6 Feb 2010

Agenda Strategis Pemilu 2009

Kontribusi Pemikiran Jaringan Kerja Pemilih Kritis
Oleh M. Nawir
Agenda Strategis I: Legalitas Tanah dan Pemukim
Salah satu tonggak sejarah politik di Indonesia adalah disepakati dan diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini merupakan penjabaran dari semangat Konstitusi RI 1945, pasal 33 tentang hak dan tata kelola kekayaan alam bangsa Indonesia, yang mencakup kekayaan atas tanah dan segala isinya, air dan udara. Lebih khusus, UUPA menegaskan perlunya pengakuan dan penataan atas hak dan penguasaan tanah, yang kemudian disebut landreform.
UUPA mencerminkan bagaimana para politisi dan politikos (negarawan) pada masa kemerdekaan menyiapkan pembangunan dimulai dari penataan dan pembatasan tata kelola sumber daya agraria. Dengan begitu, bangsa Indonesia dapat mencegah kesewenang-wenangan dan keserakahan perorangan maupun kelompok dalam penguasaan tanah. Otomatis, sengketa tanah antara orang kaya dengan orang miskin, investor dengan pemilik tanah bisa diantisipasi sejak dini.
Sayangnya, spirit pembaharuan agraria masa kemerdekaan itu berhenti ketika Orde Baru berkuasa pada awal tahun 70-an. Sejak itu, bangsa Indonesia menfokuskan pembangunan pada pemerataan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur dengan dukungan modal pinjaman dari Bank Dunia, serta kerjasama investasi dengan AS dan negara-negara Eropa.
Dalam dekade tahun 1980-an, sengketa pertanahan mulai bermunculan, terutama antara pribumi pemilik atau pun penggarap tanah dengan pemodal, buruh tani dengan tuan tanah, juga pemerintah. Proyek pembangunan kawasan industri, perumahan, infrastrukur, bendungan, penambangan, dan HPH membutuhkan lahan yang beratus, bahkan berjuta hektar. Inilah yang memicu konflik agraria yang tidak ada habisnya.
Seiring dengan kemajuan kota, urbanisasi tidak bisa dicegah lagi. Salah satu pemicunya adalah ‘pemiskinan’ secara brutal yang terjadi di pedesaan. Sumber daya agraria yang merupakan tumpuan mata pencaharian petani semakin sempit dan sulit untuk didayagunakan. Akhirnya, kota menjadi tumpuan hidup bagi keluarga kaum urban atau pendatang untuk mencari kerja dan tempat tinggal baru.
Lahan-lahan kosong yang direklaim dan menjadi pemukiman baru bagi kaum urban pada umumnya adalah tanah “tak bertuan”. Umumnya lahan pemukiman itu awalnya adalah tanah rawa, di pinggiran sungai atau kanal, juga lahan di pesisir pantai. Meskipun tidak selalu bekerjasama dengan aparat pemerintahan lokal, penguasaan tanah secara de facto berlangsung belasan bahkan puluhan tahun. Sebagaimana layaknya pemukiman, para penghuninya memiliki PBB, KTP, mendapatkan akses layanan listrik, air bersih, dan pelayanan publik lainnya.
Belakangan, sengketa tanah terjadi ketika pengembangan ruang ekonomi formal dan perumahan mengikuti agenda modernisasi dan globalisasi modal. Kota menjadi “pasar bebas besar”. Di dalamnya para kapitalis menawarkan investasi modalnya dengan syarat ada lahan yang disediakan atau dibebaskan pemerintah. Tanah pun menjadi komoditi yang diperjualbelikan seperti halnya sembako bahkan air. Akibatnya, tanah yang sudah dikuasai bertahun-tahun oleh kaum urban itu, diklaim oleh berbagai kelompok kepentingan yang mengatasnamakan ahli waris, pengusaha, bahkan pemerintah sendiri. Ironisnya, mereka yang mengklaim ini mengaku memiliki sertifikat hak milik.
Ada dua persoalan dasar yang dialami kaum urban, yang mayoritas rakyat miskin itu: Pertama, ketiadaan legalitas hak atas tanah karena keterbatasan akses informasi dan pelayanan. Kedua, tidak adanya dukungan dari aparat birokrasi setempat kepada rakyat miskin dalam suatu sengketa tanah. Pemerintah tidak pro-aktif memediasi penyelesaian sengketa untuk menghindari penggusuran paksa.
Penggusuran mengakibatkan hilangnya akses dan kontrol warga kota atas tanah, rumah, pelayanan publik, pendidikan anak, kesehatan, dan rusaknya ikatan sosial-ekonomi yang telah terbina belasan bahkan puluhan tahun. Artinya penggusuran adalah proses pemiskinan. Jika pemerintah membiarkan penggusuran tanpa alternatif pemecahan yang menguntungkan warga, maka tindakan tersebut adalah pelanggaran HAM.
Catatan Uplink Makassar tahun 2004 dan 2006 – 2008 di kota Makassar, sedikitnya 16 kasus sengketa tanah dan penggusuran tempat tinggal, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios. Dari 35 kasus penggusuran itu, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat tinggal, dan 583 PKL kehilangan tempat usahanya. Pelaku yang banyak terlibat adalah ahli waris tuan tanah, pengusaha, dan kepentingan pemerintah sendiri.

Konteks Pemilu 2009
Pada umumnya, warga dan korban penggusuran mengadukan persoalannya kepada anggota dewan. Dengan harapan, anggota dewan melakukan perlindungan politik kepada warga dan korban dari penggusuran paksa. Anggota dewan pun menerimanya sebagai aspirasi, dan menindaklanjutinya sebatas kewenangan normatif, misalnya mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari jalan damai. Dalam banyak kasus, penggusuran tetap terjadi. Untuk sengketa yang sudah manifes di pengadilan, pemerintah dan anggota dewan nyaris tidak memiliki kewenangan sama sekali. Padahal, di antara korban penggusuran itu ada yang memilihnya atau partainya pada setiap pemilu legislatif.
Dari sekian banyak pengaduan korban penggusuran di parlemen, belum ada inisiatif anggota dewan untuk menyusun konsep alternatif solusi penggusuran. Yang sering dianggarkan oleh anggota dewan adalah dana pembebasan tanah dan dana pengamanannya. Padahal, dengan kewenangan yang dimilikinya, anggota dewan dapat berperan menyiapkan usulan draft kebijakan penataan status tanah dan pemukiman kepada pemerintah.
Pada pemilu tahun ini, tidak satu pun calon anggota legislatif yang terang-terangan mengagendakan penyelesaian sengketa tanah dan tempat tinggal. Hal ini tampak pada saat sosialisasi visi-misinya di depan publik dalam bentuk talkshow, dialog maupun kampanye media. Caleg lebih mengutamakan agenda kelompok kepentingannya jika kelak terpilih. Padahal, konflik sosial sebagai akibat dari sengketa tanah dan penggusuran akan bermuara ke gedung parlemen karena rakyat membutuhkan perlindungan politik dari anggota dewan.

Solusi dan Rekomendasi
Masalah pertanahan dan pemukiman sudah saatnya menjadi salah satu strategi pengentasan kemiskinan. Tanpa kepastian hukum atas status tanah dan tempat tinggal, maka program pengentasan kemiskinan akan sia-sia.
Berkaitan dengan fungsi anggota dewan, maka kami dari Jaringan Pemilih Sadar Politik dan Yayasan Masagena mengajukan solusi dan rekomendasi kepada calon anggota legislatif Pemilu 2009 sebagai berikut:
(1) Mendukung kandidat yang berkomitmen memprogramkan sertifikasi tanah yang terjangkau rakyat miskin.
(2) Mendukung kandidat yang berkompeten dalam menyusun peraturan daerah tentang pentingnya fungsi mediasi dan solusi alternatif pemecahan masalah penggusuran.
(3) Mendukung kandidat yang bersedia melakukan perjanjian politik secara tertulis.

Agenda Strategis II: Sektor Informal dan Pasar Tradisional
Sejak pemeritahan Orde Baru, pembangunan kota-kota di Indonesia digerakkan oleh konglomerasi investor swasta nasional dan asing. Pembangunan pusat-pusat perdagangan dan jasa, diringi dengan proyek-proyek perluasan infrastruktur. Kota sebagai ‘locus’ ekonomi menjadi arena kepentingan bersama para kapitalis dan birokrasi.
Dua sisi mata uang “pusat perdagangan dan infrastruktur” itu terus berlanjut di era reformasi. Bahkan lebih gencar lagi: mall-mall, hipermarket, kawasan real-estate, hotel dan tempat hiburan menjadi indikator pertumbuhan ekonomi kota. Pemerintah pun mendukungnya dengan kebijakan tata ruang wilayah sesuai dengan selera para investor.
Kebijakan penataan ruang ekonomi dewasa mendapat reaksi yang keras dari kalangan pengusaha kecil dan pekerja sektor informal. Mereka beranggapan bahwa pemerintah lebih melindungi keberadaan para kapitalis (investor) daripada pengusaha kecil dan sektor informal. Hal ini dapat dibuktikan dari besarnya kredit perbankan yang diserap oleh para investor. Pada saat bersamaan, formalisasi pasar tradisional, serta penertiban dan penggusuran pekerja sektor informal seperti PKL, Pengamen, Asongan, Tukang Becak dilakukan oleh pemerintah dengan alasan tidak sesuai dengan perkembangan jaman modern. Bahkan, pekerja sektor informal dan pasar-pasar tradisional dianggap sumber kejorokan, penyebab kemacetan, dan kerawanan sosial.
Pemerintah selama ini menutup mata bahwa sektor informal dan pasar-pasar tradisional penopang ekonomi nasional dari krisis perbankan dunia. Justru usaha di sektor formal seperti pabrik, mall, hotel, dan lain-lain itulah yang lebih duluan ambruk akibat ketergantungan pada pinjaman perbankan. Akibat lebih jauh adalah dengan mudahnya pengusaha menetapkan upah minimum dan melakukan PHK. Artinya, sektor formal juga berpotensi menciptakan pengangguran. Hal ini yang membedakannya dengan usaha di sektor informal.
Secara khusus sektor informal menyerap sebagian besar pencari kerja di Indonesia. Di sektor informal ini pula tumbuh berbagai inisiatif jenis usaha dan produksi dengan modal kecil secara mandiri. Menurut data Badan Pusat statistik (BPS), sektor informal menyerap 70 persen angkatan kerja yang bekerja dewasa ini, sementara sektor formal hanya 30 persen. Sektor informal yang diwakili usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyumbang 55,8 persen produk domestik bruto (PDB) tahun 2005 dan 19 persen dari total ekspor. Data ini belum termasuk kontribusi PKL, tukang becak, pemulung, dan lain-lain bagi stabilitas perekonomian kota.
Dengan kenyataan itu, maka tidak ada alasan bagi pemerintah dan pengusaha untuk mengurangi apalagi menghabisi pekerja sektor informal. Maka tugas pemerintah bekerjasama dengan anggota dewan ke depan adalah mengelola dan melindungi sektor informal sebagai aset perekonomian kota. Salah satu alasan pokoknya bahwa prospek penciptaan lapangan kerja yang masih suram di sektor formal. Angka pengangguran terus meningkat beberapa tahun terakhir, dari 5,18 juta orang tahun 1997 menjadi 10,9 juta orang (2005). Jika setengah penganggur (mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu) dimasukkan, angka pengangguran saat ini mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari total angkatan kerja (106,9 juta orang).

Konteks Pemilu 2009
Keberadaan pekerja sektor informal menjadi sangat penting artinya dalam proses politik Pemilu anggota legislatif tahun ini. Mereka menjadi idola, yang disebut-sebut dan dimuliakan oleh para caleg dimana-mana. Jargon dan janji-janji politik untuk perbaikan ekonomi selalu memprioritaskan pemberdayaan pengusahan kecil. Para caleg dengan mudahnya berjanji akan memberikan bantuan modal usaha dan proyek. Padahal persoalan dasar sebagian besar pekerja sektor informal sejak dahulu adalah tidak adanya jaminan perlindungan atas keselataman dan keamanan berusaha dalam jangka panjang. Hal ini kebalikan dari para investor. Pekerja sektor informal selalu was-was karena diperas, bakal digusur atau dipindahkan secara suka rela maupun dengan cara pemaksaan.

Solusi dan Rekomendasi
Sektor informal seperti PKL, tukang becak, pemulung, buruh harian, ibu-ibu pengrajin membutuhkan pembinaan dan perlindungan dari pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam perekonomian kota. Bentuk perlindungan itu di antaranya peraturan daerah yang cocok dengan karakteristik pekerja sektor informal, penyediaan dan penataan tempat usaha, kemitraan dengan pengusaha dan perbankan, serta pembatasan pembangunan mall dan pusat perbelanjaan lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Masagena dan Jaringan Pemilih Sadar Politik merekomendasikan kandidat yang bertarung dalam Pemilu 2009 untuk dipilih, dengan syarat akan menjadikan pengusaha kecil, pekerja sektor informal dan pasar tradisional sebagai aset perekonomian warga kota yang tumbuh berdampingan dengan sektor ekonomi formal.
(1) Bersepakat untuk bekerjasama menyusun peraturan daerah yang melindungi keberadaan pengusaha kecil, sektor informal dan pasar tradisional dari penggusuran.
(2) Bersepakat untuk membina pengusaha kecil, sektor informal dan pasar tradisional dalam bentuk program pengadaan lapangan kerja dan perbaikan lingkungan tempat usaha.
(3) Berjanji akan membatasi pembangunan mall dan pusat perbelanjaan lainnya, yang tidak cocok dengan karakteristik budaya konsumen dan kondisi perekonomian dewasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar