7 Jan 2015

PARALEGAL PENGGERAK KOMUNITAS: Catatan Reflektif Pengorganisasian Komunitas

M. Nawir
Bahasa Indonesia kesulitan mendefinisikan kata paralegal. Sejauh yang diketahui, paralegal merujuk pada subjek dan kegiatan yang menyertai profesi kepengacaraan. Seorang paralegal diposisikan sebagai “pembantu” pengacara, laiknya hubungan paramedis dengan dokternya. Pengertian ini merujuk pada praktik paralegal yang dikembangkan organisasi bantuan hukum di beberapa negara maju.
Di Indonesia, praktik keparalegalan tidak selalu mengikut pada kegiatan bantuan hukum. Misalnya, WALHI mengembangkan paralegal dalam advokasi lingkungan hidup. Demikian halnya, Koalisi Perempuan Indonesia dengan paralegal KDRTnya. Paralegal di sini menyangkut kualitas, sehingga paralegal yang dimaksud adalah kemampuan seseorang (sikap, pengetahuan, keahlian) dalam kegiatan advokasi non-litigasi. Dalam pengertian ini paralegal diposisikan sebagai kader penggerak komunitas, yang bekerja di arena advokasi. Berbeda dengn kegiatan community-development yang berorientasi pada peningkatan pendapatan maupun peningkatan keahlian semata-mata.
Paralegal sebagai Kader Komunitas
Pendidikan paralegal diperlukan untuk memastikan tujuan advokasi adalah memecahkan persoalan, dan akhirnya memberdayakan rakyat. Metode pembelajaran yang relevan adalah pendidikan rakyat (popular-education). Metode ini lebih mengutamakan proses saling belajar untuk mencapai tujuan bersama. Saling belajar berarti, menyadari bahwa setiap individu memiliki potensi dan pengetahuan yang kontekstual; menghargai prinsip kesetaraan, dan; bersepakat untuk bertindak bersama memecahkan persoalan. Oleh karenanya, hasil-hasil dari suatu rangkaian pendidikan itu bervariasi.
Jatidiri seorang paralegal adalah pembelaan dan pelayanan, yang dilakukan secara partikelir maupun dibawah organisasi berbadan hukum. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah beberapa profil penggerak komunitas yang memiliki kualitas seorang paralegal.
(1) Pettadewi Dg. Bangkala. Mulai berjuang mempertahankan tempat tinggalnya di Karuwisi pada tahun 1997. Perempuan paruh baya ini dikenal ahli dalam memediasi kasus-kasus warga miskin. Pengetahuannya dibentuk oleh pengalaman langsungnya sebagai korban penggusuran kampung Karuwisi tahun 2003. Dg Bangkala menjadi inspirasi banyak masyarakat miskin yang terancam penggusuran, seperti di Bontoduri, Kassi-kassi, kampung Pisang, Buloa, Lepping. Sejak tahun 2004, Dg. Bangkala tinggal di Pallangga kabupaten Gowa, sebuah rumah yang dibeli dari uang hasil kompensasi.
(2) Hasnia Dg. Caya. Dikenal sebagai aktivis KPRM, seumuran dengan Dg. Bangkala. Sejak tahun 2002, Dg Caya menjadi penggerak kelompok Tabungan Harian (daily savings) untuk membeli tanah lantaran tinggal di rumah kontrakan bersama suami yang buruh bangunan dan 9 anaknya. Dalam sepuluh tahun terakhir, dia berperan aktif sebagai mediator pengaduan masyarakat miskin menyangkut akses pelayanan kesehatan, raskin, anak sekolah, akte kelahiran, KDRT, dll. Namanya populer di kalangan pejabat birokrasi dan Walikota. Sejak tahun 2004 membeli tanah dan membangun rumah, yang dibeli dari tabungan keluarga.
(3) Salmah Dg. Kebo. Janda 60-an tahun yang pekerjaan sehari-harinya adalah tukang jahit kampungan. Dia yang dikenal apik membuat catatan harian dan pembukuan keuangan organisasi secara manual. Dari pengalaman berorganisasinya, Dg. Kebo dipilih warganya menjadi ketua RT. Dari keahliannya pula, Dinas Sosial memberikan bantuan 10 mesin jahit, yang kemudian dikelola bersama sahabatnya Dg. Nur. Dengan 10 mesin itu, ibu-ibu rumah tangga sekitarnya bekerja sambilan menjahit pakaian)
(4) Dg. Sampara. Tukang kayu yang digelari arsitek kampung oleh jaringan Arsitek Komunitas (ARKOM). Bersama Dg Tuppu, kepala tukang dari Bontoduri menginspirasi 50-an warga Bungkutoko Kendari untuk merekonstruksi perumahan pasca sengketa. Dg. Sampara menjadi penggerak utama dalam pilot program land-sharing dan penataan pemukiman warga Kampung Pisang di Maccini Sombala.
(5) Emmy, salah seorang korban penggusuran kampung Karuwisi pada tahun 2003. Dengan uang ganti rugi yang diterimanya, dia membeli sepetak tanah rawa di jalan Beringin kampung Kassi-kassi. Sejak tahun 2006, bersama iparnya (Dg. Bangkala), Emmy berjualan barang campuran di jalan Pettarani Ujung. Pada sekitar tahun 2009, lokasi jualannya terancam penggusuran oleh Satpol PP Pemerintah Kota Makassar, Bersama KPRM dan sejumlah mahasiswa dia mempertahankan lokasi jualannya, yang kemudian didukung PKL lainnya. Dan, sejak itu, Emmy didaulat menjadi kordinator PKL jalan Pettarani.
(6) Dg. Musu, lelaki paruh baya, warga jalan Beringin kampung Kassi-kassi yang menggerakkan perlawanan warga selama bersengketa dengan seorang pengusaha real-estate. Dg. Musu adalah ketua PERKASI, persatuan rakyat kassi-kassi. Dibela oleh YLBHI Makassar, dan didukung oleh sejumlah LSM dan organisasi mahasiswa, Dg. Musu dkk berhasil memenangkan perkara hingga di Mahkamah Agung. Dg. Musu kemudian didaulat oleh warganya menjadi ketua RT hingga kini. 
Keenam ilustrasi di atas memperlihatkan proses pembelajaran yang bertolak dari konteks persoalan, potensi, dan pengetahuan dasar komunitas. Ruang pendidikan yang sesungguhnya adalah di luar kelas, yakni tindakan bersama untuk memecahkan persoalan secara terorganisasi. Tindakan-tindakan dimulai dari persoalan dan pengalaman sehari-hari orang kampung. Peran utama aktivis pendidikan rakyat atau pun “paralegal” adalah mengembangkan proses penyadaran tentang potensi, hambatan, dan peluang yang dihadapi suatu komunitas dalam pemecahan masalah.
Membentuk Watak Kader Paralegal
Suatu proses pendidikan yang memampukan suatu komunitas agar kritis dan bertindak selayaknya diukur dari hal-hal berikut ini:
(1) Sikap Dasar. Aspek ini berkenaan dengan derajat keyakinan (afeksi) kita kepada orang lain (komunitas). Keyakinan bahwa setiap orang memiliki pengetahuan yang unik, lebih suka diajak bercerita daripada diceramahi, dan percaya bahwa kita bukanlah dewa penolong. Ilustrasi yang pas dengan aspek ini adalah cerita tentang Monyet dan Ikan Mas di musim Hujan. Hikmahnya, seorang paralegal percaya bahwa rakyat mengalami penindasan, dehumanisasi, bukan berarti dia lah yang akan membebaskan rakyat dari situasi penindasan itu. Latihan Praktisnya adalah membaca, menyimak, dan menyikapi informasi yang bertolak belakang dengan kebiasaan sehari-hari kita. Materi diskusinya adalah mengukur tingkat kepercayaan (percaya, ragu-ragu, tidak percaya) berdasarkan skala 0 – 10. Misalnya, informasi tentang  mengkonsumsi Teh menyebabkan kanker.
(2) Pengetahuan. Pengetahuan atau pun informasi ibarat peluru. informasi memerlukan pembaruan secara kontinyu. Aspek ini berkenaan dengan pemahaman (kognisi) kita terhadap realitas yang dihadapi. Prinsipnya, pemahaman yang cukup tentang persoalan dan potensi yang dihadapi komunitas semakin memudahkan kita mengembangkan posisi dan disposisi bersama komunitas. Ilustrasi yang pas dengan aspek ini adalah cerita tentang Burung dan Katak dalam Sumur. Hikmahnya, pengetahuan yang sederhana sekalipun jika berterima akan menjadi kekuatan perubahan. Mentautkan pengetahuan lokal dengan informasi global akan mencerahkan komunitas. Latihan Praktis, misalnya Analisis Produk Kemasan untuk membngun pengetahuan tentang aspek hukum (label), kandungan, proses produksi, jaringan pasar, dan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan hidup.
(3) Keahlian. Aspek ini berkenaan dengan kemampuan kita meggunakan berbagai teknik penggalian informasi. Teknik analisis sosial (Ansos), rekonstruksi sejarah komunitas, dan teknik problem-solving, penting dipraktikkan bersama komunitas secara berulang-ulang. Diibaratkan ilmu silat, teknik-teknik itu adalah jurus-jurus yang memerlukan latihan. Ilustrasi yang relevan dengan aspek ini adalah cerita Elang vs Siput atau pun Kura-kura vs Kancil. Hikmahnya, seorang paralegal memerlukan teknik komunikasi (bahasa) yang mudah dimengerti komunitasnya. Belajar menggunakan bahasa lokal sangatlah penting untuk menumbuhkan trust. Sama pentingnya dengan menemukan padanan istilah hukum pidana dan hukum perdata yang mudah dimengerti oleh komunitas. Latihan Praktisnya, melakukan Role Play (bermain-peran) teknik penggalian informasi.
(4) Evaluasi dan Refleksi. Aspek ini merupakan kegiatan yang mencakup keseluruhan proses pendidikan. Evaluasi berbeda dengan proses reflektif. Evaluasi adalah penilaian aspek dan tahapan proses kegiatan dengan menggunakan tolak ukur tertentu untuk mendapatkan informasi tentang pencapaian hasil maupun hambatan. Sedangkan refleksi merupakan proses memaknai atau meninjau kembali daur pembelajaran dan prinsip-prinsipnya untuk memperoieh kesadaran atau pengetahuan baru. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan secara periodik atau pun menurut tahapan proses pendidikan. Salah satu teknik yang sering digunakan dalam pendidikan komunitas adalah refleksi atas pengetahuan dan proses di dalam kelas (review), dan luar kelas (refleksi).
Epilog
Tantangan yang dihadapi aktivis paralegal adalah menanamkan pemahaman tentang aspek-aspek hukum (legal) kepada komunitasnya dengan bahasa yang operasional, mudah dicerna, dan diungkapkan kembali oleh komunitas. Metode pendidikan dan pengorganisasian komunitas dapat menjembatani kendala yang muncul dalam proses pembelajaran. Cara memulainya adalah dengan menjaga sikap dasar, yakni mengendalikan diri dari hasrat untuk mendominasi dalam interaksi dengan komunitas. Langkah awal ini akan menentukan proses pembelajaran berikutnya.
Oleh M. Nawir aktivis UPC - Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI)
** Materi Diskusi dalam Pelatihan Paralegel Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH) Makassar, Desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar