5 Jun 2018

Diskusi-Refleksi Jejaring Institut Rumah Kampung Kota

PENGANTAR
Pasca ledakan bom bunuh diri di kota Surabaya yang terjadi di lima titik, mengafirmasi seperti apa kuatnya gerakan ekstremisme1 agama di Indonesia. Beberapa fakta yang ditemukan pada tragedi bom bunuh diri yang pernah terjadi, sebelum ledakan di Surabaya, sebagian besar pelakunya berasal dari kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi dan politik: Atau kelompok masyarakat yang berada di pinggiran kota (baca: kampung kota).
Menurut Dr Alex P. Schmid (2013) dalam Jurnal ICCT Research Paper bertajuk Radicalisation, De-Radicalisation, Counter Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review, mengeksplorasi perbedaan radikalisme dan ektremisme melalui lintasan sejarah gerakan internasional. Dalam riset itu, dijelaskan bahwa secara historis radikal cenderung lebih terbuka terhadap rasionalitas-meskipun kadang terpaksa menggunakan cara kekerasan- dan kompromi pragmatis, tanpa meninggalkan pencarian mereka atas akar masalah. Sedangkan ekstresmisme cenderung memiliki pemikiran yang tertutup dan kaku, dan secara mutlak menerima kekerasan dalam metode perjuangan politik. Oleh karenanya, istilah ekstremisme dirasa lebih tepat dalam mendefinisikan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Berbeda dengan tragedi sebelumnya, bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun juga melibatkan anak-anak dan remaja. Berdasarkan penelusuran majalah tempo, ditemukan bahwasanya gerakan ekstremisme agama di Indonesia telah mengakar selama 30 tahun, dan tidak hanya menyasar orang dewasa, tapi juga kaum muda. Celakanya, kaum muda tersebut sebagian besar merupakan pelajar dalam institusi pendidikan. Baik sekolah maupun universitas. Pulau Jawa dan Sulawesi merupakan dua pulau yang sekolah dan universitasnya terpapar ekstremisme agama dan masuk dalam kategori akut.
Salah satu pintu masuk, berdasarkan penelusuran Majalah Tempo adalah media social. Utamanya Telegram dan Whatsapp. Hal itu diketahui dari hasil wawancara dengan salah seorang mahasiswa yang hendak melakukan penyerangan ke markas komando brimob. Berdasarkan penjelasannya, ia banyak belajar soal negara islam melalui media telegram, yang di dalamnya tersedia banyak bacaan dan tontonan terkait peristiwa yang terjadi di negara-negara islam. Bacaan dan tontonan tersebut menjadi titik balik untuk memulai doktrin mengenai pentingnya melakukan jihad.
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa ekstremisme agama di Indonesia membludak dan muncul ke permukaan pasca diterapkannya sistem reformasi yang “melegalkan” beragam ekspresi individu maupun kelompok. Sebagai akibat dari diberlakukannya demokratisasi adalah kian ramainya kelompok-kelompok yang teridentifikasi menyebarkan faham-faham ekstrem dengan agama sebagai dalihnya. Kebebasan tersebut kemudian bertemu dengan situasi ekonomi-politik Indonesia pasca orde baru yang sedang mengalami krisis, dan perkembangan dunia informatika (internet). Situasi ekonomi-politik yang mengalami krisis menjadi motif untuk merekrut kelompok-kelompok yang tidak terwadahi atau tersingkir akibat struktur. Dan internet menjadi salah satu mediumnya.
Sebuah hasil penelitian menyebutkan, anak muda yang suka mengikuti gaya hidup kelas menengah yang modis dan lebih sejahtera, terkadang tidak sanggup wemujudkan apa yang mereka inginkan, karena faktor ekonomi. Mereka sadar bahwa kondisi ekonomi/keuangan keluarga yang kurang baik merupakan hambatan dalam meraih cita-cita mereka. Sebagian generasi muda kelas ekonomi rendah, mengakui bahwa hambatan material- struktural adalah sebab gagalnya mewujudkan mimpi-mimpi mereka (Pam Nilana, Loynette Parkerb, Linda Bennettc dan Kathryn Robinsond, 2011). Akibatnya, mereka berpaling ke agama, dengan resiko menjadi sasaran rekruitmen kelompok ekstremis.
Pertanyaannya kemudian, apakah kebijakan rezim populis hari ini dapat dikatakan menjadi pra-syarat bangkitnya ekstremisme islam ke permukaan, atau ternyata ekstremisme islam hari ini yang muncul ke permukaan merupakan buah dari proses panjang, dengan kata lain rezim hari ini merupakan korban? Jika ya, proses seperti apa yang memungkinkan ekstremisme agama menjadi semakin kuat?
Yang tidak kalah penting, hal ini juga menjadi titik balik bagi pegiat gerakan social untuk merefleksi diri dan organisasi. Pegiat gerakan social yang terbilang sangat dekat dengan masyarakat mesti mampu merefleksi aktivitasnya dalam kaitannya dengan upaya menangkal proses ekstremisme agama dalam masyarakat. Mengapa gerakan social yang begitu dekat dengan masyarakat mampu kecolongan. Atau apakah gerakan social hari ini punya andil dalam memuluskan upaya ekstremisme agama dalam masyarakat, khususnya masyarakat pinggiran dan kaum muda?
Malalui diskusi ini, bersama-sama kita akan membincangkan beberapa poin yang telah dipaparkan dimuka, serta membincangkan soal upaya mensiasati situasi yang terjadi.

TUJUAN DISKUSI
  1. Transformasi isu mengenai radikalisasi agama dan ancaman terhadap NKRI
  2. Transformasi mengenai urgensi radikalisasi agama dalam masyarakat khususnya kaum  muda dan miskin kota. Serta pentingnya menyikapi.
  3. Membincangkan situasi social, politik, ekonomi hari ini dalam hubungannya dengan  upaya radikalisasi agama.
  4. Sharing temuan dan pengalaman dalam menangkal upaya radikalisasi agama dalam masyarakat.
  5. Membicarakan mengenai upaya yang memungkinkan dilakukan secara Bersama untuk menangkal proses radikalisasi agama.
PENYELENGGARA
Jaringan Institut Rumah Kampung Kota: KPRM, Arkom, RPK Bontoduri, Almisbat

WAKTU & TEMPAT:
Sabtu, 9 Juni 2018, Jam 16.00 Wita sampai Buka Puasa di Warkop Ardan Masogi Lantai II

PESERTA:
50 orang dari elemen organisasi komunitas, jaringan relawan, profesional, aktivis LSM, pemuda, mahasiswa dan akademisi dari Jaringan Kerja Institut Rumah Kampung Kota:
Almisbat
Arkom Makassar
KPRM Makassar
RPK Bontoduri
KPA/Siaga Maros-Pangkep
LAW Unhas
Kosalam
Relawan Bangku Pelosok

PEMBICARA:
Alwy Rachman (Analis Sosial Budaya)
M. Nawir (Aktivis Institut Rumah Kampung Kota)

KONTAK PERON: Aman Wijaya, Munib, Yunus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar