M. Nawir
Persoalan sesungguhnya bukanlah karena rakyat sudah terbeli, tetapi para aktivis yang belum terorganisasi secara politis Tidak sedikit aktivis gerakan sosial yang mengintegrasikan dirinya ke dalam arena politik praktis. Umumnya, mereka menjadikan organisasi komunitas dan kelompok-kelompok warga sebagai “modal politik”. Mereka menggunakan metode kontrak politik dan “problem solving” dalam membangun basis dukungan pemilih. Dari pengalaman mengikuti Pileg 2014, metode kontraktual efektif mempengaruhi pemilih. Kurang lebih sama efektifnya dengan pendekatan transaksional.
Persoalan sesungguhnya bukanlah karena rakyat sudah terbeli, tetapi para aktivis yang belum terorganisasi secara politis Tidak sedikit aktivis gerakan sosial yang mengintegrasikan dirinya ke dalam arena politik praktis. Umumnya, mereka menjadikan organisasi komunitas dan kelompok-kelompok warga sebagai “modal politik”. Mereka menggunakan metode kontrak politik dan “problem solving” dalam membangun basis dukungan pemilih. Dari pengalaman mengikuti Pileg 2014, metode kontraktual efektif mempengaruhi pemilih. Kurang lebih sama efektifnya dengan pendekatan transaksional.
Pendekatan transaksional dalam Pileg 2014 merujuk pada
praktik sejumlah aktor politik yang menggunakan materi, uang (cash) maupun fasilitas
umum dalam membangun basis dukungan. Pilihan taktik politik ini bukan tanpa
alasan rasional. Para pelakunya mengakui bahwa mayoritas masyarakat pemilih masih
menjadikan atau pun berharap ditawari materi, uang maupun fasilitas. Hal ini
bertalian dengan pengalaman lima tahun terakhir mereka, dimana politisi
parlemen tidak bekerja melayani dan melindungi pemilihnya dari berbagai
persoalan sehari-hari. Dalam bahasa sehari-hari mereka, “kapan lagi kalau bukan
sekarang diambil uangnya” karena “kalau sudah naik tidak akan turun lagi”.
Begitulah kenyataan politik hari ini. Suatu keadaan dimana
masyarakat kehilangan pegangan pada etika politik, dan seterusnya mengalami krisis utopia politik. Meminjam istilah
Max Neef, situasi krisis utopia, dimana masyarakat tidak peduli lagi pada
tatanan sosial yang ideal di masa datang, apatah lagi tatanan politk yang dibangun
melalui Pileg. Situasi ini sudah jelas sangat menguntungkan pelaku politik
transaksional.
Tulisan ini tidak bermaksud mencerca aktor-aktor politik
transaksioanal. Hemat penulis, pendekatan transaksional maupun yang kontraktual
sama-sama punya peluang. Justru kompetisi antarsesama politisi transaksional jauh
lebih ketat dan brutal. Hanya mereka yang cerdik mengintervensi berbagai
kelompok kepentingan yang sukses meraih suara terbanyak. Mereka yang semata-mata
uang dan materi sebagai media bertransaksi juga banyak yang gagal. Nasib mereka
kurang lebih sama dengan aktivis yang semata-mata menggunakan sumberdaya sosial
sebagai media berkontrak politik. Dukungan pemilihnya adalah selisih dari sejumlah
warga yang sudah dibagi habis dalam politik transaksional.
Apakah dengan demikian strategi politik kontrakstual
tidak tepat-guna? Tidak juga. Lebih baik menyebutnya gagal memperoleh dukungan
dari berbagai kelompok kepentingan dan aktivis gerakan sosial (LSM). Walaupun kedua kelompok tersebut mendukung aktivis nyaleg, belum menjamin bisa mengimbangi kekuatan jaringan politik penguasa. Blok politik penguasa akan mengamankan aktor-aktornya melalui struktur birokrasi dan tokoh-tokoh informal, serta kelompok kepentingan lainnya. Tentu saja pengamanan itu harus transaksional, yang dikenal dengan istilah 'jual-beli kursi' atau pun 'bagi-bagi kekuasaan'. Jadi, kita tak usah ikut-ikutan mencela rakyat yang memilih politisi busuk tahun ini. Biarkan rakyat belajar dari kenyataan politik yang dihadapinya hari ini dan akan datang.
Makassar, 17 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar