Tulisan
ini akan menfokuskan pembahasan tentang berbagai problematika dan harapan hidup
para mantan penderita kusta yang bermukim di komplek-komplek kusta. Topik
tersebut mencakup paparan tentang dogma dan mitos tentang penyakit kusta,
konteks sejarah sosial pemukiman penderita kusta, serta persoalan hak-hak
ekosob mereka. Saya menyadari keterbatasan bahan informasi dan telaah
sosiologis tentang pewabahan penyakit kusta dan kehidupan mereka, khususnya di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dalam kurun waktu tertentu. Beberapa
referensi yang relevan saya gunakan untuk mengembangkan sudut pandang sosial
terhadap sejarah dan problematika warga penghuni komplek kusta dewasa ini.
Sumber
informasi utama tulisan ini adalah penuturan delapan mantan penderita kusta yang
hingga kini menjadi tokoh masyarakat di komplek-komplek kusta di kota Makassar,
kota Parepare, dan kabupaten Wajo propinsi Sulawesi Selatan, serta kabupaten
Polman dan kabupaten Majene propinsi Sulawesi Barat. Mereka adalah warga
penghuni komplek-komplek pemukiman kusta di Jongaya, komplek depan Gereja Kare,
panti rehabilitasi kusta Lauleng, dan komplek Liposos Totinco. Mereka pantas
saya sebut “orang-orang tangguh”, yang memilih ” jalan hidup“ untuk meraih
harkat dan martabat kemanusiaannya.
Sebagai
pengantar, pertama-tama saya akan memaparkan “jalan hidup” para mantan
penderita kusta, narasumber utama buku ini. Yang dimaksud “jalan hidup” adalah
pilihan untuk tidak “bunuh diri” dari mereka yang merasakan berbagai bentuk
penderitaan karena berpenyakit kusta. Dan karena itu, mereka menerima keadaan
dirinya dengan segala tantangan dan peluang yang tersedia secara sadar untuk
bersosialisasi – berumah tangga, bekerja dan berorganisasi.
Jalan
Hidup Rumah Tangga, Kerja dan Organisasi
Ada
sederetan peristiwa luar biasa yang dialami penderita kusta sepanjang hidupnya,
yang terutama berlangsung pada tahun 1950-an sampai tahun 1970-an. Mulai dari
pengucilan, ejekan, pelemparan, pemecatan, perusakan properti, sampai pembedaan
pelayanan. Peristiwa-peristiwa itu menggiring mereka dalam situasi batin yang
sangat terasing dalam kesendirian. Bahkan kekejaman wacana dalam bentuk dogma,
stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta hingga kini tidak kunjung
berakhir. Seakan entitas mereka harus ada bersama kaum miskin-papa lainnya
untuk menegaskan kodrat bahwa hidup ini harus ada kaum yang susah, menderita,
miskin, dan ada kaum yang hidup sebaliknya. Penderitaan yang dituturkan mantan
penderita kusta itu bergerak dari ruang privat (rumah tangga) sampai ke publik.
Penderitaan
sudah terjadi sejak di dalam keluarga, di dalam kampung, lalu menyebar ke
tempat kerja, di ruang-ruang publik seperti hotel, rumah sakit, sekolah, tempat
ibadah, angkutan umum. Keadaan seperti ini mengkonstruksi para penderita kusta
menjadi pribadi yang mudah curiga, minder, dan semakin menguatkan keyakinannya
sendiri bahwa penyakit kusta adalah kesalahan atau pun takdir yang harus
dideritanya.
Namun,
keadaan itu tidak membuat para penderita kusta menyerah pada kenyataan hidup.
Dengan tidak bermaksud melebih-lebihkan, rasanya belum pernah terjadi atau
tidak ada publikasi yang menyatakan seorang penderita kusta mati bunuh diri.
Justru mereka memilih “jalan hidup” dan pelan-pelan membangun keluarga,
pekerjaan dan organisasi. Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang tangguh
yang mendalami arti kehidupan dengan suatu keyakinan, yakni memperbaiki
keturunan (anak-cucu). Berikut ini gambaran ringkas “jalan hidup” mantan
penderita kusta dewasa ini.
Tuan
Guru Arif
M. Arif
Said, 62 tahun, adalah satu di antara mantan penderita kusta yang berhasil
meniti “jalan hidup”. Orang Bugis, yang berasal dari keluarga ulama kampung (kadi)
di Bone itu, pertama kali tinggal di tempat pengasingan kusta Lerang karena
pemerintah daerah melarang penderita kusta tinggal bersama orang sehat di
kampung. Tetapi, sebenarnya dia, keluarganya lah yang menjauhkannya dari rumah
karena mereka merasa malu. Baru pada tahun 1975, dia menetap di komplek kusta
Jongaya bersama istri keduanya, yang juga mantan penderita kusta. Dari istri
kedua itu, Tuan Guru – begitu dia disapa oleh penghuni komplek
Jongaya – memiliki seorang anak yang saat ini masih kuliah.
Arif
lah yang meyakinkan penderita kusta yang tinggal di komplek-komplek penampungan
bahwa penyakit kusta bukan keturunan atau pun kutukan Tuhan. Hal itu dia yakini
dan dilakukannya semasa dia berkeliling mengunjungi komplek-komplek kusta di
Sulawesi Selatan. Sebagai tetua komplek, Tuan Guru Arif adalah
publik figur, tempat bagi para penderita kusta meminta nasehat. Bahkan dia
menjadi simpul perjuangan keluarga mantan penderita ketika menolak relokasi dan
alihfungsi lahan komplek rumah sakit kusta menjadi rumah sakit umum. Bersama
Mustari Lotong, Andi Amin, juga mantan penderita kusta, dia mendirikan Yayasan
Mantan Penderita Kusta Jongaya. Arif adalah ketua yayasan tersebut.
Juru
Parkir Amin
Andi
Amin Rapi, 48 tahun. Dia juga berasal dari keluarga ulama kampung di Bone.
Amin, adalah mantan pegawai kantor gubernur, yang saat ini bekerja sebagai
tukang parkir di sebuah pusat pertokoan di Makassar. Dia tidak bisa lupa ketika
diterima sebagai pegawai kantor gubernur selama tiga tahun, tetapi kemudian
dikeluarkan lantaran ketahuan mengidap penyakit kusta. Sejak itu, Amin
merasakan seluruh status sosialnya runtuh. Semangat hidupnya baru bisa bangkit
kembali setelah mengenal Arif, dan hidup dengan sesama penderita kusta di
Jongaya. Amin membuktikan bahwa arti dari memilih “jalan hidup”. Dia bisa
mandiri, menikahi perempuan yang bukan penderita kusta, memiliki enam anak, dan
tidak satu pun di antara anggota keluarganya yang tertular kusta.
Daeng Pemulung
Daeng
Buang, 62 tahun, mantan penderita kusta di komplek depan Gereja Kare
Tamalanrea, juga membuktikan hal yang sama dilakukan Amin. Masa mudanya penuh
dengan tantangan hidup. Berpindah-pindah tempat tinggal karena masyarakat
menolak kehadirannya. Pernah ditangkap karena mengemis di lapangan Karebosi,
bahkan pernah dipenjarakan lantaran berbeda pilihan politik. Dg. Buang akhirnya
memilih jalan hidup dengan bekerja sebagai pemulung, di antara teman-teman
senasibnya yang masih mengemis di pusat keramaian kota. Dg. Buang sudah mampu
menghidupi kebutuhan istri dan anaknya dari pekerjaan itu. Bedanya dengan Amin
dan Arif, dia berhasil mengkapling dan mensertifikasi sepetak tanah yang kini ditinggali bersama istri dan anak-anaknya.
Najib Taylor
Berbeda
dengan anak mantan penderita kusta dewasa ini, Najib, justru tidak sempat
menikmati kesempatan bersekolah tinggi. Ibunya adalah janda miskin, mantan
penderita kusta. Sejak kecil, Najib sudah membantu ibunya menggembala
kerbau. Perjalanan hidupnya pun tidak terlepas dari stigma sebagai anak mantan
penderita kusta dan warga komplek kusta Liposos Totinco Sengkang.
Najib
adalah generasi kedua keluarga penderita kusta di Liposos Totinco. Masyarakat
mengenal dia sebagai penghuni lama dan penjahit pakaian (taylor) di kota
Sengkang. Pelanggan tetapnya adalah kalangan masyarakat yang sudah mengerti
seluk-beluk penularan penyakit kusta. Bagi Najib, berpenghasilan dari menjahit
saja tidak cukup memberikan jaminan masa depan keluarganya. Dia menginginkan
ada jaminan atas tempat tinggal bagi anak dan cucu para mantan penderita kusta
dan warga yang menetap di dalam perkampungan Liposos Totinco.
Indo
Masse’ Petani
Penggarap
Jalan
hidup yang ditempuh Indo Masse’, 80 tahun, tidaklah sebaik mantan penderita
kusta lainnya. Dia dan suaminya hanya mengandalkan pekerjaan sebagai petani
penggarap selain mengemis di kota Sengkang. Hal ini terjadi sejak Indo Masse
dan keluarga penderita kusta lainnya dipindahkan oleh pemerintah daerah dari
komplek kusta Bola Geme’e ke Liposos Totinco tahun 1985. Mereka kehilangan
pekerjaan pokok, yakni berkebun dan bercocok tanam. Lahan yang disediakan
pemerintah hanya cukup untuk perumahan. Dengan usianya yang semakin renta, Indo
Masse menggantungkan nasibnya pada kebaikan orang lain. Dia tidak sanggup
bekerja sebagai buruh pembuatan batu bata seperti yang dilakukan istri-istri
penderita kusta lainnya.
Selain
mengemis, Indo Masse dan suaminya menggarap tanah milik tuan tanah yang berada
di sekitar pemukiman Totinco. Mereka membersihkan lahan dan menanam tanaman
jangka panjang dan jangka pendek. Bagi hasilnya adalah Indo Masse berhak
menikamati tanaman jangka pendek seperti pisang dan sayuran. Hasil usaha itulah
yang menopang kedua pasangan mantan pederita kusta ini.
Syambas Ketua Koperasi
Syambas
alias Syamsuddin Mamba Situju, 67 tahun, pernah kuliah 4 semester di Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Dia termasuk salah seorang mantan penderita
kusta senior Komplek Kusta Lauleng, yang kaya pengalaman berorganisasi. Sejak
tahun 2007, dia menjabat ketua RK (Rukun Kampung), ketua Perhimpunan Mandiri
Kusta (Permata), ketua pembangunan mesjid, dan tercatat sebagai ketua Koperasi
KSU Suka Maju, serta wakil sekretaris Kerukunan Keluarga Masyarakat Lauleng
(KKML). Selain mendapatkan sisa hasil usaha koperasi, Syambas juga mendapatkan
uang jasa dari pengurusan KPT/KK dan urusan administratif lainnya yang
dibutuhkan warga komplek Lauleng. Keterbatasan bantuan pemerintah bisa ditutupi
dari pekerjaan tersebut.
Syambas
menikahi Sri Ajam berkat bantuan seorang pastor pada tahun 1977. Suatu
peristiwa yang diakuinya sendiri sangat unik, yang bagi Sambas belum tentu mau
dilakukan oleh orang-orang sekampungnya hanya karena dirinya menderita kusta.
Dari pernikahan itu, Syambas dikaruniai seorang anak. Dia telah membuktikan
bahwa anak penderita kusta juga bisa kuliah di Sekolah Tinggi Islam Negeri
(STAIN) Parepare.
Yusuf
Kepala Kampung
M.
Yusuf, 57 tahun, adalah potret seorang kepala rumah tangga yang setia pada
jalan hidup yang ditempuhnya. Dia bersama istri dan kedua anaknya memilih
menetap di pemukiman kusta Landi Pokki. Perjalanan panjang – setidaknya enam
kali berpindah tempat pengungsian – telah membentuk keyakinannya untuk
membangun pemukiman Landi Pokki seperti kampung sendiri. Yusuf, termasuk salah
seorang warga pemukiman Landi Pokki yang membabat semak belukar menjadi areal persawahan,
dan merintis jalan agar bisa dilalui kendaraan. Tujuannya adalah melancarkan
akses pelayanan kesehatan dan bantuan pemerintah kepada keluarga mantan
penderita kusta. Hal itu pula yang mendasari warga memilih Yusuf sebagai Kepala
Kampung Landi Pokki Polewali.
Andi
Syamsul Penjaga Kampung
Suatu
pengalaman berharga dari Andi Syamsul Tonra – mantan mahasiswa APDN, keturunan
bangsawan, anak mantan bupati Majene – akhirnya menjadi penghuni penampungan
penderita kusta Teppo Barat Majene. Masih sempat dia ditawari menjadi pegawai
negeri di kantor bupati, tetapi ditolaknya. Penyakit yang dideritanya pada
tahun 2003 pun sembuh. Tetapi, syamsul memilih jalan hidupnya sebagai
orang biasa, bersama istri ketiganya, dia menyatu sebagai warga Teppo Barat.
Syamsul,
57 tahun, sebagai Kepala Kampung merasakan betapa berharganya kesempatan hidup
dan mengabdi kepada 195 jiwa penghuni Teppo Barat, yang umumnya adalah
penderita kusta dan sudah dinyatakan sembuh. Perhatian pemerintah cukup
intensif. Pendidikan anak warga Teppo Barat pun semakin maju, bahkan ada yang
sudah sarjana. Yang lebih menggembirakannya adalah kampung Teppo Barat menjadi
tempat bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Seringkali Syamsul
kedatangan pasangan muda-mudi yang minta dinikahkan karena percintaannya tidak
disetujui kedua orang tua mereka. Pendek kata, pemukiman Teppo Barat sudah
lebih baik dari dahulu, yakni dihuni orang-orang pendatang Bugis, Makassar,
Jawa, selain penduduk asli Mandar.
2 komentar:
Terima kasih informasinya sangat bermanfaat sekali ..
untuk referensi lain mengenai rehabilitas kusta bisa di baca2 di halaman website ini http://www.tanyadok.com/kesehatan/rehabilitasi-untuk-penderita-kusta
senang sekali bisa terhubung dgn website anda...trims sdh baca tulisan saya
Posting Komentar