30 Sep 2010

Mereka Mencita-citakan Kampung Masa Depan (1)

Bagian Pertama
Oleh M. Nawir
Tulisan ini akan menfokuskan pembahasan tentang berbagai problematika dan harapan hidup para mantan penderita kusta yang bermukim di komplek-komplek kusta. Topik tersebut mencakup paparan tentang dogma dan mitos tentang penyakit kusta, konteks sejarah sosial pemukiman penderita kusta, serta persoalan hak-hak ekosob mereka. Saya menyadari keterbatasan bahan informasi dan telaah sosiologis tentang pewabahan penyakit kusta dan kehidupan mereka, khususnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dalam kurun waktu tertentu. Beberapa referensi yang relevan saya gunakan untuk mengembangkan sudut pandang sosial terhadap sejarah dan problematika warga penghuni komplek kusta dewasa ini.
Sumber informasi utama tulisan ini adalah penuturan delapan mantan penderita kusta yang hingga kini menjadi tokoh masyarakat di komplek-komplek kusta di kota Makassar, kota Parepare, dan kabupaten Wajo propinsi Sulawesi Selatan, serta kabupaten Polman dan kabupaten Majene propinsi Sulawesi Barat. Mereka adalah warga penghuni komplek-komplek pemukiman kusta di Jongaya, komplek depan Gereja Kare, panti rehabilitasi kusta Lauleng, dan komplek Liposos Totinco. Mereka pantas saya sebut “orang-orang tangguh”, yang memilih ” jalan hidup“ untuk meraih harkat dan martabat kemanusiaannya.
Sebagai pengantar, pertama-tama saya akan memaparkan “jalan hidup” para mantan penderita kusta, narasumber utama buku ini. Yang dimaksud “jalan hidup” adalah pilihan untuk tidak “bunuh diri” dari mereka yang merasakan berbagai bentuk penderitaan karena berpenyakit kusta. Dan karena itu, mereka menerima keadaan dirinya dengan segala tantangan dan peluang yang tersedia secara sadar untuk bersosialisasi – berumah tangga, bekerja dan berorganisasi.
Jalan Hidup Rumah Tangga, Kerja dan Organisasi
Ada sederetan peristiwa luar biasa yang dialami penderita kusta sepanjang hidupnya, yang terutama berlangsung pada tahun 1950-an sampai tahun 1970-an. Mulai dari pengucilan, ejekan, pelemparan, pemecatan, perusakan properti, sampai pembedaan pelayanan. Peristiwa-peristiwa itu menggiring mereka dalam situasi batin yang sangat terasing dalam kesendirian. Bahkan kekejaman wacana dalam bentuk dogma, stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta hingga kini tidak kunjung berakhir. Seakan entitas mereka harus ada bersama kaum miskin-papa lainnya untuk menegaskan kodrat bahwa hidup ini harus ada kaum yang susah, menderita, miskin, dan ada kaum yang hidup sebaliknya. Penderitaan yang dituturkan mantan penderita kusta itu bergerak dari ruang privat (rumah tangga) sampai ke publik.
Penderitaan sudah terjadi sejak di dalam keluarga, di dalam kampung, lalu menyebar ke tempat kerja, di ruang-ruang publik seperti hotel, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, angkutan umum. Keadaan seperti ini mengkonstruksi para penderita kusta menjadi pribadi yang mudah curiga, minder, dan semakin menguatkan keyakinannya sendiri bahwa penyakit kusta adalah kesalahan atau pun takdir yang harus dideritanya.
Namun, keadaan itu tidak membuat para penderita kusta menyerah pada kenyataan hidup. Dengan tidak bermaksud melebih-lebihkan, rasanya belum pernah terjadi atau tidak ada publikasi yang menyatakan seorang penderita kusta mati bunuh diri. Justru mereka memilih “jalan hidup” dan pelan-pelan membangun keluarga, pekerjaan dan organisasi. Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang tangguh yang mendalami arti kehidupan dengan suatu keyakinan, yakni memperbaiki keturunan (anak-cucu). Berikut ini gambaran ringkas “jalan hidup” mantan penderita kusta dewasa ini.
Tuan Guru Arif
M. Arif Said, 62 tahun, adalah satu di antara mantan penderita kusta yang berhasil meniti “jalan hidup”. Orang Bugis, yang berasal dari keluarga ulama kampung (kadi) di Bone itu, pertama kali tinggal di tempat pengasingan kusta Lerang karena pemerintah daerah melarang penderita kusta tinggal bersama orang sehat di kampung. Tetapi, sebenarnya dia, keluarganya lah yang menjauhkannya dari rumah karena mereka merasa malu. Baru pada tahun 1975, dia menetap di komplek kusta Jongaya bersama istri keduanya, yang juga mantan penderita kusta. Dari istri kedua itu, Tuan Guru – begitu dia disapa oleh penghuni komplek Jongaya – memiliki seorang anak yang saat ini masih kuliah.
Arif lah yang meyakinkan penderita kusta yang tinggal di komplek-komplek penampungan bahwa penyakit kusta bukan keturunan atau pun kutukan Tuhan. Hal itu dia yakini dan dilakukannya semasa dia berkeliling mengunjungi komplek-komplek kusta di Sulawesi Selatan. Sebagai tetua komplek, Tuan Guru Arif adalah publik figur, tempat bagi para penderita kusta meminta nasehat. Bahkan dia menjadi simpul perjuangan keluarga mantan penderita ketika menolak relokasi dan alihfungsi lahan komplek rumah sakit kusta menjadi rumah sakit umum. Bersama Mustari Lotong, Andi Amin, juga mantan penderita kusta, dia mendirikan Yayasan Mantan Penderita Kusta Jongaya. Arif adalah ketua yayasan tersebut.
Juru Parkir Amin
Andi Amin Rapi, 48 tahun. Dia juga berasal dari keluarga ulama kampung di Bone. Amin, adalah mantan pegawai kantor gubernur, yang saat ini bekerja sebagai tukang parkir di sebuah pusat pertokoan di Makassar. Dia tidak bisa lupa ketika diterima sebagai pegawai kantor gubernur selama tiga tahun, tetapi kemudian dikeluarkan lantaran ketahuan mengidap penyakit kusta. Sejak itu, Amin merasakan seluruh status sosialnya runtuh. Semangat hidupnya baru bisa bangkit kembali setelah mengenal Arif, dan hidup dengan sesama penderita kusta di Jongaya. Amin membuktikan bahwa arti dari memilih “jalan hidup”. Dia bisa mandiri, menikahi perempuan yang bukan penderita kusta, memiliki enam anak, dan tidak satu pun di antara anggota keluarganya yang tertular kusta.
Daeng Pemulung
Daeng Buang, 62 tahun, mantan penderita kusta di komplek depan Gereja Kare Tamalanrea, juga membuktikan hal yang sama dilakukan Amin. Masa mudanya penuh dengan tantangan hidup. Berpindah-pindah tempat tinggal karena masyarakat menolak kehadirannya. Pernah ditangkap karena mengemis di lapangan Karebosi, bahkan pernah dipenjarakan lantaran berbeda pilihan politik. Dg. Buang akhirnya memilih jalan hidup dengan bekerja sebagai pemulung, di antara teman-teman senasibnya yang masih mengemis di pusat keramaian kota. Dg. Buang sudah mampu menghidupi kebutuhan istri dan anaknya dari pekerjaan itu. Bedanya dengan Amin dan Arif, dia berhasil mengkapling dan mensertifikasi sepetak tanah yang kini ditinggali bersama istri dan anak-anaknya.
Najib Taylor
Berbeda dengan anak mantan penderita kusta dewasa ini, Najib, justru tidak sempat menikmati kesempatan bersekolah tinggi. Ibunya adalah janda miskin, mantan penderita kusta. Sejak kecil, Najib sudah membantu ibunya  menggembala kerbau. Perjalanan hidupnya pun tidak terlepas dari stigma sebagai anak mantan penderita kusta dan warga komplek kusta Liposos Totinco Sengkang.
Najib adalah generasi kedua keluarga penderita kusta di Liposos Totinco. Masyarakat mengenal dia sebagai penghuni lama dan penjahit pakaian (taylor) di kota Sengkang. Pelanggan tetapnya adalah kalangan masyarakat yang sudah mengerti seluk-beluk penularan penyakit kusta. Bagi Najib, berpenghasilan dari menjahit saja tidak cukup memberikan jaminan masa depan keluarganya. Dia menginginkan ada jaminan atas tempat tinggal bagi anak dan cucu para mantan penderita kusta dan warga yang menetap di dalam perkampungan Liposos Totinco.
Indo Masse’ Petani Penggarap
Jalan hidup yang ditempuh Indo Masse’, 80 tahun, tidaklah sebaik mantan penderita kusta lainnya. Dia dan suaminya hanya mengandalkan pekerjaan sebagai petani penggarap selain mengemis di kota Sengkang. Hal ini terjadi sejak Indo Masse dan keluarga penderita kusta lainnya dipindahkan oleh pemerintah daerah dari komplek kusta Bola Geme’e ke Liposos Totinco tahun 1985. Mereka kehilangan pekerjaan pokok, yakni berkebun dan bercocok tanam. Lahan yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk perumahan. Dengan usianya yang semakin renta, Indo Masse menggantungkan nasibnya pada kebaikan orang lain. Dia tidak sanggup bekerja sebagai buruh pembuatan batu bata seperti yang dilakukan istri-istri penderita kusta lainnya.
Selain mengemis, Indo Masse dan suaminya menggarap tanah milik tuan tanah yang berada di sekitar pemukiman Totinco. Mereka membersihkan lahan dan menanam tanaman jangka panjang dan jangka pendek. Bagi hasilnya adalah Indo Masse berhak menikamati tanaman jangka pendek seperti pisang dan sayuran. Hasil usaha itulah yang menopang kedua pasangan mantan pederita kusta ini.
Syambas Ketua Koperasi
Syambas alias Syamsuddin Mamba Situju, 67 tahun, pernah kuliah 4 semester di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Dia termasuk salah seorang mantan penderita kusta senior Komplek Kusta Lauleng, yang kaya pengalaman berorganisasi. Sejak tahun 2007, dia menjabat ketua RK (Rukun Kampung), ketua Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata), ketua pembangunan mesjid, dan tercatat sebagai ketua Koperasi KSU Suka Maju, serta wakil sekretaris Kerukunan Keluarga Masyarakat Lauleng (KKML). Selain mendapatkan sisa hasil usaha koperasi, Syambas juga mendapatkan uang jasa dari pengurusan KPT/KK dan urusan administratif lainnya yang dibutuhkan warga komplek Lauleng. Keterbatasan bantuan pemerintah bisa ditutupi dari pekerjaan tersebut.
Syambas menikahi Sri Ajam berkat bantuan seorang pastor pada tahun 1977. Suatu peristiwa yang diakuinya sendiri sangat unik, yang bagi Sambas belum tentu mau dilakukan oleh orang-orang sekampungnya hanya karena dirinya menderita kusta. Dari pernikahan itu, Syambas dikaruniai seorang anak. Dia telah membuktikan bahwa anak penderita kusta juga bisa kuliah di Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN) Parepare.
Yusuf Kepala Kampung
M. Yusuf, 57 tahun, adalah potret seorang kepala rumah tangga yang setia pada jalan hidup yang ditempuhnya. Dia bersama istri dan kedua anaknya memilih menetap di pemukiman kusta Landi Pokki. Perjalanan panjang – setidaknya enam kali berpindah tempat pengungsian – telah membentuk keyakinannya untuk membangun pemukiman Landi Pokki seperti kampung sendiri. Yusuf, termasuk salah seorang warga pemukiman Landi Pokki yang membabat semak belukar menjadi areal persawahan, dan merintis jalan agar bisa dilalui kendaraan. Tujuannya adalah melancarkan akses pelayanan kesehatan dan bantuan pemerintah kepada keluarga mantan penderita kusta. Hal itu pula yang mendasari warga memilih Yusuf sebagai Kepala Kampung Landi Pokki Polewali.
Andi Syamsul Penjaga Kampung
Suatu pengalaman berharga dari Andi Syamsul Tonra – mantan mahasiswa APDN, keturunan bangsawan, anak mantan bupati Majene – akhirnya menjadi penghuni penampungan penderita kusta Teppo Barat Majene. Masih sempat dia ditawari menjadi pegawai negeri di kantor bupati, tetapi ditolaknya. Penyakit yang dideritanya pada tahun 2003 pun sembuh. Tetapi, syamsul memilih jalan hidupnya sebagai orang biasa, bersama istri ketiganya, dia menyatu sebagai warga Teppo Barat.  
Syamsul, 57 tahun, sebagai Kepala Kampung merasakan betapa berharganya kesempatan hidup dan mengabdi kepada 195 jiwa penghuni Teppo Barat, yang umumnya adalah penderita kusta dan sudah dinyatakan sembuh. Perhatian pemerintah cukup intensif. Pendidikan anak warga Teppo Barat pun semakin maju, bahkan ada yang sudah sarjana. Yang lebih menggembirakannya adalah kampung Teppo Barat menjadi tempat bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Seringkali Syamsul kedatangan pasangan muda-mudi yang minta dinikahkan karena percintaannya tidak disetujui kedua orang tua mereka. Pendek kata, pemukiman Teppo Barat sudah lebih baik dari dahulu, yakni dihuni orang-orang pendatang Bugis, Makassar, Jawa, selain penduduk asli Mandar.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih informasinya sangat bermanfaat sekali ..
untuk referensi lain mengenai rehabilitas kusta bisa di baca2 di halaman website ini http://www.tanyadok.com/kesehatan/rehabilitasi-untuk-penderita-kusta

AWI MN mengatakan...

senang sekali bisa terhubung dgn website anda...trims sdh baca tulisan saya

Posting Komentar