M.
Nawir
Gagasan dalam
tulisan ini dikembangkan dari pengalaman lima tahun “gerakan rakyat miskin”
dalam ranah politik ruang kota di Makassar. Kemasan isu-isu populis “hak-hak
dasar”, menjadi fokus pergerakan komunitas miskin seiring dengan gaya-populis
negara.
Latardepan
Sesungguhnya
problem hak-hak politik dan ekosob bukanlah isu baru dalam gerakan advokasi.
Tuntutan akan pemenuhan hak-hak dasar tersebut menjadi salah satu isu sentral
di era reformasi. Pemerintah pun mengandalkan program-program pelayanan hak-hak
dasar. Di kota Makassar, pemerintah kota menerbitkan perda dan perwali tentang
subsidi pelayanan hak-hak identitas, kesehatan, pendidikan, pemakaman dan
bantuan hukum. Untuk mengukur kinerja birokrasinya, pemkot membentuk Komisi
Ombudsman Daerah, khusus pelayanan publik.
Di Makassar,
keberhasilan mempengaruhi komitmen politik pemerintah dicapai berkat dua hal:
pertama, kemampuan LSM melakukan advokasi lobby dan legal-drafting dengan
sokongan program dari lembaga donor; kedua, keberhasilan aktifis LSM membuka
jalur “komunikasi politik” perorangan di birokrasi dan parlemen. Hanya saja,
ada kesan keberhasilan tersebut terlalu elitis, dan akhirnya dipandang sebagai
keberhasilan LSM, bukan keberhasilan rakyat.
Sejauh ini,
pendekatan dan pencapaian LSM-LSM itu tidak berkorelasi positif dengan
penguatan daya kritis-politis Organisasi Rakyat – OR (People/Popular
Organization – PO). Seperti yang dikeluhkan oleh aktifis LSM sendiri bahwa
perjuangan mereka akhirnya menjadi subordinasi kebijakan negara. Advokasi LSM
telah menguatkan sekelompok “borjuasi tata-kota“ yang cerdik mengakomodasi
tuntutan-tuntutan populer, asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan elit
penguasa dan kapitalis. Tidak ada perubahan mendasar, khususnya dalam hal
perlindungan atas ruang sosial dan ekonomi rakyat miskin.
Reposisi Gerakan
Sosial
Maksud dari
reposisi gerakan sosial adalah menata kembali posisi rakyat dalam era reformasi
politik. Penekanannya pada “gerakan sosial” dan “posisi rakyat”. Hal penting
yang membedakannya dengan Reposisi Ornop Sulawesi pada tahun 1998 yang
diprakarsai INFID di Makassar: penekanannya pada “reformasi” dan “posisi LSM”.
Pada tahun 2002,
beberapa aktifis menggagas konsolidasi kelompok-kelompok “akar-rumput” dari
berbagai kampung dan sektor perkotaan di Makassar, Gowa, Maros Pare-pare, Wajo
dan Bulukumba. Tujuannya adalah mempercepat proses pembentukan kader penggerak
kelompok/komunitas dalam suatu wadah jaringan. Pada suatu pertemuan di awal
September 2002, dibentuk Panitia atau Komite yang beranggotakan tujuh orang
dari elemen KSM, kelompok janda, pedagang pasar, PKL, pengemudi becak dan
pemulung. Komite ini bekerja mempersiapkan Temu Kota dan mendeklarasikan Komite
Perjuangan Rakyat Miskin pada tanggal 22 September 2002 di Makassar. Salah
satu rekomendasi penting dari Temu Kota adalah menyerahkan mandat kepada
ketujuh anggota Komite untuk menyusun struktur organisasi.
Dalam
perkembangannya, reposisi gerakan rakyat ini dikembangkan dalam tiga level
strategi, yakni pengorganisasian (CO), advokasi kebijakan dan jaringan
strategis.
Pengorganisasian
Kader Penggerak
Perjuangan menuntut
pemenuhan hak-hak sipil dan ekosob tidak cukup dengan hanya mengandalkan
agitasi dan propaganda. Integrasi yang intens dan kemampuan mengolah sumberdaya
rakyat merupakan syarat utama melahirkan kader penggerak komunitas. Dinamika
kelompok dan aktivitas harian adalah kunci bertahannya kader-kader rakyat,
meskipun tanpa LSM, tanpa proyek. Misalnya, gerakan menabung harian untuk
mendorong keswadayaan, mengolah sampah menjadi pupuk, melatih pijat dan meramu
tanaman obat untuk mengubah gaya hidup, membuka kelompok belajar alternatif
anak-anak kampung, membentuk kelompok per-sepuluh, dan menyatukan warga yang
terancam penggusuran dalam suatu paguyuban.
Agitasi dan
propaganda efektif membentuk kesadaran kritis. Untuk menjadikannya kesadaran
kolektif, rakyat harus bisa merumuskan sendiri hak-haknya. Rumusan itu menjadi
gambaran tentang penindasan nyata, tetapi terukur dan bisa digerakkan sendiri
oleh rakyat. Apa yang kemudian terjadi, rakyat miskin mampu memecah
ketakutannya dengan berkelompok, lalu mengadvokasi haknya langsung ke sasaran,
yaitu pengambil kebijakan di berbagai level. Mereka bergerak ke sasaran aksi
seperti ingin mengambil makanan, barang-barang dan uang sendiri di
kantor-kantor layanan publik. Aksi pertama KPRM menolak kenaikan BBM pada
Januari 2003 menjadi headline di harian Fajar dengan judul “Gedung DPRD Diserbu
Massa Rakyat Miskin”.
Level aksi-aksi
berikutnya dilakukan mulai dari Balai Kota, birokrasi dinas-dinas, badan-badan
pemerintah, rumah sakit, kantor kecamatan dan kelurahan. Laporan Akhir Tahun
2008 Sekretariat JRMK Makassar mencatat sedikitnya 40 kali aksi massa rakat
miskin (KPRM) mapun aksi koalisi dengan organisasi lainnya. Aksi-aksi itu
diorganisasikan sebagai strategi penguatan kader dan anggota KPRM terhadap
persoalan aktual yang berdampak langsung kepada RMK. Isu-isu strategis yang
direspon di antaranya adalah “tolak penggusuran” (lebih dari 20 kali), “aksi ke
bulog” (2 kali), “aksi-aksi koalisi LSM” (3 kali), “aksi ke BPN”, “aksi ke
dinas pendidikan”, “aksi KTP di kantor Kelurahan”, “aksi BLT di kantor
kelurahan”, “aksi ke BPM”, “aksi solidaritas Dg. Basse” di kantor Walikota”,
“aksi tolak kenaikan BBM” (5 kali). Cara-cara seperti
ini cukup merepotkan birokrasi, dan karena itu aparat segera menindak-lanjuti
tuntutan rakyat. Hasilnya, organisasi rakyat miskin mampu menyelesaikan
kasus-kasus Ekosob seperti hak identitas, gizi buruk, biaya sekolah anak, biaya
layanan kesehatan, BBM dan infrastruktur kampung.
Advokasi Politik
Ruang Kota
Ruang kota semakin
tidak demokratis bagi rakyat miskin. Tingginya sengketa pertanahan, serta
penggusuran pemukiman dan tempat usaha rakyat – secara lunak maupun secara
paksa – adalah bukti terlepasnya rakyat dari perlindungan negara.
Globalisasi kota
yang dimotori komprador kapitalis lokal-nasionalnya sungguh mengancam habitat
sosial warga. Pemerintah kota – yang diilusi oleh kemegahan kota megapolis
Singapura, Hongkong, Eropa dan Amerika – dibantu akademisi dan konsultan,
merancang tata ruang yang cocok dengan kepentingan investor. Ruko-ruko tumbuh
bagaikan cendawan di musim hujan, sehingga Makassar disindir menjadi “kota
ruko”. Mall dan hypermarket, kawasan real-estate, hotel dan tempat hiburan
berkembang pesat. Untuk menghubungkan semua itu infrastruktur diperbaiki atau
dibangun berdasarkan master-plan yang dibiayai JICA.
Tanah menjadi
komoditi yang seksi, sehingga diperebutkan oleh pengusaha-pengembang. Mereka
berkongsi dengan tuan tanah dan atau pengacara komersil untuk mengklaim dan
menggugat lahan pemukiman rakyat miskin. Klaim dan gugatan ini memunculkan
sengketa di luar pengadilan sampai ke pengadilan. Dengan alas hak yang
dimilikinya, pengusaha selalu memenangkan perkara. Demikian halnya sengketa di
luar pengadilan, pengusaha sanggup membayar aparat kepolisian untuk menggusur
rakyat secara paksa.
Persoalan tanah
seperti “fenomen gunung es”. Kasus yang manifes tidak seberapa dibanding yang
laten. Temuan Tim Rapper Pilkada Kota dari September – Oktober 2008 mencatat 25
kasus tanah laten yang tersebar di 18 kelurahan. Kasus ini belum termasuk
pembebasan tanah untuk kepentingan umum seperti jalan tol, jalan lingkar, jalan
layang, dan perluasan bandara.
Catatan dari
sekretariat JRMK Makassar dan Forum Kajian Kota (Forkata) tahun 2004, dan
antara tahun 2006 – 2008, sedikitnya 16 kasus sengketa tanah dan penggusuran
tempat tinggal, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios di Makassar. Dari 35 kasus
yang manifes itu, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat tinggal, dan 583 PKL
kehilangan tempat usahanya. Pelaku yang sering terlibat sengketa tanah adalah
ahli waris tuan tanah, calo tanah, pengusaha/pengembang, pengacara dan
kepentingan pejabat pemerintahan sendiri yang dibantu aparat penegak hukum
(polisi dan hakim).
Selama lima tahun
terakhir, ada tujuh kasus tanah (agraria) yang diperjuangkan KPRM bersama Ornop
atau pun KPRM terlibat dalam di dalamnya, yakni Karuwisi, Lette, Pannambungan,
Bontoduri, Kampung Pisang, Bulogading, dan Kassi-kassi. Berikut ini profil
sengketa tanah dan aktor-aktor yang terlibat di dalam advokasi tanah tersebut:
Tabel: Profil
Advokasi Kasus Pertanahan
Jika dicermati
kekuatan aktor-aktor pro-rakyat yang sangat terbatas itu berhadapan dengan
kekuatan aktor-aktor anti-konstitusi dalam sengketa tanah di atas, bisa
diprediksi dalam lima sampai 10 tahun ke depan, pemiskinan secara massif tidak
akan terhindarkan. Hampir tidak ada saluran politik yang bisa menyelesaikannya.
Perjuangan rakyat
menghadapi ancaman penggusuran adalah usaha yang paling berat. Sebagian aktifis
pesimis untuk bisa memenangkan rakyat. Apalagi jika modus penyelesaian sengketa
tanah itu digiring ke pengadilan. Sebagian aktifis yang tetap optimis
menggalang dukungan dari kalangan mahasiswa, jurnalis, pengacara, ormas – minus
akademisi, sambil membuka jalur komunikasi politik dengan politisi parlemen.
Pemerintah kota dan BPN biasanya mengambil posisi “netral-terbatas”, tergantung
pada kepentingannya.
Menyadari kenyataan
itu, pada akhir tahun 2007, beberapa aktifis muda mengaktifkan kembali
diskusi-diskusi reflektif tentang gerakan sosial di Makassar. Sedikitnya lima
seri diskusi intensif tentang itu. Catatan penting yang dihasilkannya adalah
gerakan rakyat harus politis atau rakyat harus berpolitik. Kata kuncinya “blok
politik rakyat miskin”.
Kontrak Politik:
Taktik Rakyat Miskin
Kontrak politik
dalam konteks demokrasi adalah advokasi, suatu usaha terencana dan kolaboratif
dengan cara yang “demokratis” pula untuk menyetarakan kekuatan rakyat dengan
kekuatan aparatur negara. Kontrak Politik menjadi strategi pemilih untuk
mengintervensi proses politik dengan cara membangun hubungan konstituensi
dengan kandidat atau pun partai politik. Secara pragmatik, kontrak politik
diartikan sebagai taktik untuk membuka jalur komunikasi politik dan
mempengaruhi perilaku (political will) dan visi politik kandidat.
Strategi advokasi
yang dilakukan rakyat miskin di Makassar adalah kolaborasi di antara berbagai
elemen Organisasi Rakyat (CO, paguyuban, tokoh-tokoh informal); elemen
prodemokrasi (aktifis Ornop, Ormas, Mahasiswa); kelompok profesi (jurnalis,
pengacara, arsitek), dan akademisi (intelektual organik). Pada level
pengorganisasian dikerjakan dan dikoordinasi oleh elemen organisasi rakyat;
level advokasi dimainkan kelompok prodemokrasi; dan level jaringan diperankan
oleh kelompok profesi dan akademisi. Selama tiga bulan intensif kolaborasi itu
didukung oleh jaringan lokal, regional, nasional dan internasional.
Setahun kontrak
politik rakyat miskin dengan IASMO (singkatan dari walikota terpilih Ilham
Arief Sirajuddin – Supomo Guntur) sudah jelas membuka jalur komunikasi politik
efektif. Tuntutan-tuntutan rakyat direspon cepat. Pertemuan formal dan informal
organisasi rakyat miskin dengan walikota, mudah terjadi. Persoalannya kemudian,
jalur komunikasi politik dengan walikota terlalu menyempit. Tidak sembarang
pihak yang bisa masuk. Selain itu, tawaran konsep yang tertuang dalam naskah
kontrak politik tidak dijadikan acuan pokok dalam perencanaan pembangunan kota.
Pemerintah kota dan parlemen meletakkan kontrak politik sebagai perjanjian
politik terbatas dengan organisasi rakyat miskin. Misalnya, dalam penyelesaian
kasus sengketa tanah, walikota berkomitmen kuat untuk membantu atau pun
memediasi penyelesaiannya, jika pihak yang dirugikan adalah anggota jaringan
KPRM.
Namun, patut
dicatat adanya kebijakan yang langsung dirasakan oleh warga kota. Tiga bulan
setelah pelantikan, walikota terpilih menerbitkan perda dan perwali tentang
subsidi layanan dasar, yang mencakup penggratisan akte kelahiran/KTP/KK, biaya
pendidikan dan kesehatan dasar dan biaya pemakaman bagi seluruh warga kota,
serta bantuan hukum terkhusus bagi warga yang tidak mampu. Meskipun publik
menilai kebijakan itu tidak diiringi dengan perubahan mentalitas aparat
birokrasi yang masih korup, tetapi implementasinya telah mendorong percepatan
pemenuhan hak-hak dasar rakyat miskin.
Kebijakan
pemerintah kota masih jauh dari perubahan yang dicita-citakan rakyat miskin. Cita-cita
perubahan yang diinginkannya adalah: (1) alternatif penyelesaian sengketa tanah
dan penggusuran; (2) legalisasi (sertifikasi) tanah yang terjangkau rakyat
miskin;(3) reformasi birokrasi pelayanan publik; (4) perlindungan sektor
informal;(5) partisipasi rakyat dalam penataan kota.
Penutup:
Melembagakan Blok Politik
Tantangan
organisasi rakyat miskin ke depan adalah bagaimana mengembangkan ”blok politik”
di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana kelima tuntutan kontrak politik
diintegrasikan ke dalam strategi penanggulangan kemiskinan. Untuk mempercepat
proses itu, maka organisasi rakyat miskin harus: (1) melembagakan aliansi
strategis yang sudah ada, yakni aktifis LSM advokasi, Ormas, pengacara,
akademisi dan jurnalis; (2) memperluas aliansi dengan aktor-aktor prodemokrasi
potensial, yakni peneliti, profesional atau ahli tata kota, serta politisi
parlemen; (3) Menjaga saluran aspirasi politik dengan pemerintah (walikota)
melalui pertemuan-pertemuan periodik untuk mengevaluasi pencapaian kontrak politik;
(4) menjaring dukungan politik nasional dan internasional.
Makassar, 30
Nopember 2009
[1] Tulisan partisipan Kursus HAM dan
Demokrasi, PCD-UGM dan Oslo Univesity, Yogyakarta, 13 – 18 Desember 2009
[2] Partisipan adalah Kordinator JRMK
Makassar dan Pare-pare
Tidak ada komentar:
Posting Komentar