4 Mei 2012

BUMR - Jejaring Ekonomi Informal

Oleh M. Nawir
Badan Usaha Milik Rakyat, disingkat BUMR merupakan konsep pengembangan ekonomi rakyat yang mempertautkan kemandirian usaha rakyat, khususnya di sektor informal dengan penguatan organisasi dan daya tawar politik (political gain). Dengan cara itu, sebuah badan usaha merupakan jejaring sosial-ekonomi nyata yang berbasis organisasi pekerja miskin perkotaan. Konsep ini dikembangkan untuk melengkapi tahapan pengorganisasian komunitas, khususnya kelas pekerja informal perkotaan. Tahapan yang dimaksud adalah kegiatan sosial yang terorganisasi yang digerakkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sadar organisasi serta jaringan. Tahapan tersebut mengindikasikan pentingnya organisasi mengupayakan kesejahteraan (ekonomi), pelayanan sosial, dan kesetaraan politik. Ketiga hal tersebut menjadi prasyarat yang menjamin keberlangsungan entitas sub-kultur organisasi rakyat. Pada gilirannya, gerakan ekonomi ini akan memampukan rumah tangga miskin, khususnya keluarga kelas pekerja (buruh) informal maupun formal dalam mencegah dan mengatasi kerentanan sosial-ekonomi dengan pengorganisasian unit usaha dan pemenuhan hak-hak politik.
EPS: Ekonomi Pasar Sosial
Perspektif Ekonomi Pasar Sosial merupakan kerangka teoritis yang dapat menjelaskan konsepsi BUMR. Dalil yang menjadi acuan sistim ini mengatakan bahwa sebaik-baiknya sistim pasar bilamana memungkinkan, sebanyak-banyaknya peran negara bilamana diperlukan. Dalil ini dinyatakan oleh Karl Schiller, Menteri Ekonomi Jerman (1966-1972) yang maksudnya menyeimbangkan peran negara dengan kekuatan pasar.
Secara praktis, pasar adalah habitus ekonomi, suatu arena bersama penjual dan pembeli saling bertransaksi, saling berposisi dan berdisposisi dipandu oleh hukum penawaran dan permintaan (supply and demand). Sebuah pasar terbentuk secara independen, terlepas dari otoritas negara. Asumsinya, jika mekanisme pasar adalah kompetisi bebas dan alamiah, pertanyaanya dimana otoritas pemimpin negara sebagai represetansi rakyat? Maka, vitalitas peran negara dibutuhkan untuk mencegah terjadinya relasi sosial “sianre bale” (saling-memangsa), dimana yang kuat menindas yang lemah sebagai akibat kompetisi penuh (perfect competition). Negara penganut EPS akan membatasi kecenderungan pelaku usaha yang eksploitatif, dan menolak oligopoli maupun monopoli. Olehnya itu, di samping menjamin kesejahteraan, peran negara dipandang vital dalam melindungi keseimbangan lingkungan hidup dan konsumen.
Visi para pendukung sistim ekonomi pasar sosial adalah keseimbangan yang tepat antara produktivitas dan tujuan sosial, yakni kesetaraan dan keadilan sosial. Ketidaksetaraan dalam hal kualitas ekonomi dan akses pendidikan rakyat akan menghambat penggunaan hak-hak politik. Olehnya itu, pondasi sistim EPS adalah serikat-serikat pekerja, kemitraan sosial, dan keputusan kolektif pelaku usaha (Sperling, FES 2005). Jadi, sesungguhnya peran negara yang dimaksud dalam sistim ekonomi pasar sosial adalah menjamin pemenuhan hak-hak ekonomi-sosial-budaya (EKOSOB) di satu sisi, sekaligus perlindungan terhadap hak sipil-politik (SIPOL). Maka jelaslah bahwa sistim ekonomi tersebut cocok dengan sistim ekonomi yang dicanangkan oleh para pendiri Republik sebagaimana tersurat dalam Konstitusi 1945.
BUMR sebagai Model EPS
Badan Usaha Milik Rakyat, jelas berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Badan usaha milik negara merujuk kepada perusahaan atau badan usaha yang dimiliki pemerintah sebuah negara, sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh pemerintah. BUMN berupa perusahaan berorientasi laba maupun nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang maupun jasa bagi masyarakat. Sahamnya, terbuka bagi publik maupun swasta. BUMR bukanlah kegiatan usaha yang terlepas dari kebijakan negara. Asas, tujuan dan karakteristik BUMR bertepatan dengan sistem perkoperasian nasional. Lebih jauh, peran pemerintah adalah menjamin perwujudan hak ekosob dan sipol pelaku ekonomi rakyat.
BUMR menegaskan dirinya sebagai badan usaha yang dirintis, dikelola, dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan anggota. Seperti laiknya koperasi, begitulah BUMR dijabarkan. Letak perbedaanya terutama pada konteks dimana unit-unit usaha itu diorganisasikan dan atau dilembagakan menjadi kekuatan ekonomi pekerja informal perkotaan. Hal ini mensyaratkan adanya sistim keanggotaan organisasi sosial yang mendahului organisasi usaha. Dengan kata lain, titik tolak pengembangan BUMR adalah usaha di sektor informal.
Karakteristik Ekonomi Informal
Selama ini ada bias kelas dalam pendefinisian ekonomi formal. Judy Rahardjo menyebutnya 'kolonialisasi kesadaran' (lih. http://rumahkampungkota.blogspot.com/2010/02/untuk-apa-sektor-informal-dimusuhi.html). Sektor formal dikonstruksi oleh kelas penguasa yang bekerja di sektor formal – para ahli ekonomi, akademisi, poltisi, dan pengusaha. Sektor formal ditopang oleh bisnis yang padat modal, teknologi tinggi, tenaga kerja yang berpendidikan formal, serta pasar yang terlindungi. Dalam situasi krisis ekonomi pun, negara dan pelaku ekonomi formal masih mengandalkan kenicayaan sektor formal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Penggunaan istilah ekonomi formal dan informal dapat dibedakan berdasarkan pola produksi dan struktur ekonominya. Sebagaimana yang diketahui umum, pekerja di sektor informal sangat luas cakupannya, antara lain pekerja atau buruh harian, tukang/buruh bangunan, pembantu rumah tangga, termasuk usaha di sektor usaha kecil menengah (UKM). Sementara buruh formal lebih spesifik sebagai pekerja dalam suatu perusahaan atau pun pabrik, yang menggunakan tenaga dan keterampilan pekerja dalam ikatan formal dengan pengusaha pemilik modal/majikan untuk kurun waktu yang relatif tetap. Pekerja informal seperti buruh bangunan juga menggunakan tenaga dan keterampilannya, tetapi tidak selalu terikat secara formal, dan masa kerjanya pun tidak tetap. Bahkan, upah, keselamatan kerja dan jaminan sosial buruh bangunan dan pembantu rumah tangga itu tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Pekerja informal lainnya adalah 'pengusaha' kecil seperti pa'gade-gadde, kios, pengecer berbagai produk barang, termasuk jasa khusus, misalnya sopir, tukang becak, ojek, tukang pijat, tukang cuci, tukang emas, pembantu rumah tangga, pemulung, serta berbagai usaha kerajinan. Sumber permodalannya ada yang milik sendiri, pinjaman, dan modal sosial dalam bentuk keahlian khusus. Pendek kata, usaha di sektor informal memiliki watak mandiri daripada kelas pekerja formal.
Konsep BURM sebagai suatu sistim ekonomi informal bertolak dari sifat atau karakteristik sosial rakyat miskin, yakni ciri-ciri yang melekat pada cara hidup informal atau informalitas kelas pekerja perkotaan. Berdasar pengalaman sehqri-hari, ciri umumnya adalah:
(1) Kemampuan rakyat miskin kota mengadaptasi kepentingannya dengan kecenderungan atau pun tuntutan sosial-ekonomi sekitar. Mereka dengan mudah mereplikasi suatu cara (modus) usaha, bahkan mengubah bentuk usaha agar tetap survive.
(2) Kemampuan rakyat miskin kota menyiasati locus usaha sebagai taktik (motivasi) membuka pasar (konsumen). Rumus sederhananya adalah “dimana banyak jejak kaki, di situ banyak rejeki”.
(3) Kebebasan memilih jenis dan bentuk usaha. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki untuk bekerja di sektor ekonomi formal, rakyat miskin kota merasa bebas (nyaman, tidak terikat aturan) memilih sektor informal sebagai basis usaha memenuhi kesejahteraan.
(4) Pendapatan harian yang tidak menentu merupakan ciri pokok usaha pekerja informal. Kondisi ini umumnya tidak selalu disadari sebagai potensi untuk mengatur belanja sambil menabung harian. Kebiasaan “berapa dapat hari ini” bersimetri dengan “berapa belanja hari ini”. Kesadaran menabung dan mengubah cara hidup konsumtif (boros) menjadi penting untuk menjaga keberlangsungan usaha.
(5) Informalitas sebagai ciri dominan yang tampak pada cara hidup orang miskin perkotaan memungkinkan relasi personal yang intens, saling memudahkan dalam transaksi, serta saling menguji kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing.
(6) Jenis usaha sebagai sarana produksi, yang pada umumnya adalah barang konsumsi sembako, memungkinkan usaha tersebut berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan subsisten atau semacam stok pangan. Barang sembako yang tidak habis terjual dapat dikonsumsi oleh penjualnya, bahkan dibagi kepada tetangga.
(7) Sektor informal secara nyata membuka lapangan kerja. Hal ini dimungkinkan oleh sifat berusaha orang miskin yang saling mengisi peluang. Sebuah lokasi (locus) usaha yang berhasil biasanya menjadi tempat sekumpulan pedagang lainnya.
(8) Ada kepercayaan personal di kalangan pedagang kecil bahwa setiap orang memiliki rejeki yang berbeda-beda. Oleh karenanya, persaingan individual di antara mereka dalam satu locus usaha diterima secara sehat.
Modal Sosial, Ekonomi, dan Politik
Modal adalah berbagai sumberdaya maupun potensi yang benar-benar dimiliki atau dikuasai seseorang atau kelompok orang, yang bisa diandalkannya untuk berproduksi. Berkaitan dengan BURM, ada dua pengertian modal: Pertama, modal sosial organisasi komunitas, yakni pengurus organisasi, anggota, keahlian/keterampilan, kelompok tabungan, dan jaringan antarkampung/kelompok. Sedangkan modal ekonomi adalah aset perorangan atau anggota organisasi berupa; lahan/bangunan, peralatan, dan barang jualan (produk). Sumber pengadaan modal ekonomi berasal dari iuran anggota, dan dana hibah maupun dana pinjaman dari pihak lain yang bekerjasama dengan organisasi. Bentuk pelembagaan dan pendayagunaan modal ekonomi itu gagasan pokok BURM ini.
Selain modal sosial dan ekonomi, pelaku usaha di sektor informal juga memiliki posisi politik yang strategis. Pada banyak situasi, sering dijargonkan pada para pengamat ekonomi pembangunan bahwa mayoritas (70%) pelaku usaha di Indonesia adalah UKM, usaha kecil dan menengah, bahwa pelaku usaha UKM lah yang menopang pembangunan ekonomi bangsa, dan bahwa sektor informal lah yang mampu bertahan dalam gejolak ekonomi nasional dan global. Pernyataan seperti ini menegaskan posisi politik pekerja informal yang ikut menentukan proses demokratisasi. Meski, pada kenyataanya, minoritas pemilik kapital (kapitalis-borjuis) lebih diuntungkan dalam proses politik karena kemampuan mereka mempengaruhi elit penentu kebijakan. Ketimpangan akses dan kontrol politis antara kelas pekerja dengan kelas borjuasi ini yang menjadi titik tolak pengembangan jejaring ekonomi kerakyatan. Dengan kemampuan dan kemandirian organisasi ekonominya, kelas pekerja dapat menuntut kesetaraan politik.
Melembagakan berbagai usaha pekerja informal bukanlah perkara mudah, dan karena itu penguatan kohesi sosial dan kesadaran politis menjadi vital. Agenda perlindungan atas lapangan kerja, upah, jaminan sosial, akses di tingkat distributor dan jaringan pasar menjadi tugas pokok pendukung BUMR. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar