7 Mar 2017

Dicari Arsitek Profesional

Oleh M. Nawir
Harimau-harimau Mengintai Orang-orang Baik Sepanjang Jalan Tanpa Ujung Menuju Roma
Penulis mengapresiasi sebuah buku berjudul Belajar Bersama Arkom Jogja: Gerakan Sosial dan Hal-hal yang Belum Selesai (Marsen Sinaga, 2017). Apresiasi penulis terutama pada klaim sekumpulan arsitek-perencana yang menyebut diri Arsitek Komunitas. Klaim Arkom adalah: (1) membangun ruang bersama komunitas secara partisipatif; (2) mempengaruhi kebijakan penataan ruang pemerintah daerah/kota secara kolaboratif. Kedua hal ini menegaskan eksistensi arsitek komunitas, yang membedakannya dengan profesi arsitek konvensional.
Dari perspektif gerakan sosial baru (new social movements), aktivitas arsitek komunitas merupakan alternatif dari pendekatan advokasi non-litigasi, tanpa konfrontasi, dengan mengintegrasikan pengetahuan dan teknik arsitektural dengan metode pengorganisasian rakyat (community organizing). Hal ini berarti, peran arsitek komunitas menyerupai gerakan aktivis LSM pada umumnya, yakni ‘memberkuasakan’ (empowernment) kelompok masyarakat dalam memecahkan persoalan strategis seperti hak atas perumahan, haka atas tanah, dan hak berpartisipasi dalam penentuan kebijakan publik.
Menjadi Arsitek Komunitas
Sebagaimana terinci dalam Sekapur Sirih Yuli Kusworo – salah seorang pendiri arsitek Arkom Jogja – bahwa proses menjadi (to be) arsitek-aktivis pada mulanya hanyalah pembelajaran di antara “kampus dan kampung”, dan di antara urusan private dan public. Di antara keduanya, perjumpaan dengan banyak praktisi, intelektual, aktivis, telah memperkaya pengalaman dan perspektif gerakan sosial. Titik paling kritis dari proses pembelajaran itu, justru terjadi ketika dia mengalami langsung kesulitan hidup dan ketidakadilan yang nyata dialami masyarakat kampung.
Arkom Jogja kemudian menjadi organisasi nirlaba berbasis keahlian arsitek dan perencana. Dalam mengemban visi-misiya, Arkom mengarus-utamakan pendekatan partisipatoris dengan cara berkolaborasi dengan penggerak komunitas (community organizer). Misi gerakan profesional arsitek komunitas ini adalah menjadikan pengetahuan arsitektural sebagai milik publik, komunitas, bukan hak eksklusif arsitek itu sendiri. Pada soal ini, disiplin keilmuan arsitek menjadi pro-eksistensial – istilah yang digunakan Daniel Sparingga dalam Konsepsi Demokrasi KID, 2009 – yaitu, suatu kesadaran untuk terlibat dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi komunitas. Kesadaran seperti ini jelas melampaui peran konvensional para arsitek di Indonesia, yang sekian lama hanya menjadi co-exixtence dari suatu pembangunan.
Keahlian adalah Alat
Dalam pandangan Arkom, memulai kerja sebagai arsitek komunitas bergantung pada niatnya. Kerja yang dilandasi oleh niat baik, di jalan yang baik, kelak menghasilkan sesuatu yang baik, demikian isi satu kalimat dalam buku Belajar Bersama Arkom Jogja. Niat baik bekerja sama dengan orang lain yang belum tentu berniat baik merupakan sikap dasar yang diutamakan dalam pengorganisasian komunitas (community organizing). Adapun keahlian arsitektural dengan segala perangkat pendukungnya hanya lah alat untuk mencapai tujuan bersama. Niat baik yang ditunjang dengan keahlian arsitektural itu sudah lebih dari cukup bagi seorang arsitek komunitas untuk survive sebagai profesional.
Ungkapan orang bijak “is hard to find a good men”. Jika orang baik yang dimaksudnya adalah seseorang yang bermaksud baik, tidak lah susah menemukannya. Apalagi dalam suatu masyarakat yang masih meyakini bahwa pada dasarnya setiap orang adalah baik. Kebaikan menjadi pandangan umum yang diyakini oleh semua budaya-masyarakat. Jika diandaikan orang baik itu adalah seorang arsitek, maka profesinya akan berterima dalam masyarakat. Persoalannya kemudian, niat atau pun maksud baik dari orang baik itu akan maujud menjadi apa. Contoh kongkrit dari analogi itu adalah ide tentang pembangunan “apartemen lorong” (Aparong) Walikota Makassar untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni warga miskin. Ternyata, ide kreatif ini tidak serta merta berterima dalam masyarakat yang masih meyakini rezim kebaikan. Tanpa bermaksud mengkaji sebab-sebabnya, cukup lah dengan memetik hikmah bahwa kebaikan seseorang kepada orang lain belum tentu sama moralitas-kulturalnya. Entah esok, lusa nanti.
Dari Komputer ke Komunitas
Profesi arsitek maupun perencana sering diidentikkan dengan keahlian teknis menggunakan komputer sebagai alat kerja utama. Dengan komputer, data dan informasi diolah menjadi karya desain dan rancang bangun suatu gagasan. Profesi seperti ini menjadi arus utama dalam perancangan tata ruang dan bangunan kota era Orde Baru hingga kini. Desain produksi arsitek umumnya adalah pesanan sebagai acuan konstruksi. Di kota Makassar, pengembangan kawasan real-estate, water front city pada dekade tahun 90-an hingga menjamurnya Rumah Toko (Ruko) dekade tahun 2000-an menggunakan jasa profesi arsitek-perencana. Banyak arsitek yang membanggakan mega-proyek seperti itu sebagai best-practices. Tidak sedikit juga yang menilai desain proyek itu biasa-biasa saja. Justru banyak warga yang mengkhawatirkan terjadinya peningkatan kerusakan lingkngan dari muara sungai Jeneberang hingga pesiri pantai Losari itu di masa depan.
Prof. Eko Budihardjo dalam Kongres IAI tahun 1985  mengkritk gaya ‘arkom’ alias arsitek komputer seperti itu dengan sebutan “arsitek yang bergulat dan main cinta dengan dirinya sendiri” (Sindroma Colombus Melanda Arsitek, 1985). Dalam Urban Dictionary, sebutan 'sindroma colombus' merujuk pada gejala mental (mental-detact) yang dialami seseorang, ibarat Christopher Colombus, sang penjelajah yang menemukan benua Amerika, lalu merasa dia lah orang pertama menemukanya. Padahal, jauh sebelum Colombus menginjakkan kakinya, daratan Amerika telah lama dihuni suku-suku asli Indian. Selanjutnya, mengutip Amos Rapoport (Human Aspects of Urban Form, 1977), Eko Budihardjo mengingatkan bahaya pendekatan arsitek modernis-individual, yang mengutamakan selera suka dan tidak suka, tan-logis, a-historis dan karena itu mengabaikan budaya dan lingkungannya. Dengan kata lain, desain arsitek tidak didasarkan pada informasi objektif yang terandalkan, studi kepustakaan maupun penelitian mendalam mengenai interaksi manusia dan lingkungan.
Arifin C. Noer, penulis dan sutradara teater tahun 80-an menyebut arsitek di era pembangunanisme (developmentalism) Orde Baru sebagai arsitek borjuis (dalam Eko Budihardjo, 1985).  Borjuis atau borgeoisie dapat berarti suatu gaya hidup kelas menengah kota, yang beruntung atau diuntungkan oleh sistim pasar bebas terutama di sektor properti, sehingga mapan secara ekonomi. Sementara budaya kota itu sendiri merupakan bangunan masyarakat industri pasca runtuhnya sistim feodal masyarakat Eropa oleh Revolusi Industri sekira akhir abad 18 dan awal abad 19.
Kritik pak Eko 20 tahun lalu itu memotivasi banyak arsitek-arsitek muda dekade tahun 2000-an untuk mengembangkan paradigma pembangunan manusia dan lingkungan. Beberapa nama yang pantas disebut di antaranya Eko Praworo dkk. yang mewarisi pemikiran arsitek kampung Kali Code Yogyakarta, dan Marco Kusumawijaya dkk. yang terlibat mendesain proyek relonstruksi pemukiman berbasis warga di Aceh pasca gempa dan tsunami. Arkom Jogja sendiri dibangun dari arsitek muda di antaranya, Yuli Kusworo dan Andrea Fitrianto (Cak-cak). Yang terakhir ini kemudian tergabung dalam Jejaring Arsitek Komunitas Asia (CAN), yang berpusat di Bangkok.
Arena Kampung Kota
Meski belum terdefinisikan secara baku, para pegiat arsitek komunitas atau community architect memaknai gerakannya sebagai aktivitas individual maupun kelompok yang belajar dan bekerja bersama komunitas berkaitan dengan persoalan aktual warga seputar hak atas atas pemukiman dan lingkungan hidup yang sehat. Arkom mengandalkan teknik pemetaan, perancangan dan pembangunan partisipators. Dengan pendekatan komunitas, tidak berarti Arkom mengabaikan relasi perorangan (private). Output yang dihasilkan dari proses bekerjasama komunitas ini, sebuah dokumen dan desain alternatif dari yang exist. Itulah sebabnya, gerakan arsitek komunitas senantiasa berkolaborasi dengan organisasi komunitas, LSM, dan pemerintah kota, dengan tujuan mempengaruhi dan atau mengubah kebijakan pemerintah yang eksklusif menjadi inklusif bagi warga.
Pengertian kampung-kota dalam Kampung Perkotaan (Johny A. Khusyairi dkk, Universitas Ailangga( 2011) merujuk pada suatu habitat hidup yang khas, semacam “ruang sosial terbatas” yang membentuk pengalaman subjektif orang-orang dan kelembagaan di dalamnya. Mereka mempersepsi kota sebagai “ruang sosial tak terbatas”, yang memuat semua bentuk dan praktek kekuatan struktural – aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, termasuk kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan gaya hidup dominan. Problematik ‘kampung-kota’ (urban-kampong) inilah yang menantang sekaligus membentuk profesi arsitek komunitas. Para ‘arkomers’, istilah yang sering digunakan aktivis Arkom Jogja adalah orang-orang kota, produk sekolahan, yang memilih jalan meninggalkan tradisi akademiknya. Mereka pergi untuk kembali ke komunitas di perkotaan dan pedesaan.
Jejak-jejak arsitek komunitas, sejauh yang penulis ikuti di beberapa kota di Indonesia, di antaranya Penataan Pemukiman Warga Stren Kali Surabaya (2002), Rekonstruksi Dipimpin oleh Warga 24 Kampung di Banda Aceh dan Aceh Besar )2006-2007), Konsep Alternatif Pemukiman Kolong Tol Jakrta (2008), Bedah Kampung Pisang Makassar (2010), Penataan Kampung Bungkutoko Kendari (2011), Pemetaan Pemukiman Warga Kali Winongo Yogyakarta (2012), Desain Rumah Deret Warga Kali Pepe Solo (2015), dan dilanjutkan dengan Penataan Pemukiman Warga Kali Pepe Solo (2017). Selain itu, beberapa karya arsitek komunitas ASF (Arsitek Sans Frontier Bandung) adalah jembatan, balai warga dan rumah contoh dengan konstruksi bambu di Indonesia maupun di Filipina. Karya-karya mereka merupakan hasil kolaborasi dengan jejaring organisasi masyarakat sipil seperti Urban Poor Consortium (UPC), Rujak Center, Misereor, ACHR, universitas, seniman, paroki, dan organisasi komunitas seperti KPRM, Paguyuban Kalijawi, dan Paguyuban Warga Strenkali.
Di era globalisasi budaya perkotaan dewasa ini, para perencana pembangunan pun arsitek ditantang untuk membuktikan profesionalitasnya. Makna asali profesi berasal dari kata dalam bahasa latin profesio yang berarti “janji (kepada) publik”. Mengutip pikiran Karlina Supeli (Kebudayaan dan Kegagapan Kita, 2013), “Seseorang disebut profesional bukan terutama dia pakar di bidangnya, melainkan karena dengan kepakarannya dia menjalankan tugas dan pada saat bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan bagi kepentingan masyarakat”. Pemaknaan ini semakin menguatkan gagasan tentang pentingnya arsitek atau profesi apa pun untuk merefleksikan posisi dan perannya dalam pemenuhan hak-hak publik, dan bukan semata-mata melayani kepentingan private.
Menjadi arsitek yang profesional – dalam arti bekerjasama dengan komunitas – bukan lah pekerjaan mudah. Perasaan “sendiri dalam keriuhan” bukan lah masalah, tetapi tantangan dari dalam diri sendiri yang harus dilewati. Seperti ungkapan pada awal tulisan ini, perjalanan karir arsitek komunitas ibarat bekerja di antara Harimau-harimau (yang) Mengintai Orang-orang Baik (di) Sepanjang Jalan Tanpa Ujung Menuju Roma.
Panjang Umur Perjuangan, Saudara.

Makassar, Februari 2017
#Penulis adalah anggota Board Arsitek Komunitas (Arkom) Jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar