26 Jul 2015

MENGGALANG KEKUATAN KONSUMEN: Pengalaman YLK Sulsel 1992-1999


Penulis memuat tulisan ini sebagai kenangan bagi almarhumah Zohra Andi Baso, mantan ketua YLK Sulsel, yang wafat pada tanggal 15 Maret 2015 di Makassar, dan dimakamkan pada tanggal 16 Maret 2015 di kampung halamannya, Pundata Baji kecamatan Labbakkang kabupaten Pangkep. Tulisan ini adalah materi presentasi almarhumah yang akrab disapa kak Zohra, dalam rangkaian seri lokakarya LSM se-Sulawesi dan Kalimantan di kota Manado. 
Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan pendirian YLKI di Jakarta pada dekade tahun 70-an. Hingga kini ada sekitar 31 organisasi konsumen yang tersebar pada 21 propinsi. Dari jumlah itu, tidak sedikit organisasi konsumen yang tetap konsisten memperjuangkan hak-hak konsumen. Banyak juga organisasi konsumen jatuh bangun mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah kekuatan sistem kapitalisme global.
Gerakan perlindungan konsumen di derah menjadi sangat penting seiring dengan kecenderungan perekonomian global. Dalam situasi seperti ini, masyarakat konsumen di Indonesia tidak saja ditentukan oleh kekuatan pasar internasional, tetapi juga menerima beban akibat krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia. Dampak krisis ini sangat dirasakan konsumen di Indonesia. Dengan kenaikan harga yang mencapai 300-400 persen, dapat dibayangkan berapa jumlah konsumen yang miskin dewasa ini.  Ini artinya,  hak konsumen yang paling mendasar, yakni hak memperoleh kebutuhan pokok adalah masalah besar bangsa Indonesia di penghujung abad 20 ini.
Kerentanan konsumen baik dari sisi pendidikan dan ekonomi itu juga mendorong terbentuknya organisasi atau pun kelompok-kelompok konsumen sebagai wadah untuk melakukan kontrol terhadap praktek perdagangan,  termasuk implementasi kebijakan organisasi pemerintah dalam perlindungan konsumen. Masalahnya kemudian, seberapa kuat organisasi dan kelompok konsumen itu mampu melakukan pembelaan terhadap dirinya? Apakah organisasi konsumen cukup bekerja sendiri?
Dari aspek kuantitas organisasi konsumen di Indonesia belum mampu mendukung terbentuknya gerakan konsumen. Oleh karena itu dari aspek kualitas, organisasi konsumen harus proaktif melakukan pengorganisasian di tingkat masyarakat akar rumput (grass-root). Dengan harapan, organisasi konsumen mendapat dukungan langsung dari masyarakat konsumen.
Gerakan perlindungan konsumen juga memerlukan back-up peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan konsumen. Dalam pengertian ini, gerakan perlindungan konsumen perlu diarahkan pada tiga aras. Aras pertama adalah pengorganisasian masyarakat konsumen. Aras kedua adalah melakukan advokasi dan kampanye publik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan dunia usaha. Aras ketiga adalah memperluas jaringan lokal, nasional, dan internasional.
Profil YLK Sulsel
YLK Sulsel adalah satu dari sekian banyak organisasi konsumen di Indonesia. YLK Sulsel pertama kali didirikan pada tahun 1979. Sebagaimana karakteristik ornop kecil waktu itu, YLK Sulsel sempat mengalami masa vakum sekian tahun. YLK Sulsel kembali aktif pada tahun 1988 yang diresmikan ketua YLKI waktu itu Erna Witoelar, dengan status perwakilan YLKI Jakarta. Mengacu pada platform organisasi konsumen di dunia, YLK Sulsel melakukan advokasi konsumen dengan bertumpu pada Lima Soko Guru Gerakan Konsumen:
  • Mempedulikan masyarakat; Gerakan konsumen adalah sekelompok orang yang sangat mempedulikan orang lain maupun diri sendiri, menyangkut nilai uang terhadap barang, terutama nilai manusia.
  • Melindungi Bumi; Konsumen harus menjadi seorang penjaga, pelindung dan pelestari sumber daya alam dari eksploitasi berlebihan oleh sejumlah kecil orang sementara akibatnya ditanggung oleh banyak orang.
  • Mengaksentuasikan HAM; Hak Asasi Manusia merupakan perhatian pokok gerakan konsumen, khususnya hak-hak masyarakat akan pemenuhan segala kebutuhan pokok.
  • Memperjuangkan keadilan; Di dalam sistem politik dan ekonomi yang seringkali mengabaikan pihak yang nirdaya, gerakan konsumen dapat membantu masyarakat menciptakan situasi yang lebih adil, terbuka dan rasional.
  • Menggalang kekuatan; Geralan konsumen menggalang kekuatan bersama rakyat untuk melindungi kepentingan-kepentingannya dan melawan segala kekuatan yang mengancam konsumen.
Dalam menjalankan misinya, YLK Sulsel memiliki beberapa spesifikasi isyu program yang mencakup:
  • Keamanan Pangan,
  • HAM
  • Lingkungan Hidup,
  • Gender dan Kesehatan Reproduksi
  • Pestisida dan Pertanian Alternatif,
  • Energi Alternatif, dan
  • Pencegahan HIV/AIDS.
Dalam mengemban misi tersebut, YLK Sulsel menjalankan usaha-usaha (main acitivity) sebagai berikut:
  • Pendidikan, penyuluhan, penerangan kepada konsumen.
  • Penelitian, survey, dan pengumpulan data mengenai konsumen.
  • Pemberdayaan kelompok konsumen.
  • Bantuan hukum kepada konsumen (jika diperlukan)
  • Kerja sama dengan badan-badan nasional maupun internasional yang bergerak di bidang perlindungan konsumen.
  • Kerja sama dengan pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga riset.
  • Kerja sama dengan organisasi massa, profesi, wanita, pemuda, mahasiswa, dan media massa.
Pengalaman YLK Sulsel
1 Keamanan Pangan sebagai Isyu Gerakan Konsumen
Masalah pangan yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini adalah masalah gizi dan keamanan makanan. Masalah ini berkaitan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah (kemiskinan), sehingga masih sulit memenuhi kebutuhan gizi yang berimbang. Kekurangan gizi yang masih dominan antara lain kekurangan iodium, anemia gizi, kekurangan vitamin A dan kekurangan energi protein. Sedangkan masalah kelebihan gizi yang prevalensinya cenderung meningkat adalah penyakit jantung, penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, kanker dan perubahan pola makan masyarakat seiring dengan banyaknya berbagai jenis makanan olahan dan produk import.
Permasalahan keamanan makanan cukup peka, dan sewaktu-waktu dapat muncul mengejutkan. Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus biskuit dan mie beracun. Pada kasus biskuit beracun beberapa tahun yang lalu, penyebabnya jelas ketahuan akibat tercampurnya nitrit dalam adonan. Sedangkan untuk kasus mie instant, sejauh ini belum ada kepastian mengapa hal itu bisa terjadi. Hingga saat ini belum ada keterangan berdasarkan visum dokter, yang justru diperlukan untuk memberikan kepastian. Terlepas dari penyebabnya, kedua kasus tersebut memilki  kesamaan, yaitu korban berciri massal. Setidaknya, tersebar di berbagai tempat yang berbeda.
Sesungguhnya, kesadaran mengenai pentingnya keamanan pangan dan keselamatan konsumen sudah waktunya dijadikan gerakan bersama. Setidaknya, masalah keamanan pangan pernah dibicarakan dalam acara dengar-pendapat (hearing) Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat yang dihadiri  perwakilan dari YLK Sulsel dan instansi terkait lainnya pada tahun 1995.
Dari kenyataan ini, kita menyadari bahwa akses informasi yang benar dan jujur sangat berguna bagi konsumen, terutama  berkaitan dengan produk makanan dan minuman yang dikemas secara massal. Akses informasi ini berkaitan dengan informasi tentang latar belakang suatu produk yang beredar dan dikonsumsi masyarakat luas. Informasi produk antara lain: batas kadaluarsa,  nomor registrasi, nama dan tempat produksi,  komposisi bahan,  zat tambahan, netto, petunjuk pemakaian dan penyimpanan, kondisi kemasan.
2 Labelisasi Produk Pangan Masih Memprihatinkan
Suatu berita yang cukup mengejutkan tentang keadaan dan kondisi makanan olahan di Indonesia  yang dimuat di koran-koran nasional (Kompas dan Republika, 16 Februari 1995)), tentang hasil temuan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) selama tahun 1994. Dirjen POM, Wisnu Katim dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPR (15/02), mengungkapkan bahwa telah ditemukan 27.207 kaleng makanan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa, 40.125 kaleng makanan yang tidak terdaftar, 22.498 kaleng tidak memenuhi syarat pelabelan, dan 267 kaleng makanan yang rusak. Lebih lanjut, Dirjen POM mengatakan bahwa angka-angka tersebut hanya sebagian kecil saja karena pengamatan hanya diambil dari sample pada 15 Supermarket dan 8 distributor di Jakarta.
Pengalaman survei YLK Sulsel di pasar umum, swalayan dan supermarket di Kotamadya Ujungpandang setiap Ramadhan dan Akhir Tahun menunjukkan masih beredarnya barang-barang kada­luarsa maupun produk yang tidak mencantumkan batas kadaluarsa. Hasil survei tahun 1991 hingga 1996 memperlihatkan peningkatan jumlah pelanggaran dengan jenis pelanggaran yang bervariasi. Hasil survei juga menghasilkan sejumlah produk tidak mencantumkan nomor regis­trasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Produk yang tidak mencantumkan nomor registrasi tersebut adalah produk dalam negeri dan  impor. Selain itu, rata-rata barang pangan impor masih menggunakan bahasa asing. Keadaan seperti ini dapat mengelabui konsumen yang tidak memahami informa­si tersebut.
Juga ditemukan kondisi kemasan produk pangan yang kurang memenuhi syarat higienis seperti kemasan yang penyok, berkarat, dan penutup produk yang bocor. Bahkan di pinggiran kota Ujungpandang maupun kota/desa di kabupaten seringkali ditemukan biskuit, mie instan dan makanan jajanan anak-anak (chiki-chiki) dalam kemasan plastik yang sudah dikerumuni semut.
3 Produk Lokal dan Impor
Sistem pasar  internasional semakin terbuka. Globalisasi dan perdagangan dunia membawa konsekuensi arus barang dari luar semakin deras. Pilihan konsumsi semakin banyak. Harga  pun semakin bersaing. Namun, kondisi seperti ini tidak selalu menguntungkan konsumen. Dalam banyak kasus, kondisi ini potensial menimbulkan masalah, antara lain soal produk import.
Masalah produk makanan dan minuman import yang timbul antara lain produk yang tercemar dan tidak layak konsumsi, walau pun batas kadaluarsanya belum lewat. Contoh yang populer adalah hasil penelitian PAN dan YLKI Jakarta terhadap beberapa buah impor dan lokal menunjukkan adanya kandungan/residu pestisida, yang bisa menyebabkan kanker. Hasil pengujian YLKI Jakarta terhadap bahan tambahan makanan seperti MSG, zat pewarna dan bahan pengawet (boraks, formalin) pada makanan jajanan menunjukkan adanya ancaman bagi kesehatan konsumen.
Instansi pemerintah bersama YLK Sulsel pernah melakukan survey ke sebuah toko swalayan. Ditemukan parcel berisi  produk kadaluarsa. Ketika salah seorang “surveyor” mengkonformasi hal tersebut, ia memperoleh jawaban bahwa pihak swalayan selama ini kurang memperoleh pembinaan dari Balai POM. Jawaban itu mengejutkan karena pemerintah selama ini sudah banyak melakukan pembinaan kepada para pengusaha. Tentu saja jawaban tersebut bisa diartikan suatu upaya berkelit dari kesalahan.
Parcel berisi produk pangan basah maupun kaleng. Biasanya, parcel merupakan hasil industri rumah-tangga. Belakangan ini mulai didomina­si toko swalayan atau supermarket. Produk pangan yang dimasukkan ke dalam keranjang adalah produk lokal. Belakangan ini mulai dimasukkan barang impor. Dalam banyak kasus, produk impor tidak mencantumkan nomor registrasi Depkes RI.
Menyadari hal tersebut, konsumen perlu mengamati aspek higienis, batas kadaluarsa, dan kondisi kemasan produk. Perlu juga diketahui bahwa produk makanan/minuman dalam negeri berkode MD, produk impor berkode ML. Juga diharapkan pihak Departemen Perdagangan untuk terus memantau secara sungguh-sungguh peredaran produk.
Menerima Pengaduan Konsumen
Pengaduan konsumen periode 1994-1997, mulai meningkat, meskipun secara kuantitatif belum seberapa. Rendahnya jumlah pengaduan konsumen, dari hasil evaluasi Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan dikarenakan beberapa hal. Pertama, konsumen di Sulawesi Selatan masih belum menggunakan kekuatannya secara terlembaga. Padahal pelayanan pengaduan konsumen sudah diaktifkan sejak tahun 1987. Kedua, dalam dua bulan terakhir ini, masih banyak laporan yang kurang didukung bukti-bukti transaksi barang atau pun jasa yang lengkap. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah bukti-bukti tersebut tidak diperhatikan atau hilang. Ketiga, melihat tingkat keluhan konsumen bahwa banyak hal yang dapat merugikan konsumen. Kerugian ini terutama kurang responnya produsen atas hak-hak konsumen.
Konsumen sebagai pemakai akhir relatif belum mendapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Keadaan ini menjadi fenomena di negara-negara berkembang, disebabkan faktor- faktor yang menyertai konsumen seperti tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, dan daya saing konsumen sendiri yang rendah. Dengan keadaan seperti ini, pihak produsenlah yang akan menikmati keuntungan besar.
Gejala yang menarik, yaitu kecenderungan konsumen menyampaikan pengaduannya ke media massa. Terlepas dari peran YLK Sulsel, kecenderungan ini menandakan konsumen semakin menyadari hak-haknya untuk melakukan complain. Jenis pengaduan yang dimuat media cetak (Fajar dan Pedoman Rakyat) antara lain, kualitas dan layanan purna jual produk-produk elektronik, masalah peredaran pelumas palsu, kualitas bahan bakar bensin SPBU di Polmas, dan pencemaran asap pabrik semen Tonasa yang merusak tambak udang di Labakkang. Selain itu, YLK Sulsel mencover pengaduan dalam kesempatan acara talk-show di media elektronik seperti radio swasta Telstar dan Bharata FM. 
Pengaduan konsumen juga berlangsung dalam kegiatan penyuluhan dan ceramah konsumen bersama ibu-ibu Dharma Wanita/PKK. YLK mencatat dan menindaklanjuti keluhan konsumen. Penggunaan zat pewarna, MSG, bahan pengawet, iklan merupakan masalah yang akrab dengan kepentingan konsumen wanita. Masalah seperti ini lazim berkembang dalam diskusi dengan ibu-ibu Dharma Wanita/PKK. Misalnya, satu masalah yang spesifik dipersoalkan ibu-ibu adalah tayangan iklan di televisi swasta yang memanfaatkan kaum wanita sebagai objek promosi. Bahkan ada iklan yang melecehkan kaum wanita.
Jenis pengaduan langsung yang masuk adalah keluhan atas jasa pelayanan listrik, telefon, perumahan, makanan dan minuman, jasa transportasi.

(1) Pengaduan konsumen listrik yang terbanyak sepanjang tahun 1994-1997. Sifat pengaduan yang klasik, pemadaman lampu, rekening melonjak atau melampaui pemakaian, kesalahan pencatatan, dan keterlambatan pemasangan listrik secara kolektif yang dialami konsumen perumahan. Kasus yang spesifik dialami seorang konsumen karena terlambat membayar denda. Lantaran blangko pembayaran denda habis, konsumen tidak jadi membayar, tetapi seminggu kemudian konsumen didenda 2 kali lipat.
(2) Pengaduan konsumen jasa komunikasi telefon yang umum dikeluhkan adalah kenaikan pulsa yang tidak sesuai dengan pemakaian.
(3) Pengaduan konsumen perumahan termasuk masalah yang cenderung meningkat. Masalah yang sangat serius adalah kasus perumahan fiktif dengan indikasi penipuan. Konsumen sudah membayar uang tanda jadi. Ketika konsumen mengecek lokasi, ternyata tanah yang dijanjikan belum melalui pembebasan. Lebih celaka lagi, developer sudah tidak berada di alamat yang tertulis. Masalah yang umum, misalnya fasilitas yang dijanjikan tidak dipenuhi pihak pengembang. Masalahnya; (1) pihak REI kurang tanggap, hanya bertanggung jawab pada pengembang yang menjadi anggotanya; (2) pemerintah tidak tegas menindak pengembang yang merugikan bahkan menipu konsumen; (3) konsumen tidak kritis, menyetujui saja syarat-syarat yang diajukan pengembang meskipun merugikan.
(4) Pada kasus pengaduan jasa transportasi (TAXI), konsumen mempersoalkan sisa pembayaran yang tidak dikembalikan sopir dengan alasan tidak ada uang kecil. Pihak pengelola Taxi akan menindak/melakukan pembinaan apabila identitas sopir disebutkan. Padahal maksud sebenarnya adalah perbaikan kualitas pelayanan.
(5) Pada kasus konsumen bahan bakar bensin di SPBU, pihak Pertamina unit PPDN mengelak, dan menganggap badan Meteorologi yang lebih bertanggung jawab terhadap fasilitas pengukur SPBU dan kendaraan milik konsumen. Pihak Meteorologi juga tidak tanggap, tidak membalas surat YLK. Bahkan pada kasus pengaduan mutu bensin salah satu SPBU di kabupaten Polmas yang kami peroleh dari harian lokal, menurut hasil Sidak pihak Pertamina (UPPDN) menunjukkan mutu bensinnya memenuhi standar baik, justru pihak Pertamina meragukan berita yang dimuat surata kabar.
(6) Pengaduan produk yang  tidak mencantumkan nomor registrasi dan izin Departemen Kesehatan. Disusul dengan keluhan atas pelayanan purna jual, pengembalian dengan gula-gula oleh supermarket, pelayanan faksimile, isi kemasan yang rusak, dan pelayanan pengangkutan sampah. Kasus yang spesifik adalah gejala keracunan Mie Instan yang dialami anak-anak. Anak-anak yang mengkonsumsi produk mie instan mengalami gejala keracunan, muntah dan berak-berak. Pemeriksaan dokter menunjukkan anak tersebut keracunan makanan. Padahal Mie Instan yang dikonsumsi belum kadaluarsa.
(7) Sejak memasuki krisis ekonomi, jenis pengaduan tersebut masih dominan, ditambah dengan pengaduan konsumen perbankan seperti ATM, kredit kendaraan bermotor, dan produk elektronik seperti tinta printer. Pengaduan pelanggan listrik dan telefon semakin tinggi frekuensinya terutama pada bulan Februari-April 1999, masing-masing 15 dan 10 kasus. Pengaduan kredit kendaraan bermotor  3 kasus, dan perbankan 2 kasus.
Kendala Perlindungan Konsumen
Pertama, internalisasi hak dan tanggung jawab konsumen masih cukup rendah. Pada dasarnya seluruh anggota masyarakat adalah konsumen barang dan jasa. Mereka merupakan komunitas yang turut menentukan gerak roda perekonomian nasional. Konsumen adalah partisipan perekonomian yang terbesar tetapi paling lemah, selalu dirugikan. Padahal konsumenlah yang pertama kali terkena dampak akibat kualitas barang dan jasa yang berbahaya atau tidak memenuhi persyaratan higienis dan legalitas. Makanan yang rusak misalnya, berakibat fatal bagi kesehatan konsumen.
Kedua, pemerintah belum secara maksimal melakukan pengawasan sampai level terbawah (pedesaan) mulai dari pengadaan bahan, proses produksi sampai pada makanan tersebut beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Contoh kasus keracunan makanan membutuhkan bukti hasil pengujian, dan Balai POM sebagai instansi yang juga terkait langsung dengan masalah itu tidak terbuka mengumumkan hasil penyelidikannya.
UUPK yang akan diberlakukan tahun 2000 masih terdapat beberapa kelemahan yang dapat menghambat penegakan hak-hak konsumen, terutama perlindungan terhadap pangan “tradisional” dan konsumen kesehatan reproduksi.
Ketiga, dari sisi produsen, kesadaran yang rendah, ditambah perangkat perundang-undangan yang lemah memberi peluang melakukan eksploitasi daya beli dan selera konsumen. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dibidang industri pengolahan makanan/minuman, serta timbulnya pergeseran pola konsumsi masyarakat, yang berarti potensial menimbulkan gangguan pada kesehatan masyarakat. Tanggung jawab pihak produsen dan distributor sangat besar dalam menjaga mutu, kualitas, dan keamanan produknya.
Keempat, masalah konsumen tidak berbatas pada standar kelayakan konsumsi dan keamanan pangan. Masalah yang lebih mendalam untuk dijadikan bahan pertimbangan konsumen adalah; apakah dalam proses produksi suatu barang tidak mencemari lingkungan, tidak mengeksploitasi buruh perempuan dan anak-anak, dan tidak melanggar etik perdagangan. YLK Sulsel menjadikan pertimbangan ini sebagau agenda perlindungan konsumen di masa datang.
Isyu-isyu Alternatif
1 Gender dan Lingkungan Hidup 
YLK Sulsel sejak tahun 1993 sudah mulai melakukan advokasi penggunaan pestisida dan bahan kimia pertanian bekerja sama dengan Pesticide Action Network (PAN) Indonesia. Pertama kali investigasi penggunaan pestisida dilakukan terhadap PT Toarco Jaya di Tana Toraja, sebuah perusahaan (semi PMDN) perkebunan kopi arabika berorientasi ekspor, yang cukup besar di Sulawesi Selatan. Kemudian pada tahun 1994 s.d 1996 investigasi penggunaan pestisida dikembangkan ke perkebunan kelapa sawit, kelapa hibrida dan kakao di kabupaten Luwu.
Program advokasi selanjutnya dikembangkan dengan mengorganisasikan petani di empat kabupaten. Isyunya adalah pengembangan pertanian non-kimia. Advokasi ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat konsumen dan petani untuk kembali bercocok tanam yang selaras alam. Meskipun disadari bahwa tidak cukup dengan mengubah perilaku masyarakat agar hidup sehat dan bersikap kritis terhadap pencemaran lingkungan. Advokasi juga harus bisa mempengaruhi pengambil kebijakan perdagangan dan mendesak political will pemerintah untuk melindungi konsumen.
Banyak konsumen yang tidak menyadari bahwa pemakaian produk dari bahan kimia membahayakan kesehatan dan lingkungannya. Produk-produk yang mengandung bahan kimia aktif seperti pestisida, obat nyamuk, dan deterjen merupakan produk konsumsi yang banyak digunakan di daerah pedesaan. Pestisida telah menggantikan fungsi makhluk predator. Obat nyamuk menggantikan fungsi kelambu, dan deterjen yang mengandung zat kimia non-organik dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Produk-produk berbahan kimia aktif sudah diperjualbelikan secara bebas di pasar-pasar tradisional di pedesaan. Pengamatan YLK Sulsel sejak tahun 1994 terhadap perilaku pedagang sayuran (pangan) penjual pestisida, dan petani perempuan (ibu rumah tangga) di pasar tradisional mencatat bahwa pedagang pestisida berada di sekita atau berdekatan dengan pedagang sayuran dan produk pangan tradisional lainnya seperti minyak goreng, beras, jangung dan gula. Pedagang pestisida menjual produknya seperti Gramoxone, Round up dengan menggunakan mobil bak terbuka di sekitar penjual bahan pangan dengan cara kiloan, literan atau eceran. Sementara ibu-ibu tani yang merupakan mayoritas konsumen perempuan di pasar membeli pestisida dalam kemasan seperti layaknya membeli produk pangan. Pestisida yang dibeli biasanya disimpan di tas belanjaan bercampur dengan barang belanjaan lainnya.
Demikian halnya penggunaan obat nyamuk bakar dan semprot. Produk-produk seperti ini mulai dikonsumsi di dalam rumah tangga. Obat nyamuk mulai menggantikan fungsi kelambu sebagai pencegah gangguan nyamuk. Obat nyamuk dipandang lebih praktis daripada kelambu. Namun masyarakat pedesaan tidak menyadari bahwa efek yang ditimbulkan sangat besar. Selain menyebabkan polusi udara di dalam rumah, asap yang dikeluarkan obat nyamuk dapat mangganggu pernafasan. Bahkan implikasi dari penggunaan obat nyamuk di pedesaan memberikan alternatif bunuh diri yang lebih praktis,  yakni minum racun, apakah itu racun nyamuk atau racun hama.
Sementara limbah detergen dengan mudah kita temukan di pinggiran sungai, dimana ibu-ibu mencuci pakaian, di samping limbah cucian dari rumah. Limbah deterjen tidak bisa dijamin ramah terhadap lingkungan dan kesehatan. Senyawa non-organik buatan industri ini sulit diurai oleh mikroorganisme yang ada di permukaan tanah. Ini artinya, limbah detergen bisa mengurangi tingkat kesuburan tanah.
Produk-produk kimia seperti ini selain menjadi penyebab kerusakan lingkungan, juga menjadi pemicu munculnya berbagai penyakit seperti iritasi kulit, gangguan pernafasan, dan gangguan iritasi mata. Dari pengataman YLK Sulsel, jenis penyakit ini paling populer di Puskesmas. Namun, sulit diperoleh jawaban dari mulut paramedis atau dokter Puskesmas yang dapat mendukung dugaan bahwa hal tersebut disebabkan paparan produk-produk kimia pertanian dan rumah tangga. Seringkali dokter menyatakan bahwa dugaan itu harus dibuktikan dengan pengujian laboratorium.
Dampak langsung,  dan yang paling banyak terkena adalah perempuan, ibu-ibu tani, dan anak-anak. Dikarenakan aktivitas perempuan di pedesaan sangat dekat dengan lingkungannya, terutama lingkungan domestik, dan budaya pangan, yaitu mulai dari mengakses, mengelola sampai mendistribusikan makanan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah seperti menanam dan memanen di kebun/sawah,  serta menggunakan air untuk kebutuhan domestik.
Dampak produk-produk kimia seperti itu ada yang berjangka pendek, ada juga yang berjangka panjang. Dampak yang paling berbahaya adalah jika bahan-bahan kimia itu merusak sistem reproduksi perempuan.
2 Gender dan Hak-hak Kesehatan Reproduksi
YLK Sulsel mengembangkan satu perspektif gerakan, yang mempertalikan posisi dan kepentingan perempuan konsumen dengan pembelaan hak-hak konsumen secara menyeluruh, termasuk dalam pengertian ini perlindungan terhadap hak-hak reproduksi. Dasar pikirannya bahwa posisi dan kepentingan perempuan konsumen tidak lagi secara sederhana dipandangan dalam hubungan transaksional produsen-konsumen. Lebih dari itu melihat kenyataan bahwa perempuan juga menjadi sasaran (target) pelaksanaan kebijakan pelayanan publik seperti keluarga berencana.
Pada tahun 1995, YLK Sulsel mulai melakukan riset advokasi pelayanan kesehatan reproduksi dengan dukungan The Ford Foundation. Riset ini berlangsung selama 8 bulan di empat kabupaten. Riset selama ini mencoba mengaksentuasikan HAM dalam pelayanan kesehatan reproduksi. Aksentuasi HAM dalam perlindungan konsumen ini, kemudian diperkuat dengan pendidikan HAM terhadap kelompok-kelompok perempuan pada tahun 1997 – 1998 bekerja sama dengan LP3ES.
Hak-hak kesehatan reproduksi sesungguhnya telah tercantum di beberapa alinea Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia 1948 oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Lembaga ini, sejak tahun 1966 telah mensponsori beberapa resolusi "ide kebebasan memilih" di dalam praktik Keluarga Berencana, sebagai penghormatan hak-hak azasi manusia bagi semua individu. Dua tahun kemudian, pada tahun 1968, dengan partisipasi 157 negara, lembaga ini kembali melaksanakan konferensi HAM secara internasional di Teheran. Konferensi ini memperluas pengertian ":hak-hak azazi manusia untuk secara bebas dan secara bertanggung jawab menentukan jarak dan jumlah anak bagi orang tua". Sepuluh tahun kemudian, Deklarasi Lima Alta (1978) memasukkan masalah kesehatan ibu dan anak sebagai bagian dari perawatan kesehatan primer, hak mengakses ke fasilitas kesehatan yang memadai, hak atas informasi, hak atas konseling dan pelayanan pada penyelenggaraan KB.
Perkembangan gagasan terus berlanjut, teriutama yang menyangkut kepentingan perempuan. Pertemuan Cairo pada tahun 1994, misalnya, dengan peserta dari 184 negara, merumuskan program aksi yang diorientasikan 20 tahun ke depan. The Cairo Consensus mencakup 8 tema; (1) pengakuan terhadap dampak buruk dari pola konsumsi terhadap sumber daya dunia dan terhadap pertumbuhan penduduk; (2) pengintegrasian kebijakan penduduk untuk menghilangkan kemiskinan serta peningkatan keadilan; (3) penerapan HAM secara eksplisit ke dalam kebijakan pendudukan dan penolakan kekerasan baik secara insentif maupun secara disinsentif; (4) perumusan bentuk-bentuk aksi untuk menjamin pemberdayaan perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya; (5) pengakuan bahwa hubungan seksualitas dan hubungan gender terhadap kesehatan perempuan bersifat utama; (6) menjamin bahwa para lelaki harus bertanggung jawab atas perilaku seksualnya, kesuburannya, penyebaran penyakit, dan juga atas kesejahteraan pasangan hidup dan anak-anaknya; (7) mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual, perawatan kesehatan reproduksi, serta menyediakan informasi dan pelayanan komprehensif bagi semua pihak; dan (8) mengakui aborsi tidak aman sebagai isu kesehatan publik dan mendorong pemerintah untuk mengurangi insiden aborsi tidak aman, menjamin adanya pelayanan aman jika aborsi tidak melanggar hukum, menyediakan konseling berempati dan perawatan manusiawi terhadap semua perempuan yang menanggung konsekuensi aborsi tidak aman.
Setahun kemudian, Deklarasi Beijing (1955) memetakan 12 wilayah keprihatinan dunia atas nasib perempuan. Keprihatinan dunia itu mencakup tema-tema, antara lain; meningkatnya beban kemiskinan bagi perempuan, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, kekerasan terhadap perempuan, ekses konflik bersenjata dan konflik lainnya terhadap perempuan, ketidaksetaraan di dalam struktur ekonomi dan di semua aktivitas produktif, pengambilan keputusan, promosi yang tidak memadai, stereotipi dan ketidaksetaraan di dalam semua sistem informasi, ketimpangan gender, dan diskriminasi terhadap anak-anak perempuan.
Di tingkat nasional, di Indonesia, dengan memperhatikan pemediaan pewabahan, telah dirumuskan Pernyataan Pacet (1996) sebagai bagian dari penghormatan terhadap hak-hak pengidap HIV/AIDS. Pernyataan Pacet ini mencakup 4 (empat) tema, masing-masing; hak atas informasi, hak atas pelayanan, hak atas perlindungan, dan pemberdayaan.
Lebih jauh, nasib perempuan sebagai bagian terbesar dari sasaran program intervensi KB (klien), terutama di Indonesia sama sekali tidak dapat dilepaskan dari posisinya sebagai konsumen. Dalam kaitan ini, pada bulan Maret 1997, dengan satu pertemuan di Yogyakarta, dirumuskan juga Hak-hak Konsumen Keluarga Berencana yang mencakup; Hak Informasi, Hak Akses, Hak Pilihan, Hak Keamanan, Hak Privasi, Hak Kerahasiaan, Hak Harkat, Hak Kenyamanan, Hak Berpendapat, Hak Keberlangsungan, dan Hak Ganti Rugi.
Rumusan internasional hak-hak konsumen telah melampaui perjalanan waktu dan telah dipublikasikan oleh Consumer International yang berkedudukan di London, United Kingdom. Hak-hak itu antara lain;

(1) hak atas kebutuhan pokok,
(2) hak atas keamanan,
(3) hak atas informasi,
(4) hak untuk memilih,
(5) hak atas keamanan,
(6) hak atas perwakilan,
(7) hak untuk mendapatkan ganti rugi,
(8) hak atas pendidikan, dan
(9) hak atas lingkungan yang sehat.

Ujungpandang, 26 Juli 1999
#Makalah dipresentasikan  oleh Zohra A. Baso (Ketua Umum YLK Sulsel dalam Seriloka II Gerakan Konsumen Berperspektif Gender dengan topik Hak-hak dan Tanggung Jawab Konsumen, Manado, 27 s.d 30 Juli 1999.
##Naskah ditulis oleh M. Nawir (Ketua II YLK Sulsel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar