19 Jan 2022

Catatan dari Mamuju Setahun Pasca Gempa

 
 https://www.youtube.com/watch?v=mgloNkQXvB4
Dalam dua bulan terakhir, BMKG melaporkan empat kali gempa bermagnitudo 5-7 di Maluku, Flores, dan Jember yang berdampak kerusakan dan korban jiwa. Sehari sebelum setahun pasca gempa di Sulawesi Barat, gempa 6,7 SR terjadi di Sumur Banten, getarannya membuat panik warga di Jakarta. Pada hari Jumat, 14 Januari 2022 itu saya baru tiba di Mamuju, dan sedang bercakap dengan dua teman aktivis mengenai berita Radar Sulbar yang merilis dugaan “pemotongan” dana rehab-rekon hunian tetap (huntap) oleh BPBD.
Selama empat hari saya berada di Mamuju. Selama itu saya berkesempatan mengikuti diskusi dan refleksi setahun pasca gempa Sulbar, 15 Januari 2022 yang diselenggarakan oleh Radar Sulbar bekerja sama dengan Arkom Makassar di warkop. Pada hari kedua, saya berkunjung ke desa Rantedoda, Tampalang, dan Orobatu kecamatan Tapalang, sekitar 45 menit dari Mamuju. Pada hari ketiga saya ke Rangas melihat bengkel aplikator RISHA/RUSPIN.
 
Diskusi Warkop: Kisruh Dugaan Pungli 
Sabtu malam, 15 Januari 2022, rencana Diskusi Warkop Setahun Pasca Gempa Sulbar dimulai pukul 20.00 Wita. Pada malam yang sama juga berlangsung acara Istighasah dan dzikir yang dilaksanakan Pemkab Mamuju di pelataran rumah adat Mamuju. 
Diskusi warkop dimulai pukul 21.00 di Coffee Shop 77. Semula diskusi akan dihadiri kepala BPBD Mamuju sebagai pembicara. Hingga diskusi berlangsung, dia tidak hadir tanpa pemberitahuan. Saya menjadi pembicara kedua.setelah Sudirman Pemred Radar Sulbar. Sudirman memberikan pengantar singkat mengenai maksud penyelenggaraan diskusi sebagai forum untuk mengklarifikasi dan menemukan solusi dari polemik dalam berita “pemotongan dana bantuan huntap”.

Foto: Moderator dan Pembicara dari Radar Sulbar


Diskusi dipandu oleh Jasman Redpel Radar Sulbar, dan dihadiri sekitar 20-an peserta. Sebagian besar peserta adalah aktivis muda dari kalangan jurnalis dan aktivis Koalisi Masyarakat Sipil, HMI serta PMII. Saya mewakili Arkom Makassar mempresentasikan pengalaman aktivis arsitek komunitas melakukan pendampingan penyintas di Palu, Lombok dan Aceh. Fokus pembahasan saya adalah metode pendampingan warga terdampak gempa yang membangun huntap berstandar RTG. Misalnya, pengalaman Arkom Makassar yang mendesain Rumah Panggung (Balla Longga) sebagai solusi alternatif hunian bagi warga pesisir kota Makassar. Demikian pula keberhasilan Arkom Palu dan Jogja mengelola rehab-rekon huntap masyarakat nelayan Mamboro Perikanan dengan menggunakan konstruksi RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat).

Foto: Peserta Diskusi-Refleksi

Dalam konteks Mamuju, Tim Arkom Makassar melakukan uji coba pembangunan 1 unit huntap RTG di desa Orobatu. Dengan pendampingan intensif, warga dapat menyelesaikan pembangunan RISHA kurang dari 1 bulan. Berdasarkan testimoni pemilik rumah, struktur RTG (rangka bangunan) untuk 1 unit RISHA dapat dididirikan selama 3 hari. Pemasangan “aladin” (atap lantai dinding) hingga finishing hanya membutuhkan waktu sekitar dua minggu. Selama pembangunan, warga memanfaatkan material bekas (reuse) seperti batu bata  layak pakai. Sisa uang dari batu bata digunakan warga menambah 1 kamar dan 1 kusen jendela.

Foto: Tahapan Konstruksi RISHA di OrobatuTapalang
Ketidakhadiran kepala (Plt) BPBD dalam diskusi membuat peserta semakin menegasi peran pemerintah dalam tahapan rehab-rekon. Peserta pesimis pada kemampuan/kapasitas BPBD mengelola dana karena dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel. Dugaan telah terjadi penyelewengan dana bantuan (pungli) akan menjadi preseden buruk, dan kemungkinan akan menjadi temuan bila diaudit oleh pemerintah pusat (BNPB).
Best Parctices RTG-RISHA Tapak dan Panggung Arkom Palu
Pemenang Medali Perunggu UN Habitat 
Moderator memoderasi aspirasi peserta dengan menegaskan pentingnya pemerintah pusat (BNPB) memperjelas juknis penyaluran bantuan rehab-rekon agar polemik tidak berkepanjangan. Sebagaimana diberitakan oleh Radar Sulbar (14/1/2022) bahwa pemotongan dana Rp 8 juta diakui oleh kepala BPBD merupakan kesepakatan dengan warga penerima bantuan berdasarkan Juknis/Juklak. Sehingga patut diduga telah terjadi pungli. Namun, keesokan harinya, kepala BPBD mengklarifikasi berita tersebut di harian online dikita.com bahwa dugaan pungli adalah hoax karena pemotongan tersebut dikenakan pada warga yang telah mendapatkan bantuan rehab-rekon dari NGO. Moderator menutup diskusi dengan catatan tanpa kesimpulan bahwa keterbukaan BPBD/Pemkab sangat diharapkan untuk menemukan solusi dari permasalahan dalam manajemen rehab-rekon.

Bagi saya forum diskusi warkop tidak bermaksud mengevaluasi kinerja BPBD, melainkan memetik hikmah dari pengalaman buruk di lapangan. Sebagai refleksi, saya mengajak peserta untuk memaknai manajemen kebencanaan selama setahun pasca gempa dengan belajar dari praktik rehab-rekon huntap. Hikmah yang dapat dipetik dari “praktik buruk” (bad practices) rehab-rekon huntap adalah pentingnya sikap kehati-hatian (wawas diri) agar kejadian rumah roboh dan korban jiwa oleh gempa tidak berulang. Manusia hanya berusaha mengurangi risiko dengan menerapkan mitigasi pada hunian.

Kunjungan Lapang: Penyintas Minim Edukasi RTG

Foto: Huntap Mandiri di Rantedoda
Minggu, 16 Januari 2022, saya dan wartawan Radar bersama Tim Arkom Makassar memantau situasi pembangunan huntap di kecamatan Tapalang. Cuaca cerah, hanya saja perjalanan kami tertahan selama selama satu setengah jam akibat buka-tutup proyek perluasan infrastruktur di jalan poros Majene-Mamuju. Beberapa poros jalan berdebu oleh lalu-lalang truk pengangkut tanah timbunan di sepanjang desa Takandeang.

Foto: Penggunaan Angkur Tiang Kayu Pondasi Bata
Di desa Rantedoda, saya mewawancarai beberapa penyintas yang sedang membangun huntap secara mandiri. Tanpa pendampingan teknis, warga membangun rumah permanen dan semi permanen. Tiang-tiang rumah menggunakan balok kayu (5/10 dan 2/12). Di atas pondasi beton dan bata, rangka kayu didirikan dan ditutup cor beton. Dengan angkur besi pada balok kayu (seadanya) langsung mengapit dinding pasangan batu bata. Jarak antar tiang kayu relatif lebar tanpa slof beton yang memadai, sehingga terkesan apa adanya. Menurut warga kualitas kayu sudah bagus seperti Ahoha dan Pulio setara dengan kayu klas 2. 

Foto: Penyintas di Tenda Pengungsian
Di Rantedoda masih ada warga yang tinggal di tenda pengungsian dekat rumah asalnya karena menunggu tahapan kedua pembangunan huntap. Warga mengaku status rumahnya rusak berat dan dan sudah terdata pada tahap pertama. Ada warga yang membiayai pembangunan rumahnya sendiri (rusak sedang) sambil menunggu penggantian dari pendamping BPBD.  Ada juga warga yang sudah merenovasi rumahnya dengan menerima dana Rp 10 juta untuk rehab rumah rusak ringan. Tetapi dia mengaku rumahnya rusak berat seperti tetangga yang sedang dibangun.

Foto: Huntap Mandiri Rumah Panggung di Orobatu
Inisiatif (mandiri) warga membangun rumah cukup menarik diapresiasi. Di Orobatu, dua rumah panggung kayu dibangun oleh warga di pesisir. Pemilik rumah mengaku rumah panggung ini diselesaikan  kurang dari 1 bulan. Rangka kayu dirakit dari Majene, kemudian didirikan dalam tempo sekitar seminggu. Tiang rangka didudukkan (tanam) di atas cor beton bekas pondasi rumah asal. Dinding rumah menggunakan kalsiborg dan atap seng. Warga membangun rumah kayu karena trauma dengan rumah beton. Namun warga masih bertanya “apakah rumahnya sudah tahan gempa”.

Foto: Huntap Konvensional/RIKO di Orobatu
Warga lain berinisiatif membangun rumah beton konvensional (Riko) di atas lahan yang rawan banjir. Dengan modal pengalaman sebagai tukang, pemilik rumah membuat slof dan rangka beton selebar 20-30 cm di atas pondasi yang lumayan tebal/dalam. Hanya tidak menggunakan rangkaian besi cakar ayam. Di atas kusen jendela/pintu dibuat slof beton. Pada dinding pasangan batu bata (full) juga dibuat slof untuk memperkuat dinding. Pemilik rumah mengaku konstruksi mengikuti standar RTG beton meskipun harus menambah biaya untuk slof dan kusen jendela.

Foto: Pemilik Rumah Konstruksi RISHA di Orobatu

Seorang warga di Orobatu membangun rumah dengan konstruksi RTG-RISHA. Menariknya warga ini sebelumnya sudah mempelajari struktur RISHA dan penerapannya melalui video youtube. Dia juga mengunduh dan memprint-out pedoman teknis RISHA dari google. Dengan pengalamannya sebagai tukang bangunan, dia terlibat langsung membangun rumah RISHA mulai dari pembuatan pondasi, pemasangan panel RISHA, pemasangan aladin hingga finishing. Dia juga menambah biaya pembuatan besi cakar ayam berdiameter 40 cm untuk pondasi dengan kedalaman 60 cm di atas lahan yang rawan banjir air pasang laut. 

Menurut warga, RISHA yang dibangunnya sudah memenuhi standar minimal RTG seperti yang direkomendasikan pemerintah pusat (PUPR). Bila dibandingkan dengan konstruksi rumah konvensional maupun semi permanen yang dibangun tetangganya, RISHA jauh lebih baik. Hanya saja biaya Rp 50 juta tidak cukup bila mengikuti ketentuan standardisasi tertinggi sebagaimana patennya. Dia meragukan konstruksi rumah semi permanen dengan dinding kalsiborg termasuk rumah panggung kayu tetangganya seharga Rp 50 juta.

Foto: Huntap Semi Permanen Berdinding Kalsiborg

Kecenderungan penyintas membangun rumah konvensional secara mandiri disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan edukasi mengenai standar RTG. Selain itu, berkembang isu warga tidak mendapatkan manfaat praktis/ekonomis dari pembangunan rumah RTG seperti RISHA atau RUSPIN. Sebaliknya pada pembangunan rumah konvensional seperti semi permanen maupun rumah kayu, warga dapat mengatur pengeluaran untuk belanja material dan ongkos tukang secara mandiri sejak pencairan pertama dan kedua masing-masing 50%. Persoalannya, bila warga membagun rumah secara mandiri tanpa pendampingan sosial dan teknis, hanya administrasi semata, warga juga kuatir akan mengurangi kualitas bangunan (material) bahkan menyalahi aturan RTG pemerintah sendiri.

Di desa Tampalang, penyintas berkeluh kesah tentang ketidakpastian adanya pembangunan huntap tahap kedua. Data warga sudah diasesmen sejak bulan Juli-Agustus 2021. Namun, hingga kini belum terealisasi. Padahal desa tetangga sudah membangun huntap secara mandiri. Selama masa penantian warga kurang mendapatkan sosialisasi dan edukasi mengenai RTG. Seingat warga, baru 1 kali sosialisasi rehab-rekon di kantor kecamatan. Materi sosialisasi dinilai tidak cukup, perlu edukasi atau pun penjelasan dari pendamping secara langsung kepada warga mengenai RTG.

Penjelasan RTG RISHA di Tampalamg

Penyintas di desa Tampalang masih trauma dengan konstruksi rumah beton. Sosialisasi dan edukasi yang minim, membuat warga salah kaprah mengenai RTG. Seorang ibu rumah tangga merasa masih trauma dengan struktur balok beton pada pada bangunan konvensional termasuk RISHA/RIKO. Tetapi dia dan suaminya ingin membangun rumah seperti rumah semula (beton). Atap dan dinding rumah roboh terdampak gempa dan hampir mencelakai keluarganya. Pengalaman traumatis ini membuat warga kesulitan memahami RTG beton dan kayu. Apalagi mereka tidak pernah melihat wujud bangunan RTG seperti RISHA sebelum gempa.

Dibangun 6 Tahun Lalu, Terbukti Tahan Gempa
Di Rangas dalam kota Mamuju, ternyata struktur bangunan RISHA ternyata sudah dibangun enam tahun lalu. Beberapa unit Rumah Dinas Kemenkumham dengan konstruksi RISHA tidak mengalami kerusakan bila dibandingkan dengan beberapa rumah beton di jalan Jenderal Sudirman. Di sini beberapa rumah yang tidak roboh tetapi mengalami keretakan pada dinding dan kerusakan struktur bangunan sehingga sangat berisiko roboh apabila diguncang gempa dengan kekuatan 6-7 SR di masa datang. Di kawasan ini seorang warga membangun konstruksi RUSPIN di atas pondasi bekas rumahnya dengan alasan lebih praktis, efisien dan sesuai dengan ketentuan pemerintah (RTG).

Foto: Konstruksi RUSPIN di Jl. Jend. Sudirman Mamuju

Hikmah: Mitigasi  dengan RTG

Pada tanggal 17 Januari 2022, Radar Sulbar membuat liputan hasil diskusi warkop berjudul “Ambillah Posisi sebagai Pemberi Solusi”. Judul liputan ini merujuk pada opini yang berkembang dalam diskusi warkop dan hasil kunjungan lapang. Pesan yang ingin disampaikan bahwa dalam manajemen rekonstruksi pasca bencana, sama pentingnya membicarakan teknis konstruksi RTG dengan polemik akuntabilitas pengelolaan dana huntap. Oleh karena itu solusi yang perlu ditindaklanjuti pemerintah/BPBD adalah membuat juknis mitigasi pembangunan huntap, termasuk di dalamnya penguatan kapasitas pendamping huntap.

Sehari sebelum saya meninggalkan memuju saya menulis opini di Radar Sulbar sebagai refleksi atas lemahnya pendekatan mitigasi dalam rehab-rekon pasca gempa. Bagi saya para pihak termasuk aktivis jurnalis dan organisasi masyarakat sipil perlu mengedepankan peran mengedukasi publik dari sekedar sosialisasi, bersikap apresiatif daripada apriori, dan mengadvokasi praktik yang buruk dengan pengalaman baik dalam rehab-rekon huntap yang telah dilakukan para penyintas. Kecenderungan aktivis berpolemik di media massa terhadap akuntabilitas manajemen BPBD penting sebagai bentuk pengawasan publik. Namun tantangan yang sesungguhnya adalah bagaimana mengawal kebijakan mitigasi RTG dalam rehab rekon huntap di tingkatan penyintas.

Berdasarkan catatan saya, tantangan yang harus direspon oleh Arkom Makassar serta aktivis koalisi masyarakat sipil antara lain:

  1. Mendampingi warga yang mempersoalkan kesalahan pendataan seperti tumpang tindih data rusak berat dengan rusak sedang dan rusak ringan; 
  2. Mengedukasi warga yang belum membangun huntap agar menggunakan bangunan RTG (RISHA/RUSPIN/RIKO/RIKA);
  3. Mendorong fungsi pendampingan dan pengawasan teknis RTG bagi warga yang akan dan sedang membangun huntap; 
  4. Mengadvokasi kebijakan BPBD/Pemda agar berkomitmen menegakkan aturan/standar pembangunan huntap RTG; 
  5. Tim Arkom Makassar mengembangkan kolaborasi dengan aktivis masyarakat sipil dalam pendampingan RTG dalam skala terbatas dan visibel di satu desa di kecamatan Tappalang sebagai pilot project; 
  6. Tim Arkom Makassar mendorong para pihak, terutama BPBD dan pendamping rehab-rekon agar melakukan transfer teknologi RTG dan memaksimal kesempatan kerja bagi para penyintas, semisal membuat workshop praktik bangunan dengan teknologi RTG.

Makassar, 19 Januari 2022

Awi MN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar