Gagasan Penyusunan Naskah Akademik Kevbencanaan di Kabupaten Maros[1]
Oleh Tim Sulisa Matra
Bangsa[2]
Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki wilayah yang luas, berada pada posisi silang antara dua benua dan dua
samudra besar; Asia yang beriklim tropis, dan Australia yang beriklim
semi-tropis. Dengan posisi itu, wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis,
geologis, hidrologis, dan demografis yang rentan terhadap terjadinya bencana
alam, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan
terkoordinasi. Wilayah Indonesia yang dikenal dengan sebutan
Benua Maritim memiliki 17.504 pulau besar dan kecil. Kawasan perairan laut seluas
7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhannya, yang terdiri atas perairan laut
teritorial, laut nusantara, dan laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Pada wilayah
daratan seluas 1,9 juta km2, sebesar 27 % atau sekitar 0,54 juta km2 merupakan
perairan umum berupa sungai, rawa, danau, dan waduk.
Indonesia memiliki kepadatan penduduk tertinggi
keempat di dunia, yaitu lebih dari 220 juta jiwa. Dengan persebaran yang tidak
merata antarprovinsi, 60 % jumlah penduduk Indonesia terpusat di Jawa dan Bali.
Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur yang cenderung terpusat di Jawa
dan Bali. Hal ini menciptakan ketimpangan aksesibilitas antarwilayah maupun
antardaerah.
Secara geologis, wilayah Indonesia
berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng Indo-Australia
di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di
bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan
sehingga Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan
gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-Australia yang
bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan
menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang pulau
Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Jalur gempa bumi sejajar dengan
jalur penunjaman dan jalur patahan regional seperti Patahan Sumatera/Semangko.
Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan berada di dalam rangkaian
“Cincin Api” (Ring of Fire), sehingga
berisiko tinggi mengalami bencana geologis dan vulkanologis.
Wilayah kepulauan Indonesia rentan dari
pengaruh perubahan iklim global (global
climate changes), yang disebabkan oleh Pemanasan Global (Global Warming). Kenaikan
suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon dioksida dan
gas-gas lain yang dikenal sebagai gas rumah kaca yang menyelimuti bumi dan
memerangkap panas. Kenaikan suhu ini mengubah iklim, menyebabkan berubahnya
pola cuaca yang dapat menimbulkan peningkatan curah hujan yang tidak biasa,
semakin ganasnya angin dan badai bahkan terjadinya bencana alam (wwf.or.id,
Seputar Perubahan Iklim). Dalam satu dekade terakhir, faktor perubahan iklim
telah mempertinggi risiko bencana di Indonesia seperti cuaca ekstrim,
kekeringan, gelombang dan abrasi, serta angin puting beliung. Dampaknya sangat
terasa mempengaruhi sektor-sektor strategis kehidupan masyarakat seperti
pertanian, perikanan, infrastruktur, kesehatan dan lingkungan hidup.
Sumber data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana menyebut 89% kejadian bencana di Indonesia terkait dengan
iklim dalam kurun waktu 100 tahun terakhir (1915-2015). Bencana banjir,
kekeringan, dan tanah longsor menempati urutan tertinggi. Informasi tersebut
sejalan dengan basisdata OFDA/CRED International Disaster (2007) yang
menyatakan bahwa dalam periode tahun 1907 hingga 2007, sebagian besar kejadian
bencana. terkait dengan iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan
ledakan penyakit. Dalam laporan Bappenas (2013) menyebutkan
bahwa dalam kurun waktu 9 tahun (2004-2013) kejadian bencana di Indonesia telah
mengakibatkan kerugian ekonomi mencapai Rp 162,8 Triliun. Sementara biaya yang
telah dikeluarkan pemerintah untuk penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana mencapai Rp 102 Triliun.
Para ahli, pemerhati dan praktisi
kebencanaan, termasuk lembaga internasional menilai pemerintah Indonesia terlambat
mengembangakan sistim penanggulangan bencana dibandingkan dengan Jepang atau
pun China. Sebagai contoh penerbitan Undang-undang 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, sesungguhnya didahului oleh Bencana Gempa dan Tsunami
terbesar di Samudra Hindia, bahkan dunia. Dalam peristiwa 26 Desember 2004 di
Aceh itu, pemerintah pusat dan daerah nyaris tidak memiliki kemampuan
mengantisipasi secara teknologi, kelembagaan, penyelenggaraan dan pendanaan.
Demikian pun ketika terjadi Gempa di Yogyakarta (2006). Dari kedua kejadian
bencana itulah pemerintah menerbitkan PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulanan Bencana yang bertujuan untuk menjamin terselenggaranya
pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi,
dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
ancaman, risiko, dan dampak bencana.
Keterlibatan sejumlah negara, lembaga
donor, dan sektor swasta pada rekonstruksi pasca Gempa dan Tsunami Aceh, Yogyakarta,
dan daerah lainnya telah menyadarkan pemerintah Indonesia, betapa perhatian
masyarakat internasional cukup besar. Sebagai kelanjutannya, pemerintah
Indonesia terus memperbaharui regulasi, kelembagaan, kapasitas dan pendanaan
bencana. Sebagai konsekuensi, pemerintah Indonesia menjadi partisipan dan
narasumber utama dalam konferensi Internasional, di antaranya yang
diselenggarakan oieh Badan PBB Urusan Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR).
Indeks
Risiko Bencana Indonesia (IRBI)
https://nasional.tempo.co/read/754040/kinerja-bnpb-mendapat-apresiasi |
Ancaman bencana di wilayah Indonesia dapat
terjadi setiap waktu dalam skala kecil maupun besar. Apalagi dengan kerusakan
lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali semakin memicu
kerentanan, dan mengakibatkan frekuensi kejadian bencana dan tingkat kerusakan
maupun korban jiwa semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Rilis BNPB (29/12/2017) mencatat sebanyak
2.341 kejadian bencana selama tahun 2017. Jumlah kejadian ini sedikit menurun dibanding
tahun 2016 sebanyak 2.369 (BNPB, 2016). Tercatat sembilan jenis kejadian
bencana, dimana 95% dari kejadian tersebut adalah bencana hidrometeorologi,
yaitu bencana yang diakibatkan oleh cuaca ekstrim sepeti curah hujan tinggi,
kekeringan, dan angin puting beliung.
Jumlah Kejadian Bencana
di Indonesia, 2016 – 2017
No
|
Kejadian
Bencana
|
Jumlah
Kejadian
|
|
2017
|
2016
|
||
1
|
Banjir
|
787
|
770
|
2
|
Puting
Beliung
|
716
|
681
|
3
|
Tanah Longsor
|
614
|
622
|
4
|
Kebakaran
Hutan/Lahan
|
96
|
178
|
5
|
Banjir dan Tanah Longsor
|
76
|
75
|
6
|
Kekeringan
|
19
|
-
|
7
|
Gempa Bumi
|
20
|
13
|
8
|
Gelombang
Pasang/Abrasi
|
11
|
23
|
9
|
Letusan Gunung Api
|
2
|
7
|
Total
|
2.341
|
2.369
|
Sumber:
Diolah dari Rilis & Dokumen Info
Bencana BNPB 2016/2017
Pengukuran data tentang kapasitas (kemampuan)
dilakukan dengan menggunakan metoda penilaian kapasitas berdasarkan parameter
kapasitas regulasi, kelembagaan, sistem peringatan, pendidikan pelatihan
keterampilan, mitigasi dan sistem kesiapsiagaan. Unit terkecil yang dijadikan
satuan penilaian fisik adalah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Sedangkan untuk
penilaian risiko bencana provinsi dilakukan dengan penghitungan rata-rata dari
indeks risiko kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Pengkajian risiko bencana dilaksanakan
dengan mengkaji dan memetakan tingkat bahaya, tingkat kerentanan dan tingkat
kapasitas berdasarkan indeks bahaya, indeks penduduk terpapar, indeks kerugian
dan indeks kapasitas. Metodologi untuk menerjemahkan berbagai indeks tersebut
ke dalam peta dan kajian diharapkan dapat menghasilkan tingkat risiko dan peta
risiko untuk setiap bahaya bencana yang ada pada suatu daerah. Kajian dan peta
risiko bencana ini harus mampu menjadi dasar yang memadai bagi daerah untuk
menyusun kebijakan penanggulangan bencana.
Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan
untuk tujuan tersebut adalah dengan mengintegrasikan atau pemaduan program pengurangan
risiko bencana ke dalam kebijakan pembangunan. Untuk dapat mewujudkan program
tersebut, maka dipandang perlu untuk menilai kerawanan bencana tiap-tiap daerah
(provinsi dan kabupaten/kota).
Kerawanan
Bencana di Daerah
Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi
di Indonesia yang memiliki kondisi geografis beragam – baik dataran, sungai,
danau maupun pegunungan. Jumlah sungai yang mengaliri wilayah Sulawesi Selatan
tercatat sekitar 65 aliran sungai, dengan jumlah aliran terbesar berada di
Kabupaten Luwu sebanyak 25 aliran sungai. Beberapa gunung juga terdapat di
wilayah ini, yaitu: Gunung Anuan, Gunung Balease, Gunung Gandadinata, Gunung
Kabinturu, Gunung Kambuno, Gunung Lompobatang, Gunung Paroreang, Gunung
Rantemado, Gunung Sinajai, dan Gunung Tolondokalaud.
Berdasarkan hasil perhitungan Multi Ancaman (BNPB, 2013), potensi
kerawanan bencana di Sulawesi Selatan meliputi bencana alam, bencana sosial,
dan bencana non-alam seperti banjir, gempa bumi, kebakaran pemukiman,
kekeringan, cuaca ekstrim, longsor, abrasi, gagal teknologi, konflik sosial,
epidemi dan wabah penyakit. Hasil perhitungan ini menghasilkan urutan kelas
risiko berdasarkan total skor dan total penduduk terpapar.
Provinsi Sulawesi Selatan berada dalam
kelas risiko tinggi dan sedang. Hal ini karena perhitungan indeks risiko
bencana, sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, ditekankan pada
potensi kemungkinan dan besarnya dampak yang diukur dari keterpaparan (exposure) dari setiap bahaya (hazard), dan gabungan dari beberapa bahaya
(multi hazard). Jadi kerawanan
dihitung dari data potensi kemungkinan korban dan dampak yang akan ditimbulkan
dari suatu bencana.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan (Rakyatku.com,
30/05/2017), mengatakan bahwa 24 kabupaten/kota di Sulsel berpotensi terkena
bencana alam seperti dari banjir, tanah longsor, angin puting beliuang dan
abrasi. Dalam keterangan persnya, Ketua BPBD Sulsel menyebut 6 kabupaten/kota,
yaitu Barru, Bone, Bulukumba, Kepulauan Selayar dan Palopo yang termasuk
multi-hazard, dalam hal ini rawan longsor, banjir, puting beliung, dan abrasi; 14
kabupaten/kota yang rawan tanah longsor; 16 kabupaten/kota rawan puting
beliung, dan 15 kabupaten/kota rawan abrasi.
Selama tahun 2016, BPBD Sulsel mencatat 85
kejadian banjir, 40 kejadian tanah longsor, 32 kejadian puting beliung, dan 2
kejadian abrasi. Akibat kejadian tersebut 25 orang meninggal, 2 sakit dan 1.258
mengungsi. Kerusakan yang diakibatkan, antara lain 11 fasilitas umum, 3.386
rumah dan 51.645 hektar sawah.
Dari 24 kabupaten/kota di provinsi
Sulawesi Selatan, 22 kabupaten/kota di antaranya termasuk dalam kelas risiko
tinggi. Skor atau kelas risiko tertinggi dan terendah adalah kota Palopo (211)
dan kabupaten Sidrap (119). Kabupaten Maros termasuk ke dalam 22 kabupaten/kota
yang berisiko tinggi, berada pada urutan kesepuluh dengan skor 168.
Indeks Risiko Bencana
Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
No
|
Kabupaten/Kota
|
Skor
|
Kelas Risiko
|
1
|
Kota Palopo
|
211
|
Tinggi
|
2
|
Luwu
|
203
|
Tinggi
|
3
|
Luwu Utara
|
202
|
Tinggi
|
4
|
Luwu Timur
|
202
|
Tinggi
|
5
|
Bone
|
191
|
Tinggi
|
6
|
Barru
|
180
|
Tinggi
|
7
|
Wajo
|
179
|
Tinggi
|
8
|
Pinrang
|
179
|
Tinggi
|
9
|
Bantaeng
|
174
|
Tinggi
|
10
|
Maros
|
168
|
Tinggi
|
11
|
Pangkajene Kepulauan
|
168
|
Tinggi
|
12
|
Sinjai
|
166
|
Tinggi
|
13
|
Bulukumba
|
163
|
Tinggi
|
14
|
Gowa
|
163
|
Tinggi
|
15
|
Kepulauan Selayar
|
155
|
Tinggi
|
16
|
Kota Pare-pare
|
155
|
Tinggi
|
17
|
Jeneponto
|
151
|
Tinggi
|
18
|
Enrekang
|
150
|
Tinggi
|
19
|
Tana Toraja
|
150
|
Tinggi
|
20
|
Toraja Utara
|
150
|
Tinggi
|
21
|
Takalar
|
144
|
Tinggi
|
22
|
Kota Makassar
|
144
|
Tinggi
|
23
|
Soppeng
|
141
|
Sedang
|
24
|
Sidrap
|
119
|
Sedang
|
Pada tahun 2016, tidak ada musim kemarau
yang jelas. Kemarau basah menyebabkan banjir, longsor dan puting beliung
meningkat. Bahkan saat puncak musim kemarau banyak terjadi banjir dan
longsor. Kemarau basah ini menyebabkan kebakaran hutan, lahan dan kekeringan
berkurang signifikan.
Jumlah korban dan kerusakan akibat
bencana sepanjang tahun 2017 sebanyak 377 orang tewas; 1.005 luka-luka; 3,49
juta orang mengungsi dan menderita dalam pengungsian. Sementara kerusakan yang
diakibatkan bencana tersebut, yaitu 47.442 rumah rusak; 365.194 rumah terendam
air, serta 2.083 unit fasilitas kesehatan, pendidikan dan peribadatan rusak
(Buletin Info Bencana BNPB, 2016).
Jumlah Korban/Kerusakan Akibat Bencana
di Indonesia
No
|
Jumlah Korban/Kerusakan
|
2016
|
2017
|
1
|
Meninggal/Hilang
|
120 jiwa
|
94 jiwa
|
2
|
Luka-luka
|
5.971 jiwa
|
143 jiwa
|
3
|
Mengungsi/Menderita
|
297.845 jiwa
|
230.136 jiwa
|
4
|
Rumah Rusak Berat/Ringan
|
12.427 unit
|
14.657 unit
|
5
|
Rumah Terendam Air
|
41.426 unit
|
36.399 unit
|
6
|
Fasilitas Umum Rusak
|
750 unit
|
126 unit
|
Sumber:
Diolah dari Buletin Info Bencana BNPB 2016/2017
Selain disebabkan oleh cuaca ekstrim, peningkatan
frekuensi kejadian bencana dipicu oleh kerusakan ekologi atau lingkungan hidup
seperti perusakan hutan, meluasnya DAS, dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya
sepertii pertambangan, dan HPH. Misalnya, kerusakan hutan (deforestasi)
mencapai 750.000 hektar per-tahun, sementara kemampuan pemerintah
merehabilitasinya, maksimal 250.000 hektar per-tahun (Kompas.com, 05/12/2017).
Badan Penanggulangan Bencana Nasional
(BNPB) telah mengembangkan sistim perhitungan risiko bencana berbasis
geospasial. Parameter yang digunakan untuk mengukur risiko bencana adalah
Bahaya, Kerentanan, dan Kapasitas. Parameter bahaya dan kerentanan merujuk pada
kondisi alam (ekologi, geografi, geologi). Sedangkan parameter kapasitas mengacu
pada kemampuan dan kesiapsiagaan sumberdaya manusia dan dukungan
sarana-prasarana kelembagaan. Dengan kata lain, semakin banyak ancaman yang
bersumber dari kondisi ekologi, geografi, dan geologi akan semakin tinggi
tingkat kerentanan suatu wilayah dari bencana. Apalagi kondisi itu tidak
didukung dengan sumberdaya manusia dan
kelembagaan yang memadai.
Urgensi
Penyusunan Ranperda
Urgensi pembentukan peraturan daerah
yang baru sejalan dengan substansi materi Amandemen UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari
terjadinya bencana, guna mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila.
Dinyatakan pula dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana bahwa penanggulangan bencana merupakan urusan bersama pemerintah,
masyarakat, dunia usaha, organisasi nonpemerintah, lembaga internasional maupun
pemangku kepentingan lainnya.
Selama ini masyarakat kabupaten Maros masih
merasakan adanya kelemahan dalam penanggulangan bencana beserta landasan hukum yang
terkait dengan hal tersebut. Meskipun sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 03
Tahun 2010 tentang Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah, perannya
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana belum optimal. Bahkan dalam
pelaksanaannya, terkadang tidak sinkron dan tumpang tindih dengan kegiatan SKPD
yang lain seperti Dinas Tata Ruang, Kesehatan, Sosial, Perumahan, dan Kepolisian/TNI.
Sebagai contoh kejadian Delapan Rumah Beserta Mesjid dan Sekolah
Diterjang Puting Beliung di kecamatan Mallawa (Fajar.co.id, 30/02/2018). Pada kejadian ini pihak kepolisian
(Polsek) lebih proaktif merespon kondisi di lapangan daripada petugas BPBD.
Contoh lainnya, kejadian Hutan Pendidikan
Unhas di Kabupaten Maros Terbakar di kecamatan Cenrana (Merdeka.com, 21/09/2015), pihak
kepolisian dan akademisi Unhas lebih proaktif menjadi narasumber utama di
lapangan. Demikian halnya dengan Kebakaran
di Kassikebo Maros Baru, Satu Rumah Dilalap Api (Tribun Timur.com, 03/07/2017), kepolisian berperan sebagai
pengendali lapangan sekaligus narasumber. Seharusnya, BPBD lebih tanggap dan
berperan sebagai simpul koordinasi sekaligus narasumber di lapangan. Hal ini
mengacu pada Pasal 26 Perda 03/2010 yang menegaskan bahwa BPBD dalam
melaksanakan tugas menerapkan prinsip Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi.
Berdasarkan pengalaman
tersebut, Perda No. 03/2010 memerlukan acuan, arahan, dan ruang lingkup, serta
mekanisme (manajemen) penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana,
terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan. Sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB
Nomor 4 Tahun 2008 Bab VI (D) yang menegaskan fungsi pokok BPBD dalam mekanisme
penyelenggaran penanggulangan bencana adalah Koordinasi, Komando dan sebagai Pelaksana
pada semua tahapan penanggulangan bencana. Kemudian, pada Bab VII (A) mengenai
alokasi dan peran instansi terkait terdapat pembagian fungsi koordinasi dalam
penyelengaraan penanggulangan bencana di daerah sesuai kapasitas kelembagaan
masing-masing sektor/instansi.
[1] Catatan
dari Seminar Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana Kabupaten Maros, April 2018
[2] Lembaga
Penelitian Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora, Akte Notaris 03 Tanggal 06
Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar