5 Des 2012

Solusi untuk Keluar dari Perangkap Kemiskinan

Angka kemiskinan di Makassar adalah angka kemiskinan versi BPS dengan menggunakan indikator nasional. Misalnya, indikator material bangunan dan peralatan dalam rumah, pakaian masyarakat adat di Kajang, To Lotang, dan suku pedalaman lainnya, belum tentu cocok dengan indikator nasional. Dalam konteks perkotaan, umumnya rumah tangga miskin memiliki peralatan elektronik seperti televisi, VCD player, bahkan sepeda motor. Fakta-fakta ini digunakan untuk mengukur tingkat pendapatan rumah tangga miskin yang berhak atau sebaliknya tidak berhak mendapatkan subsidi pemerintah seperti Raskin, Jamkesmas, dan semacamnya. Petugas sensus akan mengabaikan kenyataan bahwa peralatan eklektronik dan otomotif tersebut adalah barang pinjaman, yang menggerogoti pendapatan rumah tangga miskin.
Setahu penulis, pemkot maupun pemprov belum pernah merilis angka kemiskinan versi sendiri berdasarkan sensus dengan indikator lokal-kontekstual seperti terurai di atas. Jika dilakukan, kemungkinan hasilnya akan berbeda dengan data BPS. Bisa jadi angka kemiskinan lebih tinggi, atau pun sebaliknya. Tanpa bermaksud membantah hasil Susenas pemerintah pusat, opini ini ditulis sebagai wacana tandingan terhadap klaim-klaim keberhasilan pemerintah daerah menurunkan angka kemiskinan, yang seakan-akan sudah mengentaskan rakyat dari kemiskinannya.
Klaim yang menjadi opini pemerintah belakangan ini menyatakan bahwa program-program populis seperti pendidikan dan kesehatan gratis, ambulans gratis, kredit mikro, dan semacamnya telah sukses mengentaskan kemiskinan yang terbukti dengan menurunnya angka kemiskinan, kenaikan angka pertumbuhan ekonomi daerah, dan pemerataan pembangunan infrastruktur. Sejauh mata memandang, proyek-proyek tersebut nyata menyisakan permasalahan dibawah permukaan seperti fenomena gunung es. Di bawah permukaan kehidupan rumah tangga miskin sarat dengan persoalan sehari-hari. Jeratan utang, berbagai pungutan di sekolah-sekolah, layanan kesehatan yang berbelit-belit, kriminalitas, patologi sosial, kematian akibat gizi buruk, dan semacamnya, dengan mudah ditemukan. Orang-orang miskin harus marah-marah dulu baru mendapatkan hak konstitusionalnya. Tidak mengherankan bila pengaduan yang paling banyak masuk ke komisi Ombudsman adalah pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan. 
Dalam kurun waktu 2002 – 2008, program-program pengentasan kemiskinan di Makassar masih mengekor pada program pemerintah pusat dibawah berbagai macam skema seperti PNPM, Askeskin/Jamkesmas, BLT, BOS, KUR, paving blok, dan semacamnya. Inisiatif dan inovasi lokal baru dimulai beberapa tahun terakhir ini, dengan keterlibatan sejumlah LSM/mitra. Contoh yang relatif berhasil program subsidi pendidikan asuransi kesehatan dan subsidi pendidikan SD-SMA di kabupaten Sinjai. Pendanaan kedua program tersebut sepenuhnya dirancang dan dibiayai oleh APBD. Hal yang berbeda dengan program pemprov dan pemkot.
Bagi penulis program subsidi pelayanan kesehatan dan pendidikan adalah hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah daerah tidak sepantasnya lagi menyicil program tersebut dengan alasan keterbatasan anggaran daerah. Penulis percaya bahwa keterbatasan anggaran belanja publik disebabkan merajalelanya praktik korupsi pejabat. Contoh kasus nyata adalah penyelewengan dana Bansos oleh sejumlah pejabat lesgislatif. Dana yang seharusnya dapat diakses oleh organisasi masyarakat disabotase oleh perorangan dengan menggunakan LSM fiktif.
Yang harus dikedepankan dalam mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengenali masalah pokok orang miskin. Tentunya memerlukan riset kualitatif yang komprehensif. Dari sana, paradigma pengentasan kemiskinan dikonseptualsasikan menjadi kebijakan dan program. Menurut penulis, fajka kemiskinan bersumber dari proses pemiskinan, dimana orang miskin “terperangkap” (istilah yang saya pinjam dari buku A. Max Neef, Human Scale Development: Conception, Application, and Further Reflections (The Apex Press, 1991). Yang dimaksud perangkap kemiskinan adalah situasi dimana orang miskin tidak bisa menemukan jalan keluar dari citra dan fakta kemiskinannya. Kondisi kemiskinan telah dikonstruksi oleh proyek-proyek developmentalisme dan kapitalisasi urusan publik. Akhirnya, orang miskin selalu mengukur kemiskinan sehari-harinya sesuai penilaian atau pun standar pengelola proyek, baik itu pemerintah maupun swasta. Pengelola proyek pun juga terperangkap oleh pendekatan dan bentuk intervensinya masing-masing, dan miskin inovasi.
Membongkar perangkap ini tidak bisa lagi dimulai dengan pendekatan penurunan angka statistik kemiskinan, tapi dengan pendekatan pemenuhan hak mendasar dan kesejahteraan sosial, di dalamnya pemenuhan rasa keadilan. Banyak contoh di dunia yang sukses mempraktekkan pendekatan kesejahteraan, terutama pada pemenuhan hak ekosob (ekonomi sosialbudaya). ###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar