30 Sep 2010

Perjuangan Rakyat Miskin Kota: dari Menabung ke Advokasi Politik

M. Nawir
Gagasan dalam tulisan ini dikembangkan dari pengalaman lima tahun “gerakan rakyat miskin” dalam ranah politik ruang kota di Makassar. Kemasan isu-isu populis “hak-hak dasar”, menjadi fokus pergerakan komunitas miskin seiring dengan gaya-populis negara.
Latardepan
Sesungguhnya problem hak-hak politik dan ekosob bukanlah isu baru dalam gerakan advokasi. Tuntutan akan pemenuhan hak-hak dasar tersebut menjadi salah satu isu sentral di era reformasi. Pemerintah pun mengandalkan program-program pelayanan hak-hak dasar. Di kota Makassar, pemerintah kota menerbitkan perda dan perwali tentang subsidi pelayanan hak-hak identitas, kesehatan, pendidikan, pemakaman dan bantuan hukum. Untuk mengukur kinerja birokrasinya, pemkot membentuk Komisi Ombudsman Daerah, khusus pelayanan publik.
Di Makassar, keberhasilan mempengaruhi komitmen politik pemerintah dicapai berkat dua hal: pertama, kemampuan LSM melakukan advokasi lobby dan legal-drafting dengan sokongan program dari lembaga donor; kedua, keberhasilan aktifis LSM membuka jalur “komunikasi politik” perorangan di birokrasi dan parlemen. Hanya saja, ada kesan keberhasilan tersebut terlalu elitis, dan akhirnya dipandang sebagai keberhasilan LSM, bukan keberhasilan rakyat.
Sejauh ini, pendekatan dan pencapaian LSM-LSM itu tidak berkorelasi positif dengan penguatan daya kritis-politis Organisasi Rakyat – OR (People/Popular Organization – PO). Seperti yang dikeluhkan oleh aktifis LSM sendiri bahwa perjuangan mereka akhirnya menjadi subordinasi kebijakan negara. Advokasi LSM telah menguatkan sekelompok “borjuasi tata-kota“ yang cerdik mengakomodasi tuntutan-tuntutan populer, asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan elit penguasa dan kapitalis. Tidak ada perubahan mendasar, khususnya dalam hal perlindungan atas ruang sosial dan ekonomi rakyat miskin.
Reposisi Gerakan Sosial
Maksud dari reposisi gerakan sosial adalah menata kembali posisi rakyat dalam era reformasi politik. Penekanannya pada “gerakan sosial” dan “posisi rakyat”. Hal penting yang membedakannya dengan Reposisi Ornop Sulawesi pada tahun 1998 yang diprakarsai INFID di Makassar: penekanannya pada “reformasi” dan “posisi LSM”.
Pada tahun 2002, beberapa aktifis menggagas konsolidasi kelompok-kelompok “akar-rumput” dari berbagai kampung dan sektor perkotaan di Makassar, Gowa, Maros Pare-pare, Wajo dan Bulukumba. Tujuannya adalah mempercepat proses pembentukan kader penggerak kelompok/komunitas dalam suatu wadah jaringan. Pada suatu pertemuan di awal September 2002, dibentuk Panitia atau Komite yang beranggotakan tujuh orang dari elemen KSM, kelompok janda, pedagang pasar, PKL, pengemudi becak dan pemulung. Komite ini bekerja mempersiapkan Temu Kota dan mendeklarasikan Komite Perjuangan Rakyat Miskin pada tanggal 22 September 2002 di Makassar. Salah satu rekomendasi penting dari Temu Kota adalah menyerahkan mandat kepada ketujuh anggota Komite untuk menyusun struktur organisasi.
Dalam perkembangannya, reposisi gerakan rakyat ini dikembangkan dalam tiga level strategi, yakni pengorganisasian (CO), advokasi kebijakan dan jaringan strategis.
Pengorganisasian Kader Penggerak
Perjuangan menuntut pemenuhan hak-hak sipil dan ekosob tidak cukup dengan hanya mengandalkan agitasi dan propaganda. Integrasi yang intens dan kemampuan mengolah sumberdaya rakyat merupakan syarat utama melahirkan kader penggerak komunitas. Dinamika kelompok dan aktivitas harian adalah kunci bertahannya kader-kader rakyat, meskipun tanpa LSM, tanpa proyek. Misalnya, gerakan menabung harian untuk mendorong keswadayaan, mengolah sampah menjadi pupuk, melatih pijat dan meramu tanaman obat untuk mengubah gaya hidup, membuka kelompok belajar alternatif anak-anak kampung, membentuk kelompok per-sepuluh, dan menyatukan warga yang terancam penggusuran dalam suatu paguyuban.
Agitasi dan propaganda efektif membentuk kesadaran kritis. Untuk menjadikannya kesadaran kolektif, rakyat harus bisa merumuskan sendiri hak-haknya. Rumusan itu menjadi gambaran tentang penindasan nyata, tetapi terukur dan bisa digerakkan sendiri oleh rakyat. Apa yang kemudian terjadi, rakyat miskin mampu memecah ketakutannya dengan berkelompok, lalu mengadvokasi haknya langsung ke sasaran, yaitu pengambil kebijakan di berbagai level. Mereka bergerak ke sasaran aksi seperti ingin mengambil makanan, barang-barang dan uang sendiri di kantor-kantor layanan publik. Aksi pertama KPRM menolak kenaikan BBM pada Januari 2003 menjadi headline di harian Fajar dengan judul “Gedung DPRD Diserbu Massa Rakyat Miskin”.
Level aksi-aksi berikutnya dilakukan mulai dari Balai Kota, birokrasi dinas-dinas, badan-badan pemerintah, rumah sakit, kantor kecamatan dan kelurahan. Laporan Akhir Tahun 2008 Sekretariat JRMK Makassar mencatat sedikitnya 40 kali aksi massa rakat miskin (KPRM) mapun aksi koalisi dengan organisasi lainnya. Aksi-aksi itu diorganisasikan sebagai strategi penguatan kader dan anggota KPRM terhadap persoalan aktual yang berdampak langsung kepada RMK. Isu-isu strategis yang direspon di antaranya adalah “tolak penggusuran” (lebih dari 20 kali), “aksi ke bulog” (2 kali), “aksi-aksi koalisi LSM” (3 kali), “aksi ke BPN”, “aksi ke dinas pendidikan”, “aksi KTP di kantor Kelurahan”, “aksi BLT di kantor kelurahan”, “aksi ke BPM”, “aksi solidaritas Dg. Basse” di kantor Walikota”, “aksi tolak kenaikan BBM” (5 kali). Cara-cara seperti ini cukup merepotkan birokrasi, dan karena itu aparat segera menindak-lanjuti tuntutan rakyat. Hasilnya, organisasi rakyat miskin mampu menyelesaikan kasus-kasus Ekosob seperti hak identitas, gizi buruk, biaya sekolah anak, biaya layanan kesehatan, BBM dan infrastruktur kampung.
Advokasi Politik Ruang Kota
Ruang kota semakin tidak demokratis bagi rakyat miskin. Tingginya sengketa pertanahan, serta penggusuran pemukiman dan tempat usaha rakyat – secara lunak maupun secara paksa – adalah bukti terlepasnya rakyat dari perlindungan negara.
Globalisasi kota yang dimotori komprador kapitalis lokal-nasionalnya sungguh mengancam habitat sosial warga. Pemerintah kota – yang diilusi oleh kemegahan kota megapolis Singapura, Hongkong, Eropa dan Amerika – dibantu akademisi dan konsultan, merancang tata ruang yang cocok dengan kepentingan investor. Ruko-ruko tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, sehingga Makassar disindir menjadi “kota ruko”. Mall dan hypermarket, kawasan real-estate, hotel dan tempat hiburan berkembang pesat. Untuk menghubungkan semua itu infrastruktur diperbaiki atau dibangun berdasarkan master-plan yang dibiayai JICA.
Tanah menjadi komoditi yang seksi, sehingga diperebutkan oleh pengusaha-pengembang. Mereka berkongsi dengan tuan tanah dan atau pengacara komersil untuk mengklaim dan menggugat lahan pemukiman rakyat miskin. Klaim dan gugatan ini memunculkan sengketa di luar pengadilan sampai ke pengadilan. Dengan alas hak yang dimilikinya, pengusaha selalu memenangkan perkara. Demikian halnya sengketa di luar pengadilan, pengusaha sanggup membayar aparat kepolisian untuk menggusur rakyat secara paksa.
Persoalan tanah seperti “fenomen gunung es”. Kasus yang manifes tidak seberapa dibanding yang laten. Temuan Tim Rapper Pilkada Kota dari September – Oktober 2008 mencatat 25 kasus tanah laten yang tersebar di 18 kelurahan. Kasus ini belum termasuk pembebasan tanah untuk kepentingan umum seperti jalan tol, jalan lingkar, jalan layang, dan perluasan bandara.
Catatan dari sekretariat JRMK Makassar dan Forum Kajian Kota (Forkata) tahun 2004, dan antara tahun 2006 – 2008, sedikitnya 16 kasus sengketa tanah dan penggusuran tempat tinggal, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios di Makassar. Dari 35 kasus yang manifes itu, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat tinggal, dan 583 PKL kehilangan tempat usahanya. Pelaku yang sering terlibat sengketa tanah adalah ahli waris tuan tanah, calo tanah, pengusaha/pengembang, pengacara dan kepentingan pejabat pemerintahan sendiri yang dibantu aparat penegak hukum (polisi dan hakim).
Selama lima tahun terakhir, ada tujuh kasus tanah (agraria) yang diperjuangkan KPRM bersama Ornop atau pun KPRM terlibat dalam di dalamnya, yakni Karuwisi, Lette, Pannambungan, Bontoduri, Kampung Pisang, Bulogading, dan Kassi-kassi. Berikut ini profil sengketa tanah dan aktor-aktor yang terlibat di dalam advokasi tanah tersebut:
Tabel: Profil Advokasi Kasus Pertanahan
Jika dicermati kekuatan aktor-aktor pro-rakyat yang sangat terbatas itu berhadapan dengan kekuatan aktor-aktor anti-konstitusi dalam sengketa tanah di atas, bisa diprediksi dalam lima sampai 10 tahun ke depan, pemiskinan secara massif tidak akan terhindarkan. Hampir tidak ada saluran politik yang bisa menyelesaikannya.
Perjuangan rakyat menghadapi ancaman penggusuran adalah usaha yang paling berat. Sebagian aktifis pesimis untuk bisa memenangkan rakyat. Apalagi jika modus penyelesaian sengketa tanah itu digiring ke pengadilan. Sebagian aktifis yang tetap optimis menggalang dukungan dari kalangan mahasiswa, jurnalis, pengacara, ormas – minus akademisi, sambil membuka jalur komunikasi politik dengan politisi parlemen. Pemerintah kota dan BPN biasanya mengambil posisi “netral-terbatas”, tergantung pada kepentingannya.
Menyadari kenyataan itu, pada akhir tahun 2007, beberapa aktifis muda mengaktifkan kembali diskusi-diskusi reflektif tentang gerakan sosial di Makassar. Sedikitnya lima seri diskusi intensif tentang itu. Catatan penting yang dihasilkannya adalah gerakan rakyat harus politis atau rakyat harus berpolitik. Kata kuncinya “blok politik rakyat miskin”.
Kontrak Politik: Taktik Rakyat Miskin
Kontrak politik dalam konteks demokrasi adalah advokasi, suatu usaha terencana dan kolaboratif dengan cara yang “demokratis” pula untuk menyetarakan kekuatan rakyat dengan kekuatan aparatur negara. Kontrak Politik menjadi strategi pemilih untuk mengintervensi proses politik dengan cara membangun hubungan konstituensi dengan kandidat atau pun partai politik. Secara pragmatik, kontrak politik diartikan sebagai taktik untuk membuka jalur komunikasi politik dan mempengaruhi perilaku (political will) dan visi politik kandidat.
Strategi advokasi yang dilakukan rakyat miskin di Makassar adalah kolaborasi di antara berbagai elemen Organisasi Rakyat (CO, paguyuban, tokoh-tokoh informal); elemen prodemokrasi (aktifis Ornop, Ormas, Mahasiswa); kelompok profesi (jurnalis, pengacara, arsitek), dan akademisi (intelektual organik). Pada level pengorganisasian dikerjakan dan dikoordinasi oleh elemen organisasi rakyat; level advokasi dimainkan kelompok prodemokrasi; dan level jaringan diperankan oleh kelompok profesi dan akademisi. Selama tiga bulan intensif kolaborasi itu didukung oleh jaringan lokal, regional, nasional dan internasional.
Setahun kontrak politik rakyat miskin dengan IASMO (singkatan dari walikota terpilih Ilham Arief Sirajuddin – Supomo Guntur) sudah jelas membuka jalur komunikasi politik efektif. Tuntutan-tuntutan rakyat direspon cepat. Pertemuan formal dan informal organisasi rakyat miskin dengan walikota, mudah terjadi. Persoalannya kemudian, jalur komunikasi politik dengan walikota terlalu menyempit. Tidak sembarang pihak yang bisa masuk. Selain itu, tawaran konsep yang tertuang dalam naskah kontrak politik tidak dijadikan acuan pokok dalam perencanaan pembangunan kota. Pemerintah kota dan parlemen meletakkan kontrak politik sebagai perjanjian politik terbatas dengan organisasi rakyat miskin. Misalnya, dalam penyelesaian kasus sengketa tanah, walikota berkomitmen kuat untuk membantu atau pun memediasi penyelesaiannya, jika pihak yang dirugikan adalah anggota jaringan KPRM.
Namun, patut dicatat adanya kebijakan yang langsung dirasakan oleh warga kota. Tiga bulan setelah pelantikan, walikota terpilih menerbitkan perda dan perwali tentang subsidi layanan dasar, yang mencakup penggratisan akte kelahiran/KTP/KK, biaya pendidikan dan kesehatan dasar dan biaya pemakaman bagi seluruh warga kota, serta bantuan hukum terkhusus bagi warga yang tidak mampu. Meskipun publik menilai kebijakan itu tidak diiringi dengan perubahan mentalitas aparat birokrasi yang masih korup, tetapi implementasinya telah mendorong percepatan pemenuhan hak-hak dasar rakyat miskin.
Kebijakan pemerintah kota masih jauh dari perubahan yang dicita-citakan rakyat miskin. Cita-cita perubahan yang diinginkannya adalah: (1) alternatif penyelesaian sengketa tanah dan penggusuran; (2) legalisasi (sertifikasi) tanah yang terjangkau rakyat miskin;(3) reformasi birokrasi pelayanan publik; (4) perlindungan sektor informal;(5) partisipasi rakyat dalam penataan kota.
Penutup: Melembagakan Blok Politik
Tantangan organisasi rakyat miskin ke depan adalah bagaimana mengembangkan ”blok politik” di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana kelima tuntutan kontrak politik diintegrasikan ke dalam strategi penanggulangan kemiskinan. Untuk mempercepat proses itu, maka organisasi rakyat miskin harus: (1) melembagakan aliansi strategis yang sudah ada, yakni aktifis LSM advokasi, Ormas, pengacara, akademisi dan jurnalis; (2) memperluas aliansi dengan aktor-aktor prodemokrasi potensial, yakni peneliti, profesional atau ahli tata kota, serta politisi parlemen; (3) Menjaga saluran aspirasi politik dengan pemerintah (walikota) melalui pertemuan-pertemuan periodik untuk mengevaluasi pencapaian kontrak politik; (4) menjaring dukungan politik nasional dan internasional.
Makassar, 30 Nopember 2009
[1] Tulisan partisipan Kursus HAM dan Demokrasi, PCD-UGM dan Oslo Univesity, Yogyakarta, 13 – 18 Desember 2009
[2] Partisipan adalah Kordinator JRMK Makassar dan Pare-pare

Tidak ada komentar:

Posting Komentar