Gagasan Perlindungan Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Maros[1]
Oleh Tim Sulisa Matra Bangsa[2]
Penghormatan, pelindungan,
dan pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas merupakan kewajiban konstitusional
negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga
menegaskan tanggung jawab masyarakat menghormati dan memenuhi hak Penyandang
Disabilitas. Undang-undang ini mendasari pembentukan peraturan
perundang-undangan berperspektif HAM.
Konvensi HAM
sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, yang meliputi pemenuhan kesamaan kesempatan Penyandang Disabilitas
dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, Penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, termasuk penyediaan
aksesibilitas dan akomodasi yang Layak.
Pengaturan mengenai pemenuhan
hak Penyandang Disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan
Penyandang Disabilitas yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin,
serta bermartabat. Selain itu, pelaksanaan dan pemenuhan hak juga ditujukan
untuk melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran, eksploitasi,
pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi
manusia (PSHK, 2015).
Saat ini, penyandang disabilitas
merupakan salah satu kelompok minoritas terbesar di dunia yang rentan dari
pelanggaran HAM. Menurut Theresia Degener dalam International Disability Law
– A New Legal Subject on the Rise (2000), para penyandang disabilitas telah
terabaikan selama tiga dekade awal keberadaan organisasi PBB. Para perancang International
Bill of Human Rights atau Piagam
Pernyataan Hak Asasi Manusia PBB, abai memasukkan penyandang disabilitas
sebagai kelompok rentan terhadap pelanggaran HAM. Baru pada tahun 1970-an,
dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan Keterbelakangan Mental (1971) dan
Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas (1975), menjadikan penyandang
disabilitas sebagai subyek dari deklarasi HAM.
Organisasi Buruh International (ILO)
dalam Inklusi Penyandang Disabilitas di
Indonesia (2015) mencatat sekitar 15 persen dari jumlah penduduk dunia adalah
penyandang disabilitas atau lebih dari satu miliar orang. Sekitar 82 persen
dari penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang yang hidup di
bawah garis kemiskinan, dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas
kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak.
Sekira 785
juta perempuan dan laki-laki disabilitas berada pada usia kerja, berstatus
tidak bekerja. Selain bekerja di sektor informal dengan pendapatan lebih kecil
dibandingkan orang lain, perlindungan sosial pun sangat minim. Sumber yang sama
juga menyebut lebih dari 90 persen anak-anak disabilitas di negara-negara
berkembang tidak bersekolah sementara hanya 1 persen perempuan disabilitas yang
bisa membaca.
Pada tahun 2011, WHO –
Organisasi Kesehatan Dunia mencatat sebanyak 10 persen dari penduduk Indonesia
(24 juta) adalah penyandang disabilitas. Menurut data PUSDATIN Kementerian
Sosial, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 11.580.117 orang, di antaranya;
3.474.035 (penyandang disabilitas penglihatan), 3.010.830 (penyandang
disabilitas fisik), 2.547.626 (penyandang disabilitas pendengaran), 1.389.614
(penyandang disabiltias mental) and 1.158.012 (penyandang disabilitas kronis).
Sementara data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada merilis jumlah
penyandang disabilitas adalah 7.126.409 orang.
Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip
Sri Winarsih dkk dalam Buku Panduan
Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (2013) melaporkan sebanyak 9,9 juta
anak Indonesia adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam kategori penyandang
disabilitas. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2014
juga mempublikasikan jumlah anak yang mengalami diabilitas di Indonesia.
Berdasarkan data Susenas 2012 didapatkan estimasi penduduk Indonesia yang
menyandang disabilitas sebesar 2,45% dan sekitar 39,97% dari jumlah tersebut
mengalami lebih dari satu keterbatasan atau disabilitas (Infodatin, 2014).
Berdasarkan survei Departemen Sosial di
24 provinsi (dalam Hidayah, 2015) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan kaum
disabilitas yang tidak sekolah atau tidak tamat SD sekitar 60%, dan sekitar 89%
dari mereka tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.
Laporan Hasil Riskesdes 2013 Kementerian
Kesehatan RI memperlihatkan perbandingan jumlah penyandang disabilitas adalah laki-laki
12,8% dan perempuan 9,2%, Sementara prevalensi disabilitas berdasarkan
pendidikan menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka prevalensi
disabilitas menurun.
Prevalensi
Disabilitas Menurut Pendidikan
Berdasarkan data Susenas 2012 (dalam Buletin Kesehatan Kemenkes RI, 2014),
sebanyak 2,78% penduduk di Sulawesi Selatan adalah penyandang disabilitas.
Sedangkan sumber data Perhimpunan Penyandang Disabilitas Provinsi Sulawesi Selatan
(PPDI Sulsel, 2016), sekira 3,11% dari populasi penduduk Sulawesi Selatan
adalah penyandang cacat, yaitu sekitar 256.123 jiwa.
Jumlah Kelompok Penyandang Disabilitas
di Sulawesi Selatan
No
|
Disabilitas
|
Persentase
|
Jumlah (jiwa)
|
1
|
Tuna Netra
|
0,9%
|
70.001
|
2
|
Tuna Daksa
|
0,85%
|
74.119
|
3
|
Tuna Rungu Wicara
|
0,31%
|
25.530
|
4
|
Tuna Grahita
|
0,65
|
53.530
|
5
|
Ex Penyakit Kronis
|
0,4
|
32.941
|
Begitu banyaknya hambatan yang dihadapi
oleh penyandang disabilitas sehingga mereka sulit untuk mengakses pendidikan
yang memadai serta pekerjaan yang layak. Menyadari hal ini, maka regulasi
menjadi mutlak sebagai sumber hukum dalam memberikan perlindungan dan pelayanan
kepada para penyandang disabilitas.
Terbatasnya pendidikan, keterampilan dan
keahlian yang dimiliki penyandang disabilitas menjadi salah satu alasan oleh
banyak lembaga dan dunia usaha untuk menolak mereka yang mencari kerja.
Akibatnya adalah penyandang disabilitas yang tidak bisa mengakses lapangan
kerja dan tidak berpenghasilan semakin mempertinggi angka kemiskinan mereka.
Hambatan lain yang dihadapi oleh
penyandang disabilitas adalah terbatasnya mobilitas dan aksesibilitas mereka
pada ruang atau pun fasilitas publik. Kurangnya daya mobilitas fisik dan
kurangnya kemampuan dalam mengakses informasi, menjadi penghambat bagi para
penyandang disabilitas untuk terlibat dalam kehidupan sosial, politik dan
ekonomi sehari-hari. Padahal sebagai warga negara, penyandang disabilitas
memiliki hak yang sama dalam bersosialisasi, beraktualisasi dan berpartisipasi
dalam pembangunan di segala bidang.
Menurut mantan anggota Komnas HAM,
Saharuddin Daming dalam Sekapur Sirih Tentang Perwujudan Hak Penyandang
Disabilitas di Indonesia (Komnas HAM, 2013:3-4), pemicu utama terjadinya
marjinalisasi dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas berpangkal dari
melembaganya sikap dan perilaku stereotype dan prejudisme mulai dari
kalangan awam, kelompok intelektual hingga elit penguasa. Namun hal yang paling
berbahaya adalah jika sikap tersebut tumbuh dan bersemayam dalam diri para
penguasa. Sebagai decision maker, mereka berpotensi melahirkan kebijakan
yang bias HAM, karena dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan, memang
berangkat dari rendahnya pengetahuan secara komprehensif tentang penyandang
disabilitas. Akibatnya, kebijakan yang lahir penuh dengan nuansa diskriminasi,
sinisme, apriori bahkan apatis (PSHK, 2015).
Kondisi kesulitan mengakses dan minimnya
perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas ini pun terjadi di
kabupaten Maros. Sebagai ilustrasi, trotoar jalan belum dilengkapi dengan guidance block bagi tuna netra dan
pengguna kursi roda; tempat pemberhentian angkutan umum belum dilengkapi dengan
ramp bagi pengguna kursi roda yang
menggunakan jasa angkutan umum. Selanjutnya, di kantor-kantor pelayanan publik
seperti perizinan, catatan sipil dan pelayanan pajak belum dilengkapi dengan
pengumuman atau informasi digital sehingga menyulitkan penyandang tuna rungu
mengakses informasi.
Pada bidang kesehatan, pemerintah telah
menyiapkan layanan jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Akan tetapi,
tidak mudah bagi para penyandang disabilitas untuk menggunakan fasilitas
tersebut karena terhambat oleh keterbatasan mobilitas.
Permasalahan yang sama terungkap dalam
Sosialisasi Perda Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas di kabupaten
Maros (Kabar.News.Com, 03/06/2018). Salah seorang
pemerhati kaum disabilitas di kabupaten Maros, Jumadi mengatakan bahwa dengan
belum adanya Perda tentang perlindungan bagi penyandang disabilitas di
kabupaten Maros, mengakibatkan terhambatnya pembiayaan program perlindungan
hak-hak penyandang disabilitas melalui APBD. Sekaitan dengan hal tersebut
adalah belum validnya data yang terkait jumlah penyandang disabilitas ringan
dan berat.
Berdasarkan
uraian latarbelakang dan kondisi itulah yang menjadi alasan utama dalam
penyusunan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum dalam upaya meningkatkan
kualitas hidup penyandang disabilitas melalui ketentuan yang menjamin
perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka di kabupaten Maros.
[1] Catatan Seminar Penyusunan Naskah Akademik
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Kabupaten Maros, Juli 2018
[2] Lembaga Penelitian Pengembangan Ilmu Sosial dan
Humaniora, Akte Notaris No. 03 Tgl 06 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar