Masalah pokok yang muncul dalam dialog tidak adanya
perlindungan hak dan jaminan rasa aman bagi para pedagang kaki lima,
daeng-daeng becak, anak jalanan, waria, psk, tuna netra, dll. Atas dasar ini,
peserta dialog mengusulkan kepada anggota DPRD dan Kapoltabes agar menerbitkan
Perda mengenai CITY for ALL, yang menjamin:
(1) Hak
rakyat miskin kota atas tempat tinggal yang layak, bebas dari penggusuran.
(2) Hak
rakyat miskin kota atas tempat berusaha yang aman, bebas dari tekanan dan
pungutan.
(3) Hak
rakyat miskin untuk terlibat dalam perencanaan kebijakan tata kota.
Setelah makan siang
(13.30) dilanjutkan dengan Diskusi mengklarifikasi dan merevisi Draft Deklarasi
Wadah Miskot, sampai jam 15.00. Perumusan selama 30 menit. Usulan nama yang
disepakati adalah KOMITE PEMBEBASAN RAKYAT MISKIN SULSEL(KPRM-SS)
Kemudian Deklarasi
pada jam 15.30 dan pemilihan Tim Kerja/Formatur dan kontak-kontak person
seluruh elemen (masing-masing 1 orang) di Makassar dan di kota lainnya.
Acara ini juga
dihibur oleh Parodi Anak Jalanan, Pengamen, Waria dan PSK.
Kami yang
bertanda tangan di bawah ini adalah masyarakat miskin kota, pada hari ini,
tanggal 8 September 2002 jam 15.30 Wita di kotamadya Makassar, kami
mendeklarasikan terbentuknya wadah miskin kota:
“KOMITE PEMBEBASAN RAKYAT
MISKIN SULSEL (KPRM-SS)”
Kami, yang bergabung dalam wadah ini menyadari bahwa:
1. Pembangunan berkelanjutan yang merupakan agenda negara-negara maju dan pemilik modal besar (Kapitalis) telah menggusur kaum miskin kota atas nama: pengaturan/regulasi, keindahan kota (adipura), penanaman modal (perumahan, perdagangan, pariwisata, perkantoran, dll), dan kemiskinan. Pembangunan seperti ini telah menimbulkan keresahan bagi kaum miskin kota, meningkatkan premanisme, korupsi dan penumpukan hutang luar negeri.
2. Pembangunan, khususnya di perkotaan telah menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin tinggi antara si kaya dan si miskin, ketimpangan pemukiman antara elite dengan masyarakat pinggiran, serta penipuan harga tanah untuk membangun jalan raya, pariwisata dan pusat perniagaan.
3. Pembangunan perkotaan meningkatkan penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha rakyat, serta kekerasan (penindasan) aparat, di antaranya yang pernah dan sedang terjadi di Makassar: kasus GMTDC, kasus Karuwisi, kasus Lae-lae, kasus Pasar dan Terminal Daya, Makassar Mall, dll; serta, kasus-kasus lainnya yang terjadi di Wajo, Pare-pare, Gowa, Maros, Pangkep, Bone, dan Bulukumba.
4. Kebijakan Tata Ruang Kota tidak berpihak pada masyarakat miskin kota, sehingga memberatkan dan mengancam keberadaan daeng-daeng Becak, pedagang K-5, pedagang asongan, pengemis, pemulung, anak jalanan, sopir angkot, dan ojek. Sistem tata ruang kota juga tidak memberikan aksesibilitas yang memadai bagi para penyandang cacat. Saat ini, tidak kurang dari 40.000 pedagang kaki lima dan tukang becak, 2000-an anak jalanan, dan 9.000-an angkot resmi dan tidak resmi yang beroperasi di kota Makassar.
5. Pengawasan pembangunan kota/daerah yang lemah mengakibatkan banyaknya dana pembangunan yang diselewengkan, bahkan tidak sampai ke sasaran. Contoh kasus seperti ini adalah dana JPS pendidikan, kesehatan, dan RASKIN.
6. Masyarakat miskin tidak menikmati fasilitas pelayanan publik yang layak, misalnya:
(a) Biaya pendidikan yang semakin mahal. Biaya pendaftaran berkisar Rp 120.000 – 180.000 untuk SD, di antaranya biaya pembelian buku cetak (Airlangga dan Judhistira) untuk siswa SD dan SMP (4 jilid) berkisar Rp 60.000 – Rp 120.000. Biaya pengesahan ijasah yang menyulitkan siswa menyelesaikan pendidikanny.
(b) Biaya pembuatan KTP berkisar Rp 25.000 – Rp 35.000, menurut Perda Rp 15.000. Hal terjadi karena adanya biaya tambahan pengurusan dari RW ke Lurah, Lurah ke Camat, dan Camat ke Catatan Sipil rata-rata Rp 4.000. Waktu penyelesaian yang lama berkisar 1–2 bulan. Di dalam Perda, waktu pengurusan KTP maksimal 12 hari. Nyatanya, semakin besar biaya yang dikeluarkan, semakin cepat KTP selesai. Hal ini menguntungkan orang-orang kaya.
(c) Sejumlah pemukiman padat dan kumuh di Makassar seperti Maccini Sombala, Bungaejayya, Kandea, Lembo, dan penduduk di sekitar Kanal saat ini mengalami masalah penumpukan sampah dan banjir. Salah satu masalah mendasar adalah penarikan retribusi sampah di loket PLN yang tidak seimbang dengan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA.
Sehubungan
dengan hal di atas, kami berpendapat bahwa peminggiran kaum miskin kota
disebabkan tidak adanya pengakuan dan jaminan negara atau pun pemerintah kota
atas; (1) hak masyarakat miskin kota untuk bertempat tinggal yang layak; (2)
hak berusaha secara aman, dan; (3) hak masyarakat miskin kota untuk
berpartisipasi dalam perencanaan kebijakan dan pembangunan kota.
Atas dasar ini kami menyatakan sikap:
(1) Pemerintah Kota perlu segera mengakui Hak-hak Warga Miskin Kota, yakni hak terlibat dalam perencanaan kebijakan pembangunan kota; hak atas tempat tinggal dan tempat berusaha.
(2) Pemerintah Kota perlu segera menyelesaikan kasus-kasus yang selama ini merugikan masyarakat miskin kota.
(3) DPRD Kota perlu lebih cepat menindaklanjuti pengaduan masyarakat miskin kota yang dirugikan oleh pembangunan.
(4) Aparat kepolisian seharusnya lebih persuasif dalam mengayomi warga kota dan menjadi contoh yang baik dalam penegakan hukum.
Demikian,
Deklarasi dan Pernyataan Sikap ini ditetapkan di Makassar, pada tanggal 8
September 2002.
Tim Kerja/Formatur KPRM-SS.
Nurhawang (Perempuan Miskot)
Abdul Kadir (PK-5
St. Aminah (PK-5)
Mansyur Mula (Tukang Becak)
Masdar (KSM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar