PENGANTAR
Pasca ledakan
bom bunuh diri di kota Surabaya yang terjadi di lima titik, mengafirmasi seperti apa
kuatnya gerakan ekstremisme1 agama di Indonesia. Beberapa fakta yang ditemukan
pada tragedi bom bunuh diri yang pernah terjadi, sebelum ledakan di Surabaya,
sebagian besar pelakunya berasal dari kelompok masyarakat yang rentan secara
ekonomi dan politik: Atau kelompok masyarakat yang berada di pinggiran kota
(baca: kampung kota).
Menurut Dr Alex P. Schmid (2013) dalam Jurnal ICCT Research Paper bertajuk Radicalisation, De-Radicalisation, Counter Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature
Review,
mengeksplorasi perbedaan radikalisme dan ektremisme melalui lintasan sejarah
gerakan internasional. Dalam riset itu, dijelaskan bahwa secara historis
radikal cenderung lebih terbuka terhadap rasionalitas-meskipun kadang terpaksa
menggunakan cara kekerasan- dan kompromi pragmatis, tanpa meninggalkan
pencarian mereka atas akar masalah. Sedangkan ekstresmisme cenderung memiliki
pemikiran yang tertutup dan kaku, dan secara mutlak menerima kekerasan dalam
metode perjuangan politik. Oleh karenanya, istilah ekstremisme dirasa lebih
tepat dalam mendefinisikan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Berbeda dengan
tragedi sebelumnya, bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya tidak hanya
dilakukan oleh orang dewasa, namun juga melibatkan anak-anak dan remaja.
Berdasarkan penelusuran majalah tempo, ditemukan bahwasanya gerakan ekstremisme
agama di Indonesia telah mengakar selama 30 tahun, dan tidak hanya menyasar
orang dewasa, tapi juga kaum muda. Celakanya, kaum muda tersebut sebagian besar
merupakan pelajar dalam institusi pendidikan. Baik sekolah maupun universitas.
Pulau Jawa dan Sulawesi merupakan dua pulau yang sekolah dan universitasnya
terpapar ekstremisme agama dan masuk dalam kategori akut.
Salah satu pintu
masuk, berdasarkan penelusuran Majalah Tempo adalah media social. Utamanya
Telegram dan Whatsapp. Hal itu diketahui dari hasil wawancara dengan salah
seorang mahasiswa yang hendak melakukan penyerangan ke markas komando brimob.
Berdasarkan penjelasannya, ia banyak belajar soal negara islam melalui media
telegram, yang di dalamnya tersedia banyak bacaan dan tontonan terkait
peristiwa yang terjadi di negara-negara islam. Bacaan dan tontonan tersebut
menjadi titik balik untuk memulai doktrin mengenai pentingnya melakukan jihad.
Beberapa
penelitian menjelaskan bahwa ekstremisme agama di Indonesia membludak dan
muncul ke permukaan pasca diterapkannya sistem reformasi yang “melegalkan”
beragam ekspresi individu maupun kelompok. Sebagai akibat dari diberlakukannya
demokratisasi adalah kian ramainya kelompok-kelompok yang teridentifikasi
menyebarkan faham-faham ekstrem dengan agama sebagai dalihnya. Kebebasan tersebut kemudian bertemu
dengan situasi ekonomi-politik Indonesia pasca orde baru yang sedang mengalami
krisis, dan perkembangan dunia informatika (internet). Situasi ekonomi-politik
yang mengalami krisis menjadi motif untuk merekrut kelompok-kelompok yang tidak
terwadahi atau tersingkir akibat struktur. Dan internet menjadi salah satu
mediumnya.
Sebuah hasil
penelitian menyebutkan, anak muda yang suka mengikuti gaya hidup kelas menengah
yang modis dan lebih sejahtera, terkadang tidak sanggup wemujudkan apa yang
mereka inginkan, karena faktor ekonomi. Mereka sadar bahwa kondisi
ekonomi/keuangan keluarga yang kurang baik merupakan hambatan dalam meraih
cita-cita mereka. Sebagian generasi muda kelas ekonomi rendah, mengakui bahwa
hambatan material- struktural adalah sebab gagalnya mewujudkan mimpi-mimpi
mereka (Pam Nilana, Loynette Parkerb, Linda Bennettc dan Kathryn Robinsond,
2011). Akibatnya, mereka berpaling ke agama, dengan resiko menjadi sasaran
rekruitmen kelompok ekstremis.
Pertanyaannya
kemudian, apakah kebijakan rezim populis hari ini dapat dikatakan menjadi
pra-syarat bangkitnya ekstremisme islam ke permukaan, atau ternyata ekstremisme
islam hari ini yang muncul ke permukaan merupakan buah dari proses panjang,
dengan kata lain rezim hari ini merupakan korban? Jika ya, proses seperti apa
yang memungkinkan ekstremisme agama menjadi semakin kuat?
Yang tidak kalah
penting, hal ini juga menjadi titik balik bagi pegiat gerakan social untuk
merefleksi diri dan organisasi. Pegiat gerakan social yang terbilang sangat
dekat dengan masyarakat mesti mampu merefleksi aktivitasnya dalam kaitannya
dengan upaya menangkal proses ekstremisme agama dalam masyarakat. Mengapa
gerakan social yang begitu dekat dengan masyarakat mampu kecolongan. Atau
apakah gerakan social hari ini punya andil dalam memuluskan upaya ekstremisme agama
dalam masyarakat, khususnya masyarakat pinggiran dan kaum muda?
Malalui diskusi
ini, bersama-sama kita akan membincangkan beberapa poin yang telah dipaparkan
dimuka, serta membincangkan soal upaya mensiasati situasi yang terjadi.
TUJUAN DISKUSI
- Transformasi isu mengenai radikalisasi agama dan ancaman terhadap NKRI
- Transformasi mengenai urgensi radikalisasi agama dalam masyarakat khususnya kaum muda dan miskin kota. Serta pentingnya menyikapi.
- Membincangkan situasi social, politik, ekonomi hari ini dalam hubungannya dengan upaya radikalisasi agama.
- Sharing temuan dan pengalaman dalam menangkal upaya radikalisasi agama dalam masyarakat.
- Membicarakan mengenai upaya yang memungkinkan dilakukan secara Bersama untuk menangkal proses radikalisasi agama.
PENYELENGGARA
Jaringan
Institut Rumah Kampung Kota: KPRM, Arkom,
RPK Bontoduri, Almisbat
WAKTU & TEMPAT:
Sabtu, 9 Juni
2018, Jam 16.00 Wita sampai Buka Puasa di Warkop
Ardan Masogi Lantai II
PESERTA:
50 orang dari
elemen organisasi komunitas, jaringan relawan, profesional, aktivis LSM,
pemuda, mahasiswa dan akademisi dari Jaringan Kerja Institut Rumah Kampung
Kota:
Almisbat
Arkom Makassar
KPRM Makassar
RPK Bontoduri
KPA/Siaga
Maros-Pangkep
LAW Unhas
Kosalam
Relawan Bangku
Pelosok
PEMBICARA:
Alwy Rachman
(Analis Sosial Budaya)
M. Nawir
(Aktivis Institut Rumah Kampung Kota)
KONTAK PERON: Aman Wijaya, Munib, Yunus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar