Sekber KPRM -
Jaringan Rakyat Miskin Kota Makassar
Sembilan tahun
lalu, september 2000, Indonesia tergabung dalam 189 negara yang
menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Tujuan
Pembangunan Millenium (MDG’s) 2015. Negara partisipan MDG’s
berkewajiban mencapai target penghapusan angka kemiskinan sebesar 50%.
Hari
ini, Sabtu, 17 Oktober 2009, warga dunia beraksi memperingati Hari
Anti Kemiskinan. Dan, detik ini, di sini, Indonesia, masih jauh dari
target pengurangan angka kemiskinan 19 juta jiwa pada tahun 2015.
Selama 9 tahun, pemerintah Indonesia hanya
mampu mengurangi angka kemiskinan sekitar 6 juta jiwa. Koordinator
Nasional Kampanye Millenium Development Goal`s (UNMC - United Nation
Millenium Campaign) Wilson TP Siahaan di Jakarta (dalam situs
beritabaru.com, 13/10) mengutip data BPS tahun 2000 bahwa angka kemiskinan
di Indonesia mencapai 38,7 juta jiwa atau 19,1 persen dari total
penduduk. Namun pada 2009, penduduk miskin di Indonesia berdasarkan
data BPS yang terbaru masih berkisar 32,5 juta atau 14,15 persen.
Dengan data ini saja, hampir mustahil
pemerintah RI mencapai target sampai tahun 2015.
Ketua Komite
Perlindungan Anak (KPA) Indonesia Hadi Suseno (beritabaru.com 13/10)
melaporkan angka kematian bayi di Indonesia adalah 34 per-1000
kelahiran. Sedangkan target MDG’s 2015 adalah 17 bayi per-1000
kelahiran. Pada tahun 2007, kematian ibu saat melahirkan tercatat 228
per-100.000. Sementara target MDG’s adalah 110 per-100.000 ibu
melahirkan.
Laporan MDG’s
2008 yang dirilis INFID menyebut sekitar 33% penduduk Indonesia di
perkotaan hidup tanpa air akses bersih, ada 17% yang menderita
kelaparan, dan sekitar 28% balita menderita kekurangan berat badan
akibat malnutrisi maupun gizi buruk.
Di Sulsel, yang
dikenal sebagai salah satu lumbung pangan Indonesia, tercatat 801
kasus gizi buruk sejak tahun 2005 hingga 2009. Di antaranya 45 kasus
menyebabkan kematian (Tribun Timur, 9/9/09). Data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 yang dirilis Tribun Timur menempatkan Sulsel lima
besar kasus gizi buruk, prevalensinya mencapai 13,7%. Sedangkan di
Makassar hingga September 2009, terdapat 41 kasus gizi buruk. Kasus
yang paling heboh adalah kematian Dg. Basse beserta bayi dalam
kandungannya dan seorang anaknya di Bontoduri kelurahan Parang
Tambung.
Dari uraian di
atas, maka Indonesia terancam gagal memenuhi target pencapaian MDG’s. Hampir mustahil terjadi penurunan 50% angka kemiskinan tahun 2015. Ada
beberapa kemungkinan darurat nasional yang memustahilkan pencapaian
target tersebut.
Pertama,
kecenderungan semakin menguatnya pragmatisme politik yang tidak
ideologis (Keliat dalam Kompas, 31 Maret 2009). Partai
politik dan elit penguasa terang-terangan mengutamakan kekuasaan
dan korupsi daripada pemecahan masalah kemiskinan.
Kedua, kebijakan
penghapusan subsidi BBM memicu kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketiga, kebijakan
pemerintah RI melalui UU No. 7/2004 tentang sumber daya air yang
membuka privatisasi (swastanisasi) pengelolaan air, kian menjauhkan
rakyat dari akses air bersih. Harganya semakin mahal. Imbasnya, sistem
sanitasi yang buruk memicu penyakit menular dan
kematian.
Keempat, bencana
alam yang massif 5 tahun terakhir ini, telah mengubah kebijakan
prioritas pembangunan wilayah. Termasuk di dalamnya ancaman
kekeringan (el-nino) yang berdampak akan terjadinya krisis pangan.
Kelima,
metronisasi kota yang ditandai dengan pesatnya pembangunan
infrastrukur, pusat perbelanjaan, pariwisata, dan pemukiman mewah
(real-estate) membawa bencana sosial bagi rakyat miskin kota (RMK)
dan pedagang sektor informal. Penggusuran
pemukiman dan tempat usaha RMK, nyaris tidak bisa dihalangi lagi.
Data yang dirilis INFID menyebut sekitar 30 juta atau 26,3% penduduk
perkotaan hidup di daerah kumuh yang rentan penggusuran dan tindak
kekerasan.
Ujian Pemerintahan
Baru
Pada prinsipnya,
negara adalah instrumen kekuasaan yang bertanggung jawab penuh
terhadap pemenuhan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanatkan
dalam Konstitusi. Komitmen pemerintah RI mendukung MDG’s, dalam hal
ini Penghapusan Kemiskinan (Poverty Eradication) 2015 adalah janji
penyelenggara negara kepada dunia untuk mensejahterakan rakyatnya.
Komitmen itu menjadi ujian bagi pemerintahan baru hasil Pemilu dan
Pilpres 2009.
Pertanyaannya,
bagaimana pemerintahan SBY-Boediono dan Anggota DPR RI terpilih bisa
melakukan percepatan pengentasan kemiskinan?
Mengutip pendapat
Keliat (Kompas, 13/03/09), hampir tidak mungkin dibayangkan
terjadinya perubahan peta kemiskinan tanpa intervensi kekuasaan
negara. Instrumen untuk melakukan intervensi ini tentu saja berkait
dengan kapasitas keuangan negara, seperti APBN, maupun kapasitas badan-badan usaha publik yang dimiliki negara. Maka
pemerintah RI dan Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah-langkah
strategis peng-arus-utamaan pengentasan kemiskinan.
Berikut ini
beberapa gagasan yang dikampanyekan organisasi masyarakat sipil:
- Pemerintah Indonesia segera mengakhiri berbagai kebijakan yang kian memiskinkan rakyat. Jika Pemerintah Indonesia masih berkomitmen kuat dalam upaya pencapaian MDGs, maka semua Undang-Undang yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan harus diharmonisasikan dengan Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005.
- Pemerintah Indonesia dan DPR-RI secara radikal menyusun APBN yang mengabdikan seluruh pembiayaannya untuk penanggulangan kemiskinan. Semua upaya tersebut harus dibarengi dengan strategi pembiayaan pembangunan yang tidak tergantung pada utang luar negeri.
- Pemerintah Daerah sebagai perwakilan pemerintah pusat menjadikan platform MDG’s dan hak-hak Ekosob sebagai acuan perumusan kebijakan dan pembangunan.
- Pemerintah Daerah segera mereformasi birokrasi di semua sektor pelayanan publik yang menghambat pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
- Pemerintah Daerah menprioritaskan subsidi bagi rakyat miskin, khususnya dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, pangan, air bersih, pemukiman, dan perlindungan lapangan kerja sektor informal.
Makassar, 17
Oktober 2009
AYO, BANGKIT DAN
LAWAN PEMISKINAN!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar