Setiap tahun di kampungku, pemuda atau pun remaja
merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dengan berbagai lomba, dan diakhiri
dengan apa yang mereka sebut Malam Pesta Rakyat. Tanpa diskusi, apalagi debat
soal kedaerahan versus nasionalisme yang kadang melelahkan. Yang pokok bagi
pemuda-remaja lorongku ini adalah kemeriahan berolahraga, bermain, dan
pertunjukan seni yang tidak kalah serunya.
Seni populer di kampungku hanya salah satu bentuk
berkesenian di kota Makassar. Pada beberapa kampung yang relatif informal,
dalam arti bukan komplek perumahan (real-estate),
seni pertunjukan semacam itu masih eksis. Keberadaannya ibarat benda antik
dalam tumpukan barang-barang dalam gudang; hanya ditemukan atau muncul bila
dicari sungguh-sungguh. Olehnya itu, seni kampungan ini tidak atau jarang
sekali diapresiasi oleh pengamat dan pekerja kesenian. Seni masyarakat lorong
ini memang di luar arus-utama (mainstream) dari gedung maupun
dewan-dewan kesenian. Tanpa nama organisasi, seni kampungan ini merupakan
bagian dari cara hidup warganya, cerminan dari informalitas kota. Selain
hiburan, fungsi utama dari kesenian populer pada umumnya adalah media perekat
(kohesi) sosial antar warga, dan media yang mempertautkan tradisi masa lalu
dengan tantangan hidup masa kini. Ada juga yang menyebutnya media katarsis bagi
masyarakat yang tereksklusi oleh perkembangan budaya perkotaan.
Seni sebagai cerminan kehidupan (ars imitatur naturam) suatu komunitas telah tumbuh sejak manusia
berkebudayaan. Dalam perkembangannya menjadi media pengorganisasian
masyarakat untuk merespon dan menyebarkan nilai-nilai baru. Seperti halnya
Wayang bagi etnis Jawa dan Lombok yang masih efektif berfungsi sebagai media
pendidikan komunitas. Perkembangan lebih lanjut, kesenian pada masa perjuangan kemerdekaan
hingga akhir pemerintahan Bung Karno, terutama seni sastra menjadi corong bagi
gerakan sosial. Faham seni mengabdi untuk pembangunan menjadi arus utama.
Seniman terorganisasi, berwatak kolektif, dan berorientasi pada perubahan
sosial.
Dewasa ini, gerakan berkesenian – disebut gerakan karena
berkepentingan mempengaruhi masyarakat, juga pemerintah – telah menjadi
bagian dari aktivitas masyarakat sipil. Karya seni dipentaskan pada berbagai
momen sesuai dengan kepentingan organisasinya. Tidak persis sama dengan
seni-tradisi, karya seni kontemporer (pop) bertolak dari tren isu dan tantangan hidup
masyarakat dewasa ini. Sehingga materi ekspresinya dapat diapresiasi oleh semua
kalangan, meskipun, tidak selalu menyenangkan kelompok tertentu. Bila
seni-tradisi mengutamakan penguatan kohesi sosial, maka seni kontemporer
mempertajam daya kritisnya terhadap perubahan sosial.
Aktivitas kebudayaan yang bertujuan merevitalisasi harkat
dan martabat kemanusiaan dalam pembangunan telah dilakukan oleh banyak seniman,
intelektual, serta pegiat gerakan sosial. Mereka menggunakan berbagai media
ekspresi kesenian secara kritis dan konstruktif sebagai bentuk keterlibatannya
dalam pembangunan. Sebagai contoh “puisi-puisi pamflet” WS. Rendra pada tahun
70/80-an yang mengkritisi sistim pendidikan dan pembangunan Orde Baru. Demikian
halnya Iwan Fals di jalur musik era tahun 80/90-an, hingga tahun 2000-an
berkolaborasi dengan WS Renda dan grup musik God Bless menyikapi praktik
kolusi dan korupsi para pejabat. Bahkan, grup musik Slank menjadi ikon dan
penggerak utama dalam merajut jejaring relawan muda Jokowi-Kalla pada Pilpres
2014.
Fenomena seni populer sebagai media ekspresi daya kritis
juga dapat ditelusuri pada berbagai aksi yang diprakarsai oleh aktivis gerakan
sosial (social-movement) di era 80/90-an. Pada banyak bentuk aksi,
organisasi masyarakat sipil seperti NGO mengutamakan kesenian sebagai media
penguatan komunitas dan media ekspresi politiknya. Urban Poor Consortium
(UPC) dan Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI) di beberapa kota
merevitalisasi kesenian tradisional seperti ritual suku-suku asli di Nusantara
(Dayak, Sunda, Betawi), qasidahan, rebab (sinriliq), reog, tanjidor,
tarian lima gunung, hingga seni kontemporer seperti teater Slamet Gundono,
serta pemusik jalanan dan punk. Sebagai contoh, penampilan Tari Pakarena Mak
Coppong di Banda Aceh pada renungan setahun pasca Tsunami (2006), Sinriliq
(rebab) untuk mengkampayekan kontrak politik, pentas Wayang Suket Slamet
Gundono tentang hak-hak atas air bersih, dan pementasan Tarian Lima Gunung
Tanto Mendut yang merayakan entitas hidup budaya lokal yang plural (cultural-diversity).
Pada beberapa pengalaman, jejaring komunitas UPC
memainkan sendiri lakon-lakon pendek dalam bentuk drama untuk mengaktualkan
sikap dan tuntutannya terhadap kebijakan pemerintah kota. Sebagai contoh aksi
teaterikal yang ditampilkan organisasi komunitas di Makassar (KPRM) dalam
mengkampanyekan penolakan kenaikan harga BBM dan beras (sembako), kasus gizi
buruk, penggusuran, juga mengkritisi pelayanan aparat birokrasi. Kesenian
tradisional yang masih eksis di dalam kampung kota seperti musik tanjidor dan
rebab (sinriliq), tarian ganrang bulo, pemusik jalanan, bahkan
ritual tolak bala pun ditampilkan dalam berbagai even perayaan Habitat Day
maupun solidaritas bagi korban bencana alam.
Media kesenian dapat menarik dukungan publik untuk
mempengaruhi kebijakan tata ruang kota agar adil untik semua (city for all).
Didasari oleh kesadaran tentang pentingnya aktor (warga) dalam ruang (kota),
isu-isu kemiskinan, hak atas tanah (penggusuran), kemacetan, sampah, dan
perilaku korup birokrat mendapat perhatian dari para seniman teater, film, dan
musik di kota Makassar. Di antaranya adalah sebuah pementasan teater yang
berujudul “Sawah yang Mengetuk Jendelaku” produksi Teater Kita (2008) yang
bercerita tentang dampak konversi lahan sawah di perkotaan; sebuah film yang
berjudul “Dari Mulut Singa Ke Mulut Buaya” (2009) prosuksi Mediatatif Film yang
berkisah tentang perempuan korban penggusuran dan beberapa film pendek mengenai
tragedi kemanusiaan dalam Pekan Film Makassar 2016 ; pementasan “10 Adegan dan
Politik yang Membunuh” (2014) dan “City Theater Project” (2015) produksi Kala
Teater yang mengaktualkan kritik dan saran dari warga kota terhadap buruknya
perilaku politisi, pengelolaan transportasi (polusi dan kemacetan), lingkugan
hidup (sampah dan banjir), serta pelayanan publik.
Seni dalam perspektif gerakan kebudayaan adalah refleksi
terhadap pembangunan kota, dan seniman menyuarakan suara hati mayoritas warga
yang tidak selalu diuntungkan. Seni dalam pengertian ini telah meluas menjadi
sikap dan cara pandang dunia seniman dan warganya tentang visi pembangunan kota
yang berkelanjutan (sustainable of the city). Kota di masa depan adalah
sebuah ruang sosial yang inklusif, ditandai dengan adanya pengakuan terhadap
kesetaraan (equality), penerimaan keberagaman (diversity), dan
perlindungan terhadap entitas budaya, aktivitas sosial, ekonomi, dan kepentingan
politik warga (MN07).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar