M. Nawir
Sulisa Matra Bangsa
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora
Dari perspektif pembelajaran (learning
organization), daur organisasi diandaikan seperti organisme hidup; lahir, tumbuh,
berkembang, dan mapan, atau menjadi stagnan dan mati. Hal ini karena organisasi
digerakkan oleh sekumpulan pribadi yang memiliki vitalitas, pengalaman,
kompetensi, mental-karakter, dan tujuan hidup. Berarti, organisasi merupakan
modal sosial (social capital) bagi individu untuk saling melengkapi sekaligus
menjadi ruang pembelajaran bersama untuk menemukan kesesamaan dan mencapai
kesepahaman.
Secara normatif, organisasi, selain mensyaratkan
adanya struktur dan mekanisme, juga digerakkan oleh sejumlah orang yang
berkomitmen untuk membangun budaya dan disiplin dalam berorganisasi. Budaya dan
disiplin organisasi dibentuk oleh setidaknya lima “mata pelajaran” yang terukur
(Peter Senge, The Fifth Dicipline: The Art & Practice of Learning
Organization, 2004), yakni; Sistim Berpikir (System of Thinking), Kemahiran Pribadi
(Personal Mastery), Mentalitas (Mental Models), Visi Bersama (Share Whole
Vision), dan Para Pembelajar (Learning Team). Sistim berpikir diukur dari
kemampuan individu memahami keterkaitan persoalan satu sama lainnya; Kemahiran personal
diukur dari kesadaran bahwa setiap individu adalah ahli pada bidangnya;
Mentalitas, berarti bawaan budaya yang mempengaruhi atau membentuk cara pandang
dunia dan perilaku individu; Visi bersama yang lahir dari kesepahaman dan
perasaan kolektif; Para pembelajar adalah mereka yang meletakkan proses bercakap
dan berdialog sebagai kebutuhan bersama, bukan karena tekanan pemangku
otoritas.
Budaya belajar dan berorganisai menjadi
kata kunci dalam proses pengembangaan atau penguatan kelembagaan mahasiwa
dewasa ini. Akibat perubahan yang ‘revolusioner’ di bidang teknologi informasi
dan edukasi, maka budaya berorganisasi pun selayaknya melakukan – lebih dari
sekedar reformasi adalah – transformasi. Model pembelajaran dan
pengorganisasian konvensional, yang mengutamakan pada otoritas personal,
hirarki, pada akhirnya akan ditinggalkan oleh kaum muda – mahasiswa.
Kenyataannya, pembelajaran dan pengorganisasian yang berbasis komunitas, melek
teknologi informasi dan dibawah otoritas publik sangat mempengaruhi budaya
organisasi, tidak terkecuali organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan
yang transformatif adalah organisasi yang adaptif dan proaktif memperbaharui
nilai dan tujuan strategisnya.
Urgensi Permasalahan
Kementerian pendidikan tinggi telah
merumuskan tujuan pengembangan organisasi kemahasiswaan yang mencakup dua hal
pokok, yaitu pengembangan kapasitas dan kepemimpinan (leadership). Tujuan ini
dijabarkan dalam Peraturan Rektor Universitas Hasanuddin Nomor 1831/2018
tentang Organisasi Kemahasiswaan Pasal 3 sebagai berikut: (1) Pengembangan
potensi dan kreativitas mahasiswa dalam bidang penalaran dan keilmuan, bakat,
minat, keterampilan, kewirausahaan, dan kepedulian sosial sebagai insan
akademik, calon intelektual; (2) Pengembangan keterampilan organisasi,
manajemen dan kepemimpinan; (3) Pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan, menyalurkan
aspirasi serta komunikasi antarmahasiswa.
Sesungguhnya, soal kapasitas dan
kepemimpinan dalam organisasi mahasiswa adalah soal klasik, yang dapat berulang
pola maupun praktiknya. Oleh karena itu, sebuah organisasi akan berisiko mengalami
kemandekan yang disebabkan ketiadaan nilai-nilai dan visi kolektif (living
system) seperti rendahnya tingkat kepercayaan di antara pengelola maupun
antarpihak yang terkait di dalamnya, di samping lunturnya budaya berorganisasi.
Dalam proses pengelolaannya, kinerja organisasi
kemahasiswaan dapat diukur dari kondisi internal maupun eksternal kampus. Faktor
internal seperti apresiasi mahasiswa yang rendah pada organisasi, serta orientasi
pembinaan yang tidak seimbang atau tidak seiring dengan kepentingan mahasiswa.
Sementara faktor eksternal yang paling mempengaruhi karakteristik organisasi
mahasiswa dewasa ini adalah pemanfaatan media teknologi informasi yang massif.
Perubahan ini membentuk pola relasi dan interaksi antarmahasiswa maupun
mahasiswa dengan dosen, menjadi cenderung otonom, individual, sehingga
menggerus otoritas personal. Misalnya, banyak fungsionaris Ormawa yang
memandang dosen dan pengelola universitas sebagai aparatur birokrasi.
Sebaliknya, dosen maupun pembina kemahasiswaan merasa kuatir gerakan mahasiswa
terfrakmentasi oleh banyaknya kepentingan yang beroperasi secara terorganisasi
maupun secara virtual (medsos), sehingga mahasiswa ‘millenial’ semakin
individual, dan nyaris tak terkendali.
Di level kemahasiswaan, teridentifikasi
persoalan rendahnya apresiasi pada organisasi dan idealisme, dan menguatnya
sikap reaktif daripada proaktif. Pada saat yang sama, kegiatan kemahasiswaan
lebih mengedepankan kompetisi daripada kompetensi (penalaran); kreasi daripada
kolaborasi. Proses transformasi pembelajaran pun berlangsung dari atas (forced
transformation), akibatnya nilai-nilai kesepahaman dan kesesamaan tidak
terintegrasi ke dalam visi, misi dan tujuan strategis universitas. Pertanyaan
reflektifnya adalah apa visi bersama kelembagaan mahasiswa Unhas? Dari mana
visi itu dibangun? Apa saja pencapaian terbaik dari implementasi program
kemahasiswaan? Apakah pencapaian kegiatan kemahasiswaan menjawab atau
setidaknya menguatkan Misi Srategis Unhas Menyediakan lingkungan belajar yang
berkualitas untuk mengembangkan kapasitas pembelajar yang inovatif dan proaktif?.
Model Pembelajaran
Salah satu metode pembelajaran untuk merancang dan merumuskan model organisasi pembelajaran adalah metode
perencanaan Appreciative Inquiry, yaitu upaya menemukenali kekuatan,
kesuksesan, aset maupun potensi, dan merumuskannya menjadi visi bersama, serta
agenda strategis organisasi. Proses ini dihasilkan melalui empat tahapan, yakni
Discovery, Dream, Design, dan Deliver (Diana Whitney dkk, The Power of Appreciative
Inquiry: A Practical Guide to Positive Change 2010) seperti gambar ilustrasi
berikut ini
Pembahasan terhadap
keempat Tools of 4-D Cycle melalui beberapa sesi kegiatan, yaitu Input Narasumber, Curah Pendapat (Brainstorming), Disko Terfokus (FGD), dan
Presentasi/ Diskusi Pleno. Dibutuhkan 5 sesi (10 jam) pembahasan atau diskusi
untuk sampai pada perumusan agenda strategis dan rancangan program.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar