Penamaan
atau pun paddaengang Kebo hanya ada
di tanah Makassar. Kebo artinya
putih, misalnya pada nama gelaran Macan
Kebo ri Tallo, yang ditujukan kepada seorang jawara perguruan silat Harimau Putih. Adapun paddaengang di belakang nama seorang
digunakan atau diberikan kepada seseorang yang berstatus menikah. Umumnya,
seseorang yang bernama Dg. Kebo berjenis kelamin perempuan, misalnya Salma Dg. Kebo, Mulyati
Dg. Kebo. Sangat jarang nama Dg. Kebo berjenis kelamin laki-laki. Emmy Saelan,
laskar pejuang dari tanah Makassar itu ternyata pernah menggunakan nama samaran
Daeng Kebo. Nama ini mewakili kulitnya yang putih, berhati lembut, tetapi
“balaki” dan pemberani.
Nama lengkap Emmy Saelan adalah Salmah Suhartini Saelan. Kelahiran Makassar, 15 Oktober 1924. Dari nama lengkapnya, dia bukan asli orang Sulawesi Selatan. Seperti juga DR. Sam Ratulangi, Robert Wolter Monginsidi, dia orang Sulawesi Utara (Minahasa-Jawa?). Ibunya bernama Sukanti, dan ayahnya Amin Saelan, salah seorang pendiri Gerakan Pendidikan Indonesia Taman Siswa di Sulawesi Selatan. Emmy adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Saudara laki-lakinya adalah CPM Maulwi Saelan yang dikenal sebagai pengawal presiden Soekarno, Wadan Resimen Tjakrabirawa, dan pernah menjadi kiper tim PSSI di Olimpiade Melbourne 1966. Saudara perempuannya, Elly Saelan adalah istri jendral M. Yusuf, mantan Menhankam Pangab TNI pada masa Orde Baru.
Dari Perawat Jadi Laskar
Dari Perawat Jadi Laskar
Sebelum
bekerja di rumah sakit, Emmy menyelesaikan sekolahnya di Tjgakko, sekolah yang didirikan oleh Jepang. Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya selama setahun di Sekolah Tabib, yakni sekolah untuk penyembuhan tradisional di Makassar. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Emmy Saelan bekerja di Rumah Sakit Katolik Stella Maris milik Belanda. Secara diam-diam, dia mengirimkan bantuan medis untuk Angkatan Darat Indonesia. Bahkan, Emmy memainkan peran penting dalam melepaskan sejumlah tawanan yang melakukan pemeriksaan medis. Ketika DR. Sam Ratulangi, gubernur pertama Sulawesi Selatan beserta rekan-rekannya ditangkap dan diasingkan ke Serui Papua, Emmy Saelan memobilisasi pemogokan perawat RS Stella Maris sebagai bentuk protes. Sejak saat itu, Emmy Saelan terus diawasi oleh Belanda karena dicurigai sebagai Extrimist. Emmy Saelan kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain. Merasa tidak nyaman, Emmy Saelan memutuskan berhenti bekerja sebagai perawat rumah sakit dan memilih untuk bergabung dengan kelaskaran Lipang Bajeng, yang dipimpin Ranggong Dg, Romo. Maulwi Saelan juga anggota dari kelompok ini (Muhlis, et.al, 1987).
Sumber
lain menyebutkan bahwa Emmy Saelan adalah alumni SMP Nasional, sekolah pertama
milik pemerintah Republik di Makassar pasca proklamasi kemerdekaan. Maulwi
Saelan, adik Emmy, Wolter Monginsidi, dan beberapa tokoh republik di Makassar
juga alumni SMP Nasional. Bersama siswa Perguruan Islam Datu Museng, para
pelajar SMP Nasional, termasuk Emmy Saelan, memotori aksi protes menolak
pendudukan tentara NICA di Makassar dan pengasingan DR. Sam Ratulangi, gubernur
pertama Sulawesi Selatan. Ketika Manai Sophiaan, pimpinan Pusat Pemuda Nasional
Indonesia (PPNI) ditangkap dan dibawa ke markas tentara NICA di Empress Hotel,
Emmy dan adiknya Maulwi Saelan bersama pelajar lain menyerbu hotel Empress,
kemudian mengibarkan bendera Merah Putih.
Emmy Saelan alias Dg. Kebo aktif dalam berbagai organisasi pemuda gerilyawan. Pada bulan Juli 1946, dia ikut dalam pertemuan 19 organisasi pemuda se-Sulawesi Selatan di Polombangkeng Takalar. Hadir dalam pertemuan tersebut para pelajar SMP Nasional di antaranya Maulwi Saelan, Wolter Monginsidi, Lambert Supit, Abdullah, Sirajuddin. Kesepakatan penting dari pertemuan Polongbangkeng adalah pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), sebuah perkumpulan kelompok paramiliter republik di Sulsel. Karena keahliannya dalam merawat dan mengobati para laskar pejuang yang terluka atau tewa, Emmy Saelan ditunjuk sebagai Kepala Palang Merah LAPRIS.
Emmy Saelan alias Dg. Kebo aktif dalam berbagai organisasi pemuda gerilyawan. Pada bulan Juli 1946, dia ikut dalam pertemuan 19 organisasi pemuda se-Sulawesi Selatan di Polombangkeng Takalar. Hadir dalam pertemuan tersebut para pelajar SMP Nasional di antaranya Maulwi Saelan, Wolter Monginsidi, Lambert Supit, Abdullah, Sirajuddin. Kesepakatan penting dari pertemuan Polongbangkeng adalah pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), sebuah perkumpulan kelompok paramiliter republik di Sulsel. Karena keahliannya dalam merawat dan mengobati para laskar pejuang yang terluka atau tewa, Emmy Saelan ditunjuk sebagai Kepala Palang Merah LAPRIS.
Sementara
itu, para pelajar SMP Nasional sendiri membentuk organisasi gerilya Harimau Indonesia, yang dipimpin Wolter
Monginsidi. Laskar ini bersenjata, yang diperoleh dari hasil rampasan. Emmy Saelan
ditunjuk sebagai pimpinan “Laskar Wanita”. Sejak itu, Emmy Saelan adalah
gerilyawan republik yang pandai menggunakan bahasa sandi gerilya. Misalnya, mengenali
yang mana kawan dan lawan dengan menggunakan sandi memegang rambut.
Sayangnya,
sepak terjang Emmy Saelan sebagai laskar Republik tidak panjang. Dia mati muda
pada usia 23 tahun (1924 – 1947) dalam pertempuran sengit di perkampungan
antara Batua – Tidung – Kassi-kassi. Hanya sekitar setahun setelah dia
bergabung ke dalam LAPRIS, Emmy tewas bersama 40-an laskar republik yang
dipimpinnya.
Kontroversi Kematian
Dg. Kebo
Hingga
kini peristiwa kematian Emmy Saelan alias Dg. Kebo menyimpan berbagai versi. Ada
yang menyebut Emmy Saelan bunuh diri dengan meledakkan granat di tangannya
sendiri agar tidak tertangkap pasukan Belanda. Ada juga yang menyebut Emmy
tertangkap dan dieksekusi oleh pasukan Belanda, seperti yang dialami Wolter
Monginsidi. Namun, semua versi yang ada di balik peristiwa 23 Januari 1947 tengah
malam di kampung Kassi-kassi menyatakan kematian Emmy Saelan adalah kisah
heroik. Emmy tidak pernah tertangkap Belanda yang mengepung pasukan republik
dari kampung Kassi-kassi hingga Tidung. Meski tertinggal oleh pasukan RW
Monginsidi, dia mati bersama pasukannya, bahkan menewaskan pasukan Belanda dari
tangan granat di tangannya sendiri. Hal yang berbeda dengan kisah heroik RW
Monginsidi. Dia tertangkap dan dieksekusi oleh regu tembak pasukan Belanda di
SMP Nasional.
Kisah
kontroversi lainnya tentang hubungan pribadi Emmy Saelan dengan Wolter
Monginsidi. Ada versi cerita lisan yang menyebut keduanya memiliki hubungan
pribadi selama pertempuran. Keduanya sama-sama muda usia yang hidup dalam bara
revolusi nasional. Hubungan pribadi apa pun yang terjalin, keduanya dikenang
sebagai sepasang gerilyawan pendukung republik. Sayangnya, hingga kini tidak
ditemukan surat-menyurat yang dapat mengungkap sejauhmana hubungan pribadi
kedua pemuda pejuang republik tersebut.
Catatan: Diolah dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar