5 Jan 2015

In Memoria Guru Sejarah FIB Unhas

LEPAS LAH 
Doa ini kusemaikan di ubunmu menyertai nafas terakhirmu. Berangkatlah menemui kekasihmu yang telah lama kau rindui
Almarhum DR. Abdul Latief, S.Hum, seorang guru sejarah, dan pegiat humaniora yang konsisten menyuarakan nilai-nilai kepemimpinan, kebangsaan dan kesetaraan. menulis kalimat di atas pada status BBMnya bertanggal 25 Nopember, dan wafat 2 Desember 2014. Begitulah kesadaran almarhum tentang kematian.
Mengapa para sufi atau pun filosof menegasi kehidupan manusia sebagai situasi yang fana? Para aktivis pro demokrasi pun menuntut kebebasan sebagai hak hidup setiap orang. Seakan manusia hidup dalam cengkeraman kejahatan dan dibelenggu pembatasan.  Bukan kah hidup ini indah, dan karena itu dinikmati saja sepuasnya selagi hidup.
Kematian urusan belakangan. Toh, orang mati tidak memiliki beban apa-apa lagi. Hilang ruang, waktu, dan materi. Tanpa rasa, karsa, dan cita-cita. Orang mati urusannya orang hidup, keluarga, sahabat, segenap handai taulan. Segala kenangan manis dan utang-piutang milik orang-orang yang ditinggalkannya.
Maka kematian bukan sekadar tragedi yang ditangisi orang-orang hidup. Hikmah kematian menyadarkan pada suatu dalil, yakni perintah kebudayaan (cultural-imperative). Seperti halnya, rezki dan jodoh. Setiap manusia pasti mati, pada akhirnya. Manusia hanya berusaha untuk menggapai hasrat dan cita-cita hidupnya dengan cara mengendalikan diri, menjaga kesehatan, memenuhi kesejahteraan, kebahagiaan dan keselamatan. Itu sebabnya, orang takut pada proses menuju mati.
Mengapa kita rasanya takut pada bayang-bayang kematian. Barangkali kita sedang mengkhawatirkan sesuatu yang kita miliki terlepas. Harta, kuasa dan kesenangan, cerminan segala kefanaan itu akan menjadi milik orang lain.
Chairil Anwar menulis bukan kematian benar menusuk kalbu, keridhoanmu menerima segala tiba. Begitu lah Chairil Anwar memaknai kematian orang yang dicintainya. Kematian adalah proses melepaskan diri dari segala belenggu kefanaan. Keikhlasan dan kebebasan yang sejati itu lah kematian. Itulah sebabnya para sufi mengajarkan kita untuk bebas dari kemewahan duniawi. Para guru melatih kita untuk terbiasa berbagi, bersedekah. Dengan kata lain melepaskan sebagian milik kita, sebelum akhirnya melepas segala apa yang kita miliki. Nyawa dan Harta. (dimuat Tribun Timur, 05 Januari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar