LEPAS LAH
Doa ini kusemaikan di ubunmu menyertai nafas
terakhirmu. Berangkatlah menemui kekasihmu yang telah lama kau rindui
Almarhum DR. Abdul Latief,
S.Hum, seorang guru sejarah, dan pegiat humaniora yang konsisten menyuarakan
nilai-nilai kepemimpinan, kebangsaan dan kesetaraan. menulis kalimat di atas
pada status BBMnya bertanggal 25 Nopember, dan wafat 2 Desember 2014. Begitulah
kesadaran almarhum tentang kematian.
Mengapa para sufi atau pun
filosof menegasi kehidupan manusia sebagai situasi yang fana? Para aktivis pro
demokrasi pun menuntut kebebasan sebagai hak hidup setiap orang. Seakan manusia
hidup dalam cengkeraman kejahatan dan dibelenggu pembatasan. Bukan kah hidup ini indah, dan karena itu
dinikmati saja sepuasnya selagi hidup.
Kematian urusan
belakangan. Toh, orang mati tidak memiliki beban apa-apa lagi. Hilang ruang,
waktu, dan materi. Tanpa rasa, karsa, dan cita-cita. Orang mati urusannya orang
hidup, keluarga, sahabat, segenap handai taulan. Segala kenangan manis dan
utang-piutang milik orang-orang yang ditinggalkannya.
Maka kematian bukan
sekadar tragedi yang ditangisi orang-orang hidup. Hikmah kematian menyadarkan
pada suatu dalil, yakni perintah kebudayaan (cultural-imperative). Seperti halnya, rezki dan jodoh. Setiap
manusia pasti mati, pada akhirnya. Manusia hanya berusaha untuk menggapai hasrat
dan cita-cita hidupnya dengan cara mengendalikan diri, menjaga kesehatan,
memenuhi kesejahteraan, kebahagiaan dan keselamatan. Itu sebabnya, orang takut
pada proses menuju mati.
Mengapa kita rasanya takut
pada bayang-bayang kematian. Barangkali kita sedang mengkhawatirkan sesuatu
yang kita miliki terlepas. Harta, kuasa dan kesenangan, cerminan segala
kefanaan itu akan menjadi milik orang lain.
Chairil Anwar menulis bukan kematian benar menusuk kalbu, keridhoanmu menerima segala tiba.
Begitu lah Chairil Anwar memaknai kematian orang yang dicintainya. Kematian
adalah proses melepaskan diri dari segala belenggu kefanaan. Keikhlasan dan
kebebasan yang sejati itu lah kematian. Itulah sebabnya para sufi mengajarkan
kita untuk bebas dari kemewahan duniawi. Para guru melatih kita untuk terbiasa
berbagi, bersedekah. Dengan kata lain melepaskan sebagian milik kita, sebelum
akhirnya melepas segala apa yang kita miliki. Nyawa dan Harta. (dimuat Tribun Timur, 05 Januari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar