Sepuluh
Tahun Mengatasi Kemiskinan, Kekumuhan, dan Penggusuran
orasi andi rudiyanto asapa |
Tema Kampanye
Hari Habitat 2012 adalah Membebaskan Masyarakat dari Kekumuhan, khususnya
di perkotaan. Sedangkan tema perayaan Hari Pengurangan Resiko Bencana tahun ini
adalah peranan kaum muda-mudi dalam menentang penggusuran. Keduanya memiliki
fokus pada persoalan pemukiman yang dihadapi umumnya masyarakat miskin di perkotaan, yakni kekumuhan dan penggusuran.
https://www.youtube.com/watch?v=6D2OhKu-WI0
Sejak tahun
2003, PBB telah merilis data bahwa satu dari enam penduduk dunia tinggal di
kawasan kumuh. Diperkirakan terjadi peningkatan populasi kaum urban yang
potensial kumuh sebanyak dua kali lipat pada tahun 2030. UN Habitat kemudian
menggarisbawahi pentingnya kebijakan dan strategi pemerintah yang efektif,
tepat sasaran, berbasis pemenuhan hak dasar, untuk menghindari eskalasi
kekumuhan, dan tentu saja mengurangi kerentanan sosial akibat perubahan iklim
dewasa ini.
Dalam perayaan
Hari Habitat 2012 yang dipusatkan di Surabaya, pemerintah RI menargetkan “Bebas
Kumuh 2020”. Target ini memerlukan komitmen tinggi dari para penentu kebijakan
untuk mengubah paradigma pembangunan kota, dari pendekatan parsial menjadi
terpadu; dari kapitalisasi ruang kota menjadi penataan ruang yang menghormati hak
sosialbudaya-ekonomi warga kota. Konsep
yang disarankan oleh para ahli berpengalaman, yakni mengintegrasikan strategi
pengentasan kemiskinan dengan penataan pemukiman kumuh. Program “bedah rumah” harus
diubah menjadi “bedah kampung atau pemukiman”, dimana aspek perumahan,
lingkungan hidup, infrastruktur, ekonomi dan aspek kelembagaan sosial dirancang
bersama warga dan diimplementasikan sekaligus dalam suatu kawasan pemukiman. Proyek bedah rumah sejauh ini dipandang parsial, rawan penyelewengan
(korupsi), dan tidak berdampak luas.
Berdasarkan bahan
presentasi Bappeda Kota Makassar (Maret, 2011), teridentifkasi rumah yang tidak
layak huni (RTLH) berkaitan langsung dengan ketidakmampuan ekonomi rumah
tangga. Dengan jumlah penduduk 1.371.904 jiwa, kota Makassar menyisakan
keluarga miskin 62.096 RT, di antaranya rumah yang tidak layak huni 3.197 RT, yang
tinggal di atas kawasan kumuh seluas 540,78 HA di 23 kelurahan.
Kondisi
pemukiman kumuh umumnya rentan dari kebakaran. Pada musim penghujan, lingkungan
pemukiman kumuuh rawan banjir, dan konflik sosial. Sebanyak 16.689 KK penduduk berada di kawasan yang rentan
bencana. Menurut data Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (2010-2015),
rata-rata kasus kebakaran 10-15 kali per bulan. Sementara 24 kawasan kumuh
rentan banjir, yang beresiko pada
peningkatan kasus diare, typhus dan demam berdarah.
Dengan
kondisi kota Makassar seperti di atas, dapatlah dikatakan bahwa program
pengentasan kemiskinan, termasuk bedah rumah, pembangunan Rusunawa, Makassar
Clean and Green, dan semacamnya tidak cukup memadai untuk mencapai target bebas
pemukiman kumuh 2020.
Selama
sepuluh tahun terakhir, Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) merasakan
kemajuan pembangunan infrastruktur kota yang pesat. Pada saat yang sama suasana
kota terasa semakin sumpek, pemukiman kumuh semakin padat, mudah kebanjiran dan
kebakaran. Terjadi kesenjangan penguasaan lahan dan akses pada perumahan yang
layak huni. Dimana-mana perumahan mewah dan ruko-ruko yang dimiliki para
penguasa kapital diprioritaskan pengembangannya oleh pemerintah kota. Tidak
sebanding dengan sokongan program perbaikan perumahan dan nfrastruktur
pemukiman penduduk berpendapatan rendah. Semua ketimpangan ini akan memicu
patologi sosial, dan pada yang sama rakyat semakin tidak percaya pada
pemerintahnya.
Persoalan penguasaan
tanah pemukiman di Makassar seperti “fenomen gunung es”. Kasus yang manifes
tidak seberapa dibanding yang laten. Catatan dari sekretariat Jaringan Rakyat Miskin
Kota (JRMK) Makassar dan Forum Kajian Kota (Forkata) tahun antara tahun 2004 hingga 2006, sedikitnya
16 kasus sengketa tanah dan penggusuran pemukiman kumuh, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios di
Makassar. Dari 35 kasus yang manifes itu, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat
tinggal, dan 583 PKL kehilangan tempat usahanya. Kemudian, antara september-oktober 2008, KPRM
mendata 25 kasus tanah yang laten tersebar di 18 kelurahan.
Kasus
penggusuran pemukiman yang serius akhir-akhir ini di Buloa yang dihuni nelayan
pesisir Tallo. Sebanyak 50-an KK dipaksa menerima ganti rugi oleh antek-antek
mafia tanah yang dibeking pengusaha atas izin pemerintah kota. Pada kasus ini
nampak sekali pemerintah kota gagal melindungi warganya dari ancaman
penggusuran paksa untuk proyek pengembangan pelabuhan baru (New Port Makassar).
Hal ini karena, pemerintah kota tidak memiliki konsep penataan pemukiman di
kawasan pengembangan infrastruktur sebagai alternatif untuk menghindari warga
penggusuran paksa. Baik pemerintah, investor maupun pemilik tanah mengabaikan
amanah konstitusi dan konvensi PBB tentang perlindungan hak atas perumahan,
ekonomi dan sosialbudaya.
KPRM –
Jaringan Rakyat Miskin Kota Makassar memandang persoalan tersebut sebagai
akibat dari rendahnya keberpihakan pemerintah kepada rakyat miskin. Pemerintah
tidak sungguh-sungguh menuntaskan pemecahan persoalan kemiskinan secara
terpadu. Atas dasar ini, KPRM-JRMK Makassar mengharapkan pemerintahan baru,
gubernur maupun walikota terpilih nantinya, menuntaskan pengentasan kemiskinan
dan penataan ruang kota yang berkeadilan sosial.
Makassar, 13
Oktober 2012
Panjang Umur Perjuangan!
Ttd,
KPRM Makassar,
Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK)
Indonesia, Gardan Makassar, Lingkar Advokasi Warga (LAW) Unhas, Serikat Mahasiswa
Indonesia (SMI) Makassar, Perhimpunan Mantan Penderita Kusta (PERMATA)
Jongayya, Komunitas Sehati, Perhimpunan Penyancang Cacat (PPCI) Sulsel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar