Setiap tahun di kampungku, pemuda atau pun remaja
merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dengan berbagai lomba, dan diakhiri
dengan apa yang mereka sebut Malam Pesta Rakyat. Tanpa diskusi, apalagi debat
soal kedaerahan versus nasionalisme yang kadang melelahkan. Yang pokok bagi
pemuda-remaja lorongku ini adalah kemeriahan berolahraga, bermain, dan
pertunjukan seni yang tidak kalah serunya.
Adalah tradisi, begitu lebih tepat aku menyebut semua
itu. Kegiatan Agustusan selalu berulang bentuk dan ritmanya. Misalnya, satu bentuk
skpresi mereka yang khas, ialah seni teater, yang kental dengan ekspresi
simbolik kedaerahan dan kepahlawanan. Latar panggung, kostum pemain, alur
cerita, dan dialog yang vulgar, juga kocak dilakonkan tanpa skenario dan
sutradara. Memang ada kemiripan dengan teater tradisi
Kondobuleng, yang
cukup popular dari tetangga kampung. Hanya saja teater lorongku ini dimainkan
oleh remaja usia 17 - 27 tahun. Dan, setiap pentas, selalu saja ada pemain baru
yang lebih muda. Penontonnya lebih seru lagi. Selain tokoh dan tetua kampung
sepeti RT, RW, lurah sampae camat, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak,
remaja dan ibu-ibu rumah tangga. Tentu lah suasana sangat meriah karena yang
pentas adalah kerabat, teman sebaya, anak-kemenakan mereka. Panggung yang
pas-pasan terasa meluas. Begitu lah cara orang kampung mewariskan
tradisi.