6 Jan 2013

Pemerintah Lalai Rakyat Sengsara: Siaran Pers JRMK Sulsel 2013

Tata kota dan pemerintahan yang baik menjadi prasyarat penting untuk menjamin keberdayaan rakyat dan keterlibatan mereka dalam pengembangan lingkungan perkotaan agar mereka tidak terpinggirkan dan tidak terkena bencana akibat perubahan iklim, kekerasan, serta kesehatan yang buruk (IFRC, World Disaster Report 2010: Focus on Urban Risk).
UNISDR, badan PBB urusan pengurangan resiko bencana dan IFRC, Federasi Palang Merah Internasional telah mengingatkan pemerintah-pemerintah lokal di seluruh dunia untuk mengurangi resiko bencana dengan cara mengadaptasi perubahan iklim yang lima tahun terakhir semakin ekstrim. Pada tahun 2010, Federasi Palang Merah Internasional melaporkan 2,57 milyar penduduk berpendapatan rendah rentan bencana akibat laju pertumbuhan kota, pertambahan penduduk, sanitasi dan pelayanan kesehatan yang buruk, serta kekerasan. Antara sepertiga hingga setengah dari penduduk kota-kota besar yang berpendapatan rendah itu tinggal di pemukiman informal atau kumuh, yang rentan kebanjiran.
Di Kota Makassar, sedikitnya ada 24 titik kawasan pemukiman yang rentan kebanjiran. Berdasarkan data BPS 2011, kawasan yang rentan itu tersebar di 8 kecamatan, yakni Mariso, Mamajang, Bontoala, Ujung Tanah, Tallo, Panakkukang, Manggala, dan Tamalanrea. Pemerintah kota Makassar mengakui adanya kenaikan 10% kasus bencana alam dan bencana sosial tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan kota Makassar mengabaikan faktor resiko bencana. Sebaliknya, pembangunan kota telah mempertinggi resiko bencana.
Dengan kata lain, klaim pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pembangunan kota yang modern tidak selalu membawa nikmat. Sebaliknya, akan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat karena pembangunan itu mengabaikan analisis daya dukung lingkungan, dan tanpa manajemen pengendalian resiko bencana. Faktor perubahan iklim yang ditandai dengan tingginya curah hujan telah memicu bencana banjir, longsor, dan gagal panen. Pemicu lainnya adalah faktor kebijakan penataan yang buruk, terutama di perkotaan. Misalnya, konversi lahan produktif  dan daerah resapan di kawasan penyanggah (buffer zone) menjadi kawasan pemukiman mewah akan mempertinggi resiko banjir. Juga, pesatnya pembangunan infrastruktur yang umumnya berkualitas buruk, tidak disertai dengan sistim drainase terpadu. 
kerugian ekonomi
Di Kota Makassar, sedikitnya ada 24 titik kawasan pemukiman yang rentan kebanjiran. Berdasarkan data BPS 2011, kawasan yang rentan itu tersebar di 8 kecamatan, yakni Mariso, Mamajang, Bontoala, Ujung Tanah, Tallo, Panakkukang, Manggala, dan Tamalanrea. Pemerintah kota Makassar mengakui adanya kenaikan 10% kasus bencana alam dan bencana sosial tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan kota Makassar mengabaikan faktor resiko bencana. Sebaliknya, pembangunan kota telah mempertinggi resiko bencana.
Banjir dan genangan air yang merata di hampir seluruh kawasan pemukiman penduduk kota Makassar dan daerah penyanggah seperti Gowa, Maros dan Pangkep seminggu terakhir ini lagi-lagi menyengsarakan rakyat. Tidak benar jika kenyataan ini diterima sebagai musibah belaka. Jelas sekali bahwa pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota tidak memiliki sistim pengendalian lingkungan hidup dan manajemen pengurangan resiko bencana. Sehingga hujan beberapa hari saja jalan-jalan raya sudah tergenang air, dan pemukiman penduduk di pinggiran kota setiap tahun kebanjiran.
kerusakan sarana transportasi
Di sisi lain, kemampuan aparat BPBD (penanggulangan bencana daerah) sangat terbatas. Kemampuan kerjanya tidak seimbang dengan luasan daerah banjir. Hal ini karena BPBD tidak memiliki data maupun peta potensi rawan bencana banjir yang akurat dan komprehensif. Yang marak justru para politisi yang mengambil keuntungan di atas kesengsaraan rakyat korban banjir. Seakan-akan mereka juru selamat, yang tidak bersalah. Mereka bersembunyi di balik bantuan-bantuan karitatif seolah-olah sudah menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai aparat negara. Pertanyaannya kemudian berapa kerugian rakyat korban banjir selama ini. Dan, siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian material dan immateril yang diderita rakyat korban banjir tersebut?
(1). Kami berpendapat bahwa banjir massif awal tahun 2013 ini akibat kelalaian pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota dalam menata kelola DAS, sistim drainase dan tata ruang kota. Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak seimbang dengan analisis kerusakan lingkungan. Pengembangan infrastruktur tidak terintegrasi dengan sistim drainase.
(2) Segala kerugian material dan immateril merupakan tanggung jawab pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten/kota. Dan karenanya itu, bantuan-bantuan karitatif tidak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
(3) Perlu perubahan mendasar dalam tatakelola pemerintahan, tatakelola DAS, serta tata ruang kota.
Makassar, 07 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar