9 Nov 2014

Berbagi Lahan Menata Pemukiman Kumuh

M. Nawir
Sudah hampir sepuluh tahun (2004 - 2014) 49 KK warga Kampung Pisang kelurahan Maccini Sombala Makassar menguasai sebagian kecil lahan, sekitar 7000 are dari total 3,7 hektar. Awalnya hanya 26 unit rumah semi permanen. Lahan ini berada dalam kawasan pengembangan GMTD (Gowa Makassar Tourism and Development). Menurut kesaksian warga, lokasi yang dimaksud dulunya rawa-rawa dan empang. Sekira tahun 1980, ketika Pemkot membangun tanggul di hulu  aliran sungai Jeneberang, hasil pengerukan sungai tersebut dipakai menimbun lokasi Kampung Pisang. Sejak saat itu lokasi tersebut dijadikan kebun, terutama tanaman pisang oleh penggarap. Hingga tahun 2002, warga mulai mendiami sebagian kecil lahan, sambil tetap berkebun dan beternak sapi. Warga sekitar menyebutnya Kampung Pisang. Setelah menjadi pemukiman baru di wilayah RT 04 RW 05, konflik pun mencuat pada tahun 2004 ketika kuasa ahli waris pemilik tanah membuat pagar beton sekeliling lahan.
Tinggal dan berumah di atas lahan yang telah dipagar beton oleh pemiliknya tidaklah nyaman. Tanpa fasilitas air bersih, listrik, dan akses jalan yang sempit. Seringkali kedatangan orang suruhan pemilik tanah dan orang kelurahan yang membujuk, menakut-nakuti, bahkan mengintimidasi warga agar bersedia menerima uang kompensasi. Betkali-kali pula Lurah maupun Camat menfasilitasi perundingan itu. Hasilnya pun nihil. Pernah juga lima orang perwakilan warga dipanggil ke kantor Polsek Tamalate untuk mengklarifikasi tuduhan penyerobotan tanah oleh orang suruhan pemilik tanah. Beruntung, tuduhan itu tidak semuanya benar. Pihak kepolisian pun tidak dapat memastikan adanya pelanggaran hukum karena bukti-bukti klaim kepemilikan tanah masih simpang siur. Demikian halnya ketika warga berdialog dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar, pada waktu itu, status tanah kampung pisang masih dalam sengketa berbagai pihak. Lahan seluas 1,7 hektar itu dikuasai oleh keluarga penggarap Dg. Maro sebagai penjual kepada warga. Ada pun pihak-pihak yang saling klaim di antaranya keluarga Andi Pammussureng, keluarga Andi Mappagiling, dan belakangan klaim SHM atas nama Jhon Tandiary, seorang pengusaya properti.
Banyak kalangan tidak percaya warga Kampung Pisang sanggup mempertahankan tempat tinggalnya. Nasib warga bergantung pada pihak luar, yakni KPRM. Dan itu tidak sepenuhnya benar. Pada tahun 2009, dalam kesempatan workshop regional Women Againts Eviction yang diselenggarakan oleh UPC, Huairou Commission dan LOCOA di Makassar, Walikota Ilham Arief Sirajuddin menyatakan sanggup memediasi sengketa dan menegaskan bahwa warga Kampung Pisang tidak akan digusur. Pernyataan ini diungkapkan di hadapan 30-an peserta yang berasal dari enam negara ASIA (Indonesia, Pilipina, Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Korea Selatan). Sebagai tindak lanjutnya, walikota Makassar berkunjung ke lokasi dan berdialog dengan seluruh warga Kampung Pisang. Walikota menegaskan kembali tidak ada penggusuran, asalkan warga siap ditata. Momentum itulah yang dijadikan warga yang terorganisasi dalam Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) dengan mengajukan konsep berbagi lahan (land-sharing) dan penataan pemukiman.
Kerja keras pun dimulai. KPRM bekerjasama dengan Bappeda Kota Makassar menghadirkan para ahli perencana kota dari Jakarta (RUJAK Center), Yogyakarta (ARKOM), dan arsitek senior UNHAS dalam suatu workshop Bedah Kampung Terpadu. Tindak lanjutnya adalah pemetaan partisipatif warga Kampung Pisang sebagai pilot berbagi lahan dan berdah kampung. Jadilah sebuah desain tata pemukiman di atas lahan 7000 meter lengkap dengan maket yang dibuat dan disepakati seluruh warga. Sebagai konsekuensi, sebanyak 12 rumah harus dibongkar dan dipindahkan ke lokasi baru. Tindakan ini menjadi pertanda kesiapan warga untuk bergotong royong dan berkorban.
Kerja keras tidak selalu memuluskan harapan ideal. Antara tahun 2010-2013 proses perundiugan mengalami kemandekan, dan situasi politik lokal pun sedang memanas. Pihak pemilik tanah menolak desain versi warga, dan menawarkan lokasi baru, yakni lahan empang seluas sekitar 3000 meter. Lokasi ini masih dalam kawasan sengketa yang terletak di RT 02/05. Tahun 2011 pemilihan gubernur, disusul pemilihan walikota tahun 2012, sampai menjelang pemilihan anggota legislatif. Namun,  pada tanggal 5 Juni 2013 dalam situasi transisi kepemimpinan politik kota Makassar itulah Kampung Pisang menjadi lokasi kunjungan Utusan Khusus PBB (UN Special Repporteur) urusan Perumahan Ms. Raquel Rotnik. Acara ini dihadiri pejabat Pemkot Makassar, Camat, Lurah, juga Pemkot Kendari, serta perwakilan kampung-kampung bermasalah, Kunjungan ini membawa optimisme baru bahwa kampung pisang dan kampung-kampung lainnya dibawah pemantauan PBB.
Masih dalam suasana kontestasi politik, terbit surat pribadi yang ditandatangani Jhon Tandiary yang ditujukan kepada warga Kampung Pisang. Poinnya adalah pihak Jhon Tandiary yang mengaku pemilih tanah bersertifikat bersedia menyerahkan sebidang tanah seluas +/- 3000 meter. Penawaran menjadi bahan diskusi panjang di antara warga dan organisasi penduikungnya. Singkat cerita, warga Kampung Pisang bersedia menerima tawaran tsrsebut dengan syarat: (1) dilakukan penimbunan atas biaya pihak kedua; (2) pemerintah kota menfasilitasi penerbitan sertifikasi hak milik untuk 49 KK. Sebagai tindak lanjutnya, KPRM bekerjasama dengan pemerintah kota melakukan pertemuan di kantor kecamatan Tamalate, yang dihadiri Walikota Ilham Arief Sirajuddin dan kepada Bappeda. Dalam pertemuan itu, walikota berjanji hanya akan menerbitkan Akte Hibah kepada 49 KK.
Link informasi terkait::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar