RAKYAT YANG DIGUSUR AKAN MENJADI API DALAM SETIAP NASI YANG KITA MAKAN
KAMI yang berasal
dari berbagai kampung di Makassar, di antaranya Maccini Sombala, Lette,
Barukang, Bontoduri/Andi Tonro, Mangasa, Barukang, Karuwisi, Antang, merasakan
bencana masa depan yang kurang-lebih sama, yakni penggusuran tempat tinggal dan
tempat usaha kami – baik yang dilakukan oleh aparat negara (pemerintah), badan
usaha milik negara (BUMN) maupun pemilik modal - perorangan.
Peristiwa pembongkaran 18 bangunan milik
warga nelayan Pannambungan dan Lette secara paksa adalah contoh nyata bagaimana
sikap pemerintah yang anti orang miskin. Dalam kasus ini, pemerintah kota sebagai
pelaku utama penggusuran selalu menggunakan alasan IMB, jalur hijau, “daerah
kumuh”, “rawan keamanan”. Pemerintah tahunya hanya menggusur, tetapi tidak
memiliki konsep bagaimana menata pemukiman yang sehat dan meningkatkan
kesejahteraan warganya. Padahal, dalam Undang-undang No. 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk menempati/menikmati
dan memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan aman (Pasal 5
ayat 1). Bahkan, UU No. 39/1999 tentang HAM menegaskan bahwa tempat kediaman
siapa pun tidak boleh diganggu (Pasal 31 ayat 1).
Pembongkaran secara brutal terhadap 93 kios
milik pedagang kaki lima (PK-5) pelabuhan Soekarno-Hatta yang dilakukan oleh
Administratur Pelabuhan (Adpel) adalah pelanggaran atas hak-hak ekonomi rakyat
miskin. Dalam kasus ini, Pelindo IV dan Adpel sebagai aparat ekonomi negara
(BUMN) adalah aktor utama penggusuran. Pihak Adpel selalu menggunakan alasan “standar
internasional” untuk menggusur. Padahal penggusuran itu sendiri bertentangan dengan
perjanjian internasional PBB tentang hak-hak sosial, ekonomi dan budaya setiap
warga negara.
Penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha
di Makassar telah mengakibatkan bentrokan fisik dan kerugian materi dan
non-materi yang tidak ternilai harganya. Dampaknya jangka panjang, yakni trauma
sosial, kesehatan tidak terjamin, pengangguran, dan terlantarnya anak-anak usia
sekolah. Artinya, dampak penggusuran akan menambah angka kemiskinan, pada
gilirannya mendorong tumbuhnya tindak kriminal.
Hingga kini belum ada usaha yang
sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menyusun konsep alternatif yang
melindungi rakyat miskin dari pelaku penggusuran. Yang ada hanyalah rencana memusuhi
dan memerangi orang miskin dengan menuding mereka penduduk liar, melanggar
aturan, dan berbagai cap jelek lainnya.
Oleh karena itu KAMI, yang bergabung dalam
Komite Pembebasan Rakyat Miskin (KPRM) bersama organisasi rakyat sipil lainnya
yang anti-penggusuran mendesak DPRD kota dan pemerintah kota untuk segera:
Hentikan penggusuran
tempat tinggal dan tempat usaha rakyat miskin di Makassar. Pecahkan masalah
kemiskinan, bukan dengan memerangi orang miskin.
Bentuk Panitia Khusus
(Pansus) Pencegahan dan Penyelesaian Masalah Penggusuran Rakyat Miskin Kota.
Kembalikan hak-hak
saudara-saudara kami - korban gusuran di Karuwisi, Pannambungan, Lette, PK-5
pelabuhan, dan korban gusuran lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar