10 Jun 2018

Review Diskusi Gerakan Sosial dan Radikalisasi Agama di Kalangan Kaum Muda dan Miskin Kota

Sumber:
https://karebaukmmenulis.wordpress.com/2018/06/10/review-diskusi-gerakan-sosial-dan-radikalisasi-agama-di-kalangan-kaum-muda-dan-miskin-kota/
Gerakan sosial dari masa ke masa memunyai corak dan ciri khasnya tersendiri, tentang bagaimana latar belakang suatu gerakan itu bisa terbentuk. Sebut saja pada masa kebangkitan nasional, latar belakang masa itu tentu adalah praktik penjajahan/kolonialisme yang menyebabkan gerakan sarat akan nasionalisme. Lain lagi Orde Lama yang diwarnai dengan paham komunisme hingga Orde Baru dengan totalitarianismenya. Lalu bagaimana dengan konteks reformasi hingga hari ini? Lain masa, lain cerita, maka mari mencari jawaban bersama!
Pada sabtu, 9 Juni di Ardan Masogi Coffeeshop, Institut Rumah Kampung Kota mengadakan diskusi-reflektif bertema “Gerakan Sosial dan Radikalisasi Agama Di Kalangan Kaum Muda dan Miskin Kota”. Diskusi ini diikuti oleh organisasi-organisasi yang berafiliasi di bawah payung Institut Rumah Kampung Kota serta organisasi lain yang pernah berkolaborasi dalam mengerjakan kegiatan dengannya. Organisasi-organisasi yang ikut serta dalam diskusi ini bergerak dalam bidang yang berbeda-beda di bawah suatu aktivitas yang disebut sebagai, gerakan sosial. Organisasi-organisasi yang ikut serta, antara lain: Almisbat, Arkom (Arsitek Komunitas) Makassar, Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM), RPK Bontoduri, Komunitas Sahabat Alam (Kosalam), Relawan Bangku Pelosok, dan Lingkar Advokasi Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Law Unhas).
Pada mulanya diskusi ini akan menghadirkan dua orang pembicara: Alwy Rachman (Budayawan) dan M. Nawir (Aktivis Miskin Kota). Namun hingga menjelang pukul lima sore, pembicara yang direncanakan akan memantik pendiskusian dengan perspektif sosial-budaya belum juga hadir di tempat, Alwy Rachman. Akibatnya diskusi dibuka pada pukul 5.24 oleh moderator dengan kondisi forum yang hanya dipantik oleh satu pembicara.
Menurut moderator—yang juga berjejaring dengan Institut Rumah Kampung Kota—saat membuka diskusi, kegiatan seperti ini adalah wadah untuk “kumpul-kumpul” kalangan aktivis sosial guna membahas isu-isu yang ada di kampung kota*, dan desa, dengan harapan dapat merefleksi bersama jejak gerakan sosial dan kaitannya dengan radikalisme ‘agama’. Tanda petik satu digunakan sebab dalam konteks kekinian, radikalisme seolah terasosiasikan pada semua ihwal yang berbicara mengenai agama, khususnya Islam. Padahal, jika ditilik secara bahasa, radikalisme yang berasal dari kata radikal, merupakan suatu bentuk metode atau cara dalam sebuah praktik atas suatu keyakinan.
Setelah dibuka oleh moderator dan memersilakan pembicara memantik pendiskusian, M. Nawir sebagai pembicara dengan cukup lugas mengatakan bahwa, gerakan sosial adalah diri kita sendiri [individu maupun kelompok], yang berangkat dari keresahan kalangan rakyat miskin kota, sehingga terjadi integrasi dan kolaborasi di kalangan pemuda dalam menghimpun suatu perkumpulan dengan visi bersama, semisal ikatan nilai, adat dan hukum, guna mencapai sebuah tujuan untuk perubahan. Khususnya perubahan sosial dalam konteks pegiat gerakan dan aktivis.
Nah, apa itu gerakan sosial? Secara tidak bertele-tele pembicara menjelaskan gerakan sosial sebagai bentuk antisystemic movement, atau gerakan antikemapanan, penegasi sistem yang dianggap tidak adil. Lalu apa pemicu dari adanya gerakan sosial ini? Di situlah kita berbicara mengenai pertimbangan sosial, serta usaha untuk menerjemahkan gerakan sosial yang tergolongkan ke dalam empat fase. Ke tiga fase yang dalam prosesnya bersifat radikal ini telah berlalu, dan kini kita sedang berada dalam fase ke empat, yaitu radikalisme agama.
Pembicara mengungkapkan, menggunakan kutipan seorang tokoh sosial, bahwa “orang kalau sudah radikal berpotensi untuk jadi ekstrimis bahkan teroris”. Suatu ungkapan yang tentunya cukup membuat getir prasangka.
Satu lagi pertanyaan pemantik yang dilayangkan pembicara“, apakah radikalisme merupakan sebuah keniscayaan dalam gerakan sosial?” Tentu tidak akan hadir satu jawaban yang sama dari pertanyaan demikian. Kita tidak bisa menafikan perbedaan yang ada di kepala setiap individu, tentang bagaimana cara seseorang dalam memaknai konteks dalam kaitannya dengan modernisasi.
Suasana diskusi riuh rendah hingga menjelang petang pada pukul 5.53. Sementara bising usikan kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya Perintis Kemerdekaan cukup menjadi pemecah konsentrasi.
Radikalisme-ekstrimis di Kampus
Sebelum benar-benar masuk dalam suasan diskusi, pembicara lebih dulu mengembalikan kendali kepada moderator agar memberi ruang bagi para peserta untuk merefleksi pengalaman masing-masing. Dimulai dari Amri Murad yang mewakili Law Unhas. Amri lebih banyak berbicara pertalian antara radikalisme yang berbuntut pada terorisme, “kedukaan atas tindakan radikalisme yang dimonopoli oleh terorisme” katanya“. Baiknya kita pakai istilah terorisme saja untuk tidak memojokkan gerakan radiklaisme lainnya.” tambahnya kemudian: “Apakah ini proses dari sebuah jangka panjang atau malah sesuatu yang spontan sebagai bentuk reaksioner? Tentu tidak”. Amri kemudian menegaskannya sendiri, “ini proses yang panjang dan tidak serta-merta. Kampus kemudian menjadi sarang radikalisme dan ekstrimisme; Karena memang ada bibitnya”.
Menurut kawan-kawan dari Law Unhas, kampus yang notabene dipenuhi oleh para akademisi sekalipun, bahkan tidak mampu lolos dari adanya bayang-bayang radikalisme. Seperti tabiat menuhankan ideologi, memonopoli kebenaran yang ujung pangkalnya adalah eksterimisme itu sendiri, ujarnya. “Kampus kemudian menjadi sarang radikalisme dan ekstrimisme; Karena memang ada bibitnya.”. tambahnya sebagai refleksi dari rentetan kasus yang diberitakan media arus utama (Detik, Kompas, Liputan6).
Moderator membenarkan, dunia kampus sebagai sebuah institusi pendidikan rentan akan dogma ayat-ayat. Bagaimana tidak jika si idealis-agamais sudah mampu masuk dalam struktur sebuah institusi pendidikan (sekali lagi bukan untuk menyinggung pihak tertentu).
Sampai di situ, pada titik radikalisme dalam konteks kampus, suasana diskusi harus rehat sejenak untuk mengakhiri puasanya dengan segelas teh atau kopi yang disajikan pelaksana.
Radikalimse-ekstrimisme di Desa dan Kampung Kota
Radikalisme secara terminologi adalah gabungan dari dua kata, yaitu radikal yang berarti akar (radix) dan isme yang berarti paham. Dalam perkembangannya, masyarakat mulai memaknai istilah ini dengan suatu bentuk penyelewengan, lewat batas, melampaui garis normal, perbuatan kasar dan sesuatu hal yang bermakna buruk. Sebut saja terorisme, seperti dalam pembahasan sebelumnya. Dalam tahapannya, ada 4 fase gerakan yang bisa dikata sebagai representasi dari radikalisme ini, antara lain; Anarkisme, Nasionalisme, Marxisme, dan yang paling hangat sekarang adalah Islamisme.
Moderator memersilakan kembali kepada perwakilan dari beberapa organisasi-organisasi yang ikut serta untuk menyampaikan keresahannya terkait radikalisme agama dalam konteks kehidupan kampung kota dan desa. Diawali oleh ketua KPRM yang membahas sekilas tentang awal mula gerakan di kampung kota: “di kampung sudah sangat jauh berubah. Sebelumnya pemuda (konteks perempuan) hanya tau di dapur, namun setelah turun dalam gerakan sosial, beberapa mulai berpikir kritis melalui pengetahuan sosial, sehingga masyarakat dapat mandiri dan kadang juga sampai terjadi demonstrasi ketika suatu waktu adanya ketidakadilan pemerintah.
Giliran koordinator Arkom Makassar. Katanya, ekstrimisme yang terbangun di desa dan kampung kota akarnya lebih pada aspek ekonomi“…Ekstrim masalah perut untuk warga kampung.” tandasnya.
Radikalisme dalam konteks agama memang menjadikan desa dan kampung kota sebagai lahan eksplorasi. Maka dari itu diperlukan satu cara untuk filtrasi. Di sini dibutuhkan peran pemuda sebagai penggerak sosial untuk mencegah adanya indikasi-indikasi radikalisme yang berbuntut ekstrimisme, apalagi terorisme. Memerhatikan hasil riset di salah satu desa di kabupaten Maros, Fardi, mewakili Kosalam, mengatakan radikalisme ada sebab mulai goyahnya kepercayaan masyarakat, utamanya pemuda terhadap NKRI. “Dari 70 responden, 21 % di antaranya sudah tidak percaya lagi terhadap NKRI”. Namun, berdasarkan data tersebut pula, ia kemudian menambahkan: “memang perlu kejelasan lebih mengenai riset ini, khususnya pemaknaan atas subjek dan objek yang hendak diteliti”.
Banyak pandangan terkait radikalisme dalam forum diskusi ini, di antaranya ada yang beranggapan bahwa radikalisme, sebagai bentuk kekecewaan terhadap negara, merupakan suatu cara untuk menentang otoritarian, birokrat, dan juga menguak tirani negara. Yang menjadi sebabnya, “pemerintah tidak mampu memberi jalan keluar.” ujar salah satu peserta diskusi. Maka dari itu, gerakan sosial masih dipandang sangat kuat dan penting urgensinya: “yang disesalkan dari radikalisme agama adalah bahwa, dalam prosesnya, agama digunakan untuk mendoktrin dan hal seperti ini tidak menimbulkan perubahan positif yang nyata berlaku di masyarakat”.
Menjelang berakhirnya diskusi pada pukul 07.10, beragam pendapat mulai terhimpun. Pembicara kembali menegaskan bahwa “ketika berbicara mengenai radikalisme agama, itu bukan berarti suatu justifikasi terhadap suatu kaum sebab, [agama-agama yang ada di Indonesia] itu adalah suatu konsekuensi dari corak keberagaman kita sebagai NKRI. Hanya saja,” tambahnya, “yang disesalkan dari radikalisme agama adalah bahwa, dalam prosesnya, agama digunakan untuk mendoktrin dan hal seperti ini tidak menimbulkan perubahan positif yang nyata berlaku di masyarakat”.
Sebagai penutup, moderator menarik sebuah poin penting dari pembahasan. Katanya, selain sebagai ruang untuk ‘kumpul-kumpul’, diskusi ini, juga merupakan sebuah ruang untuk merefleksikan gerakan sosial. Karenanya, ruang ini diharapkan mampu merefleksi gerakan sosial yang ada untuk harus berada pada orientasi yang konstruktif, dewasa, dan lebih peka lagi terhadap lingkungan dan isu-isu sosial.

Wartawan: Ibnu Khair (M.IX.IK.17.110)
Penulis: Ibnu Khair (M.IX.IK.17.110)
Penyunting: Abdulmunib S. Almuthahhari (M.VII.MN.16.97



* Penamaan untuk daerah yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi-politik kekuasaan dalam konteks perkotaan bagi kalangan pegiat gerakan sosial—Penyuntig.

1 komentar:

Ridhwan mengatakan...

Bermanfaat skali

Posting Komentar