Beda dahulu dengan
sekarang. Tidak berarti mengidolakan yang dahulu, yang sekarang bukan idola.
Sudah terlanjur melekat nilai-nilai kemuliaan pada sesuatu atau seseorang yang
dahulu. Misalnya, guru ‘umar bakri’ versi lagu Iwan Fals, yang ‘jujur
berbakti’, yang menghasilkan profesor, insinyur
dan menteri. Tetapi, sang guru masa lalu itu masih ‘bersepeda kumbang’
dengan tas dari ‘kulit buaya’.
Guru hari ini pun
menghasilkan profesor, insinyur, menteri, dan banyak lagi. Sama dengan jamannya
guru umar bakri, murid-murid suka tawuran dan berurusan dengan polisi. Yang
jelas berbeda, guru dahulu bersepeda di jalan yang becek dan berlubang. Guru sekarang
bersertifikat, bersepeda motor dan bermobil. Banyak guru terjebak dalam
kemacetan. Tetapi tantangan yang dihadapi relatif sama, yaitu menjamin moralitas
dirinya dan murid-muridnya dikenang sepanjang masa.
Paulo Freire, seorang
intelektual Amerika Latin, patut menjadi teladan para guru di dunia. Ia mengembangkan
metode pendidikan dan untuk pengembangan masyarakat. Dasar-dasar teorinya
dibangun dari realitas lingkungan sosial siswa, ia Freire berasumsi bahwa seorang
siswa tidak cukup dengan membaca kalimat, misalnya “anak pergi ke sekolah, ibu
ke pasar, bapak ke kantor”. Siswa diperkenalkan pada pemahaman tentang Anak,
Ibu dan Bapak dalam konteks sosialnya. Pada tahun 1964, Freire dipenjara tujuh
puluh lima hari atas tuduhan mengembangkan teori radikalisme. Karya-karya
Freire kemudian diterjemahkan ke dalam 18 bahasa, dan memperoleh gelar Doktor
HC dari dari 20 universitas di dunia.
Tetapi, seorang guru juga
manusia, bukan malaikat. Begitu, kata kaum muda sekarang. Dan, karena itu para
guru menuntut kesejahteraan dan fasilitas pendidikan yang layak. Pemerintah pun
menaikkan standar gaji PNS guru, disertakan program sertifikasi, dana BOS,
bantuan siswa miskin, dan semacamnya. Karena, guru juga manusia biasa, tidak
otomatis semua program itu mencerdaskan kehidupan siswa dan masyarakat. Sejak dahulu, siswa dan
mahasiswa, yang suka tawuran maupun yang kutu buku, masih mengidolakan guru
yang gaul, bersahabat, tekun
mengajar, sederhana, dan terlibat dalam pemecahan masalah sehari-hari.
Begitulah seharusnya. Mendidik
dan mengembangkan masyarakat adalah dua kegiatan yang tidak terpisah. Ibarat
kata dan perbuatan, tercermin dalam ungkapan Lao Tse, filsuf Tiongkok kuno, “ajarkan
apa yang kau lakukan, lakukan apa yang kau ajarkan”. Keduanya menegaskan
moralitas guru adalah pendidik sekaligus pemimpin. Perkataan dan perbuatannya
menjadi panutan murid dan masyarakat (dimuat harian Tribun Timur Makassar, 8 Mei 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar