M. Nawir
Bahasa
Indonesia kesulitan mendefinisikan kata paralegal.
Sejauh yang diketahui, paralegal merujuk pada subjek dan kegiatan yang
menyertai profesi kepengacaraan. Seorang paralegal diposisikan sebagai
“pembantu” pengacara, laiknya hubungan paramedis dengan dokternya. Pengertian
ini merujuk pada praktik paralegal yang dikembangkan organisasi bantuan hukum
di beberapa negara maju.
Di
Indonesia, praktik keparalegalan tidak selalu mengikut pada kegiatan bantuan
hukum. Misalnya, WALHI mengembangkan paralegal dalam advokasi lingkungan hidup.
Demikian halnya, Koalisi Perempuan Indonesia dengan paralegal KDRTnya.
Paralegal di sini menyangkut kualitas, sehingga paralegal yang dimaksud adalah
kemampuan seseorang (sikap, pengetahuan, keahlian) dalam kegiatan advokasi
non-litigasi. Dalam pengertian ini paralegal diposisikan sebagai kader
penggerak komunitas, yang bekerja di arena advokasi. Berbeda dengn kegiatan
community-development yang
berorientasi pada peningkatan pendapatan maupun peningkatan keahlian
semata-mata.
Paralegal sebagai Kader Komunitas
Pendidikan
paralegal diperlukan untuk memastikan tujuan advokasi adalah memecahkan
persoalan, dan akhirnya memberdayakan rakyat. Metode pembelajaran yang relevan
adalah pendidikan rakyat (popular-education).
Metode ini lebih mengutamakan proses saling belajar untuk mencapai tujuan
bersama. Saling belajar berarti, menyadari bahwa setiap individu memiliki
potensi dan pengetahuan yang kontekstual; menghargai prinsip kesetaraan, dan;
bersepakat untuk bertindak bersama memecahkan persoalan. Oleh karenanya, hasil-hasil
dari suatu rangkaian pendidikan itu bervariasi.
Jatidiri
seorang paralegal adalah pembelaan dan pelayanan, yang dilakukan secara
partikelir maupun dibawah organisasi berbadan hukum. Sebagai ilustrasi, berikut
ini adalah beberapa profil penggerak komunitas yang memiliki kualitas seorang
paralegal.
(1) Pettadewi Dg.
Bangkala. Mulai berjuang mempertahankan tempat tinggalnya di Karuwisi pada
tahun 1997. Perempuan paruh baya ini dikenal ahli dalam memediasi kasus-kasus
warga miskin. Pengetahuannya dibentuk oleh pengalaman langsungnya sebagai
korban penggusuran kampung Karuwisi tahun 2003. Dg Bangkala menjadi inspirasi
banyak masyarakat miskin yang terancam penggusuran, seperti di Bontoduri,
Kassi-kassi, kampung Pisang, Buloa, Lepping. Sejak tahun 2004, Dg. Bangkala
tinggal di Pallangga kabupaten Gowa, sebuah rumah yang dibeli dari uang hasil
kompensasi.
(2) Hasnia Dg. Caya.
Dikenal sebagai aktivis KPRM, seumuran dengan Dg. Bangkala. Sejak tahun 2002, Dg
Caya menjadi penggerak kelompok Tabungan Harian (daily savings) untuk membeli tanah lantaran tinggal di rumah
kontrakan bersama suami yang buruh bangunan dan 9 anaknya. Dalam sepuluh tahun
terakhir, dia berperan aktif sebagai mediator pengaduan masyarakat miskin menyangkut
akses pelayanan kesehatan, raskin, anak sekolah, akte kelahiran, KDRT, dll.
Namanya populer di kalangan pejabat birokrasi dan Walikota. Sejak tahun 2004
membeli tanah dan membangun rumah, yang dibeli dari tabungan keluarga.
(3) Salmah Dg. Kebo. Janda
60-an tahun yang pekerjaan sehari-harinya adalah tukang jahit kampungan. Dia yang dikenal apik membuat catatan harian
dan pembukuan keuangan organisasi secara manual. Dari pengalaman
berorganisasinya, Dg. Kebo dipilih warganya menjadi ketua RT. Dari keahliannya
pula, Dinas Sosial memberikan bantuan 10 mesin jahit, yang kemudian dikelola
bersama sahabatnya Dg. Nur. Dengan 10 mesin itu, ibu-ibu rumah tangga
sekitarnya bekerja sambilan menjahit pakaian)
(4) Dg. Sampara.
Tukang kayu yang digelari arsitek kampung oleh jaringan Arsitek Komunitas
(ARKOM). Bersama Dg Tuppu, kepala tukang dari Bontoduri menginspirasi 50-an
warga Bungkutoko Kendari untuk merekonstruksi perumahan pasca sengketa. Dg.
Sampara menjadi penggerak utama dalam pilot program land-sharing dan penataan pemukiman warga Kampung Pisang di Maccini
Sombala.
(5) Emmy, salah
seorang korban penggusuran kampung Karuwisi pada tahun 2003. Dengan uang ganti
rugi yang diterimanya, dia membeli sepetak tanah rawa di jalan Beringin kampung
Kassi-kassi. Sejak tahun 2006, bersama iparnya (Dg. Bangkala), Emmy berjualan
barang campuran di jalan Pettarani Ujung. Pada sekitar tahun 2009, lokasi
jualannya terancam penggusuran oleh Satpol PP Pemerintah Kota Makassar, Bersama
KPRM dan sejumlah mahasiswa dia mempertahankan lokasi jualannya, yang kemudian
didukung PKL lainnya. Dan, sejak itu, Emmy didaulat menjadi kordinator PKL
jalan Pettarani.
(6) Dg. Musu, lelaki
paruh baya, warga jalan Beringin kampung Kassi-kassi yang menggerakkan
perlawanan warga selama bersengketa dengan seorang pengusaha real-estate. Dg.
Musu adalah ketua PERKASI, persatuan rakyat kassi-kassi. Dibela oleh YLBHI
Makassar, dan didukung oleh sejumlah LSM dan organisasi mahasiswa, Dg. Musu dkk
berhasil memenangkan perkara hingga di Mahkamah Agung. Dg. Musu kemudian
didaulat oleh warganya menjadi ketua RT hingga kini.
Keenam
ilustrasi di atas memperlihatkan proses pembelajaran yang bertolak dari konteks
persoalan, potensi, dan pengetahuan dasar komunitas. Ruang pendidikan yang
sesungguhnya adalah di luar kelas, yakni tindakan bersama untuk memecahkan
persoalan secara terorganisasi. Tindakan-tindakan dimulai dari persoalan dan
pengalaman sehari-hari orang kampung. Peran utama aktivis pendidikan rakyat
atau pun “paralegal” adalah mengembangkan proses penyadaran tentang potensi,
hambatan, dan peluang yang dihadapi suatu komunitas dalam pemecahan masalah.
Membentuk Watak Kader Paralegal
Suatu
proses pendidikan yang memampukan suatu komunitas agar kritis dan bertindak
selayaknya diukur dari hal-hal berikut ini:
(1) Sikap Dasar. Aspek ini berkenaan dengan derajat keyakinan (afeksi) kita
kepada orang lain (komunitas). Keyakinan bahwa setiap orang memiliki
pengetahuan yang unik, lebih suka diajak bercerita daripada diceramahi, dan
percaya bahwa kita bukanlah dewa penolong. Ilustrasi yang pas dengan aspek ini
adalah cerita tentang Monyet dan Ikan Mas
di musim Hujan. Hikmahnya, seorang paralegal percaya bahwa rakyat mengalami
penindasan, dehumanisasi, bukan berarti dia lah yang akan membebaskan rakyat dari
situasi penindasan itu. Latihan Praktisnya adalah membaca, menyimak, dan
menyikapi informasi yang bertolak belakang dengan kebiasaan sehari-hari kita. Materi
diskusinya adalah mengukur tingkat kepercayaan (percaya, ragu-ragu, tidak
percaya) berdasarkan skala 0 – 10. Misalnya, informasi tentang mengkonsumsi Teh menyebabkan kanker.
(2) Pengetahuan. Pengetahuan atau pun informasi ibarat peluru. informasi
memerlukan pembaruan secara kontinyu. Aspek ini berkenaan dengan pemahaman
(kognisi) kita terhadap realitas yang dihadapi. Prinsipnya, pemahaman yang
cukup tentang persoalan dan potensi yang dihadapi komunitas semakin memudahkan
kita mengembangkan posisi dan disposisi bersama komunitas. Ilustrasi yang pas
dengan aspek ini adalah cerita tentang Burung
dan Katak dalam Sumur. Hikmahnya, pengetahuan yang sederhana sekalipun jika
berterima akan menjadi kekuatan perubahan. Mentautkan pengetahuan lokal dengan
informasi global akan mencerahkan komunitas. Latihan Praktis, misalnya Analisis
Produk Kemasan untuk membngun pengetahuan tentang aspek hukum (label),
kandungan, proses produksi, jaringan pasar, dan dampak terhadap kesehatan dan
lingkungan hidup.
(3) Keahlian. Aspek ini berkenaan dengan kemampuan kita meggunakan
berbagai teknik penggalian informasi. Teknik analisis sosial (Ansos), rekonstruksi
sejarah komunitas, dan teknik problem-solving,
penting dipraktikkan bersama komunitas secara berulang-ulang. Diibaratkan ilmu
silat, teknik-teknik itu adalah jurus-jurus yang memerlukan latihan. Ilustrasi
yang relevan dengan aspek ini adalah cerita Elang
vs Siput atau pun Kura-kura vs Kancil.
Hikmahnya, seorang paralegal memerlukan teknik komunikasi (bahasa) yang mudah
dimengerti komunitasnya. Belajar menggunakan bahasa lokal sangatlah penting
untuk menumbuhkan trust. Sama
pentingnya dengan menemukan padanan istilah hukum pidana dan hukum perdata yang
mudah dimengerti oleh komunitas. Latihan Praktisnya, melakukan Role Play (bermain-peran)
teknik penggalian informasi.
(4) Evaluasi dan
Refleksi. Aspek ini merupakan kegiatan yang mencakup keseluruhan
proses pendidikan. Evaluasi berbeda dengan proses reflektif. Evaluasi adalah
penilaian aspek dan tahapan proses kegiatan dengan menggunakan tolak ukur
tertentu untuk mendapatkan informasi tentang pencapaian hasil maupun hambatan.
Sedangkan refleksi merupakan proses memaknai atau meninjau kembali daur
pembelajaran dan prinsip-prinsipnya untuk memperoieh kesadaran atau pengetahuan
baru. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan secara periodik atau pun menurut
tahapan proses pendidikan. Salah satu teknik yang sering digunakan dalam
pendidikan komunitas adalah refleksi atas pengetahuan dan proses di dalam kelas
(review), dan luar kelas (refleksi).
Epilog
Tantangan yang dihadapi aktivis paralegal adalah
menanamkan pemahaman tentang aspek-aspek hukum (legal) kepada komunitasnya
dengan bahasa yang operasional, mudah dicerna, dan diungkapkan kembali oleh
komunitas. Metode pendidikan dan pengorganisasian komunitas dapat menjembatani
kendala yang muncul dalam proses pembelajaran. Cara memulainya adalah dengan
menjaga sikap dasar, yakni mengendalikan diri dari hasrat untuk mendominasi
dalam interaksi dengan komunitas. Langkah awal ini akan menentukan proses
pembelajaran berikutnya.
* Oleh M. Nawir aktivis UPC - Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI)
** Materi Diskusi
dalam Pelatihan Paralegel Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH)
Makassar, Desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar