Tata kota dan pemerintahan yang baik menjadi
prasyarat penting untuk menjamin keberdayaan rakyat dan keterlibatan mereka
dalam pengembangan lingkungan perkotaan agar mereka tidak terpinggirkan dan
tidak terkena bencana akibat perubahan iklim, kekerasan, serta kesehatan yang
buruk (IFRC, World Disaster Report 2010: Focus on Urban Risk).
UNISDR,
badan PBB urusan pengurangan resiko bencana dan IFRC, Federasi Palang Merah
Internasional telah mengingatkan pemerintah-pemerintah lokal di seluruh dunia
untuk mengurangi resiko bencana dengan cara mengadaptasi perubahan iklim yang
lima tahun terakhir semakin ekstrim. Pada tahun 2010, Federasi Palang Merah
Internasional melaporkan 2,57 milyar penduduk berpendapatan rendah rentan
bencana akibat laju pertumbuhan kota, pertambahan
penduduk, sanitasi dan pelayanan kesehatan yang buruk, serta kekerasan. Antara
sepertiga hingga setengah dari penduduk kota-kota besar yang berpendapatan
rendah itu tinggal di pemukiman informal atau kumuh, yang rentan kebanjiran.
Di
Kota Makassar, sedikitnya ada 24 titik kawasan pemukiman yang rentan kebanjiran.
Berdasarkan data BPS 2011, kawasan yang rentan itu tersebar di 8 kecamatan,
yakni Mariso, Mamajang, Bontoala, Ujung Tanah, Tallo, Panakkukang, Manggala,
dan Tamalanrea. Pemerintah kota Makassar mengakui adanya kenaikan 10% kasus
bencana alam dan bencana sosial tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan kota Makassar mengabaikan faktor resiko bencana. Sebaliknya,
pembangunan kota telah mempertinggi resiko bencana.
Dengan kata lain, klaim pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pembangunan kota yang modern tidak selalu membawa nikmat. Sebaliknya, akan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat karena pembangunan itu mengabaikan analisis daya dukung lingkungan, dan tanpa manajemen pengendalian resiko bencana. Faktor perubahan iklim yang ditandai dengan tingginya curah hujan telah memicu bencana banjir, longsor, dan gagal panen. Pemicu lainnya adalah faktor kebijakan penataan yang buruk, terutama di perkotaan. Misalnya, konversi lahan produktif dan daerah resapan di kawasan penyanggah (buffer zone) menjadi kawasan pemukiman mewah akan mempertinggi resiko banjir. Juga, pesatnya pembangunan infrastruktur yang umumnya berkualitas buruk, tidak disertai dengan sistim drainase terpadu.
Dengan kata lain, klaim pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pembangunan kota yang modern tidak selalu membawa nikmat. Sebaliknya, akan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat karena pembangunan itu mengabaikan analisis daya dukung lingkungan, dan tanpa manajemen pengendalian resiko bencana. Faktor perubahan iklim yang ditandai dengan tingginya curah hujan telah memicu bencana banjir, longsor, dan gagal panen. Pemicu lainnya adalah faktor kebijakan penataan yang buruk, terutama di perkotaan. Misalnya, konversi lahan produktif dan daerah resapan di kawasan penyanggah (buffer zone) menjadi kawasan pemukiman mewah akan mempertinggi resiko banjir. Juga, pesatnya pembangunan infrastruktur yang umumnya berkualitas buruk, tidak disertai dengan sistim drainase terpadu.
kerugian ekonomi |
Di
Kota Makassar, sedikitnya ada 24 titik kawasan pemukiman yang rentan kebanjiran.
Berdasarkan data BPS 2011, kawasan yang rentan itu tersebar di 8 kecamatan,
yakni Mariso, Mamajang, Bontoala, Ujung Tanah, Tallo, Panakkukang, Manggala,
dan Tamalanrea. Pemerintah kota Makassar mengakui adanya kenaikan 10% kasus
bencana alam dan bencana sosial tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan kota Makassar mengabaikan faktor resiko bencana. Sebaliknya,
pembangunan kota telah mempertinggi resiko bencana.
Banjir
dan genangan air yang merata di hampir seluruh kawasan pemukiman penduduk kota
Makassar dan daerah penyanggah seperti Gowa, Maros dan Pangkep seminggu
terakhir ini lagi-lagi menyengsarakan rakyat. Tidak benar jika kenyataan ini
diterima sebagai musibah belaka. Jelas sekali bahwa pemerintah daerah, baik
propinsi maupun kabupaten/kota tidak memiliki sistim pengendalian lingkungan
hidup dan manajemen pengurangan resiko bencana. Sehingga hujan beberapa hari
saja jalan-jalan raya sudah tergenang air, dan pemukiman penduduk di pinggiran
kota setiap tahun kebanjiran.
kerusakan sarana transportasi |
(1). Kami berpendapat bahwa banjir massif awal tahun 2013 ini akibat kelalaian pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota dalam menata kelola DAS, sistim drainase dan tata ruang kota. Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak seimbang dengan analisis kerusakan lingkungan. Pengembangan infrastruktur tidak terintegrasi dengan sistim drainase.
(2) Segala
kerugian material dan immateril merupakan tanggung jawab pemerintah daerah
propinsi maupun kabupaten/kota. Dan karenanya itu, bantuan-bantuan karitatif
tidak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
(3) Perlu perubahan
mendasar dalam tatakelola pemerintahan, tatakelola DAS, serta tata ruang kota.
Makassar,
07 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar