30 Mei 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Pare-pare


Latardepan Kota

Kotamadya Pare-pare, 240 km² dari ibukota propinsi Makassar, dapat dijangkau dengan angkutan darat dan laut. Dengan luas hanya 99,33 km, topografi kota ini adalah bukit dan pantai. Ketinggian dari permukaan laut bervariasi antara 6 sampai 500 meter. Jarak dari pesisir pantai ke perbukitan kurang dari 2 km. 

Wilayah Pare-pare miskin sumber daya alam baik hutan maupun bahan tambang. Nasi orang Pare-pare bergantung pada suplai beras dari lumbung beras Sulsel, yakni kabupaten Sidrap di sebelah timur, kabupaten Pinrang di sebelah utara, serta kabupaten Barru di sebelah selatan. Produksi beras petani Pare-pare dari sawah tadah hujan hanya sekitar 5.000 ton atau 5 juta kilogram. Produksi sebesar ini hanya mampu mensuplai nasi orang Pare-pare selama 6  bulan sekitar 7 kilogram perjiwa.

Pemukiman penduduk terkonsentrasi di dataran landai hingga pesisir. Sesuai sebutan awalnya “para-para”, yang harfiahnya “rawa-rawa”, terbentuknya pemukiman penduduk kota ini dirintits oleh kaum urban (pendatang) dari tanah bugis di sekitarnya. Urban bugis yang mendominasi kota hingga kini adalah orang Sidrap, Pinrang, dan Wajo. Mereka ini yang menguasai pemerintahan, juga sektor perdagangan dan jasa bersama urban Tionghoa. Pusat pemerintahan dan keramaian kota terletak di pesisir pantai kecamatan Soreang.

Pertumbuhan ekonomi pun berpusat di pesisir. Hotel, pusat-pusat perbelanjaan, bank, restoran, bisnis hiburan, dan sektor informal berkutat di pesisir. Kota ini memang diprospek menjadi kota jasa dan perdagangan, di samping visi kota pendidikan. Pelabuhan laut adalah salah satu andalan Pare-pare di sektor jasa. Ekspor TKI/TKW dan impor pakaian bekas (Cakar = Cap Karung) melalui pelabuhan ini. Sektor informal, misalnya tukang becak dan buruh bangunan, umumnya digerakkan pendatang dari Jeneponto dan Gowa. Pendatang dari Jawa biasanya menjual mie bakso, warung makan “sari laut”, gorengan, dan lain-lain, yang mudah dijumpai di sepanjang pesisir pantai Pare-pare.

Administrasi pemerintahan kota Pare-pare terbagi dalam 3 kecamatan dengan 21 kelurahan. Total penduduknya pada tahun 2006 adalah 25.161 KK atau 115.169 jiwa (BPS 2007), kurang dari sepersepuluh dari total penduduk kota Makassar. Dari jumlah penduduk 2006 itu, terdapat 28.480 jiwa yang dikelompok-miskinkan oleh Pemkot berdasarkan SK No. 538/2004 tanggal 1 Desember 2006. Laporan BPS 2007 mencatat jumlah keluarga miskin penerima BLT periode 2005/2006 adalah 6.256 KK. Angka kelompok miskin ini kemudian bertambah menjadi 30.774 jiwa sebagai penerima hadiah BLT (Fajar, 7/9/2006).

Salah satu program pembangunan di kota Parepare adalah penataan kawasan berikat (Free Trade Zone) yang meliputi; (a) penataan sistem pengelolaan terpadu yang mencakup kawasan Industri, pergudangan dan kawasan pelabuhan; (b) reklamasi pantai yang meliputi pembangunan hotel dan pasar swalayan serta pembangunan pasar Lakessi yang menelan biaya Rp 42,3 milyar uang dari Bank Dunia. Proyek rehabilitasi pasar Lakessi menjadi pasar Mall ini potensial meminggirkan pedagang kecil karena harga sewa kios, lods yang mahal.

Proyek kawasan terpadu sesungguhnya adalah tantangan advokasi organisasi masyarakat sipil di Pare-pare dalam jangka panjang. Setidaknya, sekretariat Uplink Pare-pare mulai menginisiasi perdebatan di kalangan mahasiswa, LSM dan Ormas tentang agenda “Neoliberalisasi Kota”.

Konteks Sospol

Secara umum, roda pembangunan Pare-pare digerakkan oleh kekuatan partai politik, pengusaha dan organisasi masyarakat sipil, yakni Ormas dan LSM. Di level pemerintahan, kekuatan utama pengendalinya berada di tangan politisi parpol dan pengusaha. Calon politisi dan moblisasi massa politik diolah oleh kekuatan Parpol dan Ormas. Sehingga aktifis Ormas lebih leluasa memanfaatkan sumber-sumber dana pembangunan. Sementara LSM di Pare-pare secara institusi bergantung pada proyek, baik yang berasal dari jaringan donor maupun dinas-dinas pemerintah. Proyek-proyek seperti pencegahan HIV/AIDS, Good Governance, PPK, P2KP, Partisipasi Penganggaran, Gender, di samping pengembangan ekonomi adalah proyek-proyek yang mendukung kinerja pemerintahan kota. Advokasi korupsi, lingkungan, dan kemiskinan kurang mendapat respon pemerintah. Kasus-kasus korupsi umumnya muncul ke media akibat ulah sesama politisi yang biasanya diolah oleh aktifis Ormas, termasuk wartawan sendiri.

Satu kasus korupsi yang mencuat ke media adalah pungutan dalam proyek sertifikasi tanah nasional di kecamatan Soreang. Di kampong Menara, ada 50 KK yang dikenakan biaya Rp 300.000 – Rp 500.000 perKK untuk urusan sertifikasi. Kasus ini melibatkan orang BPN bekerja sama dengan Lurah sampai ke pengadilan. Akhirnya, tidak satu pun pelaku yang ditahan karena aparat kelurahan mampu membuktikan bahwa tidak ada warga yang keberatan di pengadilan. Semuanya bertanda tangan mengakui tidak ada pungutan. Anehnya, tidak ada LSM yang mengadvokasi kasus ini.

Contoh lainnya adalah advokasi kenaikan harga BBM bulan Mei lalu. Tercatat di media massa dua kali aksi jaringan rakyat miskin kota (AKRAM) dan kelompok mahasiswa UNPAR dan STAIN di gedung DPRD Pare-pare. Di antara mahasiswa RMK, bergabung aktifis Ormas bergaya LSM. Sementara yang sebenarnya aktifis LSM tidak terlibat dalam koalisi aksi. Aksi ini kemudian ditindaklanjuti anggota dewan ke dalam rapat paripurna yang menghadirkan elemen aksi. Hasilnya, rapat paripurna mendukung aksi mahasiwa dengan mengirim surat penolakan ke pemerintah pusat. Belakangan, aktifis Ormas memanfaatkan momen aksi ini untuk kepentingan pribadi, misalnya fasilitas transportasi, bahkan dana kegiatan dari APBD pemerintah kota.

Selama kepemimpinan walikota Zain Katoe, total APBD Pare-pare tahun 2006 adalah Rp 264,7  milyar. PAD hanya menyumbang Rp 21,2 milyar dengan sumber pokoknya retribusi daerah dari perdagangan, jasa perhotelan, bisnis hiburan dan rumah sakit. Artinya, pedagang, pengguna hotel, para penghibur dan orang-orang sakit cukup signifikan membiayai aparat pemerintahan kota Pare-pare. Di sisi lain, pembiayaan pembangunannya sangat bergantung kepada subsidi pemerintah pusat dari dana alokasi umum dan khusus sebesar Rp 217,7 milyar tahun 2006.

Masyarakat Pare-pare saat ini memasuki tahapan pencalonan untuk pemilihan walikota 2009 - 2014. Masa kerja Zain Katoe, walikota Pare-pare, kader Golkar akan berakhir tahun ini, dan akan maju lagi (incumbent). Dengan sistem pemilihan langsung, selain incumbent, sedikitnya 3 pasangan balon lainya ikut bertarung. Sementara jumlah pemilihnya sekitar Rp 60.000 orang. Maka pilkada walikota Pare-pare kali ini seperti magnet yang menyedot semua lapisan masyarakat untuk masuk ke dalam lingkaranyna. Sudut-sudut kota pun seperti stand pameran yang dipenuhi foto-foto raksasa, spanduk, poster, yang memaksa setiap orang untuk melihatnya. Gambar-gambar para kandidat semakin menampakkan kekayaannya, dan seketika ramah sekali, bersih sekali dengan pesan dan idiom-idiom yang sangat menjemukan. Seperti burung beo, itulagi-itulagi: “pendidikan dan kesehatan gratis”, “ekonomi kerakyatan”, “lapangan kerja”, “pemerintahan bersih”.


Komunitas AKRAM

Komunitas AKRAM kumpulan ibu-ibu rumah tangga yang aktif dalam kegiatan Posyandu, PAUD, pendataan rumah tangga miskin, serta pengajian. Pemukiman mereka berada di sekitar pesisir, pelabuhan, dan di antara pusat-pusat pertokoan. Pada tahun 2005 mereka masih tergabung dalam FORMIK yang diinisiasi oleh aktivis LSM lokal. Kemudian berubah menjadi AKRAM setelah  kongres pertama 2007, menyusun aturan dasar organisasi dan memilih pengurus. Mereka berjejaring dengan mahasisiwa UNPAR dan STAIN Pare-pare dalam merespon isu-isu populis seperti kenaikan BBM, bantuan Raskin, dan konflik pertanahan.

AKRAM dan juga tidak luput dari penawaran untuk mendukung salah satu kandidat. Di perkampungan sekitar sekretariat AKRAM gambar semua pasangan kandidat sudah terpasang di rumah penduduk. Banyak warga yang senang karena foto copy KTPnya bisa ditukar dengan duit Rp 5.000 – Rp 10.000. Tidak perlu antre seperti pembagian kartu BLT. Lebih senang lagi para pengumpul, dapat Rp 5.000 perKTP plus biaya pasang spanduk dan poster.

Respon Simpul Uplink Pare-pare

Pembacaan atas situasi dari dinamika sosial politik dan pembangunan di kota Pare-pare dewasa ini akan membantu organisasi masyarakat sipil seperti AKRAM menentukan fokus isu dan langkah strategis dalam jangka pendek dan panjang. Fokus isunya adalah pemenuhan hak-hak dasar RMK seperti hak atas tempat tinggal, kebutuhan dasar, dan partisipasi politik. Strateginya adalah memproduksi kader-kader penggerak kelompok yang tersebar di wilayah yang signifikan populasi RMKnya, yakni di kecamatan Soreang dan Ujung. Perangkat kerja yang masih relevan dimainkan adalah tabungan, kesehatan alternatif, kelompok belajar anak, dagang, yang diimbangi dengan pendekatan populis seperti melayani warga yang ada masalah dengan kartu miskin, KTP, akte kelahiran, askeskin, dan BLT.

Pelatihan Kader Penggerak Kelompok

Pelatihan kader adalah salah satu kegiatan untuk merekrut dan menguatkan kapasitas anggota kelompok/sektor yang berjaringan dengan AKRAM. Pelatihan hanya dua hari untuk 1 angkatan. Partisipan angkatan pertama adalah anggota AKRAM dan anggota LSM pendamping masyarakat dari kabupaten Pinrang dan Barru sebanyak 20 orang. Alumni pelatihan dievaluasi dalam pertemuan rutin yang dikordinasi CO Uplink. Syarat-syarat peserta minimal saja, misalnya anggota yang berkomitmen untuk mengembangkan kelompoknya (aktif). Oleh karena itu, pelatihan seperti ini menjadi ajang pembelajaran awal tentang organisasi rakyat miskin dan tujuan perjuangannya.

Seri Diskusi Bulanan

Diskusi bulanan adalah wadah membagi informasi perkembangan kota dan problematika RMK. Misalnya kontroversi kenaikan harga BBM. Persoalan ini menjadi topik utama diskusi sepanjang bulan Mei-Juni 2008. Diskusi di sekretariat AKRAM diikuti kader-kader penggerak kelompok, aktivis mahasiswa dan LSM di Pare-pare. Ada tiga pokok persoalan yang didiskusikan secara tajam oleh patisipan; pertama, adanya kontradiksi di antara sikap menolak kenaikan BBM dan menerima BLT. Kondisi ini yang dialami RMK, yang tentu saja bertolak belakang dengan sikap mahasiswa. Kedua, kontradiksi di dalam aksi-aksi mahasiswa. Tuntutan aksi mahasiswa dan RMK memang diterima oleh DPRD Pare-pare dalam suatu rapat paripurna. Tetapi, berkembang isu bahwa aksi-aksi mahasiwa ditunggangi oleh politisi parlemen. Ketiga, masih adanya pertentangan ideologis di balik gerakan masyarakat sipil; “soal kiri vs kanan”; “idealisme vs pragmatism”. Pertentangan seperti ini tidak bisa disatukan, tetapi bisa bertemu dalam suatu aksi. Sebagai contoh penyikapan terhadap BLT. RMK dan mahasiswa sama-sama aksi menolak kenaikan harga BBM, tetapi kemudian RMK menerima BLT. Alasannya, RMK membutuhkan tambahan pendapatan untuk mengimbangi harga-harga.

Partisipan sampai pada satu kesepahaman bahwa strategi gerakan seharusnya diarahkan pada pendampingan yang intensif kepada komunitas, bukan pada konflik ideologisnya. Pengetahuan saja tidak cukup, dibutuhkan kesungguhan dan keterampilan dalam pendampingan.


Advokasi

1. Advokasi akte kelahiran sudah dirintis oleh sejumlah LSM di Pare-pare yang tergabung dalam KOMPAK (Koalisi Masyarakat Pembebasan Akte Kelahiran). Tahun lalu, koalisi ini mengadvokasi 754 anak yang tidak memilik akte kelahiran kepada Pemkot. Hasilnya, pada peringatan HUT kota Pare-pare 14 Pebruari 2007, walikota menerbitkan SK yang membebaskan anak usia 60 hari dari biaya akte kelahiran. Kenyataannya, untuk mendapatkan selembar kertas akte, orang tua anak harus mengurus 6 persyaratan formal, yang kesemuanya membutuhkan biaya.

AKRAM mengintensifkan advokasi ini dengan pendekatan lobby. Informasi terakhir, Pemkot menganggarkan biaya akte kelahiran bagi 745 anak yang tidak mampu ke dalam APBD 2008. Sementara anggota dewan sedang menyusun ranperda baru untuk pembebasan biaya akte kelahiran. Konsep yang ditawarkan AKRAM adalah (a) Subsidi langsung dan tidak dipungut biaya (gratis); (b) Obligatif, yakni kewajiban aparatur pemerintah daerah, dalam hal ini walikota dan dinas kependudukan dan catatan sipil sampai ke tingkat birokrasi terendah (RT, RW, kelurahan, kecamatan) untuk melayani warga yang membutuhkan akte kelahiran

2. Air Bersih, bermula dari persoalan 5 tahun warga Timurama hanya bisa menikmati air PDAM pada jam tertentu. Alasan PDAM, lokasi perumahan Timurama yang berbukit, sehingga secara teknis air sulit mengalir ke rumah-rumah warga. Akan tetapi, warga diharuskan membayar tagihan setiap bulan. Protes warga dimulai ketika pasokan air terhenti selama 10 hari, sehingga 4 orang warga yang tergabung dalam kelompok tabungan Timurama berinisiatif mendatangi PDAM. Hasilnya pihak PDAM berjanji akan memperbaiki pipa. Kemudian tanggal 31 Januari, 30 orang warga Timurama kembali mendatangi pihak PDAM. Ada dua tuntutan warga. Pertama, mendesak PDAM untuk mengantar air ke perumahan dengan mobil tangki. Kedua, mendesak PDAM memperbaiki pipa yang menyebabkan tidak mengalirnya air ke rumah-rumah warga. Baru tuntutan pertama yang dipenuhi PDAM.

3. Pengguna Askeskin dan SKTM. Masih terjadi diskriminasi pelayanan bagi pengguna Askeskin dan SKTM di Puskesmas CempaE. Sebagai langkah awal, tanggal 14 Februari 2008, AKRAM melakukan dialog di kantor dinas kesehatan dengan kepala dinas dr. Chaerani Kadir dan kepala Puskemas CempaE dr. Budiman Siri’. Tuntutan AKRAM adalah perbaikan pelayanan dasar bagi RMK terutama warga yang menggunakan SKTM dan Askeskin. Hasil dialog tersebut ditindaklanjuti dengan kunjungan kepala Puskesmas CempaE ke sekretariat AKRAM, tanggal 3 April 2008. Dari kunjungan ini, diperoleh informasi bahwa program kesehatan bagi rakyat miskin diganti menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat miskin (Jamkesmas). jumlah penerima Jamkesmas di Parepare 26.170 dari sekitar 30 ribu RTM yang terdata. Di kecamatan Soreang 5.976 RTM. Puskesmas CempaE menyiapkan anggaran Rp 5 juta lebih setiap bulan yang diperuntukkan bagi pengguna SKTM.

AWI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar