Aman Wijaya
(https://indonesiana.tempo.co/read/63752/2016/02/22/aman.wijaya.aman/orang-kecil-yang-berfikir-besar-sosok-pejuang-rakyat)
Saya mengenalnya enam
tahun yang lalu di sebuah warung kopi di kota Makassar. Saat itu, saya yang
kebetulan sedang mem-browsing tugas perkuliahan, mengamati para pengunjung
warkop tersebut dan mendapati sekumpulan orang yang sebagian besar dari mereka
adalah senior saya di kampus. Di antara mereka, ada sosok yang sama sekali
tidak ku kenali. Waktu itu, dia hanya diam mengamati rekan-rekannya yang sedang
berdiskusi. Di sela-sela pendiskusian, sekali-sekali rekan-rekannya memotong
pendiskusian dan meminta pendapatnya. Namun orang itu hanya mengangguk-ngangguk
tanpa sepatah kata. Selang beberapa minggu, di tempat yang sama, orang itu
muncul lagi. Dan seorang teman memperkenalkan saya padanya. M.Nawir, itulah
namanya.
Setiap
kali saya mengunjungi warung kopi itu, saya selalu mendapati dirinya di
tengah-tengah pengunjung lainnya. Tapi karena belum beberapa lama mengenalnya,
saya masih enggan untuk menginisiasi sebuah obrolan bersama dirinya. Padahal
saya begitu penasaran, karena beberapa dosen saya seringkali mengatakan bahwa,
“Nawir adalah sosok yang berpotensi menjadi orang kaya, namun tetap memilih
menjadi miskin”. Selain itu, katanya dia juga dikenal sebagai sosok pekerja
sosial yang yang terampil, tak kenal lelah, dan jadi buah pembicaraan publik
utamanya rakyat miskin kota. Sebab itu, saya coba menanyakan banyak hal ke
seorang senior yang cukup dekat dengannya.
***
M.Nawir adalah seorang
alumni Fakultas Sastra, jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, dan
menamatkan perkuliahannya sekitar 22 tahun yang lalu dengan prestasi sebagai
mahasiswa teladan. Dia adalah laki-laki berdarah Bone, salah satu kabupaten di
Sulawesi Selatan, namun tumbuh besar di kota Jakarta, tempat dimana orang
tuanya bekerja. Setelah menamatkan sekolah di salah satu pondok pesantren, dia
memutuskan untuk melanjutkan studi di kota Makassar.
Hingga saat ini belum ada satupun mahasiswa fakultas sastra
selain dirinya yang menyandang prestasi tersebut. Gelar mahasiswa teladan di
dapatkannya karena keaktifannya di banyak organisasi kampus maupun luar kampus
saat dia menjadi mahasiswa, namun juga selalu mendapatkan IPK yang tinggi di
bangku perkuliahan.
Waktu itu, M. Nawir yang dikenal sebagai seniman, sastrawan
sekaligus aktivis, banyak menghabiskan waktunya untuk bergelut dalam
kerja-kerja organisasi. Saat menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa Sastra, dia
menginisiasi sebuah gerakan golput di kota Makassar untuk
melawan rezim orde baru. Karena hal itu, dia sempat menjadi buronan militer.
Bahkan fakultas sastra sempat diserang oleh tentara akibat ulahnya.
Selain di dalam kampus, dia juga banyak terlibat untuk mengawal
isu-isu buruh dan kaum miskin kota di luar kampus. Sering
kali dia mendatangkan organisasi-organisasi dari luar kampus yang berkompeten
dan memiliki kemampuan dalam berjejaring dengan mahasiswa guna berbagi
pengetahuan. Bahkan banyak dosen yang segan kepadanya karena apa yang telah dia
kerjakan.
Tidak hanya sebagai organisatoris yang handal, dia juga menjadi
tempat berkonsultasi untuk teman-temannya mengenai materi perkuliahan dan
pengetahuan-pengetahuan lainnya. Sebagai mahasiswa, dia dikenal sebagai orang
yang rakus baca, sehingga dia juga sangat matang di wilayah
teoritis. Karena orangnya terbilang ramah, teman-teman serta dosennya senang
berdiskusi banyak dengan dirinya.
Setelah menamatkan perkuliahan dengan nilai cumlaude, dia
memutuskan untuk berpartisipasi aktif sebagai pekerja sosial yang berkecimpung
di wilayah perkotaan. Dia juga masih berperan aktif dalam gerakan pro-demokrasi
di tahun 1996-1998 hingga jatuhnya rezim orde baru. Pasca orde baru, tepatnya
pada tahun 2002, dia kemudian tergabung dalam organisasi bernama Urban
Poor Consorcium (UPC) yang bekerja untuk mendampingi warga miskin
kota.
Sebagai organisasi yang berupaya membangun jejaring kaum miskin
kota di seluruh Indonesia, dan kebetulan M.Nawir berdomisili di kota Makassar,
maka dia mendirikan Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) Makassar sebagai
organisasi rakyat yang menjadi wadah orang-orang miskin di kota Makassar untuk
menuntut hak-haknya. Organisasi tersebut didirikannya pada tahun 2002 bersama
beberapa warga miskin di kota Makassar.
Hal itu dilakukannya karena tekadnya untuk melihat rakyat miskin
dapat berorganisasi, berdaya dan mandiri dalam menuntaskan persoalannya. Hingga
saat ini, KPRM telah memiliki ribuan anggota di kota Makassar, dan dikelola
oleh sekelompok perempuan yang berjuang untuk pemenuhan hak. Dan M. Nawir terus
berperan sebagai pendamping dalam jalannya organisasi tersebut. Itulah salah
satu buah dari hasil kerjanya.
Tahun 2005, saat Aceh ditimpa bencana tsunami, M. Nawir diutus
oleh UPC untuk menjadi relawan pasca-bencana. Demi kerja-kerja kemanusiaan, dia
merelakan waktunya selama dua tahun untuk menetap di Aceh. Meskipun saat
itu, keluarganya tidak pernah berhenti menanyakan kabarnya dan alasan
yang membuat dia begitu berkeras ingin menjadi relawan. Namun bagi M.Nawir,
saat itu adalah momen yang pas untuk mencari lebih banyak pengetahuan terkait
upaya kerja-kerja emansipasi.
Saat itu, psikologi warga Aceh yang begitu terguncang akibat
bencana, ditambah lagi hancurnya seluruh infrastruktur kota, membuat mereka
enggan untuk berbuat apa-apa. Negara hanya bisa mengirimkan bantuan berupa
kebutuhan pokok, serta relawan yang bertugas mencari mayat di reruntuhan dan
mendirikan posko-posko bencana sebagai penampungan bagi warga yang selamat.
Kondisi itu akhirnya menjadi peluang bagi lembaga-lembaga donor
untuk mensuplai dana sebanyak mungkin bagi para korban bencana. Karena tak
terima dengan itu, M.Nawir melakukan protes keras kepada beberapa
lembaga-lembaga tersebut. Menurutnya, uang bukanlah hal pertama yang dibutuhkan
untuk memulihkan kembali mental warga yang telah porak-poranda. Baginya,
dibutuhkan semacam upaya untuk mendorong kemandirian dan kerjasama antar sesama
warga dalam mendirikan kembali pemukimannya. Karena hanya dengan cara itu,
masyarakat bisa memaknai dan belajar dari pengalamannya tentang betapa
berharganya sebuah kebersamaan, kemandirian, dan solidaritas dalam menghadapi
berbagai hal buruk, salah satunya bencana alam.
Bermacam cara dilakukan, dan akhirnya para korban bencana
bersepakat untuk bergotong royong mendirikan pemukimannya. Seluruh pengungsi di
posko bencana berbondong-bondong melakukan kerja bakti guna membangun 2000 unit
rumah untuk mereka. M.Nawir kemudian mendampingi warga untuk mengumpulkan
sedikit demi sedikit bantuan dana dari negara guna mendukung kerja-kerja para
korban bencana. Untuk mengelola keuangan, M.Nawir mengupayakan agar terbentuk
sebuah struktur di kalangan warga yang dikoordinir oleh warga sendiri. Sehingga
dia hanya menempatkan diri sebagai fasilitator warga guna membangun jejaring.
Waktu itu, banyak cerita miring yang dialamatkan kepadanya
karena upayanya mendampingi warga untuk membangun 2000 unit rumah. M.Nawir
dianggap memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari pekerjaan tersebut sehingga
dia dapat memperkaya diri. Banyak yang bilang bahwa dia akan menjadi kaya
mendadak setelah pulang ke kota asalnya. Namun selang dua tahun, dia hanya pulang
dengan membawa satu buah motor butut yang merupakan cicilan dari koperasi
organisasinya, UPC. Prestasinya dalam mengupayakan emansipasi dan kemandirian
di tengah kondisi yang begitu rumit, dan tanpa bayaran, menjadi buah
perbincangan kalangan aktivis di kota Makassar. Dan karena itu, dia juga
semakin disegani.
Sepulangnya dari Aceh, dia tetap melanjutkan kerja-kerjanya
sebagai pendamping warga miskin kota Makassar. Sembari menjalankan kehidupan
berkeluarga bersama seorang istri dan tiga orang anaknya. Keluarganya selalu
hangat, kehangatannya sehangat ketika dia mendampingi orang-orang miskin dari
ketidakadilan.
***
Selama menempuh perkuliahan, dan kebetulan menaruh minat di
kerja-kerja sosial, saya selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi dengannya.
Hingga akhirnya saya bisa mengenalnya lebih jauh. Sampai sekarang, saya selalu
menyempatkan waktu untuk ngobrol berdua dengannya. Entah di rumah sederhananya
atau pun di sebuah warung kopi. Jika obrolan kami berlangsung di sebuah warung
kopi, dia tak segan-segan untuk mentraktir 1-2 gelas kopi. Meskipun saya tahu,
kondisi keuangannya sedang payah.
Kini hubungan kami sangat dekat. Saya selalu menyempatkan untuk
mengabarinya tentang keberadaan saya, begitupun dirinya, yang selalu
menyempatkan untuk mengabari dan mengajak untuk ngobrol, apapun obrolannya.
Usia yang terpaut 25 tahun dari saya, tidak menjadi kendala untuk memperlakukan
saya setara dengan dirinya.
Saya sangat beruntung mengenalnya. Bagi saya, dia merupakan
sosok teman, sahabat, senior, sekaligus guru. Dalam keadaan sulit, ketika rasa
putus asa menjadi pekerja sosial ingin menyerang, saya pasti menyempatkan diri
untuk menemuinya. Karena dengan berbincang-bincang bersamanya, saya selalu
percaya bahwa setiap kendala yang saya alami, belumlah seberapa jika dibandingkan
dengan apa yang telah dia lalui. Dan dia memang pantas menjadi teladan
masyarakat.
#TEMPO45
1 komentar:
I look fast and I saw that the sun light can improve. https://imgur.com/a/LLHwkt7 https://imgur.com/a/fQm7TlS https://imgur.com/a/2gNz464 https://imgur.com/a/FIC5cP2 https://imgur.com/a/8wwmHdM https://imgur.com/a/3CS4lU6 https://imgur.com/a/lQNTa5T
Posting Komentar