Foto: Moderator dan Pembicara dari Radar Sulbar |
Diskusi dipandu oleh Jasman Redpel Radar Sulbar, dan dihadiri sekitar 20-an peserta. Sebagian besar peserta adalah aktivis muda dari kalangan jurnalis dan aktivis Koalisi Masyarakat Sipil, HMI serta PMII. Saya mewakili Arkom Makassar mempresentasikan pengalaman aktivis arsitek komunitas melakukan pendampingan penyintas di Palu, Lombok dan Aceh. Fokus pembahasan saya adalah metode pendampingan warga terdampak gempa yang membangun huntap berstandar RTG. Misalnya, pengalaman Arkom Makassar yang mendesain Rumah Panggung (Balla Longga) sebagai solusi alternatif hunian bagi warga pesisir kota Makassar. Demikian pula keberhasilan Arkom Palu dan Jogja mengelola rehab-rekon huntap masyarakat nelayan Mamboro Perikanan dengan menggunakan konstruksi RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat).
Foto: Peserta Diskusi-Refleksi |
Foto: Tahapan Konstruksi RISHA di OrobatuTapalang |
Best Parctices RTG-RISHA Tapak dan Panggung Arkom Palu Pemenang Medali Perunggu UN Habitat |
Bagi saya forum diskusi warkop tidak bermaksud mengevaluasi kinerja BPBD, melainkan memetik hikmah dari pengalaman buruk di lapangan. Sebagai refleksi, saya mengajak peserta untuk memaknai manajemen kebencanaan selama setahun pasca gempa dengan belajar dari praktik rehab-rekon huntap. Hikmah yang dapat dipetik dari “praktik buruk” (bad practices) rehab-rekon huntap adalah pentingnya sikap kehati-hatian (wawas diri) agar kejadian rumah roboh dan korban jiwa oleh gempa tidak berulang. Manusia hanya berusaha mengurangi risiko dengan menerapkan mitigasi pada hunian.
Kunjungan Lapang: Penyintas Minim Edukasi RTG
Foto: Huntap Mandiri di Rantedoda |
Foto: Penggunaan Angkur Tiang Kayu Pondasi Bata |
Foto: Penyintas di Tenda Pengungsian |
Foto: Huntap Mandiri Rumah Panggung di Orobatu |
Foto: Huntap Konvensional/RIKO di Orobatu |
Foto: Pemilik Rumah Konstruksi RISHA di Orobatu |
Seorang warga di Orobatu membangun rumah dengan konstruksi RTG-RISHA. Menariknya warga ini sebelumnya sudah mempelajari struktur RISHA dan penerapannya melalui video youtube. Dia juga mengunduh dan memprint-out pedoman teknis RISHA dari google. Dengan pengalamannya sebagai tukang bangunan, dia terlibat langsung membangun rumah RISHA mulai dari pembuatan pondasi, pemasangan panel RISHA, pemasangan aladin hingga finishing. Dia juga menambah biaya pembuatan besi cakar ayam berdiameter 40 cm untuk pondasi dengan kedalaman 60 cm di atas lahan yang rawan banjir air pasang laut.
Menurut warga, RISHA yang dibangunnya sudah memenuhi standar minimal RTG seperti yang direkomendasikan pemerintah pusat (PUPR). Bila dibandingkan dengan konstruksi rumah konvensional maupun semi permanen yang dibangun tetangganya, RISHA jauh lebih baik. Hanya saja biaya Rp 50 juta tidak cukup bila mengikuti ketentuan standardisasi tertinggi sebagaimana patennya. Dia meragukan konstruksi rumah semi permanen dengan dinding kalsiborg termasuk rumah panggung kayu tetangganya seharga Rp 50 juta.
Foto: Huntap Semi Permanen Berdinding Kalsiborg |
Kecenderungan penyintas membangun rumah konvensional secara mandiri disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan edukasi mengenai standar RTG. Selain itu, berkembang isu warga tidak mendapatkan manfaat praktis/ekonomis dari pembangunan rumah RTG seperti RISHA atau RUSPIN. Sebaliknya pada pembangunan rumah konvensional seperti semi permanen maupun rumah kayu, warga dapat mengatur pengeluaran untuk belanja material dan ongkos tukang secara mandiri sejak pencairan pertama dan kedua masing-masing 50%. Persoalannya, bila warga membagun rumah secara mandiri tanpa pendampingan sosial dan teknis, hanya administrasi semata, warga juga kuatir akan mengurangi kualitas bangunan (material) bahkan menyalahi aturan RTG pemerintah sendiri.
Di desa Tampalang, penyintas berkeluh kesah tentang ketidakpastian adanya pembangunan huntap tahap kedua. Data warga sudah diasesmen sejak bulan Juli-Agustus 2021. Namun, hingga kini belum terealisasi. Padahal desa tetangga sudah membangun huntap secara mandiri. Selama masa penantian warga kurang mendapatkan sosialisasi dan edukasi mengenai RTG. Seingat warga, baru 1 kali sosialisasi rehab-rekon di kantor kecamatan. Materi sosialisasi dinilai tidak cukup, perlu edukasi atau pun penjelasan dari pendamping secara langsung kepada warga mengenai RTG.
Penjelasan RTG RISHA di Tampalamg |
Penyintas di desa Tampalang masih trauma dengan konstruksi rumah beton. Sosialisasi dan edukasi yang minim, membuat warga salah kaprah mengenai RTG. Seorang ibu rumah tangga merasa masih trauma dengan struktur balok beton pada pada bangunan konvensional termasuk RISHA/RIKO. Tetapi dia dan suaminya ingin membangun rumah seperti rumah semula (beton). Atap dan dinding rumah roboh terdampak gempa dan hampir mencelakai keluarganya. Pengalaman traumatis ini membuat warga kesulitan memahami RTG beton dan kayu. Apalagi mereka tidak pernah melihat wujud bangunan RTG seperti RISHA sebelum gempa.
Dibangun 6 Tahun Lalu, Terbukti Tahan Gempa |
Foto: Konstruksi RUSPIN di Jl. Jend. Sudirman Mamuju |
Hikmah: Mitigasi dengan RTG
Pada tanggal 17 Januari 2022, Radar Sulbar
membuat liputan hasil diskusi warkop berjudul “Ambillah Posisi sebagai Pemberi Solusi”. Judul
liputan ini merujuk pada opini yang berkembang dalam diskusi warkop dan hasil
kunjungan lapang. Pesan yang ingin disampaikan bahwa dalam manajemen
rekonstruksi pasca bencana, sama pentingnya membicarakan teknis konstruksi RTG
dengan polemik akuntabilitas pengelolaan dana huntap. Oleh karena itu solusi
yang perlu ditindaklanjuti pemerintah/BPBD adalah membuat juknis mitigasi
pembangunan huntap, termasuk di dalamnya penguatan kapasitas pendamping huntap.
Sehari sebelum saya meninggalkan memuju
saya menulis opini di Radar Sulbar sebagai refleksi atas lemahnya pendekatan
mitigasi dalam rehab-rekon pasca gempa. Bagi saya para pihak termasuk aktivis
jurnalis dan organisasi masyarakat sipil perlu mengedepankan peran mengedukasi
publik dari sekedar sosialisasi, bersikap apresiatif daripada apriori, dan
mengadvokasi praktik yang buruk dengan pengalaman baik dalam rehab-rekon huntap
yang telah dilakukan para penyintas. Kecenderungan aktivis berpolemik di media
massa terhadap akuntabilitas manajemen BPBD penting sebagai bentuk pengawasan
publik. Namun tantangan yang sesungguhnya adalah bagaimana mengawal kebijakan
mitigasi RTG dalam rehab rekon huntap di tingkatan penyintas.
Berdasarkan catatan saya, tantangan yang
harus direspon oleh Arkom Makassar serta aktivis koalisi masyarakat sipil
antara lain:
- Mendampingi warga yang mempersoalkan kesalahan pendataan seperti tumpang tindih data rusak berat dengan rusak sedang dan rusak ringan;
- Mengedukasi warga yang belum membangun huntap agar menggunakan bangunan RTG (RISHA/RUSPIN/RIKO/RIKA);
- Mendorong fungsi pendampingan dan pengawasan teknis RTG bagi warga yang akan dan sedang membangun huntap;
- Mengadvokasi kebijakan BPBD/Pemda agar berkomitmen menegakkan aturan/standar pembangunan huntap RTG;
- Tim Arkom Makassar mengembangkan kolaborasi dengan aktivis masyarakat sipil dalam pendampingan RTG dalam skala terbatas dan visibel di satu desa di kecamatan Tappalang sebagai pilot project;
- Tim Arkom Makassar mendorong para pihak, terutama BPBD dan pendamping rehab-rekon agar melakukan transfer teknologi RTG dan memaksimal kesempatan kerja bagi para penyintas, semisal membuat workshop praktik bangunan dengan teknologi RTG.
Makassar, 19 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar