Oleh M. Nawir
Harimau-harimau Mengintai Orang-orang Baik Sepanjang
Jalan Tanpa Ujung Menuju Roma
Penulis mengapresiasi sebuah buku
berjudul Belajar Bersama Arkom Jogja:
Gerakan Sosial dan Hal-hal yang Belum Selesai (Marsen Sinaga, 2017).
Apresiasi penulis terutama pada klaim sekumpulan arsitek-perencana yang menyebut
diri Arsitek Komunitas. Klaim Arkom adalah: (1) membangun ruang bersama
komunitas secara partisipatif; (2) mempengaruhi kebijakan penataan ruang
pemerintah daerah/kota secara kolaboratif. Kedua hal ini menegaskan eksistensi
arsitek komunitas, yang membedakannya dengan profesi arsitek konvensional.
Dari perspektif gerakan sosial baru (new social movements), aktivitas arsitek
komunitas merupakan alternatif dari pendekatan advokasi non-litigasi, tanpa
konfrontasi, dengan mengintegrasikan pengetahuan dan teknik arsitektural dengan
metode pengorganisasian rakyat (community
organizing). Hal ini berarti, peran arsitek komunitas menyerupai gerakan
aktivis LSM pada umumnya, yakni ‘memberkuasakan’ (empowernment) kelompok masyarakat dalam memecahkan persoalan
strategis seperti hak atas perumahan, haka atas tanah, dan hak berpartisipasi
dalam penentuan kebijakan publik.
Menjadi
Arsitek Komunitas
Sebagaimana terinci dalam Sekapur Sirih Yuli Kusworo – salah
seorang pendiri arsitek Arkom Jogja – bahwa proses menjadi (to be) arsitek-aktivis pada mulanya
hanyalah pembelajaran di antara “kampus dan kampung”, dan di antara urusan private dan public. Di antara keduanya, perjumpaan dengan banyak praktisi,
intelektual, aktivis, telah memperkaya pengalaman dan perspektif gerakan
sosial. Titik paling kritis dari proses pembelajaran itu, justru terjadi ketika
dia mengalami langsung kesulitan hidup dan ketidakadilan yang nyata dialami
masyarakat kampung.
Arkom Jogja kemudian menjadi organisasi
nirlaba berbasis keahlian arsitek dan perencana. Dalam mengemban visi-misiya,
Arkom mengarus-utamakan pendekatan partisipatoris dengan cara berkolaborasi
dengan penggerak komunitas (community
organizer). Misi gerakan profesional arsitek komunitas ini adalah
menjadikan pengetahuan arsitektural sebagai milik publik, komunitas, bukan hak
eksklusif arsitek itu sendiri. Pada soal ini, disiplin keilmuan arsitek menjadi
pro-eksistensial – istilah yang
digunakan Daniel Sparingga dalam Konsepsi
Demokrasi KID, 2009 – yaitu, suatu kesadaran untuk terlibat dalam usaha
memecahkan masalah yang dihadapi komunitas. Kesadaran seperti ini jelas
melampaui peran konvensional para arsitek di Indonesia, yang sekian lama hanya
menjadi co-exixtence dari suatu pembangunan.
Keahlian
adalah Alat
Dalam pandangan Arkom, memulai kerja sebagai
arsitek komunitas bergantung pada niatnya. Kerja yang dilandasi oleh niat baik,
di jalan yang baik, kelak menghasilkan sesuatu yang baik, demikian isi satu
kalimat dalam buku Belajar Bersama Arkom Jogja. Niat baik bekerja sama dengan
orang lain yang belum tentu berniat baik merupakan sikap dasar yang diutamakan
dalam pengorganisasian komunitas (community
organizing). Adapun keahlian arsitektural dengan segala perangkat
pendukungnya hanya lah alat untuk mencapai tujuan bersama. Niat baik yang
ditunjang dengan keahlian arsitektural itu sudah lebih dari cukup bagi seorang
arsitek komunitas untuk survive
sebagai profesional.
Ungkapan orang bijak “is hard to find a
good men”. Jika orang baik yang dimaksudnya adalah seseorang yang bermaksud
baik, tidak lah susah menemukannya. Apalagi dalam suatu masyarakat yang masih
meyakini bahwa pada dasarnya setiap orang adalah baik. Kebaikan menjadi
pandangan umum yang diyakini oleh semua budaya-masyarakat. Jika diandaikan
orang baik itu adalah seorang arsitek, maka profesinya akan berterima dalam
masyarakat. Persoalannya kemudian, niat atau pun maksud baik dari orang baik
itu akan maujud menjadi apa. Contoh kongkrit dari analogi itu adalah ide
tentang pembangunan “apartemen lorong” (Aparong)
Walikota Makassar untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni warga miskin.
Ternyata, ide kreatif ini tidak serta merta berterima dalam masyarakat yang
masih meyakini rezim kebaikan. Tanpa bermaksud mengkaji sebab-sebabnya, cukup
lah dengan memetik hikmah bahwa kebaikan seseorang kepada orang lain belum
tentu sama moralitas-kulturalnya. Entah esok, lusa nanti.
Dari
Komputer ke Komunitas
Profesi arsitek maupun perencana sering
diidentikkan dengan keahlian teknis menggunakan komputer sebagai alat kerja
utama. Dengan komputer, data dan informasi diolah menjadi karya desain dan
rancang bangun suatu gagasan. Profesi seperti ini menjadi arus utama dalam
perancangan tata ruang dan bangunan kota era Orde Baru hingga kini. Desain
produksi arsitek umumnya adalah pesanan sebagai acuan konstruksi. Di kota
Makassar, pengembangan kawasan real-estate,
water front city pada dekade tahun
90-an hingga menjamurnya Rumah Toko (Ruko) dekade tahun 2000-an menggunakan
jasa profesi arsitek-perencana. Banyak arsitek yang membanggakan mega-proyek
seperti itu sebagai best-practices.
Tidak sedikit juga yang menilai desain proyek itu biasa-biasa saja. Justru
banyak warga yang mengkhawatirkan terjadinya peningkatan kerusakan lingkngan dari
muara sungai Jeneberang hingga pesiri pantai Losari itu di masa depan.
Prof. Eko Budihardjo dalam Kongres IAI
tahun 1985 mengkritk gaya ‘arkom’ alias arsitek
komputer seperti itu dengan sebutan “arsitek yang bergulat dan main cinta
dengan dirinya sendiri” (Sindroma Colombus
Melanda Arsitek, 1985). Dalam Urban Dictionary, sebutan 'sindroma colombus' merujuk pada gejala mental (mental-detact) yang dialami seseorang, ibarat Christopher Colombus, sang penjelajah yang menemukan benua Amerika, lalu merasa dia lah orang pertama menemukanya. Padahal, jauh sebelum Colombus menginjakkan kakinya, daratan Amerika telah lama dihuni suku-suku asli Indian. Selanjutnya, mengutip Amos Rapoport (Human Aspects of Urban Form, 1977), Eko Budihardjo mengingatkan
bahaya pendekatan arsitek modernis-individual, yang mengutamakan selera suka
dan tidak suka, tan-logis, a-historis dan karena itu mengabaikan budaya dan
lingkungannya. Dengan kata lain, desain arsitek tidak didasarkan pada
informasi objektif yang terandalkan, studi kepustakaan maupun penelitian
mendalam mengenai interaksi manusia dan lingkungan.
Arifin C. Noer, penulis dan sutradara
teater tahun 80-an menyebut arsitek di era pembangunanisme (developmentalism) Orde Baru sebagai
arsitek borjuis (dalam Eko Budihardjo, 1985). Borjuis atau borgeoisie dapat berarti suatu gaya hidup kelas menengah kota, yang
beruntung atau diuntungkan oleh sistim pasar bebas terutama di sektor properti,
sehingga mapan secara ekonomi. Sementara budaya kota itu sendiri merupakan
bangunan masyarakat industri pasca runtuhnya sistim feodal masyarakat Eropa oleh
Revolusi Industri sekira akhir abad 18 dan awal abad 19.
Kritik pak Eko 20 tahun lalu itu
memotivasi banyak arsitek-arsitek muda dekade tahun 2000-an untuk mengembangkan
paradigma pembangunan manusia dan lingkungan. Beberapa nama yang pantas disebut
di antaranya Eko Praworo dkk. yang mewarisi pemikiran arsitek kampung Kali Code
Yogyakarta, dan Marco Kusumawijaya dkk. yang terlibat mendesain proyek
relonstruksi pemukiman berbasis warga di Aceh pasca gempa dan tsunami. Arkom
Jogja sendiri dibangun dari arsitek muda di antaranya, Yuli Kusworo dan Andrea
Fitrianto (Cak-cak). Yang terakhir ini kemudian tergabung dalam Jejaring
Arsitek Komunitas Asia (CAN), yang
berpusat di Bangkok.
Arena Kampung Kota
Meski belum terdefinisikan secara baku,
para pegiat arsitek komunitas atau community
architect memaknai gerakannya sebagai aktivitas individual maupun kelompok yang
belajar dan bekerja bersama komunitas berkaitan dengan persoalan aktual warga
seputar hak atas atas pemukiman dan lingkungan hidup yang sehat. Arkom
mengandalkan teknik pemetaan, perancangan dan pembangunan partisipators. Dengan
pendekatan komunitas, tidak berarti Arkom mengabaikan relasi perorangan (private). Output yang dihasilkan dari
proses bekerjasama komunitas ini, sebuah dokumen dan desain alternatif dari
yang exist. Itulah sebabnya, gerakan
arsitek komunitas senantiasa berkolaborasi dengan organisasi komunitas, LSM,
dan pemerintah kota, dengan tujuan mempengaruhi dan atau mengubah kebijakan
pemerintah yang eksklusif menjadi inklusif bagi warga.
Pengertian kampung-kota dalam Kampung
Perkotaan (Johny A. Khusyairi dkk, Universitas Ailangga( 2011) merujuk pada
suatu habitat hidup yang khas, semacam “ruang sosial terbatas” yang membentuk
pengalaman subjektif orang-orang dan kelembagaan di dalamnya. Mereka
mempersepsi kota sebagai
“ruang sosial tak terbatas”, yang memuat semua bentuk dan praktek kekuatan
struktural – aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, termasuk kebijakan
pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan gaya hidup dominan. Problematik
‘kampung-kota’ (urban-kampong) inilah
yang menantang sekaligus membentuk profesi arsitek komunitas. Para ‘arkomers’,
istilah yang sering digunakan aktivis Arkom Jogja adalah orang-orang kota, produk
sekolahan, yang memilih jalan meninggalkan tradisi akademiknya. Mereka pergi
untuk kembali ke komunitas di perkotaan dan pedesaan.
Jejak-jejak arsitek komunitas, sejauh
yang penulis ikuti di beberapa kota di Indonesia, di antaranya Penataan
Pemukiman Warga Stren Kali Surabaya (2002), Rekonstruksi Dipimpin oleh Warga 24
Kampung di Banda Aceh dan Aceh Besar )2006-2007), Konsep Alternatif Pemukiman
Kolong Tol Jakrta (2008), Bedah Kampung Pisang Makassar (2010), Penataan
Kampung Bungkutoko Kendari (2011), Pemetaan Pemukiman Warga Kali Winongo
Yogyakarta (2012), Desain Rumah Deret Warga Kali Pepe Solo (2015), dan
dilanjutkan dengan Penataan Pemukiman Warga Kali Pepe Solo (2017). Selain itu,
beberapa karya arsitek komunitas ASF (Arsitek Sans Frontier Bandung) adalah
jembatan, balai warga dan rumah contoh dengan konstruksi bambu di Indonesia
maupun di Filipina. Karya-karya mereka merupakan hasil kolaborasi dengan
jejaring organisasi masyarakat sipil seperti Urban Poor Consortium (UPC), Rujak Center, Misereor, ACHR, universitas,
seniman, paroki, dan organisasi komunitas seperti KPRM, Paguyuban Kalijawi, dan
Paguyuban Warga Strenkali.
Di era globalisasi budaya perkotaan
dewasa ini, para perencana pembangunan pun arsitek ditantang untuk membuktikan
profesionalitasnya. Makna asali profesi berasal dari kata dalam bahasa latin profesio yang berarti “janji (kepada)
publik”. Mengutip pikiran Karlina Supeli (Kebudayaan
dan Kegagapan Kita, 2013), “Seseorang disebut profesional bukan terutama
dia pakar di bidangnya, melainkan karena dengan kepakarannya dia menjalankan
tugas dan pada saat bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan bagi
kepentingan masyarakat”. Pemaknaan ini semakin menguatkan gagasan tentang
pentingnya arsitek atau profesi apa pun untuk merefleksikan posisi dan perannya
dalam pemenuhan hak-hak publik, dan bukan semata-mata melayani kepentingan private.
Menjadi arsitek yang profesional – dalam
arti bekerjasama dengan komunitas – bukan lah pekerjaan mudah. Perasaan “sendiri
dalam keriuhan” bukan lah masalah, tetapi tantangan dari dalam diri sendiri
yang harus dilewati. Seperti ungkapan pada awal tulisan ini, perjalanan karir arsitek
komunitas ibarat bekerja di antara Harimau-harimau
(yang) Mengintai Orang-orang Baik (di) Sepanjang Jalan Tanpa Ujung Menuju Roma.
Panjang Umur Perjuangan, Saudara.
Makassar, Februari 2017
#Penulis
adalah anggota Board Arsitek Komunitas (Arkom) Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar