(Siaran Pers 30 September 2005)
Belum lagi tuntas persoalan
kenaikkan BBM pada bulan Maret 2005, pemerintah kembali berencana menaikkan
harga BBM pada bulan Oktober nanti. Rencana ini akan mengakibatkan semakin
buruk dan terpuruknya kondisi masyarakat ke depan. Kebijakan yang dikeluarkan
akan menambah tingkat kemiskinan di tengah harapan jutaan rakyat akan
kesejahteraan dan keadilan.
Dasar argumentasi pemerintah
untuk menaikan harga BBM adalah “kemampuan APBN terbatas”, dan oleh karena itu
butuh “penghematan”. Dari semua skema penghematan berdasarkan kategori BBM yang
akan dinaikan, sebagian besar susdi dinikmati oleh golongan menengah ke atas,
terutama untuk kebutuhan konsumtif, industri dan jasa.
Argumentasi, tujuan dan
realisasi kenaikan harga BBM sangat kontradiktif. Pertama, harga BBM bagi
tukang ojek, nelayan, sopir Bajaj, pemilik sepeda motor dinaikkan dengan
kategori yang sama dengan konsumsi kelas menengah ke atas. Seberapa pun
persentase kenaikan BBM untuk mereka sudah merupakan penipuan dan bentuk
pemiskinan di tengah krisis. Logika penghematan semacam ini harus ditolak.
Kedua, bila tujuannya adalah menghapuskan subsidi BBM untuk konsumsi kelas
menengah ke atas, maka langkah yang lebih tepat adalah membuat tingkat harga
tersendiri untuk konsumsi sedan maupun motor mewah milik mereka ini. Ketiga,
pencabutan subsidi untuk konsumsi kelas menegah ke atas ini sulit dijalankan karena
membutuhkan pengawasan yang efektif, sehingga pengenaan harga khusus bagi
mereka bukanlah solusi penghematan. Dibutuhkan kebijakan untuk mengawasi agar
dalam distribusi BBM bagi mereka tidak diselewengkan.
Mampu dan maukah SBY–Kalla
menjalankan kebijakan ini dengan tetap memelihara birokrasi yang korup?
Jawabannya, Tidak karena pasca kenaikkan BBM per-Maret 2005 lalu pemerintah
SBY-Kalla setengah hati dalam mengontrol hal tersebut. Terbukti saat ini rakyat
sangat kesusahan dalam mendapatkan minyak tanah sebagai bahan bakar pokok bagi
rumah tangga kelas bawah.
Sebenanrnya masih ada langkah
alternatif jika SBY-Kalla benar-benar ingin mengurangi beban subsidi BBM yang
dinikmati oleh kelas menengah ke atas, yaitu dengan menekan tingkat konsumsi.
Caranya, membatasi jumlah kendaraan kelas menengah ke atas, misalnya dengan
membatasi tingkat pertambahan mobil pribadi dengan menaikan tarif mobil impor.
Ini pun bila SBY-Kalla berani berhadapan dengan negeri-negeri kapitalis
automotif seperti Jepang, AS, Korea Selatan, dan Eropa. Apabila tidak berani
masih ada jalan lain, yaitu membatasi jam pemakaian atau membatasi jatah
konsumsi BBM untuk mobil pribadi. Atau pun dengan cara membatasi usia pemakaian
mobil, dan kepemilikan mobil pribadi.
Di Singapura usia operasional mobil hanya
5 tahun, setelah itu dihancurkan. Bisa juga dengan memaksa kelas menengah ke
atas untuk berwatak produktif misalnya pada saat jam kerja mobil-mobil pribadi
difungsikan sebagai sarana angkutan umum. Di India mobil-mobil pribadi pada saat
jam kerja difungsikan sebagai taksi. Tentu saja untuk kebijakan ini membutuhkan
dukungan politik dari rakyat yang kuat.
Argumentasi bahwa konsumsi BBM
untuk kebutuhan industri dan jasa harus dicabut subsidinya juga harus ditolak.
Ini membuktikan bahwa SBY membohongi rakyat, karena janjinya pada saat kampanye
akan menggenjot pertumbuhan ekonomi agar lapangan kerja bertambah untuk
mengurangi pengangguran. Di tengah krisis struktural industri dalam negeri
pencabutan subsidi justru akan menambah beban. Kenaikan harga BBM untuk
industri dan jasa jelas akan menambah tingkat biaya produksi dan semakin
memperparah krisis dari industri dalam negeri. Pelaku industri, yaitu pengusaha
dan buruh jelas dirugikan. Namun dari tingkat kerugian yang akan ditanggung
kaum buruhlah yang paling dirugikan.
Keempat, pemberian subsidi
sebesar 100.000/bulan kepada masyarakat miskin adalah tidak tepat. Kebijakan
ini akan memperbesar kemungkinan penggelapan, penyelewengan, dan korupsi.
Subtitusi dari pengurangan subsidi BBM Maret lalu belum sepenuhnya terlaksana
dan dievaluasi. Banyak keluarga miskin yang tidak terdata, dan yang terdata pun
tidak mendapatkan hak yang semestinya. Banyak indikasi penyelewengan dari
subsidi dalam bentuk uang tunai.
Tindakan SBY menaikan harga BBM
membuktikan bahwa slogan “Perubahan” dan “Kerakyatan” yang
digembar-gemborkannya selama masa kampanye hanya membohongi, menipu, dan
pengkhianatan terhadap rakyat. Apalagi
logika penghematan yang ngawur itu tidak disertai dengan upaya penghematan APBN
yang lebih mendasar. Uang rakyat dipakai untuk menalangi hutang luar negeri,
yang berarti juga menalangi konglomerat-konglomerat Orde Baru yang korup. Hal
ini sangat jelas ditunjukkan dalam RAPBN 2005 dimana pembayaran bunga dan
cicilan luar negeri sebesar Rp 63,9868 Triliun, serta pembayaran bunga obligasi
negara (Surat Utang) rekapitalisasi perbankan sebesar Rp 20,5858 Triliun atau
sebesar 0,9 %. Janji pemberantasan korupsi terbukti hanya omong kosong belaka.
Tidak ada terobosan yang serius untuk menangkap dan menyita harta koruptor.
Padahal jika dilakukan dengan serius, misalnya dengan menerapkan penyelidikan
kasus korupsi dengan metode pembuktian hukum terbalik, pasti terjadi
penghematan APBN yang signifikan. Apalagi jika disertai penyitaan, perampasan,
nasionalisasi terhadap harta para koruptor seperti Suharto dan kroninya.
Oleh Karena itu kami dari Komite
Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota Simpul Makassar
menyatakan sikap:
(1) Menolak rencana
pemerintah untuk menaikan harga BBM;
(2) Mendesak Pertamina
segera memperbaiki sistem pendistribusian BBM, yang meminimalisir terjadinya
kecurangan oleh pihak-pihak tertentu, dan;
(3) Meminta kepada aparat
kepolisian untuk menindak tegas yang terbukti melakukan pelanggaran.