Sumber: https://karebaukmmenulis.wordpress.com/2018/06/10/review-diskusi-gerakan-sosial-dan-radikalisasi-agama-di-kalangan-kaum-muda-dan-miskin-kota/ |
Pada sabtu, 9 Juni di Ardan Masogi
Coffeeshop, Institut Rumah Kampung Kota mengadakan diskusi-reflektif bertema
“Gerakan Sosial dan Radikalisasi Agama Di Kalangan Kaum Muda dan Miskin Kota”.
Diskusi ini diikuti oleh organisasi-organisasi yang berafiliasi di bawah payung
Institut Rumah Kampung Kota serta organisasi lain yang pernah berkolaborasi
dalam mengerjakan kegiatan dengannya. Organisasi-organisasi yang ikut serta
dalam diskusi ini bergerak dalam bidang yang berbeda-beda di bawah suatu aktivitas
yang disebut sebagai, gerakan sosial. Organisasi-organisasi yang ikut serta,
antara lain: Almisbat, Arkom (Arsitek Komunitas) Makassar, Komite Perjuangan
Rakyat Miskin (KPRM), RPK Bontoduri, Komunitas Sahabat Alam (Kosalam), Relawan
Bangku Pelosok, dan Lingkar Advokasi Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Law
Unhas).
Pada mulanya diskusi ini akan
menghadirkan dua orang pembicara: Alwy Rachman (Budayawan) dan M. Nawir
(Aktivis Miskin Kota). Namun hingga menjelang pukul lima sore, pembicara yang
direncanakan akan memantik pendiskusian dengan perspektif sosial-budaya belum
juga hadir di tempat, Alwy Rachman. Akibatnya diskusi dibuka pada pukul 5.24
oleh moderator dengan kondisi forum yang hanya dipantik oleh satu pembicara.
Setelah dibuka oleh moderator dan
memersilakan pembicara memantik pendiskusian, M. Nawir sebagai pembicara dengan
cukup lugas mengatakan bahwa, gerakan sosial adalah diri kita sendiri [individu
maupun kelompok], yang berangkat dari keresahan kalangan rakyat miskin kota,
sehingga terjadi integrasi dan kolaborasi di kalangan pemuda dalam menghimpun
suatu perkumpulan dengan visi bersama, semisal ikatan nilai, adat dan hukum,
guna mencapai sebuah tujuan untuk perubahan. Khususnya perubahan sosial dalam
konteks pegiat gerakan dan aktivis.
Nah, apa itu gerakan sosial? Secara
tidak bertele-tele pembicara menjelaskan gerakan sosial sebagai bentuk antisystemic
movement, atau gerakan antikemapanan, penegasi sistem yang dianggap tidak adil.
Lalu apa pemicu dari adanya gerakan sosial ini? Di situlah kita berbicara
mengenai pertimbangan sosial, serta usaha untuk menerjemahkan gerakan sosial
yang tergolongkan ke dalam empat fase. Ke tiga fase yang dalam prosesnya
bersifat radikal ini telah berlalu, dan kini kita sedang berada dalam fase ke
empat, yaitu radikalisme agama.
Pembicara mengungkapkan, menggunakan
kutipan seorang tokoh sosial, bahwa “orang kalau sudah radikal berpotensi untuk
jadi ekstrimis bahkan teroris”. Suatu ungkapan yang tentunya cukup membuat
getir prasangka.
Suasana diskusi riuh rendah hingga
menjelang petang pada pukul 5.53. Sementara bising usikan kendaraan yang
lalu-lalang di jalan raya Perintis Kemerdekaan cukup menjadi pemecah
konsentrasi.
Radikalisme-ekstrimis di Kampus
Menurut kawan-kawan dari Law Unhas,
kampus yang notabene dipenuhi oleh para akademisi sekalipun, bahkan tidak mampu
lolos dari adanya bayang-bayang radikalisme. Seperti tabiat menuhankan
ideologi, memonopoli kebenaran yang ujung pangkalnya adalah eksterimisme itu
sendiri, ujarnya. “Kampus kemudian menjadi sarang radikalisme dan ekstrimisme;
Karena memang ada bibitnya.”. tambahnya sebagai refleksi dari rentetan kasus
yang diberitakan media arus utama (Detik, Kompas, Liputan6).
Moderator membenarkan, dunia kampus
sebagai sebuah institusi pendidikan rentan akan dogma ayat-ayat. Bagaimana
tidak jika si idealis-agamais sudah mampu masuk dalam struktur sebuah institusi
pendidikan (sekali lagi bukan untuk menyinggung pihak tertentu).
Sampai di situ, pada titik radikalisme
dalam konteks kampus, suasana diskusi harus rehat sejenak untuk mengakhiri
puasanya dengan segelas teh atau kopi yang disajikan pelaksana.
Radikalimse-ekstrimisme di Desa dan Kampung Kota
Radikalimse-ekstrimisme di Desa dan Kampung Kota
Moderator memersilakan kembali kepada perwakilan
dari beberapa organisasi-organisasi yang ikut serta untuk menyampaikan
keresahannya terkait radikalisme agama dalam konteks kehidupan kampung kota dan
desa. Diawali oleh ketua KPRM yang membahas sekilas tentang awal mula gerakan
di kampung kota: “di kampung sudah sangat jauh berubah. Sebelumnya pemuda
(konteks perempuan) hanya tau di dapur, namun setelah turun dalam gerakan
sosial, beberapa mulai berpikir kritis melalui pengetahuan sosial, sehingga
masyarakat dapat mandiri dan kadang juga sampai terjadi demonstrasi ketika
suatu waktu adanya ketidakadilan pemerintah.
Giliran koordinator Arkom Makassar.
Katanya, ekstrimisme yang terbangun di desa dan kampung kota akarnya lebih pada
aspek ekonomi“…Ekstrim masalah perut untuk warga kampung.” tandasnya.
Radikalisme dalam konteks agama memang
menjadikan desa dan kampung kota sebagai lahan eksplorasi. Maka dari itu
diperlukan satu cara untuk filtrasi. Di sini dibutuhkan peran pemuda sebagai
penggerak sosial untuk mencegah adanya indikasi-indikasi radikalisme yang
berbuntut ekstrimisme, apalagi terorisme. Memerhatikan hasil riset di salah
satu desa di kabupaten Maros, Fardi, mewakili Kosalam, mengatakan radikalisme
ada sebab mulai goyahnya kepercayaan masyarakat, utamanya pemuda terhadap NKRI.
“Dari 70 responden, 21 % di antaranya sudah tidak percaya lagi terhadap NKRI”. Namun, berdasarkan data tersebut pula, ia kemudian menambahkan: “memang perlu
kejelasan lebih mengenai riset ini, khususnya pemaknaan atas subjek dan objek
yang hendak diteliti”.
Banyak pandangan terkait radikalisme
dalam forum diskusi ini, di antaranya ada yang beranggapan bahwa radikalisme,
sebagai bentuk kekecewaan terhadap negara, merupakan suatu cara untuk menentang
otoritarian, birokrat, dan juga menguak tirani negara. Yang menjadi sebabnya,
“pemerintah tidak mampu memberi jalan keluar.” ujar salah satu peserta diskusi.
Maka dari itu, gerakan sosial masih dipandang sangat kuat dan penting
urgensinya: “yang disesalkan dari radikalisme agama adalah bahwa, dalam
prosesnya, agama digunakan untuk mendoktrin dan hal seperti ini tidak
menimbulkan perubahan positif yang nyata berlaku di masyarakat”.
Menjelang berakhirnya diskusi pada pukul
07.10, beragam pendapat mulai terhimpun. Pembicara kembali menegaskan bahwa
“ketika berbicara mengenai radikalisme agama, itu bukan berarti suatu
justifikasi terhadap suatu kaum sebab, [agama-agama yang ada di Indonesia] itu
adalah suatu konsekuensi dari corak keberagaman kita sebagai NKRI. Hanya saja,”
tambahnya, “yang disesalkan dari radikalisme agama adalah bahwa, dalam
prosesnya, agama digunakan untuk mendoktrin dan hal seperti ini tidak menimbulkan
perubahan positif yang nyata berlaku di masyarakat”.
Sebagai penutup, moderator menarik
sebuah poin penting dari pembahasan. Katanya, selain sebagai ruang untuk
‘kumpul-kumpul’, diskusi ini, juga merupakan sebuah ruang untuk merefleksikan
gerakan sosial. Karenanya, ruang ini diharapkan mampu merefleksi gerakan sosial
yang ada untuk harus berada pada orientasi yang konstruktif, dewasa, dan lebih
peka lagi terhadap lingkungan dan isu-isu sosial.
Wartawan: Ibnu Khair (M.IX.IK.17.110)
Penulis: Ibnu Khair (M.IX.IK.17.110)
Penyunting: Abdulmunib S. Almuthahhari (M.VII.MN.16.97
* Penamaan untuk daerah yang
terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi-politik kekuasaan dalam konteks perkotaan bagi
kalangan pegiat gerakan sosial—Penyuntig.
1 komentar:
Bermanfaat skali
Posting Komentar