Siasat Arsitek Komunitas
Menghadiri undangan Yuli Kusworo, saya
mengikuti rangkaian kegiatan Nyemlung
Kampung Arkom Jogja dari 18 sampai 27 Januari 2017 di kota Solo. Serasa
melepaskan saya dari rumah-kampung,
dan masuk kota lagi. Lebih seminggu bergabung
dengan 40-an anak muda jurusan arsitek dari berbagai kota, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Kendari, Pontianak, dan tentu saja jogja-Solo.
Beberapa di antaranta mahasiswa jurusan sosiologi UNS Surakarta.
Ada perasaan tua yang membuat saya agak
kikuk memulai perbincangan atau berdiskusi dengan anak-anak muda yang rerata usia
25–30-an tahun. Kuatir juga disangka sok akrab. Apalagi kalau ada yang tanya
“dulu kuliah dimana, selesai tahun berapa? Haa... iya, siap pak!” Pada
kenyataannya tidak lah sevulgar itu. Rasa penasaran lah yang menjembataninya,
sehingga percakapan bisa berubah menjadi diskusi-tanya jawab. Saya penasaran
mau tahu apa yang mereka pikirkan tentang Nyemplung
Kampung. Dan, mungkin saja di antara mereka mau tahu bagaimana memulai
bekerja dengan komunitas. Bagi saya perasaan seperti ini adalah pikiran yang
serius, yang seharusnya diguyonkan dalam bahasa sehari-hari dari pengalaman
pribadi.
Dalam hati saya bertanya apa yang sebaiknya
saya omongkan. Mas Heru dan Jalil, yang paling senior di antara Arkom itu, hanya
mengingatkan perlunya berbagi pengalaman. Betul, pengalaman adalah guru
terbaik. Ungkapan ini terasa semakin tua tetapi semakin berisi di hadapan kaum
muda. Dengan begitu, wong tue ini bisa
percaya diri, kata sahabat saya setengah berbisik. Baiklah, kita mengalir dari
apa dan dari mana saja.
Di meja kantin Wisma Seni Solo yang
tenang tetapi hangat, saya bercanda tentang formasi Arkom Jogja saat ini. Masih
ada para senior alias sing tue-tue,
Mas Heru, Jalil, Yuli Kusworo. Belakangan ini bergabung Hunk, Marsen dan Nuki.
Semuanya sahabat kerja saya di Aceh Pasca Gempa Tsunami 2005 – 2007. Sementara yang
muda sedang mengarungi lautan asmara. Mul baru saja menikah dengan gadis pujaannya
di Padang; Mayang dinikahi Cora, koleganya dari Makassar; Arta lebih duluan
menikah; Senja sedang bertunangan, siap naik panggung. Tersisa Tomo, Lintang,
terutama Aldi yang paling muda jadi bahan candaan. Sampai lah percakapan
tentang asmara, kuda dan senter.
Orang bujang seperti Aldi itu masih
berstatus “SSB” alias Senter-Senter Bella,
istilah anak muda di Makassar. Ibarat mencari sesuatu dalam kegelapan, perlu
alat senter untuk tahu dan sampai pada – sambil melirik Senja – tiga kecocokan
dalam asmara, yaitu “cocok hati, cocok harga, dan cocok kelamin”. Maksudku,
begitulah liku-liku menuju ke lembaga perkawinan. Mengapa senter? Penjelasannya
bisa jadi serius. Lebih baik mengatakan bahwa setiap lelaki itu memiliki “Abangnya
Senter, Adiknya Kuda” supaya terasa candaannya. Tanpa perlu penjelasan, biar
lah mereka berimajinasi. Dengan latihan berpikir imajinatif, hasrat-hasrat yang
dilahirkannya bukanlah angan-angan semata, tetapi suatu rangsangan untuk
bertindak kreatif. Imajinasi lah yang melahirkan cita-cita. Pada gilirannya
menjadi visi yang memandu tujuan berorganisasi.
Marsen, Hunk, Lintang dan beberapa anak
muda terbahak-bahak mendengar guyonan orang Surabaya-Madura versi Arta. Saya
pun ikut nimbrung dengan cerita anak muda Makassar yang pertama kali merantau
ke Jakarta. Dengan kapal Pelni, anak muda itu sampai di pelabuhan Tanjung
Priok. Di pintu keluar pelabuhan, dia dihadang tukang ojek. Si anak muda
bertanya. “Mas, ojek, mas. Berapa ke Cilincing”. Spontan tukang ojek menjawab.
“Goceng, mas”. Pemuda ini pertama kali mendengar kata ‘goceng’. Tetapi, dia
merasa gengsi bertanya apa atau berapa itu ‘goceng’. Antara penasaran dan kuatir
ketahuan sebagai pendatang baru, dia balik tanya. “Bisa tawar mas. bagaimana
kalau Aheng saja?” Si tukang ojek balik tanya, “Aheng itu apa mas?”. Pemuda itu
justru balik tanya lagi, “Kau dulu, berapa itu Goceng?”. Setelah dia tahu
Goceng itu 5.000 rupiah, selesai lah rasa penasarannya. Tidak ada masalah di
antara goceng dengan aheng. Dan, perjalanan pun dilanjutkan. Singkat cerita,
kata ‘aheng’ itu penamaan bagi calo-calo penumpang kendaraan umum antarkabupaten
di Makassar.
Begitu pun dalam memulai bekerja dengan
komunitas. Bertanya adalah ilmu percakapan yang paling utama. Bahkan orang tua
dahulu sering berpesan kepada anak-anak muda yang hendak merantau atau bertamu
ke kampung seberang agar jangan mengobral kata-kata di rumah atau di kampung
yang baru dikunjungi. Orang Bugis dahulu percaya sekiranya ada tamu yang baru
kenal dan terlalu banyak bicara, biasanya orang itu dicap pembohong. Logisnya,
bagaimana mungkin suatu perkenalan dimulai dengan ceramah. Seringkali terjadi,
anak muda, apalagi yang berlatar sekolahan, tidak bisa menahan hasratnya untuk
menggurui orang-orang kampung. Sikap dasar seperti ini bertentangan dengan
prinsip-prinsip berkomunikasi atau berinteraksi dengan komunitas.
Pengalanan tujuah tahun Arkom Jogja yang
ditulis ulang oleh Marsen Sinaga dalam buku Pengorganisasian
Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai mengingatkan saya pada percakapan
Sangkala dan Uding tukang becak di Makassar. Di atas becaknya, Sangkala duduk
sambil cabut jenggot. Di belakangnya, Uding sedang mengisi TTS. Seketika itu
Uding nyeletuk, “sisa satu pertanyaan ini, daeng. Gunung Tertinggi di Jawa
Barat?” Spontan Sangkala menjawab, ”Borobudur”. “Ihhh, lima kotak ini
daeng...”. Sambil cabut jenggot, Sangkala tegas, “Ahh..tulis saja, cukup lah
itu”. Uding pun mengeja dan mengisi kotak “/bo/ro/bu/du/r/,,,iya ya, cukup juga”.
Tidak persis sama dengan makna cerita
kedua tukang becak itu bahwa pikiran harus didekatkan dengan kenyataan. Hambatan
teknis harus diatasi untuk mencapai tujuan strategis. Begitu pun dalam proses
pengorganisasian komunitas. Klaim keberhasilan program selalu saja menyisakan
hal-hal yang tertunda atau tidak sanggup dikerjakan. Oleh karena itu keberhasilan
diukur dari praktik-praktik yang baik sebagai tolak ukur kinerja organisasi.
Dari pengalaman Arkom, yang dimaksud hal-hal
yang belum selesai bukan lah suatu kegagalan. Adapun hal-hal yang belum
baik akan menjadi tantangan bagi setiap individu Arkom. Maka sikap dasar yang
diperlukan CO Arkom adalah menjadi individu yang organis, fleksibel,
berinisiatif untuk memahami realitas, tidak selalu terikat target program yang
mekanis.
Loji Gandrung, kediaman resmi walikota
Solo adalah situs bersejarah (museum), sebuah bangunan klasik abad XIX
berarsitektur kolonial. Penamaan Loji
Gandrung yang berarti pula “Rumah Dansa” merujuk pada masa kepemilikan
Johanes Agustinus Dezentye, pengusaha kolonial, yang menjadikanya tempat orang-orang Belanda bernyanyi, berpasangan,
berdansa. Bangunan ini cukup luas dan tertata baik. Di bagian belakang,
terdapat rumah Joglo yang berfungsi sebagai aula pertemuan bagi masyarakat
umum.
Di Loji Gandrung muncul istilah “Arkom
alias Arsitek Komputer”, yaitu profesi arsitek yang identik dengan keahlian mendesain
bangunan dari komputer. Profesi seperti ini menjadi arus utama dalam perancangan
tata ruang dan bangunan kota. Prof. Eko Budihardjo dalam Kongres IAI (Sindroma Colombus Melanda Arsitek, 1985)
mengkritknya dengan sebutan “arsitek yang bergulat dan main cinta dengan
dirinya sendiri” alias onani. Profesi arsitek dimaknai sebagai keahlian dan
uang. Padahal makna asali dari profesi dari bahasa Latin professio, yakni “janji (kepada) publik”. Mengutip pikiran Karlina
Supeli (Kebudayaan dan
Kegagapan Kita, 2013),
“Seseorang disebut
profesional bukan terutama dia pakar di bidangnya,
melainkan karena dengan kepakarannya dia menjalankan tugas dan pada saat bersamaan dia menjadikan keahliannya
sebagai sumbangan bagi kepentingan masyarakat”.
Kritik pak Eko 20 tahun
lalu itu memotivasi banyak arsitek-arsitek muda dekade tahun 2000-an untuk
mengembangkan paradigma pembangunan manusia. Beberapa nama yang pantas disebut
perintis di antaranya Romo Mangunwijaya, Eko Prawoto, Marco Kusumawijaya, yang
kemudian menginspirasi banyak arsitek muda untuk keluar dari main-stream. Arkom
Jogja sendiri dibangun dari arsitek muda di antaranya Yuli Kusworo dan Andrea
Cak-cak yang pernah nyemplung di tengah-tengah konflik seperti di Stren Kali
Surabaya, Kolong Tol Jakarta, Aceh pasca Tsunami, Kampung Pisang Makassar, dan Bungkutoko
Kendari.
Metode kerja yang khas
Arkom adalah pemetaan komunitas, yang mencakup aspek pendokumentasian potensi,
masalah dan kebutuhan komunitas. Kata kuncinya adalah “alat”. Metode ini diturunkan dari konsep Tribina Romo
Mangun di perkampungan Kali Code Yogyakarta. Sehingga outputnya berupa peta
yang komprehensif meliputi peta fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
Dengan pendekatan CO, Arkom kemudian mengfungsikan pemetaan dalam tiga proses:
pertama, sebagai alat untuk mengumpulkan warga, menghimpun informasi,
bekerjasama secara berkelompok, sampai pada pengambilan keputusan; kedua,
sebagai alat untuk menegosiasikan kepentingan warga dengan penentu kebijakan;
ketiga, sebagai alat kerja Arkom sendiri dalam mengolah informasi, data, dan
mendesainnya menjadi dokumen rancangan proyek.
Jika pemetaan hanyalah
alat, lalu apa yang sesungguhnya hendak dicapai Arkom? Ini pertanyaan yang
mengemuka dalam workshop. Untuk menjawabnya, maka misi Arkom harus dijelaskan
dalam kerangka gerakan alternatif untuk mengubah kebijakan. Dalam hal misi
Arkom sejalan dengan gerakan advokasi yang dimotori LSM/NGO dekade tahun 80-an.
Perbedaannya, Arkom digerakkan oleh komunitas arsitek, dan karena profesi itu
pula Arkom hendak atau seharusnya bekerja mengikuti para pendahulunya untuk
mengubah paradigma pembangunan arsitektural.
Pada akhirnya, gerakan
Arkom dapat dijelaskan dari pandangan Max Neef tentang pembangunan martabat
manusia melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Human
Scale Development: an Option for the Future, 1987). Menurutnya, apa yang
kita pahami tentang kebutuhan masyarakat seperti jalan, drainase, rumah,
sembako, air bersih, listrik, sekolah hanyalah alat untuk mencapai kebutuhan
yang sesungguhnya, yakni kebahagian, kebebasan, keselamatan, kepuasan, dan rasa
aman dari kekerasan. Faktanya, pemenuhan kebutuhan fisik itu seringkali menjadi
sumber perpecahan antarwarga, korupsi, bahkan mengakibatkan kerusakan terhadap
kearifan budaya lokal, penggusuran (bencana sosial) dan bencana lingkungan. Olehnya
itu, bekerja bersama komunitas pada prinsipnya membangun kearifan lokal, daya
kritis, dan kepercayaanya untuk menata diri dan mengubah ketimpangan sosial.
Sembilan kebutuhan dasar manusiawi atau yang sesungguhnya versi Max Neef adalah
subsistensi (subsistence), proteksi (protection), afeksi (affection),
penghargaan (understanding), keterlibatan (participation), rekreasi
(recreation), kreasi (creation), identitas (identity) dan kebebasan (freedom).
Kota
Solo sedang ramai-ramainya menyambut perayaan Imlek Grebeg Sudiro, terutama di sepanjang jalan Umbul Mataram, Pasar
Gede, dan Kali Pepe. Tradisi tahunan ini digelar pada masa Joko Widodo menjabat
Walikota Solo. Pada setiap perayaannya, Grebeg Sudiro mengemas tema-tema
inklusivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Even ini menjadi ikon persatuan
dalam kebhineekaan warga kota Solo.
Di
pusat keramaian depan Balaikota, samping jembatan, saya ditemani Mayang, Panji dan Adli menyusuri bantaran Kali Pepe dari Sudiroprajan sampai Keprabon. Terbayang
sepanjang kanal di kota Makassar yang dangkal, penuh sampah, airnya hitam,
kotor dan berbau. Kali Pepe tidak lah seburuk itu. Dinding kanal masih dalam,
sekira 2 meteran, dan airnya jernih, tetapi relatif bersih dari sampah. Pada
umumnya rumah penduduk menghadap kali. Ruas jalan yang rata-rata 2-4 meteran,
dimanfaatkan warga sebagai ruang publik, taman, tempat berjualan, kandang ayam,
dan MCK. Beberapa rumah penduduk masih seukuran 1 meter dari bantaran kali.
Warga
sepanjang Kali Pepe sudah tahu rencana proyek penataan Kali Pepe, termasuk
rencana Pemkot mengembangkan Wisata Sungai. Namun, kesan yang utama dari percakapan dengan warga bahwa Pemkot
akan melakukan penggusuran. Pesan “jangan gusur ya” berulang kali diungkapkan
warga kepada Arkom sejak hari pertama Nyemlung Kampung. Terhadap hal ini,
pak Wali akan bertindak tegas menggeser rumah warga yang rapat dengan
bantaran kali Pepe minimal 3 meteri. Selain dilandasi oleh
peraturan pemerintah, juga untuk keamanan dan kenyamanan warga sendiri, serta
perbaikan lingkungan perairan sungai. Peran Arkom dalam hal ini adalah mereproduksi
pengetahuan warga ke dalam dokumen perencanaan yang komprehensif, dan
menjadikannya sebagai media untuk berunding dengan Pemkot. (Bersambung)
2 komentar:
ASIK, MANTAP
Artikel terkait buku ikut kami lansirkan di link: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/17069
Posting Komentar