19 Jan 2010

Terusik Proyek Gowa Discovery Park

Awal Desember 2010, Jaringan Rakyat Miskin Kota Indonesia mengadakan Lokakarya Instrumen Pemetaan Pengurangan Risiko Bencana di Baruga Benteng Somba Opu. Lokakarya ini merupakan bagian dari program CDRF – Community Disaster Resilient Fund di empat kota, yakni Makassar, Pare-Pare, Kendari, dan Palu. Kebanyakan peserta adalah ibu-ibu rumah tangga. Mereka bermalam di lokasi kegiatan selama tiga hari, tanggal 5-7 Desember 2010.
Pada hari kedua, waktu istirahat sore lepas Maghrib, terjadi kejadian “aneh bin nyata“ di ruang tidur peserta. Dg. Lija, salah seorang peserta dari Bontoduri kesurupan. Mukena yang dipakai Dg. Lija belum lepas dari badannya. Dengan suara parau dan berat seperti suara lelaki tua, tiba-tiba dia menggumam. Sambil bertolak pinggang, dia bicara dalam bahasa Makassar, dan meminta rokok. Berselang beberapa menit, orang-orang pun tersadar, Dg. Lija kerasukan roh seseorang.

Ibu-ibu, termasuk Wardah Hafidz, koordinator UPC terkejut, heran menyaksikan Dg. Lija meracau sambil menghisap rokok “gudang garam 16”putus-sambung.  Perempuan dari Bontoduri itu berkata bahwa dia adalah penghuni alam ghaib di kawasan Somba Opu, persisnya dekat pohon besar belakang Baruga. Sambil merokok, dia menyatakan ketidaktisetujuan atas proyek pembangunan di kawasan Benteng Sompa Opu. Dia tidak menyebut nama proyek, tetapi dari ekspresinya, proyek yang dimaksud sangat “mengusik” ketenteraman situs di kawasan Somba Opu. Kemudian suara “lelaki tua” yang keluar dari dari mulut Dg. LIja itu mengharapkan dukungan warga dan mahasiswa agar menolak proyek di kawasan situs benteng somba opu. Setelah pesan disampaikan, Dg. Lija pun tidak sadarkan diri.

Saya pun penasaran. Ada apa dengan situs Benteng Somba Opu, peninggalan Kesultanan Gowa abad 16 yang dibangun oleh Raja Gowa ke-9. Dari kejadian kesurupan Dg. Lija, kami pun mengetahui bahwa proyek Gowa Discovery Park (GDP) di dalam kawasan situs sudah dilakukan peletakan batu pertamanya oleh Mendagri Gamawan Fauzi, 18 Oktober lalu. Malam itu juga, saya berkomunikasi dengan dosen dan mahasiswa Arkeologi.

Menurut Wardah, fenomena kesurupan Dg. Lija adalah pertanda adanya ancaman pengurasakan – bukan hanya situs – lebih dari itu adalah penghinaan terhadap tatanan budaya spiritual masyarakat. Benteng Somba Opu merupakan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selaran, bahkan warisan budaya nasional dan dunia. Dalam sejarah abad 16 di sekitar benteng tercatat beberapa loji milik para pedagang rempah dari Eropa dan Asia seperti Denmark, Inggris, Portugis, dan Gujarat.

Besoknya, sejumlah mahasiswa Arkeologi Unhas (Kaisar) melakukan aksi penolakan proyek Gowa Discovery Park (GDP. Saya pun baru tahu, ternyata aksi itu adalah demonstrasi pertama di jalanan. Sebelumnya, rencana proyek GDP sudah direspon oleh mahasiswa dan pemerhati warisan budaya lainnya dalam  bentuk diskusi. Aksi mahasiswa ini pun mendapat dukungan dari sejumlah aktivis kampus, organisasi ekstra kampus, LSM, jurnalis, dan pekerja seni. Saya pun bergabung dalam front aksi Forum Somba Opu (FSO). Pada aksi tanggal 14 Desember 2010 di kantor Gubernur, mahasiswa sempat bentrok dengan Satpol PP.

Aktivis FSO menggalang dukungan dengan menggelar diskusi terbuka di dalam dan di luar kampus. Sedikitnya, 30 organisasi komunitas, yang umumnya adalah generasi muda tergabung dalam FSO. Di antaranya beberapa pakar yang menjadi narasumber diskusi antara lain Iwan Sumantri, Ahyar Anwar, Horzt Liebner, Halilintar Latief, dan Ananto Yulianto. Saya pun diundang sebagai salah seorang pembicara sebagai alumni FIB Unhas sekaligus perwakilan KPRM. Dari rangkaian diskusi yang saya hadiri, isyu proyek GDP cenderung berpusar di antara kalangan aktivis mahasiwa, LSM, budayawan, dan pemerhati warisan budaya. Publik kurang merespon isyu penyelamatan situs sebagai identitas dan warisan budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Para penentu kebijakan di parlemen cenderung menghindari konfrontasi dan tutup mulut. Bahkan, isu penolakan proyek GDP bergeser ke arah konflik kekuasaan di antara para pewaris kerajaan Gowa dengan pemerintah daerah. Sehingga proteksi terhadap lokasi proyek sudah melibatkan kelompok pendukung Ormas dan orang-orang bayaran.

Aktivis FSO melakukan investigasi, mengumpulkan data lapang untuk mengungkap sejauh mana proyek GDP mengancam keberadaan situs. Berdasarkan temuan FSO, ternyata lokasi proyek GDP berada tepat di dalam zona inti kawasan situs BSO. Sudah dimulai penimbunan lahan untuk lokasi wahana waterboom. Kontraktor proyek melakukan penimbunan dengan menggunakan alat-alat berat dan hanya berjarak 4 meter dari struktur benteng. Bahkan ditemukan bekas galian pondasi pagar yang menyingkap beberapa fragmen tembikar, dan keramik.

Pada tingkat legislasi, proyek GDP merupakan kerjasama antara pemerintah provinsi Sulsel dengan PT. Wira Wiga Utama seluas 17 hektar (Tempo, 8/12/2020). Pengembang proyek ini merupakan milik Zainal Tayeb, pimpinan PT Makassar Discovery Club yang berdomisi di Denpasar. Publik mengetahui relasi pertemanan antara Zainal Tayeb dengan gubernur Syahrul Yasin Limpo. Itulah sebabnya, proyek GDP berjalan mulus, tanpa sosialisasi dan konsultasi yang terbuka bagi publik. DPRD propinsi pun dengan mudah memberikan persetujuan atas nota kesepahaman (MOU). 

Sejauh yang diketahui publik adalah sebuah papan informasi di panggung seni budaya sebelah rumah adat Toraja. Papan informasi tersebut memuat rencana proyek pengembangan kawasan BSO sebagai wahana hiburan keluarga, mencakup: pembangunan Taman Gajah, Taman Burung, Waterboom, dan wahana Treetop. Tentu saja wahana hiburan tersebut akan dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti area parkir, restoran, dan lain-lain. Termasuk dalam proyek GDP adalah alih fungsi Baruga Somba Opu, tempat Wardah Hafidz dkk berkegiatan beberapa hari lalu akan menjadi restoran dan penginapan.

Hingga catatan ini saya tulis, rangkaian aksi, diskusi, kampanye media, hingga pengaduan ke kantor Polda Sulsel, tidak menghentikan pekerjaan proyek GDP. Aktivis FSO pun tetap pada pendirian menolak pembangunan proyek GDP di dalam zona inti dan pengembangan kawasan situs BSO. Bahkan, salah seorang anggota DPRD Sulsel dari Fraksi Golkar yang sempat mengajak aktivis FSO (melalui saya) untuk mengobrol di warung kopi, pun tidak digubris. Aktivis FSO menghindari negosiasi (lobby) dengan alasan menjaga independensi gerakan dari konflik kepentingan politik dalam proyek GDP.

Aksi jalanan mulai mereda setelah Tim Zonasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar dan Direktorat Jenderal Pelestarian Purbakala Kementerian Parawisata melakukan rezonasi kawasan situs BSO menjadi empat titik, yakni zona inti, zona penyangga, zona pengembangan dan zona penunjang. Pada tanggal 18 Januari 2011, Muhammad Said, ketua Tim Zonasi BPCB Makassar menyatakan bahwa sarana hiburan water boom berada di zona terlarang (Tempo, 18/01/2011). Namun, lokasi baru untuk water boom akan dibicarakan dengan Gubernur Syahrul dan investor. Taman Burung akan dipindahkan dari zona inti ke zona penyangga.

Hasil kerjaTim Zonasi ini semakin menegaskan ketidakberesan Tupoksi instansi pemerintah dan DPRD dalam perencanaan proyek GDP. Sebagaimana kesimpulan FSO dari hasil investigasi bahwa Tim Ahli/Pengendali berpotensi menguatkan legitimasi Pemprov dan pelaksana proyek. Terbukti, aktivitas proyek tetap berlangsung. Seharusnya, Tim Ahli bersifat independen, yang memiliki kekuatan menghentikan, membatalkan, dan meredesain proyek karena proyek GDP secara nyata melakukan pelanggaran terhadap UU Cagar Budaya, Kepmen Objek Vital Nasional dan konvensi internasional tentang warisan budaya dan benda-benda cagar budaya.

Bagaimana mungkin sebuah proyek besar di kawasan situs yang menyimpan sejarah salah satu kerajaan Maritim di Nusantara, dilaksanakan tanpa didahului dengan studi kelayakan dan rezonasi? Benarlah yang dimaksud “roh lelaki tua” dalam tubuh Dg. Lija yang kesurupan itu bahwa pembangunan proyek GDP adalah penghinaan terhadap kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan.

Makassar, 19 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar