4 Feb 2010

Informalitas vs Formalitas

Oleh M. Nawir
pannambungan (awi 2008)
Ada tegangan sosial yang tinggi, secara nyata terjadi pada umumnya di kota-kota besar: informalitas versus formalitas.
Mengutip beberapa penggal kalimat dalam tulisan Wardah Hafidz (10 November 2002) bahwa informalitas merupakan ciri dasar dan bagian integral dari kehidupan rakyat miskin. Singkat kata, tidak ada perkampungan kumuh, penduduk liar, perilaku vulgar, kriminal, tindakan a-susila, pedagang liar, atau pun bisnis illegal. Semua itu adalah cara orang miskin, kelas sosial terbawah dalam mempertahankan dirinya dan membangun subkulturnya sendiri. Dengan latar belakang formal – aturan, kelas sosial, pendidikan, tradisi – Kitalah yang sebenarnya memberi cap mereka liar, kriminal, illegal, bodoh dan miskin.

Coba kita balik. Bagaimana formalisme yang diperlihatkan oleh kelas menengah kota dan elit sosial, ekonomi, budaya dan agama. Orang miskin memandang mereka modern, serba berkuasa, serba tahu, hidup mewah, penderma, ditakuti, meskipun mereka berbohong dan korup. Kemudian, kita menamai mereka adalah penguasa. Oleh karena mereka adalah penguasa atau pun pemimpin, mereka memiliki kewenangan untuk menyusun, memutuskan, dan mengatur yang mana boleh, yang mana tidak boleh. Termasuk di dalamnya, menyatakan perilaku orang miskin bertentangan dengan kebijakan penguasa; penduduk liar, usaha illegal, tindakan kriminal, bodoh, dan tidak berdaya.
Sejak kapan formalisme menjadi penguasa pikiran? Barangkali sejak kita mengenal modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta modal. Singkat kata, sejak kita menilai diri dan bangsa sendiri sebagai bangsa terbelakang, berkembang dan tradisional. Modernisasi menjadi kata kunci yang membuka semua pintu untuk melakukan perubahan segala bidang. Modernisasi kemudian melahirkan kesenangan di satu sisi, dan kesenjangan di lain sisi. Senangnya modernisasi dinikmati oleh para pembesar yang menguasai pasar, industri, teknologi, informasi, dan birokrasi. Senjangnya modernisasi membawa dampak pada melebarnya jurang kemiskinan dan laju urbanisasi yang tidak terkendali.
Urbanisasi adalah pencarian tanah dan ruang hidup baru bagi mereka yang diilusi oleh kemajuan (modernisasi) atau pun mereka yang digusur dari akar tradisinya. Diperkirakan pada tahun 2050, urbanisasi mencapai 65% dari populasi dunia. Mereka yang beruntung memasuki pusat-pusat ekonomi dan politik menjadi kaya, terdidik, dan berkuasa. Mereka yang tidak beruntung terdampar di pinggiran, di pessir, di emperan, atau di belakang mall-mall dan pemukiman elit. Ketika modernisasi menuntut formalisasi tata ruang kota, pemerintah dan kelas menengah kota mencap kaum urban itu kumuh, tidak sehat, liar, dan akhirnya digusur.

Hampir semua pemerintah kota menerbitkan perda tentang penertiban/penataan pemukiman dan sektor informal. Misalnya, di Makassar, ada perda tentang penataan rumah semi permanen; penataan PKL; penataan Becak (Perda No. 3/1995 dan SK walikota 1999). Perda-perda seperti ini menimbulkan persoalan baru, bukannya memecahkan masalah kemiskinan. Oleh karena proses pembahasan sampai penetapannya tidak memenuhi asas dasar dalam pemerintahan yang demokratis, yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas, maka konsep penataan yang dianut di dalam perda-perda itu adalah pembatasan ruang gerak dan penggusuran sector informal. Misalnya, Perda No. 3/1995 yang membatasi operasi becak, warna becak, 21 jalur bebas becak, dan plat becak. Pemerintah kota dengan Perda No. 8/1998 membangun lods-lods di pasar dan mall-mall dengan maksud menciptakan pasar yang moderen dan tertata. Apa lacur, lods-lods menjadi mahal, karena selain harganya tidak terjangkau pedagang kecil, tata ruangannya pun jauh dari akses konsumen. Untuk itu, pedagang kecil “ditertibkan”, dengan kata lain digusur. Tetapi, pedagang kecil ini tetap tumbuh dan menjadikan mall-mall itu sebagai pasar baru mereka.
Dalam hal pemukiman, pemerintah kota bekerja sama dengan Lippo Group membangun Tanjung Bunga dan Pantai Losari. Pemerintah kota bersama GMTDC berhasil menggusur sebagian penduduk di sekitarnya, dan memindah-mindahkan PKL di Losari. Apa yang kemudian terjadi selama kurun waktu sepuluh tahun ini, pemukiman informal di pesisir kota, sekitar GMTDC itu semakin padat, tidak ada usaha sungguh-sungguh dari pemerintah dan pengusaha untuk menata kampung-kampung mereka menjadi lebih baik. Terjadi kontradiksi pemukiman informal versus modern. Celakanya, solusi yang selalu dikedepankan pemerintah kota adalah menggusur warga kampung tersebut dan menyediakan rumah susun sewa bagi mereka.
Penggusuran sama sekali berbeda dengan penataan atau penertiban. Penggusuran (eviction) adalah penghilangan habitat sosial suatu komunitas secara paksa maupun terpaksa. Oleh sebab itu, penggusuran adalah proses pemiskinan. Sedangkan penataan pada dasarnya adalah usaha memperbaharui (renovation) atau merehabilitasi suatu habitat sosial berdasarkan kebutuhan suatu komunitas. Olehnya itu, penataan yang berimplikasi pada penggusuran, biasanya dikendalikan oleh kekuasaan dan modal-kapital. Kita bisa memetik pelajaran dari kasus penggusuran di kampung Pannambungan-Lette, PKL Pelabuhan, dan Karuwisi.
Penggusuran 16 bangunan nelayan pesisir Pannambungan pada Juli 2004, dan 20-an bangunan warga Lette pada April 2003 dilakukan oleh pemerintah kota. Ibarat film perang, aktor utamanya Walikota, pemeran pembantunya aparat Satpol PP dibantu satuan TNI/Polri. Ini yang tampak di layar televisi kita. Alasan penggusuran simpel saja, warga tidak memiliki alas hak, tanpa IMB, berada di jalur hijau. Ibarat film, tentu ada produser di belakang layar kaca. Pemerintah tidak secara tegas menyebutkan bahwa kampung pannambungan-lette berada di kawasan site-plan GMTDC, dimana pemerintah kota dan pemerintah propinsi memiliki saham dan menjadi komisaris di dalamnya. Kita pun mengerti bahwa ternyata kemiskinan seringkali tidak berkorelasi positif dengan modernisasi.
Lain lagi dengan penggusuran 93 tenda-kios PKL Pelabuhan pada Agustus 2004. Aktor utamanya duet penguasa otoritas pelabuhan, yakni Administratur Pelabuhan (Adpel) dengan PT Pelindo IV. Pemeran pembantunya aparat KPLP dan Polisi KP3. Yang tidak tampak di layar kaca kita adalah para komprador globalisasi pelabuhan yang berlindung di balik IMO dan ISPS Code. Ternyata alasan standar keamanan pelabuhan yang digembar-gemborkan aparatur pemerintah pusat itu terkesan dipaksakan. Kita pun jadi mengerti bahwa penyakit mental yang umumnya dialami penguasa dan pengusaha adalah arogansi dan anti-informalitas.
Penggusuran di Karuwisi agak berbeda dengan kedua kasus di atas. Aktor utamanya bukan pemerintah kota, tetapi lembaga penegak hukum. Pada Oktober 2003, Pengadilan Negeri mengeksekusi (baca: membongkar paksa) 22 rumah warga Karuwisi dengan alasan MA menolak kasasi warga. Pemeran pembantunya adalah aparat kepolisian. Yang tampak di koran-koran adalah mereka. Tetapi di belakang mereka ada tuan tanah yang melibatkan group perusahaan besar di kawasan Timur Indonesia, PT Haji Kalla. Tuan tanah berkewajiban mengosongkan lokasi, PT Haji Kalla berkewajiban melunasi sisa pembelian sebidang tanah seluas 7.800 m2 yang tanpa gambar situasi (GS). Kasus ini juga mencerminkan arogansi kekuasaan para penegak hukum.
Informalitas adalah inti keberagaman (informality is diversity). Informalitas bukan sekadar kenyataan hidup. Lebih dari itu, informalitas adalah cara hidup kaum urban untuk “survive” di atas panggung politik-ekonomi. Itulah sebabnya pertumbuhan sektor informal tidak bisa dibendung, sekalipun dengan penggusuran dan pembangunan pusat-pusat ekonomi formal.
Mengapa? Karena “kelas informal” itu menciptakan sistim sosial dan ekonominya sendiri. Mereka memanfaatkan tanah-tanah kosong yang masih tersisa untuk berusaha, membangun pemukiman dan berkembang biak dengan memanfaatkan peluang yang tersedia, misalnya hubungan kekeluargaan, pertemanan, dan perilaku aparat yang melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Mereka juga memanfaatkan ruang publik untuk kegiatan ekonomi tanpa dipusingkan dengan tata kota – yang artinya, menghindari birokrasi atau pun mengurangi biaya sewa.
Menggusur habis sektor informal adalah tidak mungkin, sama mustahilnya menghapus kemiskinan. Yang diinginkan para pegiat masalah kemiskinan dan perkotaan adalah perbaikan pemukiman dan perluasan ruang usaha sektor informal yang disesuaikan dengan rancangan tata kota, dan mengubah kebijakan yang mendiskriminasi, membatasi, bahkan mengkriminalkan rakyat miskin. Dengan cara ini, kita bisa membayangkan adanya keberagaman (pluralisme) yang saling mengisi di antara sektor informal dan formal.
(dimuat harian Tribun Timur Makassar dengan judul "Kota dan Modernisasi", 4 Oktober 2004)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar