Ibu-ibu, termasuk Wardah Hafidz,
koordinator UPC terkejut, heran menyaksikan Dg. Lija meracau sambil menghisap
rokok “gudang garam 16”putus-sambung.
Perempuan dari Bontoduri itu berkata bahwa dia adalah penghuni alam
ghaib di kawasan Somba Opu, persisnya dekat pohon besar belakang Baruga. Sambil
merokok, dia menyatakan ketidaktisetujuan atas proyek pembangunan di kawasan
Benteng Sompa Opu. Dia tidak menyebut nama proyek, tetapi dari ekspresinya,
proyek yang dimaksud sangat “mengusik” ketenteraman situs di kawasan Somba Opu.
Kemudian suara “lelaki tua” yang keluar dari dari mulut Dg. LIja itu
mengharapkan dukungan warga dan mahasiswa agar menolak proyek di kawasan situs
benteng somba opu. Setelah pesan disampaikan, Dg. Lija pun tidak sadarkan diri.
Saya pun penasaran. Ada apa
dengan situs Benteng Somba Opu, peninggalan Kesultanan Gowa abad 16 yang
dibangun oleh Raja Gowa ke-9. Dari kejadian kesurupan Dg. Lija, kami pun
mengetahui bahwa proyek Gowa Discovery Park (GDP) di dalam kawasan situs sudah
dilakukan peletakan batu pertamanya oleh Mendagri Gamawan Fauzi, 18 Oktober
lalu. Malam itu juga, saya berkomunikasi dengan dosen dan mahasiswa Arkeologi.
Menurut Wardah, fenomena
kesurupan Dg. Lija adalah pertanda adanya ancaman pengurasakan – bukan hanya
situs – lebih dari itu adalah penghinaan terhadap tatanan budaya spiritual
masyarakat. Benteng Somba Opu merupakan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selaran,
bahkan warisan budaya nasional dan dunia. Dalam sejarah abad 16 di sekitar
benteng tercatat beberapa loji milik para pedagang rempah dari Eropa dan Asia
seperti Denmark, Inggris, Portugis, dan Gujarat.
Besoknya, sejumlah mahasiswa
Arkeologi Unhas (Kaisar) melakukan aksi penolakan proyek Gowa Discovery Park
(GDP. Saya pun baru tahu, ternyata aksi itu adalah demonstrasi pertama di
jalanan. Sebelumnya, rencana proyek GDP sudah direspon oleh mahasiswa dan
pemerhati warisan budaya lainnya dalam
bentuk diskusi. Aksi mahasiswa ini pun mendapat dukungan dari sejumlah aktivis
kampus, organisasi ekstra kampus, LSM, jurnalis, dan pekerja seni. Saya pun
bergabung dalam front aksi Forum Somba Opu (FSO). Pada aksi tanggal 14 Desember
2010 di kantor Gubernur, mahasiswa sempat bentrok dengan Satpol PP.
Aktivis FSO menggalang dukungan
dengan menggelar diskusi terbuka di dalam dan di luar kampus. Sedikitnya, 30
organisasi komunitas, yang umumnya adalah generasi muda tergabung dalam FSO. Di
antaranya beberapa pakar yang menjadi narasumber diskusi antara lain Iwan
Sumantri, Ahyar Anwar, Horzt Liebner, Halilintar Latief, dan Ananto Yulianto.
Saya pun diundang sebagai salah seorang pembicara sebagai alumni FIB Unhas
sekaligus perwakilan KPRM. Dari rangkaian diskusi yang saya hadiri, isyu proyek
GDP cenderung berpusar di antara kalangan aktivis mahasiwa, LSM, budayawan, dan
pemerhati warisan budaya. Publik kurang merespon isyu penyelamatan situs
sebagai identitas dan warisan budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Para penentu
kebijakan di parlemen cenderung menghindari konfrontasi dan tutup mulut.
Bahkan, isu penolakan proyek GDP bergeser ke arah konflik kekuasaan di antara
para pewaris kerajaan Gowa dengan pemerintah daerah. Sehingga proteksi terhadap
lokasi proyek sudah melibatkan kelompok pendukung Ormas dan orang-orang
bayaran.
Aktivis FSO melakukan
investigasi, mengumpulkan data lapang untuk mengungkap sejauh mana proyek GDP
mengancam keberadaan situs. Berdasarkan temuan FSO, ternyata lokasi proyek GDP
berada tepat di dalam zona inti kawasan situs BSO. Sudah dimulai penimbunan
lahan untuk lokasi wahana waterboom. Kontraktor proyek melakukan penimbunan
dengan menggunakan alat-alat berat dan hanya berjarak 4 meter dari struktur
benteng. Bahkan ditemukan bekas galian pondasi pagar yang menyingkap beberapa
fragmen tembikar, dan keramik.
Pada tingkat legislasi, proyek
GDP merupakan kerjasama antara pemerintah provinsi Sulsel dengan PT. Wira Wiga
Utama seluas 17 hektar (Tempo, 8/12/2020). Pengembang proyek ini merupakan
milik Zainal Tayeb, pimpinan PT Makassar Discovery Club yang berdomisi di Denpasar.
Publik mengetahui relasi pertemanan antara Zainal Tayeb dengan gubernur Syahrul
Yasin Limpo. Itulah sebabnya, proyek GDP berjalan mulus, tanpa sosialisasi dan
konsultasi yang terbuka bagi publik. DPRD propinsi pun dengan mudah memberikan
persetujuan atas nota kesepahaman (MOU).
Sejauh yang diketahui publik
adalah sebuah papan informasi di panggung seni budaya sebelah rumah adat
Toraja. Papan informasi tersebut memuat rencana proyek pengembangan kawasan BSO
sebagai wahana hiburan keluarga, mencakup: pembangunan Taman Gajah, Taman
Burung, Waterboom, dan wahana Treetop. Tentu saja wahana hiburan tersebut akan
dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti area parkir, restoran, dan
lain-lain. Termasuk dalam proyek GDP adalah alih fungsi Baruga Somba Opu,
tempat Wardah Hafidz dkk berkegiatan beberapa hari lalu akan menjadi restoran
dan penginapan.
Hingga catatan ini saya tulis,
rangkaian aksi, diskusi, kampanye media, hingga pengaduan ke kantor Polda
Sulsel, tidak menghentikan pekerjaan proyek GDP. Aktivis FSO pun tetap pada
pendirian menolak pembangunan proyek GDP di dalam zona inti dan pengembangan
kawasan situs BSO. Bahkan, salah seorang anggota DPRD Sulsel dari Fraksi Golkar
yang sempat mengajak aktivis FSO (melalui saya) untuk mengobrol di warung kopi,
pun tidak digubris. Aktivis FSO menghindari negosiasi (lobby) dengan alasan
menjaga independensi gerakan dari konflik kepentingan politik dalam proyek GDP.
Aksi jalanan mulai mereda
setelah Tim Zonasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar dan
Direktorat Jenderal Pelestarian Purbakala Kementerian Parawisata melakukan
rezonasi kawasan situs BSO menjadi empat titik, yakni zona inti, zona
penyangga, zona pengembangan dan zona penunjang. Pada tanggal 18 Januari 2011,
Muhammad Said, ketua Tim Zonasi BPCB Makassar menyatakan bahwa sarana hiburan
water boom berada di zona terlarang (Tempo, 18/01/2011). Namun, lokasi baru
untuk water boom akan dibicarakan dengan Gubernur Syahrul dan investor. Taman
Burung akan dipindahkan dari zona inti ke zona penyangga.
Hasil kerjaTim Zonasi ini
semakin menegaskan ketidakberesan Tupoksi instansi pemerintah dan DPRD dalam
perencanaan proyek GDP. Sebagaimana kesimpulan FSO dari hasil investigasi bahwa
Tim Ahli/Pengendali berpotensi menguatkan legitimasi Pemprov dan pelaksana
proyek. Terbukti, aktivitas proyek tetap berlangsung. Seharusnya, Tim Ahli
bersifat independen, yang memiliki kekuatan menghentikan, membatalkan, dan
meredesain proyek karena proyek GDP secara nyata melakukan pelanggaran terhadap
UU Cagar Budaya, Kepmen Objek Vital Nasional dan konvensi internasional tentang
warisan budaya dan benda-benda cagar budaya.
Bagaimana mungkin sebuah proyek
besar di kawasan situs yang menyimpan sejarah salah satu kerajaan Maritim di
Nusantara, dilaksanakan tanpa didahului dengan studi kelayakan dan rezonasi?
Benarlah yang dimaksud “roh lelaki tua” dalam tubuh Dg. Lija yang kesurupan itu
bahwa pembangunan proyek GDP adalah penghinaan terhadap kebanggaan masyarakat
Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar