United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), badan PBB urusan kebencanaan mengelompokkan lima jenis potensi bencana alam, yaitu; (1) Bahaya geologi (geological hazards); (2) Bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards); (3) Bahaya biologi (biological hazards); (4) Bahaya teknologi (technological hazards), dan (5) Penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation).
Indonesia memiliki setidaknya tiga dari lima karakteristik bencana alam tersebut, yakni potensi bencana geologi, hidrologi, dan ekologi. Sepanjang tahun 2021, sebanyak 3.092 bencana alam di Indonesia – di antaranya 26 kejadian gempa bumi yang membawa dampak kerusakan dan korban jiwa. Dalam dua bulan terakhir, BMKG melaporkan empat kali gempa bermagnitudo 5-7 di Maluku, Flores, dan Jember. Sehari sebelum setahun pasca gempa di Sulawesi Barat, gempa 6,7 SR terjadi di Sumur Banten, getarannya cukup membuat panik warga di ibukota Jakarta. Rangkaian peristiwa bencana alam ini sungguh menegaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kegempaan tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Para ahli dan praktisi, juga lembaga internasional menilai pemerintah Indonesia terlambat mengembangkan sistim penanggulangan bencana dibandingkan dengan Jepang atau pun China. Pasca kejadian gempa dan tsunami Aceh (2004) dan Yogyakarta (2006), pemerintah Indonesia barulah memiliki peranturan perundang-undangan, yakni UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulanan Bencana yang komprehensif, terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) pun mengembangkan sistim perhitungan risiko bencana berbasis geospasial. Parameter yang digunakannya adalah Bahaya, Kerentanan, dan Kapasitas. Bahaya (hazard) adalah suatu situasi atau kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan dan korban jiwa. Kerentanan (vulnerability) merupakan faktor atau pun proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan, yang mengakibatkan penurunan kemampuan (capacity) manusia menghadapi bahaya. Kapasitas berarti penguasaan terhadap sumber daya, teknologi, cara, dan kekuatan yang memungkinkan masyarakat menjinakkan, menanggulangi, mempertahankan diri dalam menghadapi ancaman bencana serta memulihkan diri. Dengan demikian, semakin banyak ancaman yang bersumber dari kondisi ekologi, geografi, dan geologi akan semakin tinggi tingkat kerentanan suatu wilayah dari bencana. Apalagi jika kondisi itu tidak didukung dengan sumber daya manusia dan kelembagaan yang memadai.
Rekonstruksi Pasca Gempa
Semua kejadian gempa merupakan peristiwa berulang, suatu potensi ancaman yang mengiringi kemajuan peradaban manusia masa kini. Sebagian kejadian gempa tersimpan dalam ingatan masyarakat dalam bentuk cerita (mitos) maupun petuah (paseng). Sebagian lagi tercatat dalam sejarah berupa laporan dan pemberitaan. Keduanya menjadi memori kolekitf, yang ditransmisikan antar/lintas-generasi agar masyarakat “wawas diri” sebelum maupun sesudah bencana. Bahwa bencana itu niscaya, dan manusia hanya berusaha mengurangi risiko akibat gempa. Dalam manajemen kebencanaan lazim disebut kesiapsiagaan atau pun mitigasi dan rekonstruksi dengan memaksimalkan solidaritas sosial, kelembagaan, dan Iptek.
Secara komprehensif Perka BNPB 14/2011 merumuskan rekonstruksi adalah pembangunan kembali prasarana dan sarana, serta kelembagaan di wilayah pasca bencana pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, serta bangkitnya peran serta masyarakat. Proses rekonstruksi meliputi kegiatan pembangunan fisik (konstruksi), termasuk pengurangan risiko bencana, serta pemulihan kembali sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat (non-konstruksi).
Salah satu aspek mitigasi dan pengurangan risiko bencana (PRB) dalam tahapan rekonstruksi pasca gempa adalah pembangunan hunian tetap (huntap) bagi para penyintas (survivor, orang-orang yang selamat) dengan standar RTG – Rumah Tahan Gempa. Sejak tahun 2006 PUPR-Cipta Karya telah memiliki pedoman teknis konstruksi rumah dan bangunan tahan gempa. Beberapa inovasi teknologi RTG yang dikembangkan oleh para ahli konstruksi dan kegempaan bekerjasama dengan pengembang. Beberapa desain RTG seperti RISHA, RUSPIN, RIKA dan RIKO telah diaplikasi di Aceh, Yogyakarta, Lombok, dan Palu pasca gempa. Teknologi RTG yang telah dipatenkan oleh Litbang PUPR ini dapat diakses secara gratis.
Bagi penulis konstruksi RTG identik dengan rumah beton. Jauh sebelum arsitektur beton menjadi alternatif hunian, masyarakat nusantara telah memiliki teknologi hunian yang ramah lingkungan. Dengan mengikuti irama pergerakan alam, masyarakat budaya lokal membangun hunian berstandar RTG dengan berbagai bentuk modifikasinya. Meskipun konstruksi rumah kayu semakin berkurang, namun “ilmu” yang diajarkan para panrita bola generasi masa lalu adalah wawas diri dengan membangun rumah tahan bencana. Hal ini dapat dibuktikan dari catatan lapang penulis; 90% rumah panggung kayu di Lombok dan Sulteng pasca gempa masih berdiri, dan sebaliknya pada rumah beton. Problematiknya kemudian peradaban “batu dan semen” telah menjadi bagian dari cara hidup semua lapisan masyarakat. Konstruksi bangunan beton dapat mengatasi kelangkaan material, keterbatasan pengetahuan, sehingga masyarakat pun beradaptasi dan memodifikasi rumah kayu.
Wawas Diri
Sejarah berulang, dan mencatatkan keberhasilan sekaligus tragedi kemanusiaan. Cerita dan catatan sejarah kejadian bencana gempa yang berulang di Sulbar membuktikan betapa rentan dan rapuhnya bangunan sosial dari guncangan alam. Padahal bumi terus berotasi pada porosnya, sehingga pergeseran dan patahan geologis yang mengakibatkan gempa adalah keniscayaan. Dalam sejarah tercatat setidaknya gempa di Polewali, Majene dan Mamuju dengan kekuatan 5-7 SR terjadi antara tahun 1967, 1969, dan 1984. Kelalaian manusia pada mitigasi risiko bencana, membangun hunian tanpa standar tahan gempa akan terus berdampak pada kerusakan hunian dan korban jiwa. Gempa pada 14/15 Januari 2021 membukikan hal tersebut. Hari ini pun masih ada ratusan warga di tenda pengungsian karena trauma dan belum membangun rumah kembali.
Dengan menyadari kenyataan ini kita dapat membayangkan bagaimana kesintasan (survivability) masyarakat seperti di Jepang mengalami guncangan alam tanpa kerusakan dan korban massal. Itu karena keberhasilan pendidikan mitigasi bencana sejak dini yang ditopang dengan aplikasi teknologi bangunan tahan gempa. Sehingga tata kelola pemerintahan dapat bekerja seperti sedia kala mengawal kebijakan rekonstruksi.
Standar RTG haruslah menjadi kepentingan bersama para pihak untuk meminimalkan risiko kerusakan dan korban jiwa yang berulang akibat gempa. Kita tidak ingin rumah dibangun hari ini tetapi esok roboh lagi, kemudian menghitung jumlah kerusakan dan korban manusia dalam suasana kekacauan sosial, politik dan ekonomi.
Sebagai catatan penutup bagi pegiat organisasi masyarakat sipil, tantangan yang sesungguhnya bagaimana mengedukasi publik dan penyintas dengan praktik rekonstruksi RTG yang baik, sambil mengadvokasi pemerintah dari praktik yang buruk (bad practices) menjadi lebih baik.
M. Nawir
Peneliti, aktivis arsitek komunitas – Arkom Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar