Kota Manado berpenduduk 600.000 jiwa, mayoritasnya adalah penganut agama
Kristen protestan. Ada 23.000 jiwa penduduk di antaranya adalah kelompok
miskin. Sektor informal (PKL) sekitar 3000-an, yang mayoritasnya adalah
muslim dari etnis Gorontalo, Jawa, dan Bugis-Makassar.
Pemerintah Daerah Manado mencanangkan Manado Kota Pariwisata 2010. Sebelum
itu akan dilaksanakan World Asean Conference 2009 di Manado. Pemerintah kota
melakukan percepatan pembangunan di wilayah pesisir yang menghubungkan roda
ekonomi selatan dan utara kota.
Proyek reklamasi pantai sudah dilakukan sejak tahun 1998 yang dimotori oleh
pengusaha lokal/nasional seperti Theo Syafei dan Benny Tungka yang mendapat
konsesi lahan 65 Ha, keluarga Edy Baramuli, serta pengusaha non-pribumi.
Tahap I proyek sudah selesai di selatan kota (Boulevard I). Sepanjang 5 km
kawasan reklamasi itu adalah ruko, pusat perbelanjaan, sector jasa,
penginapan, dan tempat hiburan. Tahap selanjutnya (Boulevard II) diarahkan
ke utara kota yang dimulai dengan pembangunan jalan/jembatan Soekarno-Hatta
dan Megawati sebagai penghubung jalur transportasi, serta pembersihan lokasi
PKL di pasar Calaca.
Dengan misi Manado Kota Pariwisata 2010 itu, Pemkot dan pengusaha membatasi dan meggusur lokasi kegiatan sektor informal di sepanjang jalan Boulevard seperti PKL, Bendi, Becak Motor dan Tunanetra sampai ke Calaca. Bahkan pusat kedai kopi di jalan Roda pun kabarnya akan digusur.Jarod
Jalan Roda (Jarod) adalah ruang social-ekonomi yang menghimpun moda interaksi informal dalam satu
atap di pusat kota Manado. Tempat ini cukup luas, tetapi kelihatan kecil dan
terkesan digencet oleh ruko-ruko dan pusat-pusat perniagaan di
sekelilingnya. Seperti biasanya selalu diramaikan beraneka orang yang
ngobrol serius tapi kelihatan santai sambil ngopi atau pun makan.
Sekretariat Uplink Manado terletak di kampong Mahakam kelurahan Wawonasa, sekitar 1 km dari Jarod, tetapi dengan angkot sekitar 15 menit. Sekretariat Uplink lebih ramai dibanding setahun lalu. Ilham dan beberapa mahasiswa PMII menjadikan secretariat Uplink sebagai “base-camp” atau pondokan mereka di malam hari. Pagi hingga sore hari, mereka di kampus atau di Jarod.
Di Jarod berdiskusi dengan aktifis mahasiswa PMII. Komunitas jaringan
Uplink. Mereka yang sehari-hari bermarkas di Jarod, berbagi pengalaman
mengenai aktivitisme mahasiswa di Manado. Pertama, secara internal,
kebanyakan aktifis itu berasal dari luar Sulawesi Utara. Misalnya, Ismail,
Aji, Irfan, Christ, Tuti berasal dari luar Sultra (Sulawesi Selatan,
Gorontalo, Jawa). Kedua, kecenderungan para aktifis itu dipengaruhi oleh
dinamika politik di Manado. Sehingga kerja advokasi maupun pendampingan
komunitas tidak pernah tuntas, dan tidak ada strategi jangka panjang. Di
satu sisi gerakan aktifis di tingkatan komunitas bersifat reaksioner,
istilah mereka “pemadam kebakaran”; di sisi lain gerakan aktifis itu
dikendalikan oleh kekuatan senioritas, yang umumnya bermain di arena
politik. Misalnya dalam kasus penggusuran PKL, kekuatan yang bermain selain
mahasiswa dan LSM adalah partai politik. Ketiga, militansi perlawanan yang
dibangun oleh para aktifis dengan mudah dibubarkan oleh kekuatan pemerintah
kota dengan Satpol PP, preman bayaran yang didatangkan dari berbagai
kelurahan, bahkan melibatkan brigade milisi, selain aparat kepolisian.
Kondisi yang sangat mengkhawatirkan para aktifis ini adalah dimainkannya isu
etnik dan agama. Misalnya, pemerintah berkuasa adalah Golkar, etnis minahasa
dan Kristen dihadap-hadapkan dengan komunitas aktifis yang umumnya adalah
etnik Gorontalo, Muslim, dan didukung oleh politisi muslim.
Pada kesempatan lain, berbincang dengan kelompok Tunanetra di Jarod. Kami membicarakan perkembangan advokasi ke Pemkot mengenai lapangan kerja kelompok tunantera. Menurut mereka belum ada hasil yang nyata dari beberapa kali pertemuan dengan pemkot dan pengusaha. Hambatan utamanya, para pengusaha belum bersedia mengakomodir kelompok tunanetra untuk menyediakan lapangan kerja pengganti asongan. Namun, pemkot tidak melarang tunanetra berjualan kacang dan menawarkan jasa pijat.
Kelompok Tabungan Pedagang Pasar
Di kampung Texas, di kawasan Megamas Boulevard I. Pemukiman yang tersisa
ini memanjang kurang lebih 400 meter dengan 1 mesjid. Luasnya sekitar 200 x
100 meter. Sebelah barat pemukiman ini menghadap teluk manado, dengan
rumah-rumah semi permanen yang sebagian reot. Beberapa tempat menjadi warung
makan/kopi tempat para sopir, calo-calo dan preman berkumpul. Di sebelah
timur menghadap jalan raya, berjejer ruko-ruko yang kusam tetapi berisik
sekali oleh penjual VCD dan peralatan elektronik. Di sekitarnya berkeliaran
Satpol PP yang setiap hari bergerombol di beberapa titik mengawasi jalanan
dari PKL dan asongan yang sudah tidak ada.
Di Pasar Bersehati, berbincang dengan sekretaris PPIM. Mengenal PMII sejak
kasus penggusuran PKL pasar Calaca tahun lalu. PMII menyuarakan kepentingan
pedagang ikan yang bakal digusur oleh pembangunan jembatan penghubung
Boulevard I dengan II. Pedagang bersedia merelokasi tempat jualan masuk ke
dalam bangunan pasar. Namun, hingga kini belum ada jawaban. Ada kabar bahwa
bangunan pasar juga akan digusur atau direlokasi.
Di pasar ini ada 2000-an pedagang ikan, yang 98% adalah etnis gorontalo
muslim. Setiap hari Pemkot memungut retribusi Rp 2000 perpedagang untuk
semua jenis dagangan. Hitung-hitungannya, pemasukan PD Pasar dari retribusi
rata-rata perhari lebih dari 9 juta sehari. Setahun bisa mencapai 1,4 M.
Nyatanya, PD Pasar hanya mencantumkan pemasukan ke kas Pemkot hanya 1 M
setahun. Persoalan ini sudah dimediasi oleh PMII ke koran-koran lokal.
Sekitar 300 dari pasar Bersehati ada perkampungan Sindulang I. Kami
mengunjugi pak Kasim di kampong Sindulang 1. Salah seorang mantan “Pala”
(ketua RT atau kepala dusun) mengenal Uplink dalam suatu pertemuan dengan
wakil-wakil warga Sindulang 1. Saat ini dia bekerja di proyek pembangunan
jalan Soekarno-Megawati sebagai kuli bangunan (pemborong). Dia hanya ada
waktu luang pada malam hari. Kampung ini akan terkena perluasan jalan dan
pembangunan jembatan Soekarno dan jembatan Megawati. Informasi dari
kecamatan bahwa perluasan jalan akan membongkar pemukiman penduduk antara 5
sampai 17 meter. Baginya, setuju saja asal jelas ganti rugi dan relokasinya.
Namun, dia pesimis melakukan perlawanan karena sudah sering melihat di TV
kegagalan RMK mempertahannya tanahnya. Beberapa rumah sudah dibongkar dan
mendapat ganti rugi plus ongkos pindah Rp 9 juta.
Secara umum Uplink di Manado dikenal sebagai nama organisasi jaringan
nasional dengan adanya secretariat. Kalangan aktifis yang mengenal dan
mempromosikan nama Uplink di Manado umumnya adalah aktifis PMII yang
tersebar di LSM maupun Ormas lainnya. Sehingga Uplink Manado identik dengan aktifis PMII.
Foot Not Bombs
Istilah Foot Not Bombs ini diperkenalkan oleh seorang aktivis yang menyebut
dirinya libertarian kolekitf. Istilah ini digunakan untuk kampanye pangan
dan anti-kekerasan bagi anak-anak jalanan. Sempat berbincang dengannya di
Multi Mart. Saat ini dia lagi sibuk mengerjakan program dinas kesehatan
untuk kampanye penanggulangan HIV/AIDS. Motivasinya terutama kebutuhan
praktis. Gerakan kolektifnya ditinggalkan sementara. Soal kecenderungan aktivisme, Ia mengeluhkan 2 hal: pertama,
ketidakseriusan aktifis membangun gerakan bersama komunitas. Kedua, kuatnya
orientasi politik dalam gerakan yang membuat aktifis gampang dikontrol.
Manado, 27 Juni 2008
AWI*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar