Judul postingan di atas dipetik dari sebuah buku karya
Emha Ainun Nadjib, yang berisi 29 tulisan esais tentang dinamika budaya
pedesaan dalam perubahan sosial di era 1990-an. Buku ini merefleksikan situasi kritis masyarakat pedesaan pasca pemilu 1992. Cak Nun memandang politisasi dan
modernisasi desa oleh orang-orang kota adalah sumber permasalahan, yang
menimbulkan gejolak sosial yang mendalam. Menguatnya kepentingan kepentingan kelompok
dominan (status quo), dalam hal ini partai Golkar, disertai dengan penetrasi gaya hidup kaum
metropolis telah mengubah tidak hanya mengubah pola relasi antarwarga, lebih dari itu
merusak sendi-sendi moral-spiritual masyarakat desa.
Tulisan di bawah ini dimuat
kembali oleh admin sebagai referensi, setidaknya sebagai gambaran
latar-belakang (background) bagi para pegiat pembangunan desa dalam konteks penerapan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Semangat undang-undang ini adalah meletakkan
desa sebagai subjek yang otonom dalam pengelolaan sumberdaya sosial, ekonomi
dan pemerintahan. Substansinya adalah revitalisasi Otonomi Desa,
yang menggeser UU Pemerintahan Desa (No.5/1979) dan Otonomi Daerah (UU
22/1999). Visinya adalah Membangun
Indonesia dari Desa.
Para ahli dan
praktisi penguatan desa telah merumuskan perbedaan mendasar antara desa pada masa Orde Baru dengan desa yang ditegaskan UU Desa tahun 2014, seperti berikut ini:
Paradigma Lama:
- Fokus pada pertumbuhan ekonomi
- Negara membangun desa
- Otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan
- Negara memberi subsidi pada pengusaha kecil
- Negara menyedian layanan sosial
- Transfer teknologi dari negara maju
- Transfer aset-aset berharga pada negara maju
- Pembangunan nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah
- Sektoral dan parsial
- Organisasi hirarkhis untuk melaksanakan proyek
- Peran negara: produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar
Paradigma Baru:
- Prinsip Rekognisi dan Subdiaritas, yang mencakup pandangan berikut ini:
- Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat, yang entitasnya berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah.
- Desa merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, yang memiliki susunan asli maupun hak asal-usul.
- Desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak serta merta bisa diseragamkan.
- Konstitusi mengamanatkan agar negara mengakui dan menghormati desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
- Urusan lokal atau kepentingan masyarakat desa lebih baik ditangani oleh organisasi yang paling dekat dengan masyarakat, yakni desa.
- Negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi maupun dekonsentrasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala desa melalui UU. Pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi), melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi pembangunan desa.
- Pemerintah memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan tindakan desa sebagai subyek pembangunan, yang mampu dan mandiri mengembangkan prakarsa dan aset desa untuk kesejahteraan bersama.
Dengan membaca
kembali latar-desa tahun 80-90-an, kita dapat memahami tantangan dan peluang
dalam menerapkan UU Desa.
*****
Indonesia Bagian dari Desa Saya
Indonesia merupakan fakta amat penting yang menentukan hampir setiap pertumbuhan, perkembangan, penyurutan serta perubahan kehidupan di desa saya. Maka judul tulisan ini tidaklah bisa berbunyi sebaliknya, karena desa saya, saya yakin, sama sekali tidak merupakan bagian yang penting dari Indonesia - entah desa-desa lain. Tapi jelas seandainya tidak ada Mentoro, desa saya itu, Indonesia tetap lah Indonesia seperti sekarang ini. Satu-satunya perbedaan barangkali hanyalah sebuha titik amat kecil dalam peta Indonesia, di daerah Jombang sebelah timur, yang merupakan wilayah “luar negeri”. Alhasil, desa saya itu sampai hari ini tak pernah bicara apa-apa untuk suatu arti Indonesia. Dan sebaliknya, Indonesia telah berbicara sangat keras dalam kehidupan desa saya. Entah desa-desa lain. Itu suatu makna yang logis, tapi juga suatu ironi yang getir.
Indonesia merupakan fakta amat penting yang menentukan hampir setiap pertumbuhan, perkembangan, penyurutan serta perubahan kehidupan di desa saya. Maka judul tulisan ini tidaklah bisa berbunyi sebaliknya, karena desa saya, saya yakin, sama sekali tidak merupakan bagian yang penting dari Indonesia - entah desa-desa lain. Tapi jelas seandainya tidak ada Mentoro, desa saya itu, Indonesia tetap lah Indonesia seperti sekarang ini. Satu-satunya perbedaan barangkali hanyalah sebuha titik amat kecil dalam peta Indonesia, di daerah Jombang sebelah timur, yang merupakan wilayah “luar negeri”. Alhasil, desa saya itu sampai hari ini tak pernah bicara apa-apa untuk suatu arti Indonesia. Dan sebaliknya, Indonesia telah berbicara sangat keras dalam kehidupan desa saya. Entah desa-desa lain. Itu suatu makna yang logis, tapi juga suatu ironi yang getir.
“Hari Coblosan”,
Pemilu baru saja kita lalui, didahului oleh suatu plot prologue yang oenuh
drama. Mungkin kita bisa diam-diam mencatat beberapa takaran demokrasi yang
dipesta-porakan, berapa jumlah nyawa yang terbunuh, berapa keranjang janji
kesejahteraan yang diberikan, berapa ribu lembar kalimat mulia yang
dipidatokan, berapa juta poster persaudaraan dan persatuan keindonesiaan yang
dipasang, maupun berapa karung penyelewengan atau berapa lautan ketidakjujuran
yang ditumpahkan. Bahkan, berapa milyar rupiah yang dikeluarkan pun tidak jelas
benar, apabila kita sungguh-sungguh menatap konteks kepemiliuan itu beserta
seluruh usaha, jelas maupun samar, yang dilakukan. Akan tetapi, jelas tak
seorang pun bisa menjamin mana yang lebih besar kuantita dan kualita kejadian
tersebut yang bisa atau boleh ditampung oleh sejarah dengan yang luput atau
diluputkan olehnya. Indonesia demikian luas dan kejadian yang berlangsung di
setiap jengkalnya memiliki dimensi yang berbagai-bagai, mengandung gerak yang
mustahil tertangkap oleh kamampuan manusia, serta mempunyai beribu mozaik warna
yang hampir tak tertampung oleh daya menggambar kita. Meskipun bisa juga
dipakai suatu garis global dan rangka dasar untuk menginventarisasi setiap
gejalanya, namun setidaknya kehiduopan bernegara dan bermasyarakat kita dewasa
ini tidak lah mengandung pertimbangan kekuatan-kekuatan, dalam arti apa pun,
yang bisa memberi harapan akan dimungkinkannya suatu keadilan sejarah. Bahkan
jendral Yusuf yang bijak, sepulangnya dari Timur Tengah, menyodorkan gembok
sejarah yang memiliki validitas formal dengan berkata: ‘Semuanya berjalan aman
dan tertib. Aku bisa tidur tenang. Masyarakat hendaknya melupakan semua
kejadian selama kampanye”.
Itu kata-kata yang
agaknya tak cukup ringaN untuk disangga. Sekitar kampanye saya berada di tengah
gemerincing pedang di Yogya, tapi juga sering berada di desa. Saya berharap,
saya tak ingin menyangga kata-kata itu, bahkan menyangga keterlibatan fisik dan
moril di desa saya saja, desa yang tak punya arti apa-apa lagi bagi sebuah
Indonesia itu, saya sudah cukup merasa keberatan. Demi desa kami menyangga
Indonesia sebagai menyangga sekian ton besi, dimana kami bukan lah lifter-lifter
yang profesional. Desa saya terdiri terutama dari kepolosan, kebodohan dan
kelemahan-kelemahan.
Nenek saya
bertanya, “Nun, kalau Golkar menang, apa nanti tidak perang?”. Saya tertawa.
“Orang Indonesia itu baik-baik semua mBah – jawab saya – pokoknya mBah tekun
sembahyang, maka semua beres”. Nenek saya ini mungkin melihat Golkar sebagai
barang baru yang asing tetapi, entah bagaimana menakutkannya. Dengan begitu ia
pun tak mungkin tahu bahwa sudah tiga kali ini Golkar ikut pemilu dan leading
terus. Ia memilih Ka’bah, karena ia pernah naik haji dan itu merupakan
kebanggaannya yang paling khusyu, sehingga komitmennya terhadap baitullahh itu
sangat menenggelamkannya. Pengetahuannya tentang ka’bah tak ada hubungannya
dengan Dardji atau Naro, bahkan juga tidak dengan calon wakilnya di Jombang.
Tarwi, anggota
Hansip, hari itu dengan sepedanya mengangkut sekarung padi. Karena jalan buruk,
padi itu di tengah jalan terjatuh. Tak mungkin ia mengangkatnya sendiri kembali
ke sepeda, tapi tiga orang di tepi jalan itu tak mau menolong. Mereka malah
berdiskusi. “bagaimana, ditolong apa tidak?”. “Jangan! Dia Gokkar!”. “Ah, tapi
kasihan....". Akhirnya Tarwi berteriak. “Saya Ka’bah Rek! Saya
bukan Golkar. Sumpah. Tolong bantu saya...”. Syukur akhirnya salah seorang
menolongnya.
Pak Sujadi yang
kaya beberapa lama ini meminjamkan accu tevenya ke tetangga. Tapi ketika jelas
bahwa si tetangga ini tak mendukung Golkar, accu itu segera diminta. Hari
berikutnya sang tetangga memberi isyarat tentang dukungannya terhadap Golkar,
dan accu pun bisa dibawanya kembali.
Seorang guru
diancam akan dipecat karena menerima undangan untuk membaca Qur’an pada pembukaan
kampanye PPP. Seorang guru lainnya dianggap agak demonstratif dalam sikap anti
Korpri. Hari itu malah ia dijumpai nongol di kampanye Ka’bah. Ia lantas tak
ditegur oleh pamong-pamong. Lurah dipanggil ke kecamatan untuk penertiban
ketidaksetiaan itu. Sang guru diadili, dan menjawab; “Saya ini bingung cari
istri. Pikiran saya selama ini bingung sehingga tak sempat mikir yang
lain-lain. PPP atau Golkar itu terlalu muluk untuk saya pikirkan. Lha waktu
kampanye PPP itu Tutiek jadi bagian konsumsi, jadi saya datang. Atau kalau
bapak bersedia menyediakan istri yang cocok buat saya, insyaallah saya bisa
tenang”.
Tapi memang amat
mengherankan kok di desa saya banyak terpasang poster PDI, bahkan tak kalah
dengan tanda gambar lain. Ini gejala pergeseran aneh, sebab partai ke-3 ini
sunggu8h benda asing di desa saya. Saya penasaran. Selidik punya selidik,
akhirnya ketahuan ada orang iseng serius. Dua orang bertaruh, dan yang megang
PDI berkeliling cari posternya dan doipasang di desa.
Seorang juru
kampanye dari salah satu kontestan mendidik orang desa saya agar menjadi
binatang dungu yang materialistis. Siapa berani terang-terangan nyoblos Y? O,
saya Pak! Maju sini, saya kasih duit! Lho, 10.000 rupiah! Kok banyak Pak? Iya,
siapa lainnya? Saya Pak! Saya Pak! Saya Pak! Terima ini!
Ini!.......Saudara-saudara , ini saya belum jadi anggota DPR, saudara sudah
saya beri uang secara cuma-cuma. Bayangkan nanti kalau saya sudah jadi anggota
DPR, uang akan saya sebar seperti hujan! – Orang-orang pun, yang semula hanya
tertarik pada tontonan Ludruk diselenggarakan oleh kontestan tersebut untuk
menarik massa, menjadi cenderung mendatangi harapan hujan duit.
Dalam sejarah desa
saya, ini sungguh merupakan faktor Indonesia yang paling sakit yang pernah saya
alami. Lebih dari sekedar birokrasi desa yang selama ini banyak merupakan bisul
di badan komunitas desa yang bergerak hendak lebih baik. Dan rasa sakit itu
memuncak, ketika seorang Tetua yang membina sekolah TK, Madrasah, SD, SMP di
desa saya, beberapa kali memperoleh intimidasi sopan untuk kommitted dan aktif
di salah satu kontestan. Pisau intimidasi yang ditodongkan di punggung Tetua
itu ialah alternatif hidup-matinya Sekolahan. Kalau tak masuk Anu, sekolah
sukar hidup terus, bahkan di desa akan didirikan SD Inpres, sesuatu yang di desa
saya tidak relevan untuk pertimbangan aktualitas pendidikan mapun psikologi
masyarakatnya.
Sang Tetua ini
seorang pendiam, tak jelas ya atau tidak. Seorang Pamomg Desa berucap dalam
pertemuan di kelurahan: Percayalah, dia memang pendiam, sukar ngomong, apalagi
untuk berterus terang bahwa dia masuk Anu. Tapi yakinlah, saya adalah dia, saya
mewakilinya, kata-kata saya adalah kata-kata dia....”.
Mendengar ini, sang
Tetua pun diam saja. Tapi ketika jelas ia tak aktif dalam kegiatan Anu, maka
kepala Madrasah yang dipegang. Dan ia, yang sejak semula memang merasa kecut
hidupnya, banyak problem keluarga harus diatasi, sementara khawatir dipindah
daerah tugasnya serta memimpikan harapan-harapan baru meskipun abstrak –
berkata di depan kampanye Anu: “Saya pindah masuk Anu, demi supaya Sekolahan
bisa terus kita hidupkan, saya ingin mengajak saudara-saudara semua berbuat
nyata, tidak terus-terusan bermimpi”.
Sang Tetua, yang
sebenarnya secara formal organisatoris justru memiliki wewenang untuk berbicara
keluar perihal Sekolahan, mendengar ini, diam saja. Tetapi sekalian penduduk
bergolak emosinya, dan massa selalu cenderung punya hukum kejam. Kepala Sekolah
ini terkucilkan dengan sendirinya. Efeknya amat besar dalam pergaulan
sehari-hari. Ketika orang tahu Maghrib nanti ia yang akan jadi Imam, orang tak
berangkat ke masjid. Ketika giliran ia berkhotbah Jum’at, orang pindah ke
masjid lainnya....”Ia punya nilai yang sama dengan Pak Gampil yang menerima
10.000 itu. Saya tetap pilih pilihan saya, pecatlah saya sebagari rakyat!” kata
seseorang.
Kejadian ini
merupakan klimaks dari retak sosial yang menjadi salah satu hasil kongkret dari
pemilu di desa saya. Di desa ada alam psikologi sosial tertentu yang barangkali
tak pernah diambil pusing oleh pimpinan partai apa pun. Orang desa memiliki
keguyuban kehidupan tertentu yang terlalu mulia untuk diberaikan oleh
intervensi hal-hal yang mereka sendiri tak kuasai permasalahannya. Ada
ketidakseimbangan yang amat tajam antara proses pendidikan masyarakat dengan
urgensi-urgensi sosial politik yang mengepung mereka. Pemilu ini memberikan
ilustrasi yang paling tajam dan surealisme drama sosial yang tak bisa tidak
harus terjadi di desa saya. Secara kebudayaan, ini adalah lukisan tempel atau
kolase yang tak ada kesatuan-kesatuan logis antara unsur-unsurnya, tetapi
secara ‘wajar’ dipaksakan kesatuannya sehingga menjadi suatu perhubungan unsur
yang paling merusak atau setidaknya merusak salah satunya. Indonesia sungguh
menjadi faktor teramat berperan dalam proses semacam ini di desa saya. Padahal,
siapakah Indonesia? Kami orang desa hampir mustahil untuk tahu secara cukup
layak.
Tetapi hal Kepala
Sekolah di atas, konteksnya menjadi bukan politik, meskipun berada dalam
bingkai besar perpolitikan negara. Saya berusaha mengawani Kepala Saekolah itu
sebagai teman bergaul yang mendengarkan semua kekhawatiran hidupnya, kemudian
bersamanya berjalan berkeliling desa beberapa malam, untuk membayar hutang
‘moril’ kepada orang banyak. Orang desa itu gampang-gampang sukar. Ia bersikap
manis sopan di depanmu, tapi itu tak berarti beres persoalanmu dengannya. Dan
apa sesungguhnya yang bisa terjadi di desa? Bukan masalah sosial politik yang
rasional, melainkan dimensi-dimensi sesrawungun atau paugeran yang
paling bersahaja belaka, yang ukuran-ukuran nilainya juga sangat bersahaja. Ini
bukan soal kebodohan atau keterbelakangan. Tetapi ada jarak yang sangat jauh
antara alam hidup desa saya dengan kerangka pemikiran yang selama ini selalu
kita pakai untuk memperbincangkan ‘yang penting-penting’ perihal Indonesia.
Indonesia menjadi
unsur penentu yang cukup dominan dalam setiap gerak perubahan di desa saya.
Tetapi untuk hal-hal mendasar lainnya yang semestinya dihadirkan mendahului
atau mengawali setiap maksud perubahan, justru kurang mampu dihadirkan oleh
Indonesia di desa saya. Kewajiban berpemilu adalah contoh kecil meskipun tajam
dari jarak jauh antara urgensi partisipasi bernegara para penduduk desa dengan
prasyarat kualitatif yang belum tersedia di dalam diri mereka. Ada berpuluh
istilah yang bisa dipakai untuk merumuskan apa yang terjadi, tetapi dalam
bahasa sederhana, lewat long-shoot kamera sejarah, desa saya adalah bagian
kecil dari sebuah lapangan sepakbola, yang rumputnya diusahakan untuk tidak tumbuh
lebih dari dua tiga centimeter, agar menjadi landasan yang baik bagi permainan
sepakbola 22 orang, wasit, pembantu wasit, serta para pedagang dan penyuap yang
mengelilingi lapangan. Desa saya begitu tak pentingnya buat sebuah Indonesia
yang besar, bagai sebuah lobang cacing di lapangan; adakah lobang yang cukup
dalam bagi pemain yang perkasa itu? Apakah bunyi harapan bagi sebuah lapangan
sepakbola?
Entah desa-desa
lain, atau daerah-daerah lain.
Satu hal saya lihat
makin jelas di desa saya; para petani makin mingkup prospek hari
depannya. Apalagi para buruh tani, atau ‘buruh sebenarnya’ yang lain yang
merupakan mayoritas di desa. Untuk membayar sekolah anak-anak mereka, Rp 50,- -
Rp 75,- untuk Taman Kanak-kanak, Rp 150,- - Rp 250,- untuk SD, dan Rp 750,- untuk
SMP, umumnya mereka menunda sampai panen tiba. Bukannya untuk memetik satu ton
padi waktu panen, melainkan untujk memperoleh buruhan dari buruh panen. Hampir
setiap tanggungan dibebankan kepada panen, dan ketika panen tiba, kaget
bagaimana membagi begitu banyak tanggungan. Banyak di antara mereka yang
terpaksa lari ke lintah darat inlander di desa pinjam uang Rp 4.000,- dibayar
nanti waktu panen sebanyak satu kuintal padi. Kalau panen ini tak bisa, boleh
dibayar panen berikutnya dengan satu setengah, satu tiga perempuan atau dua
kuintal padi.
Seorang siswa
sekolah Agama bertabligh: Itu haram!
Tetapi yang
dihadapinya bukan soal syariat atau hukum, melainkan soal kefakiran dan
keterpaksaan di satu pihak, dan keberuntungan melimpah di lain pihak. Ya, yang paling
ideal memang bertransmigrasi, atau menjadi pembantu rumah tangga Cina di kota.
Amin. (hal 234-230).
Sumber:
Dalam Buku Indonesia
Bagian dari Desa Saya, (Hal. 223-230)
Penulis: Emha Ainun
Nadjib
Pengantar: YB.
Mangunwijaya
Penerbit: SIPRESS
Yogyakarta
Tahun: 1992
231 Halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar