Kata Makassar, merujuk pada kelompok etnis yang umumnya mendiami belahan selatan kota. Makassar, atau “Mangkassara” dalam bahasa daerahnya berasal kata “akkasara”, yang artinya “menampakkan diri”. Sebagai kata sifat, “mangkasara” berarti juga “terus terang”. Pengertian semua itu berkaitan dengan cerita sejarah kedatangan penyebar agama Islam dari Minangkabau, yakni Dato ri Bandang alias Abdul Makmur Khatib Tunggal.
Pada abad 16, Makassar menjadi bandar utama kerajaan Gowa dan Tallo. Tomi Peres, 1513, seorang pelaut Portugis menyebut nama Makassar tua sebagai bandar kosmopolitan, tempat bertemunya berbagai bangsa. Pada tahun 1550-an, para pedagang Melayu mulai bertempat tinggal di Makassar, dan dilaporkan mereka membangun mesjid pertama di kota ini.
Pada abad 19 diperkirakan jumlah penduduk di kota Makassar 15.000 jiwa. Pada 1930, mencapai 84.000 jiwa, di antaranya ada sekitar 3.500 orang Eropa, 15.000 orang China, dan 65.000 pribumi. Pada tahun 1961, 384.000 jiwa. Kemudian tahun 1980, terjadi lompatan jumlah penduduk menjadi 708.465. Pada awal abad 20, sudah ada 9 konsulat yang berkantor di Makassar, yakni Denmark, Swedia, Norwegia, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Portugal, dan China. (Dias Pradadimara dalam Kota Lama Kota Baru, 2005). Pada masa itu, bandar Makassar memainkan perannya sebagai simpul pengumpul semua hasil dari belahan timur Indonesia seperti mutiara, teripang, kayu cendana, kopra, rotan.
Pada 1971, Kota Makassar berubah nama menjadi Ujung Pandang. Menurut Dias lagi, Ujungpandang mencerminkan simbol kebaruan dinamika sosial pada masa itu. Orang Bugis menyebutnya “Jumpandang“. Pada awal 1970-an, etnis bugis memang mayoritas urban di Makassar, yakni 30% dari total penduduk. Pasca reformasi, desakan untuk kembali memakai nama Makassar sangat kuat. Sehingga tanggal 13 Oktober 1999, pemerintahan Habibie menerbitkan PP No. 86 Tahun 1999.
Konteks Sosial
Kota Makassar, Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, berada pada bagian barat Sulawesi dengan ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut. Kontur tanahnya adalah dataran rendah dengan luas wilayah 175,77 kilometer persegi. Administrasi kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, 143 kelurahan, 936 Rukun Warga (RW) dan 4.580 Rukun Tetangga (RT).
Total penduduk Makassar tahun 2005 sebanyak 272.727 KK atau 1.173.107 jiwa yang terdiri dari 578.416 laki-laki dan 594.691 perempuan. Populasi penduduk terbanyak di wilayah Kecamatan Tamalate yang – dengan luas 20,21 kilometer persegi – menampung 144.458 jiwa atau sebesar 12,31% dari total penduduk Makassar. Sebanyak 9.392 KK (144.458 jiwa) dari 70.160 KK penduduk miskin di Makassar (BPS 2006) bermukim di wilayah kecamatan ini.
Konsentrasi kepadatan penduduk kota Makassar berada di daerah pesisir, yang membuktikan bahwa sejak dahulu Makassar adalah kota Pantai (Water Front City); dimana pusat pemukiman, pemerintahan dan perdagangan sebagai kesatuan tata ruang masih bisa ditelusuri jejak arkeologisnya. Kampung-kampung pesisir ini adalah basis tumbuh kembangnya kaum urban, yang mencakup separuh dari 14 kecamatan di Makassar, termasuk beberapa pulau. Entitas hidup mereka adalah nelayan, dagang dan buruh. Gerak pertumbuhan ekonomi mereka setidaknya dipengaruhi pelelangan-pelelangan ikan yang dekat dengan pelabuhan, pasar, gudang-gudang, juga hotel dan tempat-tempat hiburan.
Sejak dekade 1990-an, habitat hidup kaum urban pesisir mulai berubah dengan dicanangkannya proyek Water front City, pada tahun 1995. Pemerintah kota dan orang-orang kaya membayangkan Makassar ke depan seperti kota pantai Jakarta, Singapura, Hongkong, entah mana lagi. Pada masa walikota Malik B. Masri (1993-1998), pembangunan proyek “water front city” dimulai dengan reklamasi pantai Losari sejauh 2 km. Proyek ini dibiayai bersama GMTDC (Gowa Makassar Tourism and Developmen Corporation), kongsi pemprov Sulsel, pemkot Makassar, pemkab Gowa dengan swasta (Lippo Group, Darmala, Latief Group, dll). Ketika terjadi krisis politik dan moneter tahun 1997-1998, proyek ini sempat terhenti. Beberapa sengketa pertanahan bermunculan: antara warga dan “tuan tanah” dengan pengusaha dan pengelola proyek Tanjung Bunga.
Walikota Ilham Arief Sirajuddin (2003-2008) melanjutkan kebijakan pembangunan kota yang pro-investasi di pesisir itu. Ilham yang dipanggil “Aco” oleh para pendukungnya itu mencanangkan “Makassar Great Expectation” dengan ambisi menjadikan “Makassar Kota Dunia 2025”. Konsep yang dicari-cari dari jejak kota Makassar sebagai Bandar niaga dunia. Dengan dukungan politisi, pengusaha, dan ahli tata kota, walikota Ilham memasarkan ikon-ikon metropolis seperti water front city di Tanjung Bunga, hotel-hotel di sekitar kawasan Losari lama, serta mall-mall dan hypermarket di kawasan Panakkukang. Pada masa Ilham juga dilakukan reklamasi Anjungan Losari, reklamasi Celebes Convention Centre (CCC), rehabilitasi jalan Tol, lalu disambung dengan proyek revitalisasi lapangan Karebosi tahun 2007.
Lembaga donor internasional seperti Sofei (Bank Dunia), UNICEF, USAID, JICA, Oxfam pun tidak kalah gencarnya mendampingi kebijakan Pemkot Makassar dengan riset dan pengembangan proyek-proyek kemiskinan, tata pemerintahan, dan infrastruktur kampung. Namun, di balik itu semua, pertumbuhan kota tidak seiring dengan tingkat kesejahteraan RMK. Bisnis, investasi dan proyek-proyek sosial lembaga-lembaga donor itu hanya sejalan dengan tuntutan kemajuan kota, tetapi berselisih jalan dengan tuntutan dasar RMK. Justru tahun 2000-an itu, penggusuran yang dilakukan Pemkot dan pengusaha properti terhadap pemukiman dan PKL meningkat tajam. Catatan Uplink Makassar tahun 2004 dan 2006 – 2008, sedikitnya 16 kasus sengketa tanah dan penggusuran tempat tinggal, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios. Dari 35 kasus penggusuran itu, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat tinggal, dan 583 PKL kehilangan tempat usahanya.
Besarnya investasi dan proyek-proyek penanggulangan kemiskinan ternyata berbanding terbalik dengan status kemiskinan warga kota. Banyaknya kasus gizi buruk membuktikan hal tersebut. Kasus kematian Dg. Basse dan 2 anaknya menjadi tolak ukur yang komplit mengenai kegagalan proyek penanggulangan kemiskinan di Makassar. Status gizi dan kesehatan Dg. Basse yang sangat buruk memicu kematiannya. Namun, struktur birokrasi politik yang jauh lebih buruk lagi telah memiskinkan status sosial keluarga Dg. Basse. Istri tukang Becak yang berasal dari kabupaten Bantaeng itu tidak mendapat bantuan dan pertolongan pemerintah hanya karena tidak berKTP Makassar dan tidak berKartu Miskin.
Maka, semakin teranglah maksud dari para pemikir kontra-neoliberalisme bahwa kemajuan sebuah pemerintahan diukur dari kemampuannya mengelola investasi dan profit. Ibarat mengelola perusahaan, begitulah mengatur pemerintahan. Walikota bekerja separti layaknya manajer perusahaan yang mengikuti kecenderungan ekonomi pasar bebas, sambil melayani dan melindungi keamanan aset investor. Adapun RMK yang tergusur dan kelaparan itu hanyalah ekses dari investasi yang harus dilakukan demi kemajuan kota. Orang-orang yang tergusur, miskin, lapar dan mati adalah kesalahan orang itu sendiri karena gagal bersaing memenuhi kebutuhan dasarnya. Itulah sesat pikir neoliberalisme kota abad 20.
Politik Pendidikan
Sudah 4 bulan, gubernur Syahrul Yasin Limpo memimpin Sulsel. Para pendukungnya mulai menagih janji-janji politiknya. Komitmen menggratiskan (subsidi penuh) pendidikan dan pelayanan kesehatan mulai diprogramkan. Pemprov membagi penganggaran untuk subsidi dengan kabupaten/kota 40:60%. Program ini diprioritaskan kepada 9 kabupaten/kota yang memenangkannya, termasuk Makassar.
Politik pendidikan gratis ini diuji pada saat penerimaan siswa baru di Makassar. Dari beberapa kasus yang mencuat, persoalan yang sesungguhnya bukan pada besar-kecilnya subsidi anggaran. Pokok persoalannya adalah praktek korupsi yang merajalela di sekolah-sekolah, yang memustahilkan program pendidikan gratis. Pendidikan sudah menjadi komoditi politik untuk mempertahankan jabatan dengan cara suap-menyuap. Fakta yang relevan dengan politik pendidikan di Makassar sebagai berikut:
Pertama, kasus pembocoran soal ujian nasional untuk masuk ke perguruan tinggi yang dilakukan beberapa sekolah swasta. Sindikasi jual-beli jawaban soal ini dimotori oleh kepala sekolah. Sindikasi ini terungkap di media massa. Kasus ini masih dalam pemeriksaan kepolisian, tetapi tidak ada tanda-tanda pelaku (Kepsek) dimejahijaukan.
Kedua, penerimaan siswa SMP/SMA pasca ujian nasional. Pungli dan pembocoran jawaban soal untuk tes penerimaan siswa baru dilakukan oleh oknum guru, anggota komite sekolah dan kepala sekolah. Rahasia umum menyebut “baku-pegang” antara orang tua siswa dengan oknum di sekolah. Orang tua murid harus menyogok oknum-oknum itu untuk menjamin anaknya lolos tes. Bayarannya bervariasi menurut status sekolah: di SMP antara Rp 200.000 – Rp 2.000.000; SMA antara Rp 1.000.000 – Rp 4.000.000. Sudah menjadi rahasia umum, tetapi sulit dibuktikan.
Ketiga, pungli terjadi setelah siswa lolos tes dan mendaftar ulang. Sekolah memungut biaya pengadaan seragam, buku cetak, perlengkapan lainnya. Di SD Rp 300.000 – Rp 500.000; SMP Rp 500.000 – Rp 2.000.000; SMA Rp 1.000.000 – Rp 4.000.000. Diperkirakan sekolah mendapat keuntungan persiswa minimal Rp 200.000 perpaket penjualan. Dengan perkiraan 19.000 siswa SMP/SMA/SMK yang diterima setiap tahun, sekolah mengumpulkan Rp 3,8 milyar atau Rp 60 jutaan persekolah. Belum termasuk pungli dari siswa “letjen” yang berkisar Rp 1 juta – 6 Rp juta (Tribun Timur, 15/07/08).
Keempat, sindikasi pelaku pungli sekolah sampai ke pejabat Pemkot. Melalui forum MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), setiap Kepsek menyetor Rp 2,5 juta kepada pejabat di Balai Kota. Harian Tribun Trimur (18/07/08) mensinyalir salah seorang pejabat yang menerima setoran itu adalah tim sukses kandidat walikota.
Gubernur Syahrul Yasin Limpo bereaksi keras atas kenyataan di atas. Dia mendesak pihak Pemkot, kejaksaan dan dinas pendidikan mengusut dan memecat Kepsek yang terbukti pungli. Hasilnya, 2 kepala sekolah dicopot dari jabatannya, 4 kepsek dimutasi (Tribun Timur, 22/07/08). Tidak satu pun yang dimejahijauhkan. Padahal, pungli adalah delik aduan dalam Undang-undang antikorupsi. Anehnya lagi, pada saat bersamaan kepala dinas pendidikan mewakili Pjs Walikota melantik kepala-kepala sekolah baru. Padahal, sebulan lalu (30 Juni 2008), beberapa hari sebelum walikota Ilham Arief Sirajuddin mendaftar sebagai kandidat di KPU, walikota Ilham melantik 106 Kepsek baru. Semua itu menggambarkan situasi pendidikan kita yang dikendalikan elit politik dan penguasa. Para elit ini tidak pernah menjadikan praktek korupsi di sekolah yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu sebagai titik tolak untuk mengubah sistim pendidikan.
Politik Ekonomi
Ada dua kelompok pengusaha yang sangat mempengaruhi opini politik warga kota Makassar setahun terakhir ini, yaitu percetakan dan warung kopi. Percetakan memproduksi tulisan, foto, gambar-gambar dan mempengaruhi opini publik di koran dan di jalan-jalan. Warung kopi memproduksi gosip, rumor dan ramalan-ramalan tentang sepak terjang aktor-aktor politik dan mempengaruhi opini melalui obrolan informal dan diskusi-diskusi terbatas. Keduanya memiliki motivasi dasar mencari keuntungan.
Motivasi mencari keuntungan, kata lainnya menumpuk kekayaan pribadi adalah sifat dasar dari para politisi maupun calon politisi dewasa ini. Pola hubungan yang dibangun politisi dengan pemilihnya persis dengan pola hubungan politisi dengan pengusaha: uang adalah segalanya. Demokrasi berjalan karena ada uang. Tuntutan seperti ini sudah membelenggu parpol, politisi dan pendukung serta pemilihnya, mulai dari pengumpulan KTP, mobilsasi massa untuk pendfataran dan kampanye, hingga menjelang pemungutan suara. Konsep dan program-program menguap di koran-koran, di jalanan dan warung kopi.
Pertarungan kandidat Walikota dan wakil walikota Makassar adalah riil politik yang dibeking para pemilik modal. Partai politik dan Ormas hanyalah kendaraan yang dipakai kandidat untuk menggenapkan syarat minimal 15% kursi parlemen. Para kandidat pun tidak naik kendaraan parpol secara gratis. Mereka harus membayar ratusan juta bahkan milyaran rupiah sebagai ongkos untuk menggerakkan mesin politik. Dan, mesin politik artinya dukungan struktural partai politik sampai ke basis pemilih. Semakin tinggi strukturnya, semakin besar bagian duitnya. Sementara massa cukup dihargai dengan paket sembako, baju kaos, dan uang bensin.
Tanggal 15 Juli lalu, KPU Makassar menetapkaan 7 pasangan kandidat walikota; 4 pasang di antaranya tidak dicalonkan partai. Walikota Ilham Arief Sirajuddin kembali mencalonkan diri berpasangan dengan mantan Sekretaris kota Supomo Guntur. Pasangan ini diusung oleh Partai Golkar dan PDIP. Pasangan lainnya, Idris Manggabarani dengan Adil Patu diusung Partai Demokrat, PDK dan PAN; pasangan Halim Razak – Jafar Sodding diusung PKS; pasangan Ridwan Musagani – Irwan Paturusi diusung PPP, PBB, dan partai kecil lainnya. Dari keempat pasangan kandidat itu, 4 diantaranya berlatar belakang pengusaha; 3 politisi, dan 1 birokrat.
Blok Politik OMS
Ada konteks yang berbeda antara Pilkot dan Pilgub. Dalam proses politik Pilgub tahun lalu, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) membangun komitmen dengan kandidat-kandidat. Para aktifis LSM, Ormas dan mahasiswa membentuk blok-blok politik, dan aktif mempromosikan isu beserta kepentingan politiknya kepada tiga kandidat. Misalnya, isu anti korupsi diblok oleh pasangan Azis Kahar Muzakar – Mubyl Handaling. Blok ini didukung oleh aktifis anti-korupsi dari ACC, Perak, dan aktifis yang pro penegakan Syariat Agama. Isu hak-hak dasar diblok oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo – Agus Arifin Nu’mang (SAYANG). Blok ini didukung oleh aktifis perempuan (KPI) dan komunitas RMK. Sedangkan blok politik pasangan incumbent Amin Syam – Mansur Ramly (ASMARA) didominasi oleh aktifis Parpol (khususnya Golkar) dan Ormas tanpa isu yang spesifik.
Pilgub Sulsel akhirnya dimenangkan oleh pasangan SAYANG dengan selisih suara 0,7% dari pasangan incumbent. Kecilnya selisih suara dan tingginya pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya – sekitar 40%, sedangkan pemenang hanya mengumpulkan suara sekitar 37% dari 4 jutaan wajib pilih – melemahkan legitimasi hasil Pilgub. Akhirnya, Pilgub SAYANG dengan dukungan aksi puluhan ribu massanya, baru bisa dilantik pada februari 2008 setelah lolos dari sengketa di Mahkamah Agung.
Pengalaman dari Pilgub Sulsel ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang maju bagi aktifis LSM di Makassar. Blok politik justru semakin kuat dikendalikan oleh partai politik, politisi dan pengusaha. Calon perseorangan yang semula diadvokasi oleh aktifis LSM, juga sudah diblok orang-orang parpol dan pengusaha. Seolah-olah independen, calon perseorangan tidak lebih sebagai pemecah blok politisi yang ada. Sementara LSM dan mahasiswa saat ini seperti kehilangan orientasi politik. Gerakan politik mereka masih di tataran wacana, yakni mempengaruhi opini publik tentang parpol dan kandidat dengan jargon-jargon politiknya yang semakin tidak menarik.
Strategi Uplink Makassar
1. Pengorganisasian
Dari Kongres II KPRM bulan Pebruari 2008, ditetapkan bahwa KPRM adalah organisasi rakyat yang berbasis keanggotaan. Maka disusunlah tiga lapis keanggotaan, yakni anggota biasa, anggota pendamping, dan anggota luar biasa. Anggota biasa adalah individu-individu yang berasal dari RMK di kampung maupun sector; anggota pendamping adalah individu yang bukan komunitas RMK, yang secara intensif mengorganisir RMK dan berterima di kalangan KPRM. Sedangkan anggota luar biasa adalah individu yang bukan komunitas RMK, tetapi dianggap memiliki kemampuan atau pun keahlian tertentu dan mau memperjuangkan hak-hak RMK bersama KPRM, misalnya jurnalis, pengacara, akademisi, aktifis LSM, dll. Untuk membangun kekuatan organisasi, maka:
a) CO Uplink dan pengurus KPRM mengusahakan penggalangan anggota di seluruh kecamatan dan kelurahan dengan cara mempromosikan gerakan menabung, kesehatan alternatif, KBA dan operasi beras murah, dan advokasi hak-hak dasar. Namun, usaha ini belum tercapai maksimal. Ruang lingkup KPRM masih itu-itu juga: 5 kecamatan; 10 kelurahan; 24 kelompok tabungan; 6 KBA; 1 organisasi becak; Klaim anggota sekitar 947 KK. Kendala utamanya pada kualitas, dalam hal ini, kapasitas, kompetensi, integritas CO. Kendala jumlah CO masih bisa diatasi dengan penguatan CL.
b) CO Uplink mengembangkan pelatihan kader penggerak kelompok, yang diprioritas kepada CL dan kolektor tabungan. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mengatasi jumlah CO. Rencananya, pelatihan seperti ini akan dilakukan setiap tiga bulan. Pesertanya adalah anggota baru yang direkrut oleh CO Uplink maupun CL KPRM yang sudah dilatih.
c) Rekrutmen tenaga indok/Litbang dilakukan untuk menjamin tertatanya sumber-sumber informasi di sekretariat untuk mesupport kerja advokasi. Namun, data dan informasi yang terkumpul dalam bentuk kliping maupun database saat ini belum menjadi referensi CO untuk memetakan permasalahan dan melakukan aksi.
2. Advokasi
Advokasi diartikan sebagai cara-cara KPRM bersama CO Uplink membantu pemecahan permasalahan hak-hak dasar anggota yang berhubungan langsung dengan kebijakan pemerintah. Cara-cara yang ditempuh sedapat mungkin berhasil membuat – cepat atau lambat – pemerintah memenuhi hak-hak dasar tersebut.
Dalam bingkai pengorganisasian, praktek-praktek advokasi itu dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan (perhatian) kepada anggota, menjaga kepercayaan, melatih kemampuan memecahkan masalah, dan mempromosikan misi perjuangan organisasi kepada publik luas. Layanan advokasi bisa perorangan maupun kelompok. Misalnya, membantu seorang anggota yang dipersulit di Rumah Sakit, di sekolah, di kantor lurah, dll. Bisa juga secara kolektif, misalnya aksi ke kantor menuntut pemkot menerbitkan kartu miskin, aksi menolak kenaikan harga BBM di kantor pertamina, aksi memprotes pungli di sekolah ke kantor dinas pendidikan.
Sejauh ini, praktek-praktek advokasi KPRM bersama CO Uplink cukup efektif dan bermanfaat bagi anggota. Hanya saja, output dari aksi advokasi itu belum sampai mengubah kebijakan secara mendasar, dan tidak pernah ada kebijakan baru yang dihasilkan dari advokasi KPRM. Hal ini akan mempengaruhi psiko-sosial komunitas anggota, juga keyakinan CO. Contoh kemenangan warga Bontoduri melawan Idris Manggabarani di PN, dirasakan sementara saja. Kemungkinan dikalahkan masih menghantui warga setelah menyadari buruknya kinerja lembaga peradilan.
Pada momen Pilgub lalu, KPRM mendukung salah satu kandidat yang mempromosikan kebijakan pendidikan gratis. Ini juga bagian dari strategi advokasi. Harapannya, gubernur baru sungguh-sungguh mensubsidi pendidikan (di luar BOS), yang akan meringankan beban pembiayaan sekolah bagi RMK. Dan, subsidi itu terjadi. Tapi, ternyata pokok persoalan pendidikan bukan hanya di anggaran. Pokok persoalan sesungguhnya pada mental korup yang sudah lama menghinggapi aparat pengelola sekolah dari guru, kepala sekolah sampai ke pejabat pemerintah. Sama persis mental korup itu di jajaran birokrasi dari pemkot sampai kelurahan. Kenyataan seperti ini mendorong Uplink Makassar untuk aktif mengadvokasi masalah korupsi.
Hasnia Dg, Caya ketua KPRM mewakili unsur masyarakat sebagai penandatangan Pakta Integritas bersama Walikota dan Pengusaha. Pengalaman ini membuka akses KPRM dan Uplink Makassar untuk berjaringan dengan organisasi anti-korupsi seperti TII. KPRM menjadi mitra program TII yang intensif di Makassar.
3. Jaringan
Pola jaringan yang dilakukan Uplink Makassar masih horizontal dan lokal. Umumnya masih taktis berdasarkan isu bersama, misalnya bergabung dengan aksi-aksi mahasiswa (Front Kebangkitan Rakyat) menolak kenaikan harga BBM; bergabung dalam aksi-aksi GERAM (Gerakan Rakyat Makassar) menolak BHP. Aliansi yang dianggap strategis adalah aliansi menolak penggusuran Kassi-kassi, Mariso, dan Bontoduri. Organisasi yang secara tetap tergabung dalam aliansi itu antara lain: LBH Makassar, YLBHM, Lapar, dan Walhi.
Aliansi yang lebih strategis sedang digalang enam bulan terakhir ini. Selain LSM yang aktif mengadvokasi penggusuran itu, Uplink Makassar mengaktifikan diskusi dengan kelompok akademisi dan aktifis kampus. Ruang lingkud diskusinya pada isu-isu perkotaan dengan fokus kemiskinan, globalisasi dan hak-hak dasar RMK. Salah satu kelompok kajian yang terbentuk adalah Forum Kajian Kota (Forkata). Forum ini menginisiasi gagasan tentang gerakan sosial pada tiga lapis, yakni pengorganisasian, reproduksi gagasan, dan blok politik demokrasi. Untuk kebutuhan Uplink Makassar, Forkata bisa mengisi kelemahan/kekurangan yang tampak jelas, misalnya: litbang, pengembangan kapasitas dan penerbitan.
Makassar, 26 Juli 2008
AWI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar