18 Jul 2018

Perlindungan Penyandang Disabilitas

Gagasan Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Maros[1]
Oleh Tim Sulisa Matra Bangsa[2]
Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas merupakan kewajiban konstitusional negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan tanggung jawab masyarakat menghormati dan memenuhi hak Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini mendasari pembentukan peraturan perundang-undangan berperspektif HAM.
Konvensi HAM sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang meliputi pemenuhan kesamaan kesempatan Penyandang Disabilitas dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, termasuk penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang Layak.
Pengaturan mengenai pemenuhan hak Penyandang Disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta bermartabat. Selain itu, pelaksanaan dan pemenuhan hak juga ditujukan untuk melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran, eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia (PSHK, 2015).
Saat ini, penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok minoritas terbesar di dunia yang rentan dari pelanggaran HAM. Menurut Theresia Degener dalam International Disability Law – A New Legal Subject on the Rise (2000), para penyandang disabilitas telah terabaikan selama tiga dekade awal keberadaan organisasi PBB. Para perancang International Bill of Human Rights atau Piagam Pernyataan Hak Asasi Manusia PBB, abai memasukkan penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan terhadap pelanggaran HAM. Baru pada tahun 1970-an, dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan Keterbelakangan Mental (1971) dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas (1975), menjadikan penyandang disabilitas sebagai subyek dari deklarasi HAM.
Organisasi Buruh International (ILO) dalam Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia (2015) mencatat sekitar 15 persen dari jumlah penduduk dunia adalah penyandang disabilitas atau lebih dari satu miliar orang. Sekitar 82 persen dari penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak.
Sekira 785 juta perempuan dan laki-laki disabilitas berada pada usia kerja, berstatus tidak bekerja. Selain bekerja di sektor informal dengan pendapatan lebih kecil dibandingkan orang lain, perlindungan sosial pun sangat minim. Sumber yang sama juga menyebut lebih dari 90 persen anak-anak disabilitas di negara-negara berkembang tidak bersekolah sementara hanya 1 persen perempuan disabilitas yang bisa membaca.
Pada tahun 2011, WHO – Organisasi Kesehatan Dunia mencatat sebanyak 10 persen dari penduduk Indonesia (24 juta) adalah penyandang disabilitas. Menurut data PUSDATIN Kementerian Sosial, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 11.580.117 orang, di antaranya; 3.474.035 (penyandang disabilitas penglihatan), 3.010.830 (penyandang disabilitas fisik), 2.547.626 (penyandang disabilitas pendengaran), 1.389.614 (penyandang disabiltias mental) and 1.158.012 (penyandang disabilitas kronis). Sementara data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada merilis jumlah penyandang disabilitas adalah 7.126.409 orang.
Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Sri Winarsih dkk dalam Buku Panduan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (2013) melaporkan sebanyak 9,9 juta anak Indonesia adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam kategori penyandang disabilitas. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2014 juga mempublikasikan jumlah anak yang mengalami diabilitas di Indonesia. Berdasarkan data Susenas 2012 didapatkan estimasi penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45% dan sekitar 39,97% dari jumlah tersebut mengalami lebih dari satu keterbatasan atau disabilitas (Infodatin, 2014).
Berdasarkan survei Departemen Sosial di 24 provinsi (dalam Hidayah, 2015) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan kaum disabilitas yang tidak sekolah atau tidak tamat SD sekitar 60%, dan sekitar 89% dari mereka tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.
Laporan Hasil Riskesdes 2013 Kementerian Kesehatan RI memperlihatkan perbandingan jumlah penyandang disabilitas adalah laki-laki 12,8% dan perempuan 9,2%, Sementara prevalensi disabilitas berdasarkan pendidikan menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka prevalensi disabilitas menurun.
Prevalensi Disabilitas Menurut Pendidikan
Berdasarkan data Susenas 2012 (dalam Buletin Kesehatan Kemenkes RI, 2014), sebanyak 2,78% penduduk di Sulawesi Selatan adalah penyandang disabilitas. Sedangkan sumber data Perhimpunan Penyandang Disabilitas Provinsi Sulawesi Selatan (PPDI Sulsel, 2016), sekira 3,11% dari populasi penduduk Sulawesi Selatan adalah penyandang cacat, yaitu sekitar 256.123 jiwa.
Jumlah Kelompok Penyandang Disabilitas di Sulawesi Selatan
No
Disabilitas
Persentase
Jumlah (jiwa)
1
Tuna Netra
0,9%
70.001
2
Tuna Daksa
0,85%
74.119
3
Tuna Rungu Wicara
0,31%
25.530
4
Tuna Grahita
0,65
53.530
5
Ex Penyakit Kronis
0,4
32.941
Begitu banyaknya hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas sehingga mereka sulit untuk mengakses pendidikan yang memadai serta pekerjaan yang layak. Menyadari hal ini, maka regulasi menjadi mutlak sebagai sumber hukum dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada para penyandang disabilitas.
Terbatasnya pendidikan, keterampilan dan keahlian yang dimiliki penyandang disabilitas menjadi salah satu alasan oleh banyak lembaga dan dunia usaha untuk menolak mereka yang mencari kerja. Akibatnya adalah penyandang disabilitas yang tidak bisa mengakses lapangan kerja dan tidak berpenghasilan semakin mempertinggi angka kemiskinan mereka.
Hambatan lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah terbatasnya mobilitas dan aksesibilitas mereka pada ruang atau pun fasilitas publik. Kurangnya daya mobilitas fisik dan kurangnya kemampuan dalam mengakses informasi, menjadi penghambat bagi para penyandang disabilitas untuk terlibat dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi sehari-hari. Padahal sebagai warga negara, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam bersosialisasi, beraktualisasi dan berpartisipasi dalam pembangunan di segala bidang.
Menurut mantan anggota Komnas HAM, Saharuddin Daming dalam Sekapur Sirih Tentang Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia (Komnas HAM, 2013:3-4), pemicu utama terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas berpangkal dari melembaganya sikap dan perilaku stereotype dan prejudisme mulai dari kalangan awam, kelompok intelektual hingga elit penguasa. Namun hal yang paling berbahaya adalah jika sikap tersebut tumbuh dan bersemayam dalam diri para penguasa. Sebagai decision maker, mereka berpotensi melahirkan kebijakan yang bias HAM, karena dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan, memang berangkat dari rendahnya pengetahuan secara komprehensif tentang penyandang disabilitas. Akibatnya, kebijakan yang lahir penuh dengan nuansa diskriminasi, sinisme, apriori bahkan apatis (PSHK, 2015).
Kondisi kesulitan mengakses dan minimnya perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas ini pun terjadi di kabupaten Maros. Sebagai ilustrasi, trotoar jalan belum dilengkapi dengan guidance block bagi tuna netra dan pengguna kursi roda; tempat pemberhentian angkutan umum belum dilengkapi dengan ramp bagi pengguna kursi roda yang menggunakan jasa angkutan umum. Selanjutnya, di kantor-kantor pelayanan publik seperti perizinan, catatan sipil dan pelayanan pajak belum dilengkapi dengan pengumuman atau informasi digital sehingga menyulitkan penyandang tuna rungu mengakses informasi.
Pada bidang kesehatan, pemerintah telah menyiapkan layanan jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Akan tetapi, tidak mudah bagi para penyandang disabilitas untuk menggunakan fasilitas tersebut karena terhambat oleh keterbatasan mobilitas.
Permasalahan yang sama terungkap dalam Sosialisasi Perda Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas di kabupaten Maros (Kabar.News.Com, 03/06/2018). Salah seorang pemerhati kaum disabilitas di kabupaten Maros, Jumadi mengatakan bahwa dengan belum adanya Perda tentang perlindungan bagi penyandang disabilitas di kabupaten Maros, mengakibatkan terhambatnya pembiayaan program perlindungan hak-hak penyandang disabilitas melalui APBD. Sekaitan dengan hal tersebut adalah belum validnya data yang terkait jumlah penyandang disabilitas ringan dan berat. 
Berdasarkan uraian latarbelakang dan kondisi itulah yang menjadi alasan utama dalam penyusunan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas melalui ketentuan yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka di kabupaten Maros.

[1] Catatan Seminar Penyusunan Naskah Akademik Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Kabupaten Maros, Juli 2018
[2] Lembaga Penelitian Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora, Akte Notaris No. 03 Tgl 06 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar