Arsitektur
Pengorganisasian Penyintas Pascabencana[1]
Oleh
M.
Nawir[2]
Pengantar
Bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor
non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana);
Penanggulangan Bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (Perka
BNPB No. 14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Program
rehabilitasi dan rekonstruksi termasuk dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan
penanggulangan pascabencana.
Rehabilitasi adalah perbaikan dan
pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
Adapun Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,
sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, serta bangkitnya peran serta
masyarakat.
Penyelenggaraan
rehabilitasi dan rekonstruksi dijabarkan ke dalam dua jenis kegiatan, yaitu
konstruksi dan non-konstruksi. Kegiatan Konstruksi adalah pemulihan dan
pembangunan fisik yang rusak akibat bencana yang mengandung unsur kegiatan
mitigasi dan pengurangan risiko bencana, dan; kegiatan Non-konstruksi adalah
pemulihan dan pembangunan kembali sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat
yang hilang dan/atau rusak akibat bencana. Pertanyaan simpel, bagaimana memulai
proses pemulihan dan pembangunan kehidupan pascabencana?
Refleksi Aceh
Pascabencana 26 Desember 2004
Ada berbagai metode, pendekatan, serta
mekanisme pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan masyarakat pascabencana
Aceh; Sekitar 120 lembaga pelaksana program, 266 rekonstruksi perumahan, lebih
dari 2.000 proyek di semua sektor dalam tiga tahun pertama[3].
Sumber data BRR – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (Felayati, 2016)
menyebut lebih dari 140.000 rumah, 1.759 sekolah, dan 363 jembatan yang dibangun
oleh donor luar negeri dan dalam negeri dalam tempo 5-6 tahun.
Ada
banyak praktik yang baik dari serangkaian kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh pascabencana; Satu di antaranya adalah metode People Dariiven Reconstruction atau
rekonstrusksi yang berbasis “warga yang selamat dari bencana” (survivor/penyintas)[4]. Metode ini
mengkolaborasikan berbagai keahlian di bidang pengoranganisasian komunitas
(CO), arsitek-perencana, engineer, sanitasi, pemetaan, manajemen logistik, dan seniman.
Peran utama para ahli adalah oranganizer, fasilitator, supervisor, dan manajer
program. Sedangkan pelaku utama dalam kegiatan konstruksi dan non-konstruksi
adalah para penyintas.
Asumsi
yang menyatakan pendekatan partisipatif cenderung lambat daripada pendekatan
konvensional terbantahkan. Model partisipatif-kolaboratif terbukti efektif
memulihkan kemampuan para penyintas untuk menata kampungnya kembali. Pada
periode Januari – Mei 2005, Uplink telah membangun rumah sementara sebanyak 456
unit dan dapur umum bagi pengungsi yang pulang kampung. Dalam tempo dua tahun
pasca masa tanggap darurat (April 2005-April 2007), para penyintas yang teroranganisasi
dalam tim-tim kerja, dan membangun 3.331 unit rumah (100 unit bagi ex GAM
wilayah IV), 24 unit Balai Warga, jalan dan dariainase kampung, meunasah dan
mesjid mukim, sanitasi dan sarana air bersih, makam bersejarah, serta Dari
aspek non-konstruksi, kehidupan sosial, ekonomi, dan organisasi di kampung para
penyintas jauh lebih dinamis dibandingkan dengan mereka yang menunggu bantuan
di barak-barak pengungsian.
Impak
dari model people dariiven reconstruction
adalah menguatnya gagasan alternatif tentang arsitek pendamping masyarakat,
yang kemudian dikemas menjadi community
architect alias arsitek komunitas. Para arsitek, sipil, dan fasilitator
inilah yang kemudian mendirikan Arkom Indonesia pada tahun 2007, yang saat ini
berbasis di Yogyakarta. Sebagian dari mereka tengah mendariive program
rekonstruksi pasca bencana di Lombok dan Sulawesi Tengah dengan pendekatan
berbasis penyintas.
Pendekatan Pengoranganisasian
Komunitas
Arkom
Indonesia memadukan community architect
dan community oranganizing. Pendekatan
pengoranganisasian komunitas (CO - Community
Oranganizing) merupakan pembaharuan dari pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (Community Based Development - CBD). Model CBD dianggap tidak
progresif, atau tidak membangun daya kritis masyarakat ketika berhadapan dengan
kepentingan ekonomi-politik penguasa. Seiring dengan menguatnya gerakan sosial
baru (new social movement) pada tahun
50/60-an, khususnya di Amerika Serikat, Saul Alinsky[5] telah mengembangkan model
CO, yang kemudian dikenal dengan “10 Langkah Taktis menjadi Seorang Radikal”.
Pemikiran dan pengalaman praktis Alinsky tertulis dalam bukunya Rule of Radicals (1971).
Pendekatan
CO juga berkembang di Amerika Latin, khususnya di Brazil, dalam bentuk
pendidikan populer (popular education).
Model ini diperkenalkan oleh Paulo Freire[6] dengan melakukan kritik
atas sistim pendidikan andariagogi. Freire mengaplikasikan sistim penyadaran
kritis (critical education) terhadap
situasi pembangunan yang menindas atau mengeksploitasi rakyat miskin. Gagasan
dan pengalaman Paulo Freire tertuang dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed (1970). Seperti halnya, Alinsky, Freire
pun meyakini bahwa perubahan sosial yang adil dan manusiawi dapat terwujud
apabila pembangunan bertumpu pada manusia: development
is about people and not about objects.
Pada
tingkat kebijakan (sistim), para ahli dari berbagai disiplin ilmu melakukan riset
menyeluruh (collaborative research)
terhadap dampak pembangunan global terhadap masyarakat di negara berkembang.
Riset tersebut hendak menjawab faktor determinan yang menciptakan kemiskinan,
kesenjangan sosial, patologi sosial, dan ilegalitas di Amerika Latin. Salah
satu kesimpulan penting dari riset tersebut bahwa developmentalisme atau pun
kapitalisme telah mengguncang tatanan sosialbudaya masyarakat negara
berkembang. Masyarakat terperangkap oleh kemniskinannya (poverty trap) akibat jebakan utang luar negeri (debt trap), dan akhirnya kehilangan
utopia (Max Neef, 1991)[7], yakni ketiadaan cita-cita
(mimpi) untuk hidup yang lebih baik di masa depan.
Max
Neef dkk meredefinisi (re-reading)
konsep kebutuhan dan kepuasan. Kebutuhan manusia harus dipahami sebagai suatu
sistim: saling terkait dan interaktif, tidak sebatas memenuhi kebutuhan dasar
untuk tetap hidup (subsistence).
Kebutuhan manusia dalam hidup yang lebih baik adalah merasa terlindungi (protection), dihargai (affection), dipahami (understanding), diperansertakan (participation), waktu luang (idleness), berkarya (creation), identitas (identity), dan kebebasan (freedom).
Sembilan
kebutuhan tersebut tidak bersifat hirarkis, tetapi simultan,, komplementaris,
dan trade-off. Sebagai ilustrasi,
makanan (food) dan tempat tinggal (housing) bukanlah kebutuhan yang
sesungguhnya, melainkan sarana untuk memenuhi (pemuasan) agar dapat hidup layak
(Subsistensi). Dengan cara pandang yang sama, seorang ibu yang menyusui
bayinya, secara bersamaan ia memuaskan kebutuhan bayi untuk Subsistensi,
Perlindungan, Kasih sayang dan Identitas. Situasinya jelas berbeda jika bayi
diberi makan dengan cara instan.
Pada
momen pascabencana, pemenuhan kebutuhan mengikuti tahapan dalam manajemen
kebencanaan; masa tanggap darurat, transisi, dan tahapan
rehabilitasi-rekonstruksi. Kebutuhan subsisten seperti pangan, obat-obatan,
pakaian, dan hunian sementara menjadi prioritas masa tanggap darurat. Pola ini
cenderung berulang pada tahapan berikutnya. Biasanya, penguatan (empowerment)“orang-orang yang selamat”
diabaikan pada setiap tahapan tersebut. Dampaknya, mereka yang selamat
diposisikan sebagai manusia korban (victims)
yang tidak berdaya dalam segala hal. Pada momen ini jelas akan masyarakat
bergantung pada kekuatan dari ;pihak luar. Pada gilirannya akan memperlambat
proses pemulihan di segala bidang.
Dari
pengalaman UPC/Uplink Indonesia dan para arsitek komunitas di Aceh, pendekatan
“rekonstruksi yang dipimpin rakyat” relatif mampu mempercepat proses pemulihan
mental, sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan masyarakat dalam satu kawasan
pembangunan. Skema rekonstruksi yang berbasis penyintas sebagai kekuatan
penggerak sebagai berikut:
Arsitek Pendamping
Masyarakat – Penyintas
Konsep pendampingan masyarakat
terakomodasi dalam Undang-Undang Arsitek (2017). Pada Pasal 4 (c), salah satu
bentuk layanan arsitek (non-teknis) adalah pendampingan masyarakat dan bermitra
dengan kelompok lainnya. Penjelasan mengenai arsitek pendamping masyarakat
merujuk pada banyak praktik community
architect sesuai dengan subjek yang melakukannya. Semisal, program
perkotaan dan pedesaan yang dibiayai Bank Dunia (P2KP, PNPM) melibatkan arsitek
sebagai tenaga profesional pendamping masyarakat. Mereka yang bekerja secara
mandiri menyebut diti sebagai “arsitek telanjang kaki” (barefoot architect) yang lebih menekankan aspek praktiknya (architecture as community practices).
Pada pertemuan Union Internationof of Architect (UIA) di Jakarta (1979), salah
satu model Community Barefoot Architect
yang menjadi rujukan adalah karya John Turner dii Amerika, Black Road project. Karya
ini mewakili pendekatan yang sangat inovatif untuk arsitektur komunitas. Peran
arsitek sebagai anggota masyarakat adalah penggerak dan pendidik yang membantu
warga memperbaiki lingkungan hidup mereka sendiri. Transfer teknologi menjadi
bagian dari proses dalam desain dan rekonstruksi masyarakat[8].
Salah
satu misi para pegiat arsitek komunitas, yaitu menjembatani jurang pemisah –
yang disitilahkan oleh Ben Derbyshire, arsitektur RIBA Inggris (1987) – antara
“arsitektur rakyat” (folk architecture)
dari “arsitektur arsitek” (architecture
architect). Bagi mereka, peradaban modern atau modernitas kaum urban
cenderung menghancurkan karya seni arsitektur masyarakat, di samping disebabkan
oleh bencana. Misalnya, peletakan makam, monumen, termasuk tata pemukiman dalam
suatu kawasan merupakan warisan pengetahuan arsitektur masa lalu, identitas
dari suatu puncak peradaban yang seharusnya menjadi titik pijak disiplin ilmu
arsitektur.
Rumusan yang paling mendekati konsep
arsitek komunitas sebagai paradigma arsitektur Indonesia pernah dikemukakan
oleh Romo Mangunwijaya. Titik tekan Romo Mangun pada filosofi arsitektur dan
tanggung jawab moral profesi (keahlian) arsitek dalam pemecahan masalah
kemanusiaan. Berarsitektur artinya berbahasa dengan ruang dan
gatra, dengan garis dan bidang, dengan material dan suasana tempat, sudah sewajarnyalah
kita berarsitektur secara budayawan dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa
arsitektural yang baik
(Mangunwijaya, 2009 dalam
Hidayatun dkk, 2014)[9]. Eko Prawoto (2013)[10] menyatakan bahwa: “Bagi
Mangunwijaya, arsitektur adalah sarana
untuk menyadari keadaan diri, harga diri dan identitas diri, sehingga kita bisa berkomunikasi dengan bangsa lain secara
setara”.
Bagaimana dengan Arkon Indonesia/Yogyakarta? Dalam buku Belajar Bersama Arkom Jogja: Gerakan Sosial
dan Hal-hal yang Belum Selesai (Marsen Sinaga, 2017) yang diulas oleh
penulis[11], klaim Arkom dalam buku
tersebut adalah: (1) membangun ruang bersama
komunitas secara partisipatif; (2) mempengaruhi kebijakan penataan ruang
pemerintah daerah/kota secara kolaboratif. Kedua hal ini menegaskan eksponensi
arsitek komunitas, yang membedakannya dengan profesi arsitek konvensional.
Dari
perspektif gerakan sosial baru (new
social movements), arsitek komunitas merupakan alternatif dari pendekatan
advokasi non-litigasi, tanpa konfrontasi, yang mengintegrasikan pengetahuan dan
teknik arsitektural dengan metode pengoranganisasian rakyat (community oranganizing). Hal ini
berarti, peran arsitek komunitas menyerupai gerakan aktivis LSM pada umumnya,
yakni ‘memberkuasakan’ (empowerment)
masyarakat dalam memecahkan persoalan strategis seperti hak atas perumahan yang
layak, hak atas tanah, dan hak berpartisipasi dalam penentuan kebijakan publik.
Proses pembentukan karakter dasar aktivis Arkom Jogja pada mulanya hanyalah pembelajaran di antara “kampus dan
kampung”[12], dan di antara urusan private dan public. Di antara keduanya, perjumpaan dengan banyak praktisi,
intelektual, aktivis, telah memperkaya pengalaman dan perspektif gerakan sosial
Arkom. Titik paling kritis dari proses pembelajaran itu, justru terjadi ketika
arsitek mengalami langsung kesulitan hidup dan ketidakadilan yang nyata dialami
masyarakat kampung (compassion). Pada
gilirannya Arkom Jogja menjadi oranganisasi nirlaba berbasis keahlian arsitek
dan perencana.
Misi
gerakan profesional Arkom Jogja adalah menjadikan pengetahuan arsitektural
sebagai “milik publik”, komunitas, bukan hak eksklusif arsitek itu sendiri.
Pada soal ini, disiplin keilmuan arsitek menjadi pro-eksistensial – istilah yang digunakan Daniel Sparingga dalam Konsepsi Demokrasi (KID, 2009), yaitu suatu kesadaran untuk terlibat dalam usaha
memecahkan masalah yang dihadapi komunitas. Kesadaran seperti ini jelas
melampaui peran konvensional para arsitek di Indonesia, yang sekian lama hanya
menjadi co-existence dari suatu
pembangunan.
Arsitektur
Pengoranganisasian “Soudego”
Soudego merupakan
gabungan dua kata dalam bahasa Kaili; Sou
dan Dego-dego. Sou berarti rumah;
Dego-dego, tempat singgah/istirahat. Struktur dan fungsi Sou lebih kompleks; Dego-dego,
cukup buat singgah beristirahat. Suku Kaili memiliki 3 konsep rumah (panggung)
berdasarkan struktur dan fungsi sosialnya (Ahmad F, 2015); Banua Mbaso, kediaman
keluarga raja (Souraja). Biasanya berukuran 31,46x11,31 meter; Banua Kataba,
kediaman keluarga bangsawanberukuran 17x8 meter; Tinja Kanjai, kediaman orang
biasa biasanya berukuran 5x7 meter. Selain konsep rumah, orang Kaili JUGA
mengenal Baruga (Balai Adat), Bantaya (Balai Desa), dan Gampiri (Lumbung).
Dengan demikian dego-dego tidak termasuk dalam konsep rumah tinggal tetap
(huntap).
Pada konteks pengorganisasian Arkom, Soudego adalah dua konsep tentang
struktur dan fungsi bangunan yang dipadukan, sehingga menghasilkan penamaan
baru sebuah hunian. Konsep ini diipakai utk menjelaskan proses pengembangan model
hunian sementara pasca gempa Sulteng. Bermula dari pengalaman praktis beberapa
penyintas, salah satunya Pak Jono, 46 thn, asal desa Pombewe kecamatan Biromaru
kabupaten Sigi. Sudah setahun dia mengidap sakit kanker kelenjar getah bening
pada bagian belakang kepalanya. Ketika gempa terjadi, dia baru sekitar 2 bulan
berobat di RS Wahidin Makassar. Rumahnya separuh roboh, dan beruntung dia dan
anak istrinya selamat. Pak Jono tidak mengungsi ke tenda darurat. Dia
sekeluarga menempati sepetak rumah kayu. Seringkali dia tidak kebagian logistik
kerena tidak berada di tenda pengungsian bersama warga lainnya. Dia memilih
tinggal di rumah kayunya sambil jualan bensin botolan.
Setelah dua minggu pasca gempa, pak Jono
mengumpul kayu, seng, besi bekas rumahnya. Dibantu oleh anak dan adiknya
bersama 2 relawan dari Siaga Makassar, puing-puing di atas pondasi rumah
dibersihkan. Dari kerjasama ini kemudian dirancang ide membangun hunian
sementara berukuran 4x6 meter di atas pondasi 6x8, atas permintaan pak Jono.
Dengan bantuan relawan arsitek dari posko IAI/MAI Sulteng, dibuatlah desain
huntara sesuai jenis dan jumlah material yang tersedia. Desain huntara yang
dibuat berdasarkan ketersediaan material hanya cukup untuk membangun rangka
bangunan, tanpa dinding. Persoalan ini diatasi oleh relawan dengan mengupayakan
donasi material dari relawan lainnya. Upaya ini berhasil, dan huntara pak Jono
siap dibangun.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana
memulai pembangunan huntara dalam kondisi warga yang trauma dan menderita penyakit?
Lagi-lagi tenaga relawan sangat dibutuhkan untuk memotivasi warga agar bekerjasama
dengan tenaga dan keahlian masing-masing. Dengan menggunakan peralatan yang
tersedia milik pak Jono, dibantu relawan, termasuk seorang relawan asing, mereka
pun bergotong royong memasang balok rangka, menyetel, menyambung dan memaku
kayu satu demi satu. Jadilah bentuk hunian Soudego
itu.
Pelajaran berharga dari pengalaman ini bahwa
Soudego lebih dari sekedar struktur dan fungsi hunian. Soudego adalah proses (sosial)
pemulihan mental dan fisik warga yang selamat dari bencana. Soudego dan
berbagai bentuk huntara lainnya. menjadi media berinteraksi, bercakap,
bekerjasama di antara penyintas dan relawan yang bertujuan mengatasi persoalan
darurat pascabencana. Dengan demikian, membangun Soudego (huntara) dianalogikan
sebagai upaya menyusun satu persatu energi positif yang sempat runtuh oleh
gempa: dimulai dari kemampuan yang dimiliki penyintas, pikiran, tenaga,
kemauan, dan material yang tersedia. Sedangkan pihak lain, relawan, donatur,
arsitek, hanya melengkapi kekurangan warga. Proses ini merupakan pondasi atau
fundamen dari pendekatan rekonstruksi yang partisipatif-kolaboratif.
Penutup
Arkom Inodonesia sedang mempraktikkan
model rekonstruksi berbasis komunitas di Sulteng pasca bencana. Dimulai dengan
tagline gerakan “Pilah Pilih Pulih”, Arkom Indonesia bersama arsitek muda Palu
bekerja di beberapa titik pengungsian, antara lain, Mamboro, Wani, Tanjung
Padang/Tompe. Dalam tiga bulan terakhir, Arkom Indonesia mencatat pembelajaran
penting, yang sesungguhnya menjadi nilai utama dari rekonstruksi berbasis
komunitas.
Pertama, metode live in. Cara ini efektif dalam membangun memahami situasi nyata pengungsian. Kedua, kerjasama dan sama-sama kerja. Prinsip ini adalah etos kerja dalam membangun trust di antara relawan dan relawan dengan penyintas. Ketiga, kerja adalah trauma healing, Cara ini terbukti efektif memulihkan energi positif para penyintas untuk memulai kehudannya kembali di kampung asal. Keempat, re-use memanfaatkan kembali material bekas dengan cara memilah dan memilihnya untuk membangun huntara. Kelima, keswadayaan sebagai upaya membentuk mentalitas warga agar tidak bergantung sepenuhnya dari bantuan. Keenam, koordinasi dengan otoritas lokal, terutama yang berkaitan dengan kebijakan penataan kawasan pasca bencana.
Pertama, metode live in. Cara ini efektif dalam membangun memahami situasi nyata pengungsian. Kedua, kerjasama dan sama-sama kerja. Prinsip ini adalah etos kerja dalam membangun trust di antara relawan dan relawan dengan penyintas. Ketiga, kerja adalah trauma healing, Cara ini terbukti efektif memulihkan energi positif para penyintas untuk memulai kehudannya kembali di kampung asal. Keempat, re-use memanfaatkan kembali material bekas dengan cara memilah dan memilihnya untuk membangun huntara. Kelima, keswadayaan sebagai upaya membentuk mentalitas warga agar tidak bergantung sepenuhnya dari bantuan. Keenam, koordinasi dengan otoritas lokal, terutama yang berkaitan dengan kebijakan penataan kawasan pasca bencana.
Makassar, 22 Desember 2018
[1] Materi Diskusi
Refleksi dan Proyeksi Sulteng Pasva Bencana, 26 Desember 2018 di Sekretariat
Aji Palu
[2] M. Nawir adalah
Penasihat Arkom Jogja, peneliti pada Lembaga Penelitian Pengembangan Ilmu
Sosial dan Humaniora – Sulisa Matra Bangsa, tinggal di Makassar
[3] Reza Akbar Felayati, Efektivitas Efektivitas
Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004-2010 setelah Tsunami Samudra Hindia
tahun 2004 (Jurnal
Hubungan Internasional Tahun IX, No. 1, Januari - Juni 2016)
[4] Pendekatan
partisipatuif ini dikordinasi oleh UPC/Uplink Indonesia, yang memang
berpengalaman melakukan pengorganisasian masyarakat (community organizing), dan advokasi kebijakan pemerintah kota sejak
tahun 2002 di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.
[5] Saul David
Alinsky (1909-1972), dikenal senbagai tokoh penggerak komunitas (community organizer) Amerika yang cukup
berpengaruh dalam gerakan radikal menentang penggusuran kampung kumuh di
Chicago dan Detroit. Dasar pendidikannya adalah arkeologi dan filsafat di
Universitas Chicago.
[6] Paulo Neglus
Reves Freire (1921-1997), seorang ahli filsafat pendidikan dari Brazil, yang
mengembangkan model pendidikan kritis bagi masyarakat yang “bisu” (silent
culture) karena mengalami situasi penindasan. Prinsip utama pendidikan Freire
adalah membebaskan manusia dari dehumanusia akibatnya ulahnya sendiri.
[7] Manfred A. Max
Neef, Human Scele Development, Conception, Application and Futrther Reflection,
1991).
[8] T. Kansara, 50 Years of Community Barefoot Architect
(CBA)
[9] Maria I.
Hidayatun dkk: Arsitektur Indonesia dalam
Perkembangan Jaman, Sebuah Gagasan untuk Jati Diri Arsitektur Indonesia
(Universitas Kristen Petra dan ITS, 2014).
[10] Ibid Hidayatun
dkk.
[12] Istilah ini
dikemukakan oleh Yuli Kusworo, salah seseorang pendiri sekaligus koordinator
Arkom Jogja dalam buku Belajar Bersama
Arkom Jogja: Gerakan Sosial dan Hal-hal yang Belum Selesai (2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar