Angka kemiskinan
di Makassar adalah angka kemiskinan versi BPS dengan menggunakan indikator
nasional. Misalnya,
indikator material bangunan dan peralatan dalam rumah, pakaian masyarakat adat
di Kajang, To Lotang, dan suku pedalaman lainnya, belum tentu cocok dengan
indikator nasional. Dalam konteks perkotaan, umumnya rumah tangga miskin
memiliki peralatan elektronik seperti televisi, VCD player, bahkan sepeda
motor. Fakta-fakta ini digunakan untuk mengukur tingkat pendapatan rumah tangga
miskin yang berhak atau sebaliknya tidak berhak mendapatkan subsidi pemerintah
seperti Raskin, Jamkesmas, dan semacamnya. Petugas sensus akan mengabaikan
kenyataan bahwa peralatan eklektronik dan otomotif tersebut adalah barang
pinjaman, yang menggerogoti pendapatan rumah tangga miskin.
Setahu penulis,
pemkot maupun
pemprov belum pernah merilis angka kemiskinan versi sendiri
berdasarkan sensus dengan indikator lokal-kontekstual seperti terurai di atas. Jika dilakukan, kemungkinan
hasilnya akan berbeda dengan data BPS. Bisa jadi angka kemiskinan lebih tinggi, atau pun sebaliknya. Tanpa bermaksud membantah hasil Susenas pemerintah
pusat, opini ini ditulis sebagai wacana tandingan terhadap klaim-klaim
keberhasilan pemerintah daerah menurunkan angka kemiskinan, yang seakan-akan
sudah mengentaskan rakyat dari kemiskinannya.
Klaim
yang menjadi opini pemerintah belakangan ini menyatakan bahwa program-program
populis seperti pendidikan dan kesehatan gratis, ambulans gratis, kredit mikro,
dan semacamnya telah sukses mengentaskan kemiskinan yang terbukti dengan menurunnya
angka kemiskinan, kenaikan angka pertumbuhan ekonomi daerah, dan pemerataan
pembangunan infrastruktur. Sejauh mata memandang, proyek-proyek tersebut nyata
menyisakan permasalahan dibawah permukaan seperti fenomena gunung es. Di bawah permukaan kehidupan rumah
tangga miskin sarat dengan persoalan sehari-hari. Jeratan utang, berbagai
pungutan di sekolah-sekolah, layanan kesehatan yang berbelit-belit,
kriminalitas, patologi sosial, kematian akibat gizi buruk, dan semacamnya,
dengan mudah ditemukan. Orang-orang miskin harus marah-marah dulu baru mendapatkan
hak konstitusionalnya. Tidak mengherankan bila pengaduan yang paling banyak masuk ke
komisi Ombudsman adalah pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan.
Dalam kurun waktu 2002 – 2008, program-program pengentasan kemiskinan di Makassar
masih mengekor pada program pemerintah pusat dibawah berbagai macam skema
seperti PNPM, Askeskin/Jamkesmas, BLT, BOS, KUR, paving blok, dan semacamnya.
Inisiatif dan inovasi lokal baru dimulai beberapa tahun terakhir ini, dengan
keterlibatan sejumlah LSM/mitra. Contoh yang relatif berhasil program subsidi pendidikan asuransi kesehatan dan subsidi pendidikan SD-SMA di kabupaten Sinjai. Pendanaan kedua program
tersebut sepenuhnya dirancang dan dibiayai oleh APBD. Hal yang berbeda dengan
program pemprov dan pemkot.
Bagi penulis
program subsidi pelayanan kesehatan dan pendidikan adalah hak konstitusional
seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah daerah tidak sepantasnya lagi menyicil
program tersebut dengan alasan keterbatasan anggaran daerah. Penulis percaya bahwa
keterbatasan anggaran belanja publik disebabkan merajalelanya praktik korupsi
pejabat. Contoh kasus nyata adalah penyelewengan dana Bansos oleh sejumlah
pejabat lesgislatif. Dana yang seharusnya dapat diakses oleh organisasi
masyarakat disabotase oleh perorangan dengan menggunakan LSM fiktif.
Yang harus dikedepankan dalam mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengenali
masalah pokok orang miskin. Tentunya memerlukan riset kualitatif yang komprehensif.
Dari sana, paradigma pengentasan kemiskinan dikonseptualsasikan menjadi
kebijakan dan program. Menurut penulis, fajka kemiskinan bersumber dari proses
pemiskinan, dimana orang miskin “terperangkap” (istilah yang saya pinjam dari buku
A. Max Neef, Human
Scale Development: Conception, Application, and Further Reflections (The Apex Press, 1991). Yang dimaksud perangkap
kemiskinan adalah situasi dimana orang miskin tidak bisa menemukan jalan keluar
dari citra dan fakta kemiskinannya. Kondisi kemiskinan telah dikonstruksi oleh proyek-proyek developmentalisme dan
kapitalisasi urusan publik. Akhirnya, orang miskin selalu mengukur kemiskinan
sehari-harinya sesuai penilaian atau pun standar pengelola proyek, baik itu
pemerintah maupun swasta. Pengelola proyek pun juga terperangkap oleh
pendekatan dan bentuk intervensinya masing-masing, dan miskin inovasi.
Membongkar perangkap ini tidak bisa lagi dimulai dengan pendekatan penurunan
angka statistik kemiskinan, tapi dengan pendekatan pemenuhan hak mendasar dan
kesejahteraan sosial, di dalamnya pemenuhan rasa keadilan. Banyak contoh di
dunia yang sukses mempraktekkan pendekatan kesejahteraan, terutama pada
pemenuhan hak ekosob (ekonomi sosialbudaya). ###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar