26 Des 2018

Refleksi Tiga Bulan Pasca Bencana Sulteng

 
Arsitektur Pengorganisasian Penyintas Pascabencana[1]
Oleh
M. Nawir[2]
Pengantar
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana);
Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (Perka BNPB No. 14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Program rehabilitasi dan rekonstruksi termasuk dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan penanggulangan pascabencana.
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Adapun Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, serta bangkitnya peran serta masyarakat.
Penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi dijabarkan ke dalam dua jenis kegiatan, yaitu konstruksi dan non-konstruksi. Kegiatan Konstruksi adalah pemulihan dan pembangunan fisik yang rusak akibat bencana yang mengandung unsur kegiatan mitigasi dan pengurangan risiko bencana, dan; kegiatan Non-konstruksi adalah pemulihan dan pembangunan kembali sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hilang dan/atau rusak akibat bencana. Pertanyaan simpel, bagaimana memulai proses pemulihan dan pembangunan kehidupan pascabencana?
Refleksi Aceh Pascabencana 26 Desember 2004
Ada berbagai metode, pendekatan, serta mekanisme pemulihan dan pembangunan kembali kehidupan masyarakat pascabencana Aceh; Sekitar 120 lembaga pelaksana program, 266 rekonstruksi perumahan, lebih dari 2.000 proyek di semua sektor dalam tiga tahun pertama[3]. Sumber data BRR – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (Felayati, 2016) menyebut lebih dari 140.000 rumah, 1.759 sekolah, dan 363 jembatan yang dibangun oleh donor luar negeri dan dalam negeri dalam tempo 5-6 tahun.
Ada banyak praktik yang baik dari serangkaian kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascabencana; Satu di antaranya adalah metode People Dariiven Reconstruction atau rekonstrusksi yang berbasis “warga yang selamat dari bencana” (survivor/penyintas)[4]. Metode ini mengkolaborasikan berbagai keahlian di bidang pengoranganisasian komunitas (CO), arsitek-perencana, engineer, sanitasi, pemetaan, manajemen logistik, dan seniman. Peran utama para ahli adalah oranganizer, fasilitator, supervisor, dan manajer program. Sedangkan pelaku utama dalam kegiatan konstruksi dan non-konstruksi adalah para penyintas.
Asumsi yang menyatakan pendekatan partisipatif cenderung lambat daripada pendekatan konvensional terbantahkan. Model partisipatif-kolaboratif terbukti efektif memulihkan kemampuan para penyintas untuk menata kampungnya kembali. Pada periode Januari – Mei 2005, Uplink telah membangun rumah sementara sebanyak 456 unit dan dapur umum bagi pengungsi yang pulang kampung. Dalam tempo dua tahun pasca masa tanggap darurat (April 2005-April 2007), para penyintas yang teroranganisasi dalam tim-tim kerja, dan membangun 3.331 unit rumah (100 unit bagi ex GAM wilayah IV), 24 unit Balai Warga, jalan dan dariainase kampung, meunasah dan mesjid mukim, sanitasi dan sarana air bersih, makam bersejarah, serta Dari aspek non-konstruksi, kehidupan sosial, ekonomi, dan organisasi di kampung para penyintas jauh lebih dinamis dibandingkan dengan mereka yang menunggu bantuan di barak-barak pengungsian.
Impak dari model people dariiven reconstruction adalah menguatnya gagasan alternatif tentang arsitek pendamping masyarakat, yang kemudian dikemas menjadi community architect alias arsitek komunitas. Para arsitek, sipil, dan fasilitator inilah yang kemudian mendirikan Arkom Indonesia pada tahun 2007, yang saat ini berbasis di Yogyakarta. Sebagian dari mereka tengah mendariive program rekonstruksi pasca bencana di Lombok dan Sulawesi Tengah dengan pendekatan berbasis penyintas.
Pendekatan Pengoranganisasian Komunitas
Arkom Indonesia memadukan community architect dan community oranganizing. Pendekatan pengoranganisasian komunitas (CO - Community Oranganizing) merupakan pembaharuan dari pendekatan pembangunan  berbasis masyarakat (Community Based Development - CBD). Model CBD dianggap tidak progresif, atau tidak membangun daya kritis masyarakat ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi-politik penguasa. Seiring dengan menguatnya gerakan sosial baru (new social movement) pada tahun 50/60-an, khususnya di Amerika Serikat, Saul Alinsky[5] telah mengembangkan model CO, yang kemudian dikenal dengan “10 Langkah Taktis menjadi Seorang Radikal”. Pemikiran dan pengalaman praktis Alinsky tertulis dalam bukunya Rule of Radicals (1971).
Pendekatan CO juga berkembang di Amerika Latin, khususnya di Brazil, dalam bentuk pendidikan populer (popular education). Model ini diperkenalkan oleh Paulo Freire[6] dengan melakukan kritik atas sistim pendidikan andariagogi. Freire mengaplikasikan sistim penyadaran kritis (critical education) terhadap situasi pembangunan yang menindas atau mengeksploitasi rakyat miskin. Gagasan dan pengalaman Paulo Freire tertuang dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed (1970). Seperti halnya, Alinsky, Freire pun meyakini bahwa perubahan sosial yang adil dan manusiawi dapat terwujud apabila pembangunan bertumpu pada manusia: development is about people and not about objects.
Pada tingkat kebijakan (sistim), para ahli dari berbagai disiplin ilmu melakukan riset menyeluruh (collaborative research) terhadap dampak pembangunan global terhadap masyarakat di negara berkembang. Riset tersebut hendak menjawab faktor determinan yang menciptakan kemiskinan, kesenjangan sosial, patologi sosial, dan ilegalitas di Amerika Latin. Salah satu kesimpulan penting dari riset tersebut bahwa developmentalisme atau pun kapitalisme telah mengguncang tatanan sosialbudaya masyarakat negara berkembang. Masyarakat terperangkap oleh kemniskinannya (poverty trap) akibat jebakan utang luar negeri (debt trap), dan akhirnya kehilangan utopia (Max Neef, 1991)[7], yakni ketiadaan cita-cita (mimpi) untuk hidup yang lebih baik di masa depan.
Max Neef dkk meredefinisi (re-reading) konsep kebutuhan dan kepuasan. Kebutuhan manusia harus dipahami sebagai suatu sistim: saling terkait dan interaktif, tidak sebatas memenuhi kebutuhan dasar untuk tetap hidup (subsistence). Kebutuhan manusia dalam hidup yang lebih baik adalah merasa terlindungi (protection), dihargai (affection), dipahami (understanding), diperansertakan (participation), waktu luang (idleness), berkarya (creation), identitas (identity), dan kebebasan (freedom).  
Sembilan kebutuhan tersebut tidak bersifat hirarkis, tetapi simultan,, komplementaris, dan trade-off. Sebagai ilustrasi, makanan (food) dan tempat tinggal (housing) bukanlah kebutuhan yang sesungguhnya, melainkan sarana untuk memenuhi (pemuasan) agar dapat hidup layak (Subsistensi). Dengan cara pandang yang sama, seorang ibu yang menyusui bayinya, secara bersamaan ia memuaskan kebutuhan bayi untuk Subsistensi, Perlindungan, Kasih sayang dan Identitas. Situasinya jelas berbeda jika bayi diberi makan dengan cara instan.
Pada momen pascabencana, pemenuhan kebutuhan mengikuti tahapan dalam manajemen kebencanaan; masa tanggap darurat, transisi, dan tahapan rehabilitasi-rekonstruksi. Kebutuhan subsisten seperti pangan, obat-obatan, pakaian, dan hunian sementara menjadi prioritas masa tanggap darurat. Pola ini cenderung berulang pada tahapan berikutnya. Biasanya, penguatan (empowerment)“orang-orang yang selamat” diabaikan pada setiap tahapan tersebut. Dampaknya, mereka yang selamat diposisikan sebagai manusia korban (victims) yang tidak berdaya dalam segala hal. Pada momen ini jelas akan masyarakat bergantung pada kekuatan dari ;pihak luar. Pada gilirannya akan memperlambat proses pemulihan di segala bidang.
Dari pengalaman UPC/Uplink Indonesia dan para arsitek komunitas di Aceh, pendekatan “rekonstruksi yang dipimpin rakyat” relatif mampu mempercepat proses pemulihan mental, sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan masyarakat dalam satu kawasan pembangunan. Skema rekonstruksi yang berbasis penyintas sebagai kekuatan penggerak sebagai berikut:

Arsitek Pendamping Masyarakat – Penyintas
Konsep pendampingan masyarakat terakomodasi dalam Undang-Undang Arsitek (2017). Pada Pasal 4 (c), salah satu bentuk layanan arsitek (non-teknis) adalah pendampingan masyarakat dan bermitra dengan kelompok lainnya. Penjelasan mengenai arsitek pendamping masyarakat merujuk pada banyak praktik community architect sesuai dengan subjek yang melakukannya. Semisal, program perkotaan dan pedesaan yang dibiayai Bank Dunia (P2KP, PNPM) melibatkan arsitek sebagai tenaga profesional pendamping masyarakat. Mereka yang bekerja secara mandiri menyebut diti sebagai “arsitek telanjang kaki” (barefoot architect) yang lebih menekankan aspek praktiknya (architecture as community practices).
Pada pertemuan Union Internationof of Architect (UIA) di Jakarta (1979), salah satu model Community Barefoot Architect yang menjadi rujukan adalah karya John Turner dii Amerika, Black Road project. Karya ini mewakili pendekatan yang sangat inovatif untuk arsitektur komunitas. Peran arsitek sebagai anggota masyarakat adalah penggerak dan pendidik yang membantu warga memperbaiki lingkungan hidup mereka sendiri. Transfer teknologi menjadi bagian dari proses dalam desain dan rekonstruksi masyarakat[8].
Salah satu misi para pegiat arsitek komunitas, yaitu menjembatani jurang pemisah – yang disitilahkan oleh Ben Derbyshire, arsitektur RIBA Inggris (1987) – antara “arsitektur rakyat” (folk architecture) dari “arsitektur arsitek” (architecture architect). Bagi mereka, peradaban modern atau modernitas kaum urban cenderung menghancurkan karya seni arsitektur masyarakat, di samping disebabkan oleh bencana. Misalnya, peletakan makam, monumen, termasuk tata pemukiman dalam suatu kawasan merupakan warisan pengetahuan arsitektur masa lalu, identitas dari suatu puncak peradaban yang seharusnya menjadi titik pijak disiplin ilmu arsitektur.
Rumusan yang paling mendekati konsep arsitek komunitas sebagai paradigma arsitektur Indonesia pernah dikemukakan oleh Romo Mangunwijaya. Titik tekan Romo Mangun pada filosofi arsitektur dan tanggung jawab moral profesi (keahlian) arsitek dalam pemecahan masalah kemanusiaan. Berarsitektur artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan material dan suasana tempat, sudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik (Mangunwijaya, 2009 dalam Hidayatun dkk, 2014)[9]. Eko Prawoto (2013)[10] menyatakan bahwa: “Bagi Mangunwijaya, arsitektur adalah sarana untuk menyadari keadaan diri, harga diri dan identitas diri, sehingga kita bisa berkomunikasi dengan bangsa lain secara setara”.
Bagaimana dengan Arkon Indonesia/Yogyakarta? Dalam buku Belajar Bersama Arkom Jogja: Gerakan Sosial dan Hal-hal yang Belum Selesai (Marsen Sinaga, 2017) yang diulas oleh penulis[11], klaim Arkom dalam buku tersebut adalah: (1) membangun ruang bersama komunitas secara partisipatif; (2) mempengaruhi kebijakan penataan ruang pemerintah daerah/kota secara kolaboratif. Kedua hal ini menegaskan eksponensi arsitek komunitas, yang membedakannya dengan profesi arsitek konvensional.
Dari perspektif gerakan sosial baru (new social movements), arsitek komunitas merupakan alternatif dari pendekatan advokasi non-litigasi, tanpa konfrontasi, yang mengintegrasikan pengetahuan dan teknik arsitektural dengan metode pengoranganisasian rakyat (community oranganizing). Hal ini berarti, peran arsitek komunitas menyerupai gerakan aktivis LSM pada umumnya, yakni ‘memberkuasakan’ (empowerment) masyarakat dalam memecahkan persoalan strategis seperti hak atas perumahan yang layak, hak atas tanah, dan hak berpartisipasi dalam penentuan kebijakan publik.
Proses pembentukan karakter dasar aktivis Arkom Jogja pada mulanya hanyalah pembelajaran di antara “kampus dan kampung”[12], dan di antara urusan private dan public. Di antara keduanya, perjumpaan dengan banyak praktisi, intelektual, aktivis, telah memperkaya pengalaman dan perspektif gerakan sosial Arkom. Titik paling kritis dari proses pembelajaran itu, justru terjadi ketika arsitek mengalami langsung kesulitan hidup dan ketidakadilan yang nyata dialami masyarakat kampung (compassion). Pada gilirannya Arkom Jogja menjadi oranganisasi nirlaba berbasis keahlian arsitek dan perencana.
Misi gerakan profesional Arkom Jogja adalah menjadikan pengetahuan arsitektural sebagai “milik publik”, komunitas, bukan hak eksklusif arsitek itu sendiri. Pada soal ini, disiplin keilmuan arsitek menjadi pro-eksistensial – istilah yang digunakan Daniel Sparingga dalam Konsepsi Demokrasi (KID, 2009), yaitu suatu kesadaran untuk terlibat dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi komunitas. Kesadaran seperti ini jelas melampaui peran konvensional para arsitek di Indonesia, yang sekian lama hanya menjadi co-existence dari suatu pembangunan.
Arsitektur Pengoranganisasian “Soudego”
Soudego merupakan gabungan dua kata dalam bahasa Kaili; Sou dan Dego-dego. Sou berarti rumah; Dego-dego, tempat singgah/istirahat. Struktur dan fungsi Sou lebih kompleks; Dego-dego, cukup buat singgah beristirahat. Suku Kaili memiliki 3 konsep rumah (panggung) berdasarkan struktur dan fungsi sosialnya (Ahmad F, 2015); Banua Mbaso, kediaman keluarga raja (Souraja). Biasanya berukuran 31,46x11,31 meter; Banua Kataba, kediaman keluarga bangsawanberukuran 17x8 meter; Tinja Kanjai, kediaman orang biasa biasanya berukuran 5x7 meter. Selain konsep rumah, orang Kaili JUGA mengenal Baruga (Balai Adat), Bantaya (Balai Desa), dan Gampiri (Lumbung). Dengan demikian dego-dego tidak termasuk dalam konsep rumah tinggal tetap (huntap).
Pada konteks pengorganisasian Arkom, Soudego adalah dua konsep tentang struktur dan fungsi bangunan yang dipadukan, sehingga menghasilkan penamaan baru sebuah hunian. Konsep ini diipakai utk menjelaskan proses pengembangan model hunian sementara pasca gempa Sulteng. Bermula dari pengalaman praktis beberapa penyintas, salah satunya Pak Jono, 46 thn, asal desa Pombewe kecamatan Biromaru kabupaten Sigi. Sudah setahun dia mengidap sakit kanker kelenjar getah bening pada bagian belakang kepalanya. Ketika gempa terjadi, dia baru sekitar 2 bulan berobat di RS Wahidin Makassar. Rumahnya separuh roboh, dan beruntung dia dan anak istrinya selamat. Pak Jono tidak mengungsi ke tenda darurat. Dia sekeluarga menempati sepetak rumah kayu. Seringkali dia tidak kebagian logistik kerena tidak berada di tenda pengungsian bersama warga lainnya. Dia memilih tinggal di rumah kayunya sambil jualan bensin botolan. 
Setelah dua minggu pasca gempa, pak Jono mengumpul kayu, seng, besi bekas rumahnya. Dibantu oleh anak dan adiknya bersama 2 relawan dari Siaga Makassar, puing-puing di atas pondasi rumah dibersihkan. Dari kerjasama ini kemudian dirancang ide membangun hunian sementara berukuran 4x6 meter di atas pondasi 6x8, atas permintaan pak Jono. Dengan bantuan relawan arsitek dari posko IAI/MAI Sulteng, dibuatlah desain huntara sesuai jenis dan jumlah material yang tersedia. Desain huntara yang dibuat berdasarkan ketersediaan material hanya cukup untuk membangun rangka bangunan, tanpa dinding. Persoalan ini diatasi oleh relawan dengan mengupayakan donasi material dari relawan lainnya. Upaya ini berhasil, dan huntara pak Jono siap dibangun.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana memulai pembangunan huntara dalam kondisi warga yang trauma dan menderita penyakit? Lagi-lagi tenaga relawan sangat dibutuhkan untuk memotivasi warga agar bekerjasama dengan tenaga dan keahlian masing-masing. Dengan menggunakan peralatan yang tersedia milik pak Jono, dibantu relawan, termasuk seorang relawan asing, mereka pun bergotong royong memasang balok rangka, menyetel, menyambung dan memaku kayu satu demi satu. Jadilah bentuk hunian Soudego itu.
Pelajaran berharga dari pengalaman ini bahwa Soudego lebih dari sekedar struktur dan fungsi hunian. Soudego adalah proses (sosial) pemulihan mental dan fisik warga yang selamat dari bencana. Soudego dan berbagai bentuk huntara lainnya. menjadi media berinteraksi, bercakap, bekerjasama di antara penyintas dan relawan yang bertujuan mengatasi persoalan darurat pascabencana. Dengan demikian, membangun Soudego (huntara) dianalogikan sebagai upaya menyusun satu persatu energi positif yang sempat runtuh oleh gempa: dimulai dari kemampuan yang dimiliki penyintas, pikiran, tenaga, kemauan, dan material yang tersedia. Sedangkan pihak lain, relawan, donatur, arsitek, hanya melengkapi kekurangan warga. Proses ini merupakan pondasi atau fundamen dari pendekatan rekonstruksi yang partisipatif-kolaboratif.
Penutup
Arkom Inodonesia sedang mempraktikkan model rekonstruksi berbasis komunitas di Sulteng pasca bencana. Dimulai dengan tagline gerakan “Pilah Pilih Pulih”, Arkom Indonesia bersama arsitek muda Palu bekerja di beberapa titik pengungsian, antara lain, Mamboro, Wani, Tanjung Padang/Tompe. Dalam tiga bulan terakhir, Arkom Indonesia mencatat pembelajaran penting, yang sesungguhnya menjadi nilai utama dari rekonstruksi berbasis komunitas.
Pertama, metode live in. Cara ini efektif dalam membangun memahami situasi nyata pengungsian. Kedua, kerjasama dan sama-sama kerja. Prinsip ini adalah etos kerja dalam membangun trust di antara relawan dan relawan dengan penyintas. Ketiga, kerja adalah trauma healing, Cara ini terbukti efektif memulihkan energi positif para penyintas untuk memulai kehudannya kembali di kampung asal. Keempat, re-use memanfaatkan kembali material bekas dengan cara memilah dan memilihnya untuk membangun huntara. Kelima, keswadayaan sebagai upaya membentuk mentalitas warga agar tidak bergantung sepenuhnya dari bantuan. Keenam, koordinasi dengan otoritas lokal, terutama yang berkaitan dengan kebijakan penataan kawasan pasca bencana.

Makassar, 22 Desember 2018

[1] Materi Diskusi Refleksi dan Proyeksi Sulteng Pasva Bencana, 26 Desember 2018 di Sekretariat Aji Palu
[2] M. Nawir adalah Penasihat Arkom Jogja, peneliti pada Lembaga Penelitian Pengembangan Ilmu Sosial dan Humaniora – Sulisa Matra Bangsa, tinggal di Makassar
[3] Reza Akbar Felayati, Efektivitas Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004-2010 setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004 (Jurnal Hubungan Internasional Tahun IX, No. 1, Januari - Juni 2016)
[4] Pendekatan partisipatuif ini dikordinasi oleh UPC/Uplink Indonesia, yang memang berpengalaman melakukan pengorganisasian masyarakat (community organizing), dan advokasi kebijakan pemerintah kota sejak tahun 2002 di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.
[5] Saul David Alinsky (1909-1972), dikenal senbagai tokoh penggerak komunitas (community organizer) Amerika yang cukup berpengaruh dalam gerakan radikal menentang penggusuran kampung kumuh di Chicago dan Detroit. Dasar pendidikannya adalah arkeologi dan filsafat di Universitas Chicago.
[6] Paulo Neglus Reves Freire (1921-1997), seorang ahli filsafat pendidikan dari Brazil, yang mengembangkan model pendidikan kritis bagi masyarakat yang “bisu” (silent culture) karena mengalami situasi penindasan. Prinsip utama pendidikan Freire adalah membebaskan manusia dari dehumanusia akibatnya ulahnya sendiri. 
[7] Manfred A. Max Neef, Human Scele Development, Conception, Application and Futrther Reflection, 1991).
[8] T. Kansara, 50 Years of Community Barefoot Architect (CBA)
[9] Maria I. Hidayatun dkk: Arsitektur Indonesia dalam Perkembangan Jaman, Sebuah Gagasan untuk Jati Diri Arsitektur Indonesia (Universitas Kristen Petra dan ITS, 2014).
[10] Ibid Hidayatun dkk.
[12] Istilah ini dikemukakan oleh Yuli Kusworo, salah seseorang pendiri sekaligus koordinator Arkom Jogja dalam buku Belajar Bersama Arkom Jogja: Gerakan Sosial dan Hal-hal yang Belum Selesai (2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar