(Siaran Pers 30 September 2005)
Perkumpulan sosial-urbanis, bekerja untuk mewujudkan tata kota berkeadilan sosial, ekonomi, dan politik.
30 Sep 2005
Menolak Rencana Kenaikan BBM dan Kelangkaan Minyak Tanah
25 Agu 2005
Aktivisme Simpul Uplink Kendari
(Catatan 25 Agustus 2005)
Berdasarkan statistik (2005), penduduk Kota
Kendari pada tahun 2004 sebanyak 222.955 jiwa. Jumlah penduduk sebesar ini
hampir sama dengan penduduk dua kecamatan di kota Makassar. Tandanya Kendari
kota kecil, dengan persoalan yang belum sekompleks kota Makassar. Mayoritas penduduknya
beragama Islam (209.013 orang), beragama Katolik (4.851 orang), beragama
Protestan (10.025 orang), beragama Hindu (1.400 orang), dan beragama Budha
sebanyak 820 orang.
Wilayah Kota Kendari berupa dataran rendah dan
perbukitan. Luasnya 295,89 Km2 atau 0,70 persen dari luas daratan provinsi
Sulawesi Tenggara. Pemukiman terkonsentrasi di sekeliling Teluk Kendari dan di dataran
bukit. Pusat kegiatan ekonomi terutama berada di sepanjang jalan poros Bandara
– Kota Lama dan di sepanjang Teluk . Di Teluk Kendari terdapat satu pulau,
yaitu Bungkutoko.
Pertumbuhan kota Kendari tidak terlepas dari
sejarah migrasi orang-orang pendatang, terutama dari Sulawesi Selatan. Hal ini
sudah berlangsung sejak masa kolonial, dan mencapai puncaknya pasca krisis
politik tahun 1960-an. Hingga tahun 1990-an, wilayah Sulawesi Tenggara masih instansi
yang digandeng dengan Sulawesi Selatan, misalnya Polda Sulselra, PLN Sulselra,
Balar Sulselra.
Kendari adalah kota kecil, yang baru belasan
tahun terakhir ini beranjak dari dari kota admiistratif menjadi kotamadya.
Dibandingkan dengan enam tahun lalu ketika saya dan Alwy Rachman berkunjung,
berdiskusi dengan aktivis LSM dan mahasiswa jelang Pemilu 1999, dinamika kota
sudah berbeda jauh. Waktu itu pak Alwy sempat berkesan “kota Kendari seperti
Makassar tahun 70-an”. Dari bandara memasuki kota tampak bangunan rumah dan
toko relatif sama ketimggiannya. Tidak mall atau pun hotel mewah. Kawasan teluk
Kendari kebanyakan rawa dan mangrove. Hotel terbaik di sekitar teluk masih
sekelas wisma. Nyaris tidak ada jejak-jejak kemacetan.
Kini Kendari mulai menyambut era reformasi.
Ibarat gadis “baru bakka”mulai beranjak dewasa. Masa dimana para pendatang
tertarik untuk beradu nasib, memperebutkan ruang-ruang ekonomi di atas lahan
yang terbentang dari bandara hingga ke Teluk Kendari. Dengan keterbukaan sikap
penduduk asli menerima para pendatang, gagasan baru dan investasi niscaya
berterima.
Kendari Beach
Begitu orang-orang menyebutnya. Terletak di
pinggiran teluk Kendari. Para penjual berjejer menghadap jalan raya
membelakangi tanggul teluk. Mirip dengan suasana Pantai Losari Makassar.
Suasananya lebih ramai dibanding enam tahun lalu. Asap ikan bakar dan jagung
bakar mengepul di antara tenda-tenda pedagang. Orang-orang makan dan minum kop
atau jus. Sesekali diselingi nyanyian pengamen.
Di sini saya menemui kenalan lama, Selvi dan
cowoknya. Dia masih ingat saya. Dia PSK seperti dulu tetap cerewet dan
“ganjen”. Dia minta ditraktir bir sebotol plus sprite. Harganya Rp 20.000. Kami
mengobrol tentang perkembangan usaha tenda di sepanjang teluk Kendari. Pemkot
menyuruh semua usaha tenda dipasangi lampu yang terang, dan tendanya tidak
boleh dipasangi kain penutup, Tidak remang-remang lagi. Lampu jalan juga
menyala semua.
Pengamen jalanan makin ramai. Mereka
terorganisasi dalam KPJK (Kelompok Pengamen Jalanan Kendari). Antara usaha tenda
dan pengamen saling mendukung. Tidak semuanya ngamen. Ada yang sekedar
meramaikan suasana pantai. Kadangkala ribut dengan pengunjung karena salah
paham. Apalagi kalau sudah mabuk.
Jajanan Pinggir Jalanan
Tidak sulit mencari makanan dan minuman jajanan
di kota ini. Para penjual masih bisa ditemui di persimpangan jalan raya, depan
toko, apalagi sekitar teluk. Mereka buka dari hingga larut malam, menemani
orang-orang yang begadang. Harga masih terjangkau.
Pagi hari, berjalan kaki ke pasar Mandonga. Di
sini tersedia menu sarapan pagi. Beli kue-kue tradisional Rp 5.000 dapat
sepuluh biji. Makan siang, ikan bakar, 4 bungkus Rp 12.000. Beli di warung
dekat pangkalan ojek. Penjualnya Ato, anak Makassar, baru 2 bulan di Kendari.
Lokasi jualannya bekas gusuran, samping ruko. Dulunya di tempat itu ada rumah,
digusur karena melanggar roling jalan. Ato pakai tempat itu tidak sewa. Dia
cuma izin ke pemilik warung di sebelahnya, orang Bugis.
Malam hari, ada penjual makanan Sari Laut,
orang jawa. Cukup dengan berjalan kaki untuk sampai di Sari Laut samping TVRI
ini. Makan ikan bakar Rp 25.000 berdua. Ada juga Soto Ayam dekat pangkalan
ojek. Habis makan bisa langsung ke Kendari Beach dengan angkot. Pulang naik
angkot lagi. Singgah di warung gorengan. Beli molen dan tahu goreng Rp 6.000
sebungkus. Sesekalli singgah di Cafe di jalan Saranani dekat Perumnas. Minum
Green Sand sebotol Rp 10.000.
KPJK
Mereka berencana mengadakan kegoatan “gelar
pengamen akbar di kendari”. Di sini berkumpul anak-anak jalanan, pengamen, dan
aktivis “prodem”. Kenalan dengan Sakkir, ketua KPJK. Kami diskusi soal rumah
singgah. Ada keinginan mereka advokasi rumah singgah untuk anak jalanan seperti
di Makassar. Pertanyaan yang mereka perdebatkan, apakah rumah singgah itu sudah
menjadi kebutuhan kaum jalanan di Kendari, apa dampaknya bagi anak-anak
jalanan? Apalagi proyek rumah singgah Depsos dan LSM seperti di Makassar
menjadi lahan korupsi.
Tidak jauh dari tenda Selvi adalah kios daeng
Erwin, kenalan lama, orang Makassar. Letak kios di pinggir jalan raya A. Yani, samping lorong kelinci. Dia masih
ingat saya. Seperti dulu dia menyapa saya dengan bahasa makassar. Dia kira saya
masih bawa barang dagangan.
Seperti dulu, kios daeng jadi tempat
nongkrong. Ada 4 orang yang nongkrong malam ini. Tampaknya kelas terpelajar.
Tapi, malam ini tidak satu pun orang yang saya kenal. Mereka bicara soal
politik sampai ke mistik. Mereka mengulas pertarungan politik gubernur, bupati,
walikota, dan La Ode Ida. Daeng bersemangat waktu ngomong soal mistik. Saya
menyimak saja, tahan diri untuk tidak nimbrung dalam percakapan.
Komunitas
Pemulung
Berkunjung ke komunitas pemulung. Naik ojek
dari sekretariat KPI – Koalisi Perempuan Indonesia jalan MT. Haryono Rp 1.500.
Di perkampungan pemulung bertemu dengan Lasmi bersama ibu angkat dan 3 anaknya.
Berkenalan dengan pak Eskandar, bekas tukang becak yang ikut pelatihan
enumerasi di Jakarta bersama yanti. Kami mengobrol dengan ibu-ibu tentang
sejarah tempat tinggal, biaya sekolah dan pelayanan asuransi kesehatan.
Warga di sini menempati tanah milik pak
Yakobus, tuan tanah. Statusnya menumpang. Ada yang sudah tinggal sejak 1983.
Lasmi tinggal di sini sudah 5 tahun. Suaminya pergi dan tidak kembali ketika
anaknya yang bungsu berusia 6 bulan. Setiap pagi dia dan ibunya keliling mulung
sampah di seputar kota. Lasmi pakai becak angkut sampah plastik, besi,
aluminium, dan karton. Sekalian angkut-jemput anak-anaknya yang sekolah. Ibunya
jalan kaki mulung sampai ke pasar Mandonga. Siang pulang, sore mulung lagi.
Hari ini Lasmi dapat Rp 40.000.
Ibu-ibu di sini belum dapat Askes, tapi sudah
dialog dengan dinas kesehatan dan lurah. Mereka dijanji dapat Askes tahap
kedua. Mereka juga mengeluhkan mahalnya biaya sekolah. Pernah istri bupati
beserta rombongan berkunjung dan mengasih sumbangan Rp 50.000 ke setiap anak
pemulung. Kesannya sekedar “iklan”. Kunjungan ini dimuat di koran lengkap
dengan gambarnya. Menurut ibu-ibu, sumbangan itu tidak menyelesaikan masalah
sekolah. Maunya mereka biaya beli buku sekolah digratiskan saja. Mereka mau
saja ketemu istri bupati lagi di rumah atau kantornya, asalkan ditemani
pendamping Uplink/KPI.
Kelompok Tabungan Lapulu
Cerita mengenai kelompok tabungan di Kendari
bermula dari pengalaman Rukiah dan Dg. Kebo, perempuan miskin kota dari KPRM
Makssar tahun lalu. Keduanya memperkenalkan sistim tabungan harian, yang
diajarkan UPC. Sistim tabungan ini merupakan media pemberdayaan dan penyadaran.
Berbeda dengan arisan, ibu-ibu menabung setiap
hari, menyisakan penghasilannya berapa saja, yang penting menabung. Setiap hari
ketua kelompok atau kolektor memungut uang tabungan anggota kelompok. Setiap
bulan pertemuan kelompok mengevaluasi jumlah uang tabungan masing-masing
anggota, sekalian membahas persoalan rumah tangga atau pun permasalahan yang
bekaitan dengan pekerjaan, layanan kesehatan, anak sekolah. Jadi kolektor juga
mengumpulkan informasi, dan ditindaklanjuti bersama pendamping Uplink.
Hingga jumlah tertentu, uang tabungan dapat
digunakan oleh anggota kelompok sesuai dengan kebutuhan mendesak berdasarkan
tujuan awal menjadi penabung. Misalnya uang tabungan digunakan untuk berobat
saat sakit, biaya anak sekolah, keperluan di bulan puasa dan lebaran, bahkan
usaha simpan pinjam. Namun, yang paling ditekankan adalah pertemuan dan
pemecahan masalah anggota kelompok.
Kami berangkat ke Lapulu di kecamatan Ibeli
dengan menggunakan angkot Rp 1.000/orang ke pelabuhan. Kemudian menyeberang
pakai ojek perahu, sekitar 15 menit. Ongkosnya Rp 1.000/orang. Pemukiman warga
di sini berada di sekitar teluk Kendari. Rumah-rumah warga umumnya berbahan
kayu dan setengah panggung.
Ibu-ibu di sini semuanya mengenal aktivis KPI.
Setiap jalan mereka menyapa kami serasa akrab. Anak-anak berebutan kalau
diambil gambarnya. Kelompok ibu-ibu tabungan di kampung ini diketuai mamanya
Eka sekaligus kolektor. Jumlah tabungan sekitar Rp 3 juta. Kami mengobrol di
rumah bu Roy, bekas kolektor. Dia ikut demo protes soal harga minyak tanah di
hari anti pemiskinan. Mereka berhasil menurunkan harga minyak tanah di
pangkalan, dari Rp1.300/lt menjadi Rp 1.000/lt. Tapi, bu Roy tetap dikenakan
harga Rp 1.300/lt. Menurut bu Roy, pemilik pangkalan sentimen sama dia karena
dia yang paling vokal dan nampak jelas di RCTI.
Kelompok Tabungan Anggoya
Jelang magrib, saya diantar Cornelis ke
pangkalan ojek di kelurahan Talia. Naik ojek ke Anggoya Rp 3.000/orang.
Berkunjung ke rumah bu Asiana, ketua kelompok (CL) tabungan Anggoya. Dia juga
alumni pelatihan CO di Makassar. Dia
masih ingat saya waktu pertemuan pertama kali di rumah bu Sulastri tahun lalu.
Kata teman-teman, dia CL yang potensial, paling vokal waktu demo BBM. Sudah
sering ikut acaranya KPI. Ssekarang dia ikut program penanggulangan kemiskinan
P2KP. Dia dipercaya oleh pak Lurah untuk mengelola dana pinjaman Rp 400 ribu
untuk membuat abon ikan. Dia ikutkan anggota tabungannya 10 orang. Dia tahu
dana P2KP dari Bank Dunia. Dia mau ambil dana itu karena didukung suami dan
anggota tabungan. Menurutnya, dana itu penting untuk menambah pendapatan
anggota. Meskipun demikian, bu Asia tidak yakin kalau nanti modal usaha itu
bisa kembali.
Kelompok Tabungan Petoaha
Kami berempat ke pelabuhan, kemudian
menyeberang ke Petoaha pakai ojek perahu Rp 1.500/per-orang. Perjalanan sekitar
20 menit.
Kampung ini tampak rapi. Rumah panggung
beratap seng yang bentuknya sama, berjejer sepanjang pesisir pantai.
Penduduknya kebanyakan suku Bajo yang dulunya digelari “manusia perahu” karena
tempat tinggalnya di atas perahu. Dua tahun lalu, suku ini dirumahkan oleh
Pemkot. Rumah-rumah mereka berdiri di atas air di antara tanggul dan daratan.
Beberapa rumah masih tampak beratap daun nipah. Mata pencaharian mereka umumnya
adalah nelayan dan memelihara rumput laut.
Seperti biasa teman-teman memperkenalkan saya
dari makassar. Kesanya seperti inspeksi. Kenalan dengan anggota tabungan, Cece,
As, Cornelis dan Asnaling. Ketua kelompok tabungan Cornelis, baru pulang dari
Maluku. Barangkali dia satu-satunya warga non-muslim di kampung ini. Kolektor
Cece, bendaharanya As. Menurut mereka, tabungan tidak lancar. Warganya malas
menabung karena penghasilannya tidak menentu, dan masih belum yakin pada
pengurusnya. Anggota maunya uang tabungan itu dijadikan modal usaha.
Di sini kami lebih banyak mengobrolkan
kehidupan nelayan sehari-hari. Misalnya, pengalaman mereka mengambil lokan
besar, dan dijual Rp 5.000/biji. Sekarang semakin sulit. Begitu juga usaha
rumput laut, perkilonya Rp 4.000. Jaring penangkarnya sering ditabrak kapal di
malam hari.
Aktivisme LSM
Dinamika dan keberlangsungan aktivis LSM di
kota Kendari juga sangat bergantung pada relasi dengan organisasi jaringan
nasional seperti Uplink, KPI, Walhi, KPA, AMAN, termasuk LBH dan PRD. Jaringan
ini umumnya memiliki kontak person lokal, aktivis senior. Selain sebagai simpul
wilayah, mereka juga mengkader aktivis muda dan mahasiswa.
KPI seperti problem aktivis pada umumnya
mengalami dilema, tegangan di antara urusan pribadi, keluarga, dan karir.
Mereka semua masih lajang dan tinggal bersama orang tua. Ada yang berencana
menikah dan pindah ke Makassar; Ada yang harus mengurus kondisi orang tua yang
sakit-sakitan sambil mendampingi komunitas. Mereka juga butuh biaya operasional
untuk sekretariat, untuk mobilitas agar bisa fokus pada pengembangan karir
sebagai organizer komunitas.
Dari diskusi evaluasi pengorganisasian
komunitas jaringan Uplink dan KPI, saya mencatat beberapa poin sebagai berikut:
(1)
Proses
integrasi sudah berjalan, meski dirasakan belum tuntas;
(2)
Media
pengorganisasian tabungan cukup efektif, tapi dirasakan kurang variatif,
sehingga perlu menggunakan media yang lain;
(3)
Pengidentifikasian
persoalan sudah terjadi seperti BBM, askes, biaya sekolah, tapi belum sampai ke
penyelesaian yang memuaskan komunitas;
(4)
Pemecahan
masalah di tingkat lokal sudah terjadi untuk kasus minyak tanah pangkalan di
Lapulu. Kasus ini efektif membangun kepercayaan komunitas kepada pendamping.
(5)
Uplink
dipandang punya ciri, dan bisa diandalkan untuk membangun gerakan berbasis
komunitas.
Sebelum pulang ke Makassar berdiskusi dengan aktivis Suluh hingga larut malam. Mereka sepakat menggalakkan pelatihan CO seperti yang dilakukan UPC supaya aktivis punya visi gerakan sosial alternatif. Saya meninggalkan Suluh menuju KPI jam 07.30 pagi. Para aktivis Suluh masih tidur. Pintu tidak terkunci. Saya pergi tanpa pamit lagi. Di KPI juga aktivis masih tidur. Pintu tidak terkunci. Saya ambil barang langsung ke pangkalan ojek menuju bandara. Di atas ojek, saya pamit via SMS ke kawan-kawan yang masih menikmati tidur lelapnya.
11 Feb 2005
Tuntutan Nelayan Pencari Tude Katallassang
Hal lain lagi, nelayan juga dilarang
menjual hasil (Kerang dan Ikan) disepanjang jalan metro tanjung bunga, jalan
yang dibangun oleh pihak GMTDC dan pintu masuk ke kawasan Kota pantai (Real
Estat, Pusat Perdagangan/ Mall GTC, Tempat Wisata Pantai, dll) dengan alasan
merusak pemandangan (Keindahan) dan dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas di
jalan tersebut.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut di atas
masyarakat nelayan pencari kerang yang bermukim di pesisir dari tujuh (7)
kelurahan, yaitu Pannambungan, Lette, Mariso, Buyang, Mattoangin, Bontorannu dan
Maccini Sombala, melakukan aksi demontrasi ke kantor walikota makassar pada
hari Jum’at, 11 Februari 2005 pukul 09.00 pagi.
Aksi ini dilakukan dengan longmarch dari
depan benteng Ford Rotterdam menuju ke kantor Walikota (Balaikota) Makassar.
Sesampai di kantor Walikota Makassar, peserta aksi silih berganti melakukan orasi
dan menyanyikan lagu-lagu. Peserta aksi berjumlah sekitar 200 orang, yang terdiri
dari Kelompok Masyarakat Pencari Kerang “Katalassang”, Komite Perjuangan Rakyat
Miskin (KPRM), Lembaga Bantuan Hukum Ujungpandang, dan Jaringan Rakyat Miskin
Kota (UPLINK-Makassar). Adapun tuntutan peserta aksi ini adalah:
Mendesak
Pemerintah Kota Makassar dan pihak GMTDC (Gowa Makassar Tourism
Development Coorporation) agar tidak melarang penjualan kerang di sepanjang jalan
metro tanjung bunga (kawasan pengembangan GMTDC)
Mendesak Pemerintah Kota Makassar agar
melarang pengkavling-kavlingan laut (pesisir) karna lokasi tersebut adalah
tempat masyarakat nelayan mencari kerang dan ikan, yang telah dilakukan sejak
puluhan tahun lalu (turun temurun dari nenek moyang).
Setelah perwakilan ditemui oleh pemerintah
kota (Kepala Kesbang Kota Makassar) pemerintah kota berjanji :
Tidak membenarkan adanya
pengkavling-kavlingan laut dan akan menindak tegas Kepala Kelurahan apabila ada
yang terlibat
Akan memfasilitasi pertemuan dengan pihak
GMTDC, Pemkot dan Masyarakat pada hari Senin, 14 Februari 2005, sambil menunggu
kesepakatan pada pertemuan tersebut, masyarakat nelayan boleh menjual kerang di
jalan Metro Tanjung Bunga.
Makassar, 11 Februari 2005
Uplink Makassar
A. Safrfullah (Ulla)