Dewicha Kinanti Tandiari
14/364952/SA/17389
14/364952/SA/17389
Dalam sehari, saya
menjumpai kurang lebih lima tukang parkir di beberapa tempat tertentu. Mulai
dari supermarket, pasar, hingga warung-warung kecil di pinggir jalan. Dari
beberapa jenis tukang parkir yang saya jumpai, ada satu yang menarik perhatian.
Tubuhnya terbilang pendek, pakaiannya rapi, peluit dikalungkan di leherny,
serta memakai sepatu gunung berwarna jingga. Jemarinya bergerak memutar
membersihkan motor dan helm pengunjung warung makan menggunakan kain lap.
Sungguh pemandangan yang tidak biasa dari seorang tukang parkir. Tidak lupa Ia
memberi senyum dan mengucap terima kasih dan hati-hati dengan bahasa jawa
kepada pengunjung yang telah Ia bersihkan motornya. Ya, begitulah kiranya
seorang tukang parkir “teladan” dalam versi saya, Pak Budi Santoso namanya.
Beliau sehari-hari menjadi tukang parkir di beberapa warung di daerah Kuningan,
Karangmalang, Yogyakarta. Sudah tiga kali saya makan di salah satu warung
tersebut, dan saya selalu senang melihat Bapak berumur 54 tahun itu bekerja
dengan sangat tekun, meski hanya mengelap motor yang parkir disana. Pak Budi,
begitu sapaan akrabnya, sudah bekerja menjadi tukang parkir selama empat tahun.
Saya menyempatkan diri untuk ngobrol
dengan Pak Budi. Kisah hidupnya ternyata amat menarik, penuh tanggung jawab dan
kerja keras. Ia selalu mengaku bahwa dirinya hanya ‘orang kecil’, tapi saya
tahu, semangat hidupnya jauh lebih besar dari itu.
Pak Budi memiliki seorang
istri dan dua orang anak. Ia tinggal bersama keluarga kecilnya itu di depan
warung makan tempatnya bekerja sebagai tukang parkir. Letak warungnya masuk ke
dalam gang kecil dan tidak memiliki tempat parkir, maka dari itu pengunjung memarkirkan
motornya di depan gang, dan Pak Budi lah yang bertugas mengatur posisi motor
agar tetap rapi. Selain menjadi tukang parkir, Pak Budi dulu bekerja sebagai
Satpam Spesial Malam di bengkel mobil daerah Ringroad. Namun, karena bengkel
tersebut pindah, terpaksa Pak Budi harus berhenti dari pekerjaan yang sudah Ia
jalani selama hampir 16 tahun itu. Pak Budi sangat senang bercerita tentang
dirinya, terlebih ketika saya tanyakan tentang latar belakang keluarganya.
Pak Budi lahir pada
tanggal 9 November 1962 di Yogyakarta, tepatnya di daerah Stadion Mandala
Krida. Ayahnya bekerja sebagai penjaga di laboratorium MIPA UGM, dan Ibunya
bekerja sebagai pesuruh di rumah Ki Hajar Dewantara. Sangat menarik saya kira,
kedua orang tuanya bekerja dan mengabdi di tempat yang berbeda, bahkan Ibunya
salah satu orang yang mengenal baik seorang pahlawan Indonesia. Pak Budi adalah
sosok pekerja keras, dan Ia selalu percaya bahwa rezeki akan selalu datang
padanya, jika Ia tidak pernah mengeluh dan tetap bersabar. Terlihat dari
beberapa kali Ia bekerja di tempat berbeda. Dulu sebelum menjadi satpam, Pak
Budi dulu bekerja di FIK UNY, membantu dekan-dekan dalam hal menandatangani
keperluan mahasiswa. Tidak hanya itu, Pak Budi juga pernah ikut dalam proyek
pembangunan rumah, Ia menjadi kuli bangunan di siang hari kemudian pada malam
hari Ia kembali bekerja menjadi satpam. Ia selalu ikhlas dalam mengerjakan apa
saja.
Ia adalah laki-laki yang
penurut. Dalam beberapa hal, Pak Budi selalu mengikuti apa yang diinginkan
orang tuanya. Salah satunya adalah saat Ia dijodohkan dengan seorang perempuan
yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Pernikahannya sudah berjalan selama 30
tahun. Ia dan istrinya hidup bahagia bersama kedua anaknya yang masing-masing
sudah bekerja. Pak Budi dan keluarganya hidup dalam rumah sederhana selama
delapan tahun. Rumah yang penuh dengan bunga plastik dan patung-patung yang
tergantung di dinding bagian depan, menandakan bahwa Ia seorang penyuka seni.
Terbukti, ketika saya tanyakan mengenai konsep rumah tersebut, Pak Budi
bercerita bahwa Ia adalah lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia. Meski hanya
tamatan SLTA, Pak Budi mengantongi ilmu seni rupa yang kuat. Ia pandai melukis,
keahliannya tersebut Ia dapatkan saat belajar di Sekolahnya itu. Sayang sekalli
karena keterbatasan biaya, Pak Rudi tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih
tinggi.
Sekolah Seni Rupa
Indonesia atau sekarang berganti nama menjadi Sekolah Menengah Seni Rupa
dulunya berada di timur FIK UNY. Namun sekarang pindah ke daerah Bugisan,
Bantul. Pak Budi ternyata memiliki jiwa seni yang tinggi dalam bidang lukis.
Hanya saja, saat ini Ia tidak pernah lagi melukis karena tidak memiliki cukup
uang untuk membeli kanvas dan cat lukis. Ia lebih tertarik dengan mendekor
taman. Ada sekitar lima taman yang sudah Ia dekor. Beberapa yang memercayakan
pekerjaan itu padanya ialah teman dekat serta adik kelasnya dulu sewaktu
sekolah. Pak Budi menunjukkan foto beberapa taman yang telah Ia dekor, dan
hasilnya tidak main-main. Hanya saja Ia tidak menerima tawaran dekor dari luar
kota. Ia memikirkan biaya transportasi yang cukup banyak jika harus ke luar
kota.
Dalam sehari, pendapatan
Pak Budi dari hasil parkir sekitar 80-90 ribu. Tetapi jika hari libur, Pak Budi
mendapatkan uang sekitar 40-50 ribu saja. Ia selalu total dalam mengerjakan
sesuatu. Salah satunya adalah kegiatan yang selalu Ia lakukan saat memarkirkan
motor pengunjung. Tidak hanya mengatur dan menutup motor dengan kardus, tetapi
Pak Budi juga mengelap motor dan helm pengunjung hingga bersih. Ia melakukan
hal tersebut dengan inisiatifnya sendiri. Baginya, melakukan suatu kebaikan
dengan memberi pelayanan terbaik kepada seseorang pasti akan membawa rezeki
yang setimpal. Ia bercerita bahwa tidak jarang Ia diberi uang lebih saat
membayar parkir, bahkan sering pula Ia diberi amplop yang berisi uang puluhan
ribu dari pengunjung dan orang-orang yang sekedar lewat saat melihat Pak Budi
menata motor agar terparkir rapi. Bagi Pak Budi, melakukan hal baik itu
merupakan panggilan jiwa dari suatu kepribadian dirinya. Ia percaya bahwa
setiap perbuatan baik yang Ia lakukan, akan dibalas setimpal oleh Tuhan melalui
perantara orang-orang baik pula. Selain itu, Pak Budi bekerja sebagai tukang
parkir tidak semata-mata untuk dirinya sendiri dan keluarganya, melainkan Ia
juga membantu memberikan sumbangan kas RT di daerah tempat tinggalnya. Dalam sebulan,
Pak Budi mengumpulkan uang sebanyak 150 ribu untuk disumbangkan ke kas RT untuk
keperluan ramadan, hajatan, atau acara-acara lainnya.
Pak Budi sangat menyukai
lukisan-lukisan Affandi. Ia mengaku bahwa aliran dalam lukisannya sama seperti
Affandi, abstrak. Ia tahu banyak tentang Affandi dan karya-karyanya. Salah
satunya, Ia bercerita bahwa setiap melukis, Affandi selalu ditemani oleh
pembantunya. Cukup dengan menyebutkan warna apa yang ingin dipakai, pembantu
Affandi langsung memberikan cat warna, lalu menuangkannya ke dalam kanvas. Pak Budi
menjelaskan sambil tangannya bergerak menirukan gaya Affandi. Ia juga
menyebutkan seniman yang Ia sukai selain Affandi, yaitu Bagong Kussudiardja.
Bagong Kussudiardja adalah ayahanda dari Butet Kartaredjasa, kakak kelas Pak
Budi dulu. Ia bangga sekali kepada Butet karena kini Ia menjadi seniman
terkenal tanah air. Jauh di dalam lubuk hatinya, Ia ingin sekali meneruskan
hobinya, Ia ingin sekali menjadi seniman.
Impiannya menjadi seorang
seniman mungkin belum bisa terealisasikan sekarang. Tuntutan ekonomi membuatnya
mengurungkan niat mulainya itu. Untuk saat ini, Pak Budi hanya ingin mencari
pekerjaan lain selain menjadi tukang parkir, dan menerima pesanan dekor taman
di daerah Jogja saja. Pak Budi percaya, jika terus berusaha, Tuhan akan memberi
rezeki yang melimpah. Ia tidak pernah khawatir, karena Ia tahu Tuhan selalu
baik padanya. Orang-orang tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Apapun jabatan dan pekerjaannya, semua orang sama, Profesor,
jenderal, atau pejabat negara tentu memiliki kekurangan dalam hidupnya. Kita
hanya perlu menjadi orang yang ikhlas, sabar, dan bersyukur akan Rahmat yang
diberikan oleh Tuhan, serta percaya bahwa Tuhan selalu memberi rezeki kepada
orang yang tidak pernah mengeluh atas apa yang dikerjakan. Pak Budi memberi
saya motivasi agar menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak makna yang bisa
diambil dari kisah seorang seniman yang menyamar sebagai tukang parkir.
Terlebih saat Pak Budi memberi nasihat, Jangan pernah menjadi orang yang
sombong. Sering sekali Iabertemu dengan teman sekolahnya dulu. Tidak jarang yang
Ia temui menutup kaca helm atau kaca mobilnya saat bertemu dengan pak budi. Pak
budi selalu sedih jika melihat orang-orang bertingkah seperti itu. Baginya,
menjadi orang yang agak sombong atau agak pelit boleh, asal jangan terlalu.
Jangan pernah menjadi orang yang banyak ter-, karena yang berawalan ter-,
baginya adalah orang yang tahu tapi pura-pura tidak tahu. Ya, seperti ter-lalu
sombong.
“Lebih baik menjadi orang
kecil yg sederhana dengan membagi senyum pada orang-orang besar, dari pada menjadi
orang besar yang bisanya korupsi dan membuat orang-orang kecil sengsara” – Budi
Santoso.#
(Penulis: Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM Yogyakarta - tugas mata kuliah)
(Penulis: Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM Yogyakarta - tugas mata kuliah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar