20 Okt 2018

Gagasan tentang Kampus sebagai Organisasi Pembelajaran

M. Nawir
Sulisa Matra Bangsa
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora
Dari perspektif pembelajaran (learning organization), daur organisasi diandaikan seperti organisme hidup; lahir, tumbuh, berkembang, dan mapan, atau menjadi stagnan dan mati. Hal ini karena organisasi digerakkan oleh sekumpulan pribadi yang memiliki vitalitas, pengalaman, kompetensi, mental-karakter, dan tujuan hidup. Berarti, organisasi merupakan modal sosial (social capital) bagi individu untuk saling melengkapi sekaligus menjadi ruang pembelajaran bersama untuk menemukan kesesamaan dan mencapai kesepahaman.
Secara normatif, organisasi, selain mensyaratkan adanya struktur dan mekanisme, juga digerakkan oleh sejumlah orang yang berkomitmen untuk membangun budaya dan disiplin dalam berorganisasi. Budaya dan disiplin organisasi dibentuk oleh setidaknya lima “mata pelajaran” yang terukur (Peter Senge, The Fifth Dicipline: The Art & Practice of Learning Organization, 2004), yakni; Sistim Berpikir (System of Thinking), Kemahiran Pribadi (Personal Mastery), Mentalitas (Mental Models), Visi Bersama (Share Whole Vision), dan Para Pembelajar (Learning Team). Sistim berpikir diukur dari kemampuan individu memahami keterkaitan persoalan satu sama lainnya; Kemahiran personal diukur dari kesadaran bahwa setiap individu adalah ahli pada bidangnya; Mentalitas, berarti bawaan budaya yang mempengaruhi atau membentuk cara pandang dunia dan perilaku individu; Visi bersama yang lahir dari kesepahaman dan perasaan kolektif; Para pembelajar adalah mereka yang meletakkan proses bercakap dan berdialog sebagai kebutuhan bersama, bukan karena tekanan pemangku otoritas.
Budaya belajar dan berorganisai menjadi kata kunci dalam proses pengembangaan atau penguatan kelembagaan mahasiwa dewasa ini. Akibat perubahan yang ‘revolusioner’ di bidang teknologi informasi dan edukasi, maka budaya berorganisasi pun selayaknya melakukan – lebih dari sekedar reformasi adalah – transformasi. Model pembelajaran dan pengorganisasian konvensional, yang mengutamakan pada otoritas personal, hirarki, pada akhirnya akan ditinggalkan oleh kaum muda – mahasiswa. Kenyataannya, pembelajaran dan pengorganisasian yang berbasis komunitas, melek teknologi informasi dan dibawah otoritas publik sangat mempengaruhi budaya organisasi, tidak terkecuali organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan yang transformatif adalah organisasi yang adaptif dan proaktif memperbaharui nilai dan tujuan strategisnya.
Urgensi Permasalahan
Kementerian pendidikan tinggi telah merumuskan tujuan pengembangan organisasi kemahasiswaan yang mencakup dua hal pokok, yaitu pengembangan kapasitas dan kepemimpinan (leadership). Tujuan ini dijabarkan dalam Peraturan Rektor Universitas Hasanuddin Nomor 1831/2018 tentang Organisasi Kemahasiswaan Pasal 3 sebagai berikut: (1) Pengembangan potensi dan kreativitas mahasiswa dalam bidang penalaran dan keilmuan, bakat, minat, keterampilan, kewirausahaan, dan kepedulian sosial sebagai insan akademik, calon intelektual; (2) Pengembangan keterampilan organisasi, manajemen dan kepemimpinan; (3) Pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan, menyalurkan aspirasi serta komunikasi antarmahasiswa.
Sesungguhnya, soal kapasitas dan kepemimpinan dalam organisasi mahasiswa adalah soal klasik, yang dapat berulang pola maupun praktiknya. Oleh karena itu, sebuah organisasi akan berisiko mengalami kemandekan yang disebabkan ketiadaan nilai-nilai dan visi kolektif (living system) seperti rendahnya tingkat kepercayaan di antara pengelola maupun antarpihak yang terkait di dalamnya, di samping lunturnya budaya berorganisasi.
Dalam proses pengelolaannya, kinerja organisasi kemahasiswaan dapat diukur dari kondisi internal maupun eksternal kampus. Faktor internal seperti apresiasi mahasiswa yang rendah pada organisasi, serta orientasi pembinaan yang tidak seimbang atau tidak seiring dengan kepentingan mahasiswa. Sementara faktor eksternal yang paling mempengaruhi karakteristik organisasi mahasiswa dewasa ini adalah pemanfaatan media teknologi informasi yang massif. Perubahan ini membentuk pola relasi dan interaksi antarmahasiswa maupun mahasiswa dengan dosen, menjadi cenderung otonom, individual, sehingga menggerus otoritas personal. Misalnya, banyak fungsionaris Ormawa yang memandang dosen dan pengelola universitas sebagai aparatur birokrasi. Sebaliknya, dosen maupun pembina kemahasiswaan merasa kuatir gerakan mahasiswa terfrakmentasi oleh banyaknya kepentingan yang beroperasi secara terorganisasi maupun secara virtual (medsos), sehingga mahasiswa ‘millenial’ semakin individual, dan nyaris tak terkendali.
Di level kemahasiswaan, teridentifikasi persoalan rendahnya apresiasi pada organisasi dan idealisme, dan menguatnya sikap reaktif daripada proaktif. Pada saat yang sama, kegiatan kemahasiswaan lebih mengedepankan kompetisi daripada kompetensi (penalaran); kreasi daripada kolaborasi. Proses transformasi pembelajaran pun berlangsung dari atas (forced transformation), akibatnya nilai-nilai kesepahaman dan kesesamaan tidak terintegrasi ke dalam visi, misi dan tujuan strategis universitas. Pertanyaan reflektifnya adalah apa visi bersama kelembagaan mahasiswa Unhas? Dari mana visi itu dibangun? Apa saja pencapaian terbaik dari implementasi program kemahasiswaan? Apakah pencapaian kegiatan kemahasiswaan menjawab atau setidaknya menguatkan Misi Srategis Unhas Menyediakan lingkungan belajar yang berkualitas untuk mengembangkan kapasitas pembelajar yang inovatif dan proaktif?.
Model Pembelajaran
Salah satu metode pembelajaran untuk merancang dan merumuskan model organisasi pembelajaran adalah metode perencanaan Appreciative Inquiry, yaitu upaya menemukenali kekuatan, kesuksesan, aset maupun potensi, dan merumuskannya menjadi visi bersama, serta agenda strategis organisasi. Proses ini dihasilkan melalui empat tahapan, yakni Discovery, Dream, Design, dan Deliver (Diana Whitney dkk, The Power of Appreciative Inquiry: A Practical Guide to Positive Change 2010) seperti gambar ilustrasi berikut ini
Pembahasan terhadap keempat Tools of 4-D Cycle melalui beberapa sesi kegiatan, yaitu Input Narasumber, Curah Pendapat (Brainstorming), Disko Terfokus (FGD), dan Presentasi/ Diskusi Pleno. Dibutuhkan 5 sesi (10 jam) pembahasan atau diskusi untuk sampai pada perumusan agenda strategis dan rancangan program.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar