11 Apr 2018

Gagasan Penyusunan Naskah Akademik Kebencanaan di Daerah

Gagasan Penyusunan Naskah Akademik Kevbencanaan di Kabupaten Maros[1]
Oleh Tim Sulisa Matra Bangsa[2]
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas, berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra besar; Asia yang beriklim tropis, dan Australia yang beriklim semi-tropis. Dengan posisi itu, wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rentan terhadap terjadinya bencana alam, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi. Wilayah Indonesia yang dikenal dengan sebutan Benua Maritim memiliki 17.504 pulau besar dan kecil. Kawasan perairan laut seluas 7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhannya, yang terdiri atas perairan laut teritorial, laut nusantara, dan laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Pada wilayah daratan seluas 1,9 juta km2, sebesar 27 % atau sekitar 0,54 juta km2 merupakan perairan umum berupa sungai, rawa, danau, dan waduk.
Indonesia memiliki kepadatan penduduk tertinggi keempat di dunia, yaitu lebih dari 220 juta jiwa. Dengan persebaran yang tidak merata antarprovinsi, 60 % jumlah penduduk Indonesia terpusat di Jawa dan Bali. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur yang cenderung terpusat di Jawa dan Bali. Hal ini menciptakan ketimpangan aksesibilitas antarwilayah maupun antardaerah.
Secara geologis, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Jalur gempa bumi sejajar dengan jalur penunjaman dan jalur patahan regional seperti Patahan Sumatera/Semangko. Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan berada di dalam rangkaian “Cincin Api” (Ring of Fire), sehingga berisiko tinggi mengalami bencana geologis dan vulkanologis.
Wilayah kepulauan Indonesia rentan dari pengaruh perubahan iklim global (global climate changes), yang disebabkan oleh Pemanasan Global (Global Warming). Kenaikan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon dioksida dan gas-gas lain yang dikenal sebagai gas rumah kaca yang menyelimuti bumi dan memerangkap panas. Kenaikan suhu ini mengubah iklim, menyebabkan berubahnya pola cuaca yang dapat menimbulkan peningkatan curah hujan yang tidak biasa, semakin ganasnya angin dan badai bahkan terjadinya bencana alam (wwf.or.id, Seputar Perubahan Iklim). Dalam satu dekade terakhir, faktor perubahan iklim telah mempertinggi risiko bencana di Indonesia seperti cuaca ekstrim, kekeringan, gelombang dan abrasi, serta angin puting beliung. Dampaknya sangat terasa mempengaruhi sektor-sektor strategis kehidupan masyarakat seperti pertanian, perikanan, infrastruktur, kesehatan dan lingkungan hidup.
Sumber data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut 89% kejadian bencana di Indonesia terkait dengan iklim dalam kurun waktu 100 tahun terakhir (1915-2015). Bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor menempati urutan tertinggi. Informasi tersebut sejalan dengan basisdata OFDA/CRED International Disaster (2007) yang menyatakan bahwa dalam periode tahun 1907 hingga 2007, sebagian besar kejadian bencana. terkait dengan iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit. Dalam laporan Bappenas (2013) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 9 tahun (2004-2013) kejadian bencana di Indonesia telah mengakibatkan kerugian ekonomi mencapai Rp 162,8 Triliun. Sementara biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana mencapai Rp 102 Triliun.
Para ahli, pemerhati dan praktisi kebencanaan, termasuk lembaga internasional menilai pemerintah Indonesia terlambat mengembangakan sistim penanggulangan bencana dibandingkan dengan Jepang atau pun China. Sebagai contoh penerbitan Undang-undang 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sesungguhnya didahului oleh Bencana Gempa dan Tsunami terbesar di Samudra Hindia, bahkan dunia. Dalam peristiwa 26 Desember 2004 di Aceh itu, pemerintah pusat dan daerah nyaris tidak memiliki kemampuan mengantisipasi secara teknologi, kelembagaan, penyelenggaraan dan pendanaan. Demikian pun ketika terjadi Gempa di Yogyakarta (2006). Dari kedua kejadian bencana itulah pemerintah menerbitkan PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulanan Bencana yang bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.
Keterlibatan sejumlah negara, lembaga donor, dan sektor swasta pada rekonstruksi pasca Gempa dan Tsunami Aceh, Yogyakarta, dan daerah lainnya telah menyadarkan pemerintah Indonesia, betapa perhatian masyarakat internasional cukup besar. Sebagai kelanjutannya, pemerintah Indonesia terus memperbaharui regulasi, kelembagaan, kapasitas dan pendanaan bencana. Sebagai konsekuensi, pemerintah Indonesia menjadi partisipan dan narasumber utama dalam konferensi Internasional, di antaranya yang diselenggarakan oieh Badan PBB Urusan Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR).
Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI)
https://nasional.tempo.co/read/754040/kinerja-bnpb-mendapat-apresiasi
Ancaman bencana di wilayah Indonesia dapat terjadi setiap waktu dalam skala kecil maupun besar. Apalagi dengan kerusakan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali semakin memicu kerentanan, dan mengakibatkan frekuensi kejadian bencana dan tingkat kerusakan maupun korban jiwa semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Rilis BNPB (29/12/2017) mencatat sebanyak 2.341 kejadian bencana selama tahun 2017. Jumlah kejadian ini sedikit menurun dibanding tahun 2016 sebanyak 2.369 (BNPB, 2016). Tercatat sembilan jenis kejadian bencana, dimana 95% dari kejadian tersebut adalah bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang diakibatkan oleh cuaca ekstrim sepeti curah hujan tinggi, kekeringan, dan angin puting beliung.
Jumlah Kejadian Bencana di Indonesia, 2016 – 2017
No
Kejadian Bencana
Jumlah Kejadian
2017
2016
1
Banjir
787
770
2
Puting Beliung
716
681
3
Tanah Longsor
614
622
4
Kebakaran Hutan/Lahan
96
178
5
Banjir dan Tanah Longsor
76
75
6
Kekeringan
19
-
7
Gempa Bumi
20
13
8
Gelombang Pasang/Abrasi
11
23
9
Letusan Gunung Api
2
7

Total
2.341
2.369

Sumber: Diolah dari Rilis & Dokumen Info Bencana BNPB 2016/2017
Pengukuran data tentang kapasitas (kemampuan) dilakukan dengan menggunakan metoda penilaian kapasitas berdasarkan parameter kapasitas regulasi, kelembagaan, sistem peringatan, pendidikan pelatihan keterampilan, mitigasi dan sistem kesiapsiagaan. Unit terkecil yang dijadikan satuan penilaian fisik adalah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Sedangkan untuk penilaian risiko bencana provinsi dilakukan dengan penghitungan rata-rata dari indeks risiko kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Pengkajian risiko bencana dilaksanakan dengan mengkaji dan memetakan tingkat bahaya, tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas berdasarkan indeks bahaya, indeks penduduk terpapar, indeks kerugian dan indeks kapasitas. Metodologi untuk menerjemahkan berbagai indeks tersebut ke dalam peta dan kajian diharapkan dapat menghasilkan tingkat risiko dan peta risiko untuk setiap bahaya bencana yang ada pada suatu daerah. Kajian dan peta risiko bencana ini harus mampu menjadi dasar yang memadai bagi daerah untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana.
Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan untuk tujuan tersebut adalah dengan mengintegrasikan atau pemaduan program pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan pembangunan. Untuk dapat mewujudkan program tersebut, maka dipandang perlu untuk menilai kerawanan bencana tiap-tiap daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Kerawanan Bencana di Daerah
Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kondisi geografis beragam – baik dataran, sungai, danau maupun pegunungan. Jumlah sungai yang mengaliri wilayah Sulawesi Selatan tercatat sekitar 65 aliran sungai, dengan jumlah aliran terbesar berada di Kabupaten Luwu sebanyak 25 aliran sungai. Beberapa gunung juga terdapat di wilayah ini, yaitu: Gunung Anuan, Gunung Balease, Gunung Gandadinata, Gunung Kabinturu, Gunung Kambuno, Gunung Lompobatang, Gunung Paroreang, Gunung Rantemado, Gunung Sinajai, dan Gunung Tolondokalaud.
Berdasarkan hasil perhitungan Multi Ancaman (BNPB, 2013), potensi kerawanan bencana di Sulawesi Selatan meliputi bencana alam, bencana sosial, dan bencana non-alam seperti banjir, gempa bumi, kebakaran pemukiman, kekeringan, cuaca ekstrim, longsor, abrasi, gagal teknologi, konflik sosial, epidemi dan wabah penyakit. Hasil perhitungan ini menghasilkan urutan kelas risiko berdasarkan total skor dan total penduduk terpapar.
Provinsi Sulawesi Selatan berada dalam kelas risiko tinggi dan sedang. Hal ini karena perhitungan indeks risiko bencana, sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, ditekankan pada potensi kemungkinan dan besarnya dampak yang diukur dari keterpaparan (exposure) dari setiap bahaya (hazard), dan gabungan dari beberapa bahaya (multi hazard). Jadi kerawanan dihitung dari data potensi kemungkinan korban dan dampak yang akan ditimbulkan dari suatu bencana.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan (Rakyatku.com, 30/05/2017), mengatakan bahwa 24 kabupaten/kota di Sulsel berpotensi terkena bencana alam seperti dari banjir, tanah longsor, angin puting beliuang dan abrasi. Dalam keterangan persnya, Ketua BPBD Sulsel menyebut 6 kabupaten/kota, yaitu Barru, Bone, Bulukumba, Kepulauan Selayar dan Palopo yang termasuk multi-hazard, dalam hal ini rawan longsor, banjir, puting beliung, dan abrasi; 14 kabupaten/kota yang rawan tanah longsor; 16 kabupaten/kota rawan puting beliung, dan 15 kabupaten/kota rawan abrasi.
Selama tahun 2016, BPBD Sulsel mencatat 85 kejadian banjir, 40 kejadian tanah longsor, 32 kejadian puting beliung, dan 2 kejadian abrasi. Akibat kejadian tersebut 25 orang meninggal, 2 sakit dan 1.258 mengungsi. Kerusakan yang diakibatkan, antara lain 11 fasilitas umum, 3.386 rumah dan 51.645 hektar sawah.
Dari 24 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan, 22 kabupaten/kota di antaranya termasuk dalam kelas risiko tinggi. Skor atau kelas risiko tertinggi dan terendah adalah kota Palopo (211) dan kabupaten Sidrap (119). Kabupaten Maros termasuk ke dalam 22 kabupaten/kota yang berisiko tinggi, berada pada urutan kesepuluh dengan skor 168.
Indeks Risiko Bencana Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
No
Kabupaten/Kota
Skor
Kelas Risiko
1
Kota Palopo
211
Tinggi
2
Luwu
203
Tinggi
3
Luwu Utara
202
Tinggi
4
Luwu Timur
202
Tinggi
5
Bone
191
Tinggi
6
Barru
180
Tinggi
7
Wajo
179
Tinggi
8
Pinrang
179
Tinggi
9
Bantaeng
174
Tinggi
10
Maros
168
Tinggi
11
Pangkajene Kepulauan
168
Tinggi
12
Sinjai
166
Tinggi
13
Bulukumba
163
Tinggi
14
Gowa
163
Tinggi
15
Kepulauan Selayar
155
Tinggi
16
Kota Pare-pare
155
Tinggi
17
Jeneponto
151
Tinggi
18
Enrekang
150
Tinggi
19
Tana Toraja
150
Tinggi
20
Toraja Utara
150
Tinggi
21
Takalar
144
Tinggi
22
Kota Makassar
144
Tinggi
23
Soppeng
141
Sedang
24
Sidrap
119
Sedang
Sumber: Diolah dari IRBI BNPB (2013)
Pada tahun 2016, tidak ada musim kemarau yang jelas. Kemarau basah menyebabkan banjir, longsor dan puting beliung meningkat. Bahkan saat puncak musim kemarau banyak terjadi banjir dan longsor. Kemarau basah ini menyebabkan kebakaran hutan, lahan dan kekeringan berkurang signifikan.
Jumlah korban dan kerusakan akibat bencana sepanjang tahun 2017 sebanyak 377 orang tewas; 1.005 luka-luka; 3,49 juta orang mengungsi dan menderita dalam pengungsian. Sementara kerusakan yang diakibatkan bencana tersebut, yaitu 47.442 rumah rusak; 365.194 rumah terendam air, serta 2.083 unit fasilitas kesehatan, pendidikan dan peribadatan rusak (Buletin Info Bencana BNPB, 2016).
Jumlah Korban/Kerusakan Akibat Bencana di Indonesia
No
Jumlah Korban/Kerusakan
2016
2017
1
Meninggal/Hilang
120 jiwa
94 jiwa
2
Luka-luka
5.971 jiwa
143 jiwa
3
Mengungsi/Menderita
297.845 jiwa
230.136 jiwa
4
Rumah Rusak Berat/Ringan
12.427 unit
14.657 unit
5
Rumah Terendam Air
41.426 unit
36.399 unit
6
Fasilitas Umum Rusak
750 unit
126 unit
Sumber: Diolah dari Buletin Info Bencana BNPB 2016/2017
Selain disebabkan oleh cuaca ekstrim, peningkatan frekuensi kejadian bencana dipicu oleh kerusakan ekologi atau lingkungan hidup seperti perusakan hutan, meluasnya DAS, dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya sepertii pertambangan, dan HPH. Misalnya, kerusakan hutan (deforestasi) mencapai 750.000 hektar per-tahun, sementara kemampuan pemerintah merehabilitasinya, maksimal 250.000 hektar per-tahun (Kompas.com, 05/12/2017).
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) telah mengembangkan sistim perhitungan risiko bencana berbasis geospasial. Parameter yang digunakan untuk mengukur risiko bencana adalah Bahaya, Kerentanan, dan Kapasitas. Parameter bahaya dan kerentanan merujuk pada kondisi alam (ekologi, geografi, geologi). Sedangkan parameter kapasitas mengacu pada kemampuan dan kesiapsiagaan sumberdaya manusia dan dukungan sarana-prasarana kelembagaan. Dengan kata lain, semakin banyak ancaman yang bersumber dari kondisi ekologi, geografi, dan geologi akan semakin tinggi tingkat kerentanan suatu wilayah dari bencana. Apalagi kondisi itu tidak didukung dengan sumberdaya manusia  dan kelembagaan yang memadai.
Urgensi Penyusunan Ranperda
Urgensi pembentukan peraturan daerah yang baru sejalan dengan substansi materi Amandemen UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari terjadinya bencana, guna mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila. Dinyatakan pula dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa penanggulangan bencana merupakan urusan bersama pemerintah, masyarakat, dunia usaha, organisasi nonpemerintah, lembaga internasional maupun pemangku kepentingan lainnya.
Selama ini masyarakat kabupaten Maros masih merasakan adanya kelemahan dalam  penanggulangan bencana beserta landasan hukum yang terkait dengan hal tersebut. Meskipun sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 03 Tahun 2010 tentang Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah, perannya dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana belum optimal. Bahkan dalam pelaksanaannya, terkadang tidak sinkron dan tumpang tindih dengan kegiatan SKPD yang lain seperti Dinas Tata Ruang, Kesehatan, Sosial, Perumahan, dan Kepolisian/TNI.
Sebagai contoh kejadian Delapan Rumah Beserta Mesjid dan Sekolah Diterjang Puting Beliung di kecamatan Mallawa (Fajar.co.id, 30/02/2018). Pada kejadian ini pihak kepolisian (Polsek) lebih proaktif merespon kondisi di lapangan daripada petugas BPBD. Contoh lainnya, kejadian Hutan Pendidikan Unhas di Kabupaten Maros Terbakar di kecamatan Cenrana (Merdeka.com, 21/09/2015), pihak kepolisian dan akademisi Unhas lebih proaktif menjadi narasumber utama di lapangan. Demikian halnya dengan Kebakaran di Kassikebo Maros Baru, Satu Rumah Dilalap Api (Tribun Timur.com, 03/07/2017), kepolisian berperan sebagai pengendali lapangan sekaligus narasumber. Seharusnya, BPBD lebih tanggap dan berperan sebagai simpul koordinasi sekaligus narasumber di lapangan. Hal ini mengacu pada Pasal 26 Perda 03/2010 yang menegaskan bahwa BPBD dalam melaksanakan tugas menerapkan prinsip Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Perda No. 03/2010 memerlukan acuan, arahan, dan ruang lingkup, serta mekanisme (manajemen) penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan. Sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 Bab VI (D) yang menegaskan fungsi pokok BPBD dalam mekanisme penyelenggaran penanggulangan bencana adalah Koordinasi, Komando dan sebagai Pelaksana pada semua tahapan penanggulangan bencana. Kemudian, pada Bab VII (A) mengenai alokasi dan peran instansi terkait terdapat pembagian fungsi koordinasi dalam penyelengaraan penanggulangan bencana di daerah sesuai kapasitas kelembagaan masing-masing sektor/instansi.

[1] Catatan dari Seminar Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Kabupaten Maros, April 2018
[2] Lembaga Penelitian Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora, Akte Notaris 03 Tanggal 06 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar