Oleh M. Nawir
Badan Usaha Milik
Rakyat, disingkat BUMR merupakan konsep pengembangan ekonomi rakyat
yang mempertautkan kemandirian usaha rakyat, khususnya di sektor
informal dengan penguatan organisasi dan daya tawar politik
(political gain). Dengan cara itu, sebuah badan usaha
merupakan jejaring sosial-ekonomi nyata yang berbasis organisasi
pekerja miskin perkotaan. Konsep ini dikembangkan untuk melengkapi
tahapan pengorganisasian komunitas, khususnya kelas pekerja informal
perkotaan. Tahapan yang dimaksud adalah kegiatan sosial yang
terorganisasi yang digerakkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
sadar organisasi serta jaringan. Tahapan tersebut mengindikasikan
pentingnya organisasi mengupayakan kesejahteraan (ekonomi),
pelayanan sosial, dan kesetaraan politik. Ketiga hal tersebut menjadi
prasyarat yang menjamin keberlangsungan entitas sub-kultur organisasi
rakyat. Pada gilirannya, gerakan ekonomi ini akan memampukan rumah
tangga miskin, khususnya keluarga kelas pekerja (buruh) informal
maupun formal dalam mencegah dan mengatasi kerentanan sosial-ekonomi
dengan pengorganisasian unit usaha dan pemenuhan hak-hak politik.
EPS: Ekonomi
Pasar Sosial
Perspektif Ekonomi
Pasar Sosial merupakan kerangka teoritis yang dapat menjelaskan
konsepsi BUMR. Dalil yang menjadi acuan sistim ini mengatakan bahwa
sebaik-baiknya sistim pasar bilamana memungkinkan,
sebanyak-banyaknya peran negara bilamana diperlukan. Dalil ini
dinyatakan oleh Karl Schiller, Menteri Ekonomi Jerman (1966-1972)
yang maksudnya menyeimbangkan peran negara dengan kekuatan pasar.
Secara praktis,
pasar adalah habitus ekonomi,
suatu arena bersama penjual dan pembeli saling bertransaksi, saling
berposisi dan berdisposisi dipandu oleh hukum penawaran dan
permintaan (supply and demand). Sebuah pasar terbentuk secara
independen, terlepas dari otoritas negara. Asumsinya, jika mekanisme
pasar adalah kompetisi bebas dan alamiah, pertanyaanya dimana
otoritas pemimpin negara sebagai represetansi rakyat? Maka, vitalitas
peran negara dibutuhkan untuk mencegah terjadinya relasi sosial
“sianre bale” (saling-memangsa), dimana yang kuat menindas yang
lemah sebagai akibat kompetisi penuh (perfect competition).
Negara penganut EPS akan membatasi kecenderungan pelaku usaha yang
eksploitatif, dan menolak oligopoli maupun monopoli. Olehnya itu, di
samping menjamin kesejahteraan, peran negara dipandang vital dalam
melindungi keseimbangan lingkungan hidup dan konsumen.
Visi para pendukung
sistim ekonomi pasar sosial adalah keseimbangan yang tepat antara
produktivitas dan tujuan sosial, yakni kesetaraan dan keadilan
sosial. Ketidaksetaraan dalam hal kualitas ekonomi dan akses
pendidikan rakyat akan menghambat penggunaan hak-hak politik. Olehnya
itu, pondasi sistim EPS adalah serikat-serikat pekerja, kemitraan
sosial, dan keputusan kolektif pelaku usaha (Sperling, FES 2005).
Jadi, sesungguhnya peran negara yang dimaksud dalam sistim ekonomi
pasar sosial adalah menjamin pemenuhan hak-hak ekonomi-sosial-budaya
(EKOSOB) di satu sisi, sekaligus perlindungan terhadap hak
sipil-politik (SIPOL). Maka jelaslah bahwa sistim ekonomi tersebut cocok dengan sistim ekonomi yang dicanangkan oleh para
pendiri Republik sebagaimana tersurat dalam Konstitusi 1945.
BUMR sebagai
Model EPS
Badan Usaha Milik
Rakyat, jelas berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Badan
usaha milik negara
merujuk kepada perusahaan atau
badan usaha yang dimiliki pemerintah sebuah negara, sebagian atau
seluruh kepemilikannya dimiliki oleh pemerintah. BUMN berupa
perusahaan berorientasi laba maupun nirlaba yang bertujuan untuk
menyediakan barang maupun jasa bagi masyarakat. Sahamnya, terbuka
bagi publik maupun swasta. BUMR bukanlah kegiatan usaha yang terlepas
dari kebijakan negara. Asas, tujuan dan karakteristik BUMR bertepatan
dengan sistem perkoperasian nasional. Lebih jauh, peran pemerintah
adalah menjamin perwujudan hak ekosob dan sipol pelaku ekonomi
rakyat.
BUMR menegaskan
dirinya sebagai badan usaha yang dirintis, dikelola, dan dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan anggota. Seperti laiknya
koperasi, begitulah BUMR dijabarkan. Letak perbedaanya terutama pada
konteks dimana unit-unit usaha itu diorganisasikan dan atau
dilembagakan menjadi kekuatan ekonomi pekerja informal perkotaan. Hal
ini mensyaratkan adanya sistim keanggotaan organisasi sosial yang
mendahului organisasi usaha. Dengan kata lain, titik tolak
pengembangan BUMR adalah usaha di sektor informal.
Karakteristik
Ekonomi Informal
Selama
ini ada bias kelas dalam pendefinisian ekonomi formal. Judy Rahardjo
menyebutnya 'kolonialisasi kesadaran' (lih. http://rumahkampungkota.blogspot.com/2010/02/untuk-apa-sektor-informal-dimusuhi.html).
Sektor formal dikonstruksi oleh kelas penguasa yang bekerja di sektor
formal – para ahli ekonomi, akademisi, poltisi, dan pengusaha.
Sektor formal ditopang oleh bisnis yang padat modal, teknologi
tinggi, tenaga kerja yang berpendidikan formal, serta pasar yang
terlindungi. Dalam situasi krisis ekonomi pun, negara dan pelaku
ekonomi formal masih mengandalkan kenicayaan sektor formal untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Penggunaan istilah
ekonomi formal dan informal dapat dibedakan berdasarkan pola produksi
dan struktur ekonominya. Sebagaimana yang diketahui umum, pekerja di
sektor informal sangat luas cakupannya, antara lain pekerja atau
buruh harian, tukang/buruh bangunan, pembantu rumah tangga, termasuk
usaha di sektor usaha kecil menengah (UKM). Sementara buruh formal
lebih spesifik sebagai pekerja dalam suatu perusahaan atau pun
pabrik, yang menggunakan tenaga dan keterampilan pekerja dalam ikatan
formal dengan pengusaha pemilik modal/majikan untuk kurun waktu yang
relatif tetap. Pekerja informal seperti buruh bangunan juga
menggunakan tenaga dan keterampilannya, tetapi tidak selalu terikat
secara formal, dan masa kerjanya pun tidak tetap. Bahkan, upah,
keselamatan kerja dan jaminan sosial buruh bangunan dan pembantu
rumah tangga itu tidak diatur secara khusus dalam undang-undang
ketenagakerjaan.
Pekerja informal
lainnya adalah 'pengusaha' kecil seperti pa'gade-gadde, kios,
pengecer berbagai produk barang, termasuk jasa khusus, misalnya
sopir, tukang becak, ojek, tukang pijat, tukang cuci, tukang emas,
pembantu rumah tangga, pemulung, serta berbagai usaha kerajinan.
Sumber permodalannya ada yang milik sendiri, pinjaman, dan modal
sosial dalam bentuk keahlian khusus. Pendek kata, usaha di sektor
informal memiliki watak mandiri daripada kelas pekerja formal.
Konsep BURM sebagai
suatu sistim ekonomi informal bertolak dari sifat atau karakteristik
sosial rakyat miskin, yakni ciri-ciri yang melekat pada cara hidup
informal atau informalitas kelas pekerja perkotaan. Berdasar
pengalaman sehqri-hari, ciri umumnya adalah:
(1) Kemampuan
rakyat miskin kota mengadaptasi kepentingannya dengan kecenderungan
atau pun tuntutan sosial-ekonomi sekitar. Mereka dengan mudah
mereplikasi suatu cara (modus) usaha, bahkan mengubah bentuk usaha
agar tetap survive.
(2) Kemampuan
rakyat miskin kota menyiasati locus usaha sebagai taktik (motivasi)
membuka pasar (konsumen). Rumus sederhananya adalah “dimana banyak
jejak kaki, di situ banyak rejeki”.
(3) Kebebasan
memilih jenis dan bentuk usaha. Dengan segala keterbatasan yang
mereka miliki untuk bekerja di sektor ekonomi formal, rakyat miskin
kota merasa bebas (nyaman, tidak terikat aturan) memilih sektor
informal sebagai basis usaha memenuhi kesejahteraan.
(4) Pendapatan
harian yang tidak menentu merupakan ciri pokok usaha pekerja
informal. Kondisi ini umumnya tidak selalu disadari sebagai potensi
untuk mengatur belanja sambil menabung harian. Kebiasaan “berapa
dapat hari ini” bersimetri dengan “berapa belanja hari ini”.
Kesadaran menabung dan mengubah cara hidup konsumtif (boros) menjadi
penting untuk menjaga keberlangsungan usaha.
(5) Informalitas
sebagai ciri dominan yang tampak pada cara hidup orang miskin
perkotaan memungkinkan relasi personal yang intens, saling memudahkan
dalam transaksi, serta saling menguji kepercayaan dan tanggung jawab
masing-masing.
(6) Jenis usaha
sebagai sarana produksi, yang pada umumnya adalah barang konsumsi
sembako, memungkinkan usaha tersebut berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan subsisten atau semacam stok pangan. Barang sembako yang
tidak habis terjual dapat dikonsumsi oleh penjualnya, bahkan dibagi
kepada tetangga.
(7) Sektor informal
secara nyata membuka lapangan kerja. Hal ini dimungkinkan oleh sifat
berusaha orang miskin yang saling mengisi peluang. Sebuah lokasi
(locus) usaha yang berhasil biasanya menjadi tempat sekumpulan
pedagang lainnya.
(8) Ada kepercayaan
personal di kalangan pedagang kecil bahwa setiap orang memiliki
rejeki yang berbeda-beda. Oleh karenanya, persaingan individual di
antara mereka dalam satu locus usaha diterima secara sehat.
Modal Sosial,
Ekonomi, dan Politik
Modal adalah
berbagai sumberdaya maupun potensi yang benar-benar dimiliki atau
dikuasai seseorang atau kelompok orang, yang bisa diandalkannya untuk
berproduksi. Berkaitan dengan BURM, ada dua pengertian modal:
Pertama, modal sosial organisasi komunitas, yakni pengurus
organisasi, anggota, keahlian/keterampilan, kelompok tabungan, dan
jaringan antarkampung/kelompok. Sedangkan modal ekonomi adalah aset
perorangan atau anggota organisasi berupa; lahan/bangunan, peralatan,
dan barang jualan (produk). Sumber pengadaan modal ekonomi berasal
dari iuran anggota, dan dana hibah maupun dana pinjaman dari pihak
lain yang bekerjasama dengan organisasi. Bentuk pelembagaan dan
pendayagunaan modal ekonomi itu gagasan pokok BURM ini.
Selain modal sosial
dan ekonomi, pelaku usaha di sektor informal juga memiliki posisi
politik yang strategis. Pada banyak situasi, sering dijargonkan pada
para pengamat ekonomi pembangunan bahwa mayoritas (70%) pelaku usaha
di Indonesia adalah UKM, usaha kecil dan menengah, bahwa pelaku usaha
UKM lah yang menopang pembangunan ekonomi bangsa, dan bahwa sektor
informal lah yang mampu bertahan dalam gejolak ekonomi nasional dan
global. Pernyataan seperti ini menegaskan posisi politik pekerja
informal yang ikut menentukan proses demokratisasi. Meski, pada
kenyataanya, minoritas pemilik kapital (kapitalis-borjuis) lebih
diuntungkan dalam proses politik karena kemampuan mereka mempengaruhi
elit penentu kebijakan. Ketimpangan akses
dan kontrol politis antara kelas pekerja dengan kelas borjuasi ini
yang menjadi titik tolak pengembangan jejaring ekonomi kerakyatan.
Dengan kemampuan dan kemandirian organisasi ekonominya, kelas pekerja
dapat menuntut kesetaraan politik.
Melembagakan berbagai usaha pekerja informal bukanlah perkara mudah, dan karena
itu penguatan kohesi sosial dan kesadaran politis menjadi vital.
Agenda perlindungan atas lapangan kerja, upah, jaminan sosial, akses di
tingkat distributor dan jaringan pasar menjadi tugas pokok pendukung BUMR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar