20 Okt 2018

Gagasan tentang Kampus sebagai Organisasi Pembelajaran

M. Nawir
Sulisa Matra Bangsa
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora
Dari perspektif pembelajaran (learning organization), daur organisasi diandaikan seperti organisme hidup; lahir, tumbuh, berkembang, dan mapan, atau menjadi stagnan dan mati. Hal ini karena organisasi digerakkan oleh sekumpulan pribadi yang memiliki vitalitas, pengalaman, kompetensi, mental-karakter, dan tujuan hidup. Berarti, organisasi merupakan modal sosial (social capital) bagi individu untuk saling melengkapi sekaligus menjadi ruang pembelajaran bersama untuk menemukan kesesamaan dan mencapai kesepahaman.

19 Okt 2018

Kisah Penyintas: Darurat Palu Pasca Bencana



Masa Depan di Hunian Sementara

https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20181019/281526522028919

Mata Sujono (49) berbinar saat menatap layar komputer jinjing yang menampilkan bakal rumah sementaranya. Ukurannya 6 meter x 4 meter, karya Muhammad Ramdani (25), arsitek asal Palu. Interaksi itu awal melawan trauma.

Kompas

19 Oct 2018

Cornelius Helmy

”Apakah tinggi rumah bisa dikurangi? Di sini angin lembahnya kencang. Saya khawatir rumah bisa terbang ditiup angin,” kata Sujono, Selasa (16/10/2018) siang, di teras rumahnya yang ambruk akibat gempa.

”Bisa, Pak. Paling tinggi 2,5 meter. Terasnya juga dibuat tak langsung hadap ke lembah untuk mengurangi tiupan angin,” kata Dani. Sujono mengangguk.

Diskusi semacam ini lazim dilakukan Dani saat menyodorkan desain kepada konsumennya. Kali ini beda. Tanpa imbalan, ia berbagi keahlian kepada Sujono, penyintas gempa bermagnitudo 7,4 asal Loru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

”Semoga apa yang saya bisa turut meringankan penyintas bencana,” kata Dani yang urung mengungsi ke rumah kerabat di Bandung, Jawa Barat, demi mendampingi para penyintas.

Dihajar gempa, rumah Sujono nyaris rata tanah. Tak ada korban jiwa. Sejak itu, ia tinggal di pengungsian padat dan minim sanitasi. Padahal, ia butuh lingkungan sehat. Setahun terakhir, ia menderita kanker getah bening.

Sujono pun memupuk harapan membuat hunian sementara (huntara) sendiri. Di tengah sisa tenaga, ia mengumpulkan barang-barang yang masih layak pakai. Masalahnya, ia tak punya cukup tenaga.

Ketekunan mengangkat kayu dan batako bekas itu dilihat Sopyan dan Rizki, sukarelawan Kotaku Siaga Makassar. ”Kebetulan kami berjejaring dengan sukarelawan berlatar belakang arsitektur. Ada gerakan pilih, pilah, pulih yang kami gagas bersama untuk membangun huntara,” kata Sopyan.

Gayung bersambut, Sujono menerima ajakan itu. Ia tak keberatan jika diharuskan bekerja membangun huntara. Ia ingin melanjutkan hidup setelah bencana, mandiri tanpa bergantung di pengungsian.

”Saya terbiasa bekerja, sulit kalau diam. Bahkan, saat kena kanker, saya masih bekerja di ladang agar tubuh dan otak tetap sehat,” ujar petani dan penjual bensin eceran ini.

Hadapi trauma

Gerakan pilih, pilah, pulih inisiasi banyak pihak dari berbagai komunitas. Banyak sukarelawannya berprofesi arsitek. Mereka tergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia, Mahasiswa Arsitek Indonesia (MAI), dan Arsitektur Komunitas.

Riswandi Syam, sukarelawan MAI, mengatakan, gerakan ini kerja swadaya bersama memanfaatkan material reruntuhan pascagempa untuk membuat huntara. Selain di Loru, mereka juga hadir di Tompe dan Wani (Donggala), serta Mamboro (Palu).

Namun, kata Riswandi, huntara bukan satu-satunya tujuan utama. Pelibatan masyarakat dan mengajak mereka kembali bekerja menjadi nilai penting. Dengan kembali membangun daerah bencana lewat tangan sendiri, trauma diharapkan ditekan. ”Ini juga jadi cara saya bangkit setelah kehilangan ibu yang jadi korban gempa. Semua karya di sini diberikan untuk almarhumah ibu dan semua korban gempa-tsunami Sulteng,” katanya.

Manfaat gerakan ini mulai dirasakan M Amin (25), warga Loru lainnya, saat ikut mendirikan septic tank MCK menggunakan batako reruntuhan rumah. Tubuhnya kembali aktif bergerak setelah hanya menganggur di pengungsian. Pilih, pilah, pulih membuat keringatnya menetes dan otot lengannya kembali menegang melawan hantu trauma.

Pendamping gerakan ini, Mohamad Nawir, mengatakan, keresahan sebagian korban bencana Sulteng jamak terjadi di tempat lain. Ia adalah saksi mata pascatsunami Aceh 2004 hingga pascagempa Lombok 2018. Terlalu lama tinggal di pengungsian membuat trauma sulit pulih.

”Bekerja bersama efektif menekan trauma. Komunikasi antarwarga yang sempat hilang terbangun. Tak hanya sekadar mengungkit masa lalu, tetapi juga membuka ruang dialog cara melangkah ke depan,” katanya.

Di Aceh, ia dan sukarelawan lainnya, yang bergerak dalam program People Driven dan memopulerkan slogan woe gampong (pulang kampung), mendampingi banyak pengungsi tsunami membangun huntara di Aceh Besar dan Banda Aceh. Ada 3.331 huntara dibuat dengan bahan bangunan sisa tanpa kontraktor.

”Bagian tak kalah penting adalah saat kami mempromosikan rumah bercakar ayam. Mangrove kembali ditanam guna mengurangi dampak bencana di kemudian hari,” katanya.

Sekitar 14 tahun kemudian, cara serupa diterapkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Lewat gerakan Lombok Bangkit, ia kembali turut mempromosikan pembuatan huntara bergaya rumah sasak khas Lombok. Rangkanya bambu beratap sirap. Bahan-bahannya juga diambil dari sisa reruntuhan.

”Saat ini sudah berdiri 20 huntara di 3 desa di Lombok Barat. Masih ada warga tiga desa lain yang sudah mengajukan diri. Semoga jadi pelatuk agar warga hidup aman bersama bencana,” katanya.

Tambah ilmu

Peran jadi pelatuk itu juga yang dibangun sukarelawan lewat huntara bagi Sujono. ”Sudah ada tetangga yang datang bertanya tentang rumah saya. Perlahan pasti ada yang tertarik,” katanya, Kamis (18/10).

Kemarin, tangan-tangan cekatan Sujono bekerja dibantu sukarelawan, semangat seperti melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Di antara terik matahari, tiang-tiang kayu ditegakkan jadi fondasi. Seng, papan, dan terpal yang sudah dipilih dan dipilah seminggu sebelumnya digunakan sebagai atap dan dinding.

Tak hanya rumah baru baginya, Sujono mengaku banyak transfer ilmu membangun rumah di daerah gempa, termasuk soal fondasi rumah. Bagi Sujono, membangun huntara juga terapi atas trauma.