Paradigma baru pemajuan kebudayaan menjadi topik utama dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. Kongres ini merumuskan tujuh tantangan kebudayaan nasional dalam situasi perubahan global, yaitu: (1) Pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian (SARA); (2) Meredupnya khazanah tradisi dalam gelombang modernitas; (3) Disrupsi teknologi informatika belum dipimpin oleh kepentingan konsolidasi kebudayaan nasional; (4) Pertukaran budaya global yang timpang menjadikan Indonesia sebagai konsumen budaya dunia; (5) Pembangunan berbasis ekonomi-politik mengakibatkan penghancuran lingkungan hidup dan ekosistem budaya; (6) Belum optimalnya tata kelembagaan bidang kebudayaan; (7) Desain kebijakan belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaannya.
Kongres kebudayaan Indonesia mengagendakan strategi kebudayaan Indonesia masa kini untuk masa datang. Pertama, menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat budaya inklusif. Kedua, melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi dan praktik budaya tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional. Ketiga, mengembangkan dan memanfaatkan khasanah budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional. Keempat, memanfaatkan Obyek Pemajuan Kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelima, memajukan kebudayaan daerah yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat budaya ekologis. Keenam, reformasi kelembagaan dan penganggaran untuk mendukung pemajuan kebudayaan. Ketujuh, meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.
Salah satu tantangan dan agenda strategis dalam pemajuan kebudayaan adalah bagaimana melindungi ekosistem budaya lokal berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kelestarian lingkungan hidup tidak menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan industri dan pembangunan ekonomi. Padahal kehidupan berbagai komunitas budaya tradisional di seluruh nusantara bertumpu pada kelestarian sumber daya alamya. Pengrusakan lingkungan berarti penghancuran entitas budaya masyarakat setempat.
Sehubugan dengan hal tersebur, Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 menegaskan perlunya mengarus-utamakan (mainstreaming) pendekatan kebudayaan dalam pembangunan ekonomi nasional dengan memperhatikan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
- Mengembangkan tata ruang yang memperhatikan ketersambungan antara agenda konservasi sumber daya alam, preservasi cagar budaya, dan wilayah kebencanaan. Langkah strategis ini mencakup upaya mendorong kebijakan tata ruang yang berdasar pada kepentingan pelestarian warisan budaya, dan keberlanjutan ekosistem budaya.
- Mengaktualisasikan ekspresi dan pengetahuan tradisional tentang geografi dalam rangka mitigasi bencana. Langkah ini mencakup revitalisasi atas segenap wawasan tradisional sebagai bagian dari kesadaran publik, serta mengembangkan ekspresi dan pengetahuan tradisional dalam membaca kecenderungan alamiah dan lingkungan sekitarnya.
Dengan merujuk pada strategi kebudayaan nasional, terutama poin kelima, masyarakat adat, komunitas tradisi dan penghayat kepercayaan merupakan narasumber dalam pemajuan kebudayaan. Mereka memiliki kearifan dan budaya ekologis yang tersimpan dalam bentuk cerita lisan maupun tulisan (manuskrip), ritual, artefak, arsitektur, serta pengetahuan budi daya. Beberapa contoh yang relevan dengan kearifan lokal dalam pelestarian keanekaragaman hayati antara lain pengelolaan Hutan Karama To Cerekang di Malili, Hutan Larangan Ammatoa di Kajang, konservasi tradisional Hutan Adat Marena di Enrekang, serta berbagai pengetahuan tradisional mengenai mitigasi bencana seperti suku Baduy di Jawa Barat, dan suku Kaili di Sulawesi Tengah. Semua ptaktik kebajikan (best practices) komunitas adat ini merupakan sumber pendidikan sepanjang hayat.
Konsep budaya ekologis merupakan bagian dari kajian ekologi budaya, yaitu kearifan lokal masyarakat yang selaras dengan lingkungan hidupnya. Dalam perspektif ekologi budaya, entitas budaya manusia dengan lingkungan adalah saling ketergantungan. Julian Stewart (1936) dalam Febrianto (2016:6-7) mendefinisikan konsep ekologi budaya (cultural ecology) sebagai hubungan yang tidak terpisah antara lingkungan dan budaya. Unsur pokok ekologi budaya adalah pola perilaku (behavior patterns), yakni kerja (work), dan teknologi dalam proses pengolahan atau pemanfaatan lingkungan.
Pengkajian dalam ekologi budaya juga melihat pola adaptasi perilaku budaya manusia terhadap lingkungan alam sekitarnya. Febrianto mengutip Abdoellah (2017) bahwa ekologi budaya menerangkan bagaimana populasi manusia beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dengan memfokuskan perilaku dalam inti kebudayaan. Berdasarkan hal tersebut, kebudayaan memiliki peranan penting untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam, khususnya dalam proses adaptasi dan keberlangsungan dari alam itu melalui kearifan lokal.
Dalam buku ini, istilah budaya ekologis mewakili konsep kearifan dan pengetahuan ekologi tradisional. Dalam konteks masyarakat adat, budaya ekologis merujuk pada “ekosistem budaya” yang tampak pandangan yang mengedepankan aspek konservasi, hidup selaras alam (keselarasan), kesetaraan, dan keseimbangan ekosistem sebagai pertimbangan utama dalam interaksi budaya, sosial dan ekonomi.
Ekosistem budaya masyarakat adat seperti pada To Cerekang di Malili Luwu Timur adalah mitos dan tradisi konservasi sumber daya alam, yang merupakan satu kesatuan konsep dan praktik. Mitos menjadi sumber pengetahuan pertama kearifan dan pengetahuan ekologi tradisional. Sehingga melestarikan dan melindungi ekologi hutan adat merupakan implementasi dari ajaran leluhur, yakni Batara Guru. Sebaliknya, mewariskan dan melembagakan nila-nilai budaya ekologis merupakan kewajiban bagi generasi To Cerekang masa kini. Budaya ekologis diwariskan dan dilembagakan antargenerasi melalui cerita (pappaseng), etika berperilaku (pammali), ritual, dan kebiasaan sehari-hari.
Pada masyarakat adat To Cerekang, buaya sungai Cerekang disapa dengan “nenek” sebagai sikap santun pada leluhurnya. Pada tempat-tempat (toponim) berupa hutan yang disakralkan pertanda ada kehidupan makhluk lain, “bukan manusia biasa” (tennia rupa tau). Sehingga orang Cerekang sebagai “manusia biasa” (padanna rupa tau) berkewajiban menjaga kelestarian lingkungan dalam perilaku hidup sehari-hari dengan mematuhi petuah dan pantangan.
Dari sisi pandang masyarakat adat, kepatuhan dalam arti praktik lebih utama daripada pengetahuan. Bersikap bungkam, bukan berarti tidak mengetahui makna di balik pammali, misalnya pantangan memakan pisang “loka manurung”. Mereka yakin bahwa mematuhi aturan tersebut lebih utama daripada menjelasknnya. Sebegitu patuhnya, sehingga orang Cerekang tidak sembarangan menyebut nama leluhur. Menunjukkan hutan dan tempat-tempat tertentu dengan jari telunjuk yang dibengkokkan. Sungai dijaga dengan larangan membuang tinja, sisa makanan dari periuk, tidak menggunakan sabun pada saat mandi, dan pantangan mengganggu apalagi membunuh buaya Sungai Cerekang. Dapatlah dikatakan bahwa sesungguhnya masyarakat adat telah mempraktikkan sistem perlindungan (konservasi) dan pelestarian (preservasi) keanekaragaman hayati selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan cara ini masyarakat adat memitigasi wilayahnya dari ancaman bencana.
Relevansi budaya ekologis masyaraklat
adat bagi generasi masa kini adalah bagaimana memajukan pengetahuan dan budaya
ekologis masyarakat adat sebagai sumber pembelajaran formal maupun informal.
Lebih dari itu generasi masa kini turut mengadvokasi kebijakan investasi
seperti tambang dan perkebunan besar oleh pemerintah maupun swasta. (Awi MN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar