Kampung Buloa terletak di kelurahan Buloa RT 08 RW 02 Kecamatan Tallo, sebuah pemukiman warga dan nelayan pesisir utara kota Makassar. Semula lahan pemukiman warga Buloa merupakan wilayah lautan yang surut akibat pengerukan di sekitar muara sungai Tallo. Endapan pasir dan lumpur membentuk daratan, yang dijadikan pemukiman oleh warga dari RT 01 dan para pendatang. Warga bermukim di lokasi ini sejak 20 lalu.
Warga merintis pemukiman ini
pada tahun 1970-an dengan cara memanfaatkan sedimentasi dan menimbun lokasi
pada saat air laut surut. Sebagian lagi menimbum lahan bekas empang. Pemukiman
ini dihuni sekitar 1.000 jiwa (300 KK) atau 12% dari 7.158 total penduduk
kelurahan Bulua. Sebanyak 50 KK di RT 08 yang berumah di atas air laut.
Pada tahun 1980-an pemukiman ini
mulai padat karena jual beli lahan sudah terjadi. Umumnya bukti kepemilikan
lahan berupa kwitansi jual-beli dari penggarap/pemilik. Surat Pajak Bumi
Bangunan (PBB) pernah diterbitkan pemerintah setempat, tetapi dihentikan dengan
alasan yang tidak jelas. Klaim hak atas tanah warga mendasarkan pada laut yang
surut, dan tanah pemerintah yang melewati daluarsa.
Posisi
Kasus
Ada 8 pihak yang mengakui
kepemilikan tanah di Buloa. Pihak yang paling gigih adalah Gazali berdasarkan
bukti kepemilikan sertifikat (belum diklarifikasi). Setelah Gazali meninggal
dunia, klaim dilanjutkan oleh Hj. Rosmiah, istrinya. Sekitar tahun 2009 terjadi
bentrok antara preman dan polisi dengan warga, dan kemudian diredakan oleh
pihak Kesultanan Kerajaan Tallo yang mengklaim lokasi itu merupakan tanah adat.
Pada bulan Mei 2012, Hj. Ros
kembali dengan preman dan polisi bermaksud akan menggusur warga secara paksa.
Warga menolak tawaran ganti rugi Rp 2 juta per-rumah. Warga yang memprotes
pematokan batas pagar mendapat surat panggilan dari Polsek Tallo. Beberapa
warga dipanggil satu per-satu untuk menerima tawaran ganti rugi Rp 10 juta.
Kasus Buloa mencuat pertama kali
tahun 2008, ketika pengusaha melakukan penimbunan di pesisir. Kelompok nelayan
menyampaikan masalah ini kepada pemerintah setempat (lurah, camat) karena
merasa terancam oleh aktivitas penimbunan. Lokasi penimbunan merupakan tempat
para nelayan menambatkan perahu, mencari kerang, ikan kecil, serta jalur lalu
lintas perahu. Warga pun mengadukan hal ini kepada Lurah, Camat hingga kepada anggota
DPRD kota dengan harapan tuntutan mereka segera ditindaklanjuti. Mereka juga
mendesak Pemprov dan DPRD Sulsel menghentikan penimbunan laut pesisir Buloa,
menghentikan intimidasi dari preman, serta mengusut pelaku mafia tanah.
Pemerintah Indonesia, dalam hal
ini PT Pelindo sedang membangun pelabuhan baru (New Port Makassar). Menurut
ketua Bappeda (Makassar Kota Dunia 2022,
6/08/2010), pembangunan pelabuhan peti kemas atau Makassar New Port (MNP) di Pantai Buloa seluas 150 hektare dengan
investasi sebesar Rp 1,5 triliun. Pemerintah daerah juga mengembangkan proyek
Normalisasi dan Revitalisasi Sungai Tallo yang akan didanai oleh Bank Dunia (Koran Tempo, 01/12/2021.
Tahap pertama, pemerintah kota
memberikan izin kepada pengusaha, yakni PT Mujur Jaya. Pengusaha di belakang
penimbunan (reklamasi) tersebut adalah Jen Tang alias Soedirdjo Aliman. PT
Mujur Jaya memiliki surat rekomendasi atau izin beroperasi dari Walikota
Makassar. Namun, pada saat penimbunan
dilakukan, belum ada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai
dengan isi surat rekomendasi tersebut. Hal ini yang membuat kegiatan penimbunan
laut dihentikan untuk sementara, sambil menunggu kejelasan status izin kegiatan
Di sisi lain, pemukiman warga
digugat oleh Hj. Rosmiah, yang mengaku berhak atas tanah Buloa seluas 27.592 m²
berdasarkan sertifikat hak milik bernomor 347 yang dikeluarkan oleh BPN tahun
1995 dari sertifikat induk nomor 441 bertahun 1994. Atas dasar tersebut, pihak
Hj. Rosmiah memaksa 50 KK warga Buloa menerima ganti rugi Rp 10-20 juta
per-rumah. Dengan melibatkan preman bayaran, Hj. Rosmiah membangun tembok
pembatas, sehingga akses jalan warga terbatas.
Intimidasi dan teror terhadap
warga yang menolak ganti rugi berlanjut hingga di gedung DPRD Kota Makassar.
Pada saat Rapat Dengar Pendapat Komisi A Bidang Pemerintahan (Tribun Timur, 21 Juni 2012), 30 warga
Buloa bertahan di ruang aspirasi karena diancam oleh preman bayaran. Aksi ini
berhenti setelah warga melapor dan meminta pengawalan Provost Polrestabes Kota
Makassar.
Saat ini tersisa 25 KK warga
Buloa yang menolak ganti rugi dan tetap bertahan di lokasi. Mereka masih merasa
was-was akan terdampak rencana pembangunan megaproyek di sepanjang pesisir
utara kota Makassar, dari pelabuhan Paotere hingga ke Lakkang kecamatan Tallo. Sehubungan
situasi ini, Forum Warga Buloa yang didampingi oleh KPRM dan YLBHM menyampaikan
tuntutan kepada pemerintah kota agar memediasi hak warga dalam hal:
(1)
Keamanan bermukim;
(2)
Kemudahan akses
pembuatan sertifikat tanah;
(3)
Ketersediaan air bersih
dan Jamkesmas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar