokasi tempat jualan masuk ke dalam bangunan pasar. Namun, hingga kini belum ada jawaban. Ada kabar bahwa bangunan pasar juga akan digusur atau direlokasi.

Di pasar ini ada 2000-an pedagang ikan, yang 98% adalah etnis gorontalo muslim. Setiap hari Pemkot memungut retribusi Rp 2000 perpedagang untuk semua jenis dagangan. Hitung-hitungannya, pemasukan PD Pasar dari retribusi rata-rata perhari lebih dari 9 juta sehari. Setahun bisa mencapai 1,4 M. Nyatanya, PD Pasar hanya mencantumkan pemasukan ke kas Pemkot hanya 1 M setahun. Persoalan ini sudah dimediasi oleh PMII ke koran-koran lokal.

Sekitar 300 dari pasar Bersehati ada perkampungan Sindulang I. Kami mengunjugi pak Kasim di kampong Sindulang 1. Salah seorang mantan “Pala” (ketua RT atau kepala dusun) mengenal Uplink dalam suatu pertemuan dengan wakil-wakil warga Sindulang 1. Saat ini dia bekerja di proyek pembangunan jalan Soekarno-Megawati sebagai kuli bangunan (pemborong). Dia hanya ada waktu luang pada malam hari. Kampung ini akan terkena perluasan jalan dan pembangunan jembatan Soekarno dan jembatan Megawati. Informasi dari kecamatan bahwa perluasan jalan akan membongkar pemukiman penduduk antara 5 sampai 17 meter. Baginya, setuju saja asal jelas ganti rugi dan relokasinya. Namun, dia pesimis melakukan perlawanan karena sudah sering melihat di TV kegagalan RMK mempertahannya tanahnya. Beberapa rumah sudah dibongkar dan mendapat ganti rugi plus ongkos pindah Rp 9 juta.

Secara umum Uplink di Manado dikenal sebagai nama organisasi jaringan nasional dengan adanya secretariat. Kalangan aktifis yang mengenal dan mempromosikan nama Uplink di Manado umumnya adalah aktifis PMII yang tersebar di LSM maupun Ormas lainnya. Sehingga Uplink Manado identik dengan aktifis PMII.

Foot Not Bombs

Istilah Foot Not Bombs ini diperkenalkan oleh seorang aktivis yang menyebut dirinya libertarian kolekitf. Istilah ini digunakan untuk kampanye pangan dan anti-kekerasan bagi anak-anak jalanan. Sempat berbincang dengannya di Multi Mart. Saat ini dia lagi sibuk mengerjakan program dinas kesehatan untuk kampanye penanggulangan HIV/AIDS. Motivasinya terutama kebutuhan praktis. Gerakan kolektifnya ditinggalkan sementara. Soal kecenderungan aktivisme, Ia mengeluhkan 2 hal: pertama, ketidakseriusan aktifis membangun gerakan bersama komunitas. Kedua, kuatnya orientasi politik dalam gerakan yang membuat aktifis gampang dikontrol.

Manado, 27 Juni 2008

AWI*