9 Jul 2019

LATOA, Transformasi Nilai Budaya Politik Orang Bugis



M. Nawir
Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis adalah judul buku karangan Mattulada[1], yang diterbitkan pertama kali oleh Gajah Mada University Press (1985). Buku ini merupakan disertasi Mattulada untuk memperoleh gelar Doktor Antropologi di Universitas Indonesia tahuh 1975.
Tidak banyak tulisan yang mengulas latar-hidup Mattulada dan isi bukunya ini. Hal yang berbeda dengan tulisan tentang profil cendekiawan-budayawan Bugis lainnya seperti Profesor Andi Zainal Abidin Farid. Sejauh yang terpantau, profesor Mattulada dikenal sebagai cendekiawan kritis. Ada penulis yang menyebut beliau, pejuang, penentang Westerling. Satu di antaranya Dahlan Abu Bakar, wartawaan senior, alumni Fakultas Sastra Unhas, yang bersaksi bahwa Mattulada berani menyebut Indonesia masa pemerintah Orde Baru adalah “Negara Pejabat”; sikap kritis yang jarang dicetuskan oleh para budayawan-cendekiawan Sulsel pada masa itu. Mungkin karena hal itu pula pak Mat, begitu panggilan akrabnya, nyaris tidak pernah memperoleh penghargaan[2]
Latoa, demikian penyebutannya, melukiskan sistim nilai dan wujud budaya politik orang Bugis[3]. Naskah Latoa tergolong dalam jenis Lontara’, yang membedakannya dengan naskah Sure’ Galigo. Naskah ini menandai periode sejarah masyarakat Sulawesi Selatan, dimulai sekitar abad XIII hingga abad XVIII. Tokoh-tokoh utama di dalamnya merupakan para raja dan rakyat yang hidup dalam suatu sistim demokrasi-monarki. Latoa sendiri diangkat dari peranan seorang bagi penasihat raja Bone, yakni Kajaolaliddo.
Sebagaimana diterangkan penulisnya pada Bab Pendahuluan, penulisan Latoa dimaksudkan untuk mentransformasikan “unsur-unsur lama” dari suatu kebudayaan ke dalam budaya politik masyarakat generasi berikutnya. Adalah menjadi tugas tiap generasi untuk menjaga kesinambungan hidup dari wujud kebudayaan itu, terutama agar terpeliharanya keserasian, perkembangan integrasi kepribadian manusia Indonesia dalam pembangunannya (Latoa, 1995:2).
Unsur-unsur lama Panngaderreng berupa nilai-nilai, norma dan sejumlah pranata kehidupan yang ideal, mencakup aspek sikap dan pandangan hidup (singkeruang), tingkah laku (barangkau’), dan harta-benda (abbaramparangeng) {Latoa, 1995:2). Berkaitan dengan hal ini, Laica Marzuki (Siri: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, 1995:21) merumuskan wujud  kebudayaan (Panngaderreng) Mattulada ke dalam struktur piramida terbalik. Semakin ke bawah, semakin kongkrit karakteristik sistim kebudayaan itu. Namun, demikian cita-cita, gagasan serta pemikiran yang terdapat pada sistim budaya (cultural system) tidak hanya berpengaruh secara transaparan pada sistim sosial (social system) dan peralatan kehidupan (physical culture); Sebaliknya bisa terjadi pengaruh dari bawah ke atas piramida, sehingga akan terbentuk gagasan dan pemikiran baru.  
Mattulada menyebut Latoa sebagai studi tentang antropologi politik, khususnya sistim politik kerajaan Bone, yang menjadi lokus dan fokus pengkajiannya berdasarkan naskah lontara’ yang diterbitkan B.F. Matthes (1872) di Amsterdam. Naskah lontara’ ini bergenre sure’ bicara attoriolong  berisi kumpulan peraturan-peraturan dan undang-undang yang berlaku dalam kerajaan Bone. 
Dalam uraian pada Bab III, Mattulada mengabstraksi konsep Panngaderreng sebagai proses sosialisasi individu ke dalam sistim politik, yang disebutnya Menegara. Laiknya proses seorang warga negara Indonesia melembagakan nilai-nilai utama Pancasila untuk sampai pada kesadaran tentang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses Menegara bagi orang Bugis dilakoni dengan menginternalisasi empat nilai fundamendatal dalam Panngadereng; Ade’, Bicara, Wari’, dan Sara’ (Latoa, 341). Suatu sistim politik dapat dibangun apabila ditopang oleh keempat nilai dan azaz fundamen (Ade’), sebagai berikut:
(1) Azas Mappasilasa’e, yakni manifestasi Ade’ dalam wujud sikap dan tingkah laku individu yang menjaga keserasian, pencegahan dan penyelamatan;
(2) Azas Mappasisaue, yakni manifestasi Ade’ sebagai pedoman legalitas dalam bentuk kesadaran individu yang diungkapkan melalui Bicara tentang kesamaan perlakuan secara hukum maupun etika;
(3) Azas Mappasenrupae, yakni manifestasi Ade’ melalui Rapang untuk memelihara kontinuitas pola dan stabilitas perubahan.
(4) Azas Mappallaiseng, yakni manifestasi Ade’ melalui Wari untuk mencapai ketertiban dengan pembatasan terhadap interaksi antarindividu dan kelembagaan sosial.
Lebih jauh, Mattulada menegaskan bahwa Ade’ mencakup pengertian yang luas, mencakup kaidah kemasyarakatan, hukum, adat dan kebiasaan. Mattulada menyimpulkan kedua konsep tersebut seperti dalam kutipan berikut ini (Latoa, 1995:345):
“Tiap-tiap  segi kebudayaan mengandung aspek Ade’ dan Ade’ itulah yang memberi isi kepada Pannggaderreng. Apabila panngaderreng itu adalah kumpulan dari seluruh aspek Ade’, maka dapatlah dikatakan bahwa panngaderreng ialah wujud kebudayaan orang Bugis dan Ade’ adalah kongkritisasi atau penjelmaan sesuatu aspek kebudayaan, baik dalam bentuk nilai-nilai ideal berupa customs, adat dan lain-lain yang disebut singkeruang; kelakuan-kelakuan yang disebut barangkau, maupun dalam bentuk fisik yang disebut abbaramparangeng.
Periode Galigo dan Lontara’
Sebagaimana ditegaskan oleh Mattulada pada bab Pendahuluan, jenis kepustakaan lontara’ dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sure’ Galigo dan Lontara’. Kedua jenis naskah ini menandai peralihan periode tradisi lisan ke tulisan masyarakat Bugis dahulu. Yang pertama berisi mitologi kejadian manusia, diwariskan secara lisan antargenerasi, kemudian ditulis ulang menjadi Lontara’. Sure’ Galigo adalah mitos para dewa di puncak langit (Boting-langi’) yang menitiskan “manusia istimewa” (Latoa, 1995:65) sebagai penghuni dan pengatur tata tertib di atas bumi. Tokoh-tokoh utana dalam mitologi Galigo seperti Batara Guru, We Nyili’ Timo, Batara Lattu, We Opu Sengeng, We Cuday, Sawerigading. Dengan nada satire, Mattulada mengilustrasikan para dewa turun atau diturunkan dari langit karena “mereka tak mampu mengatasi kesepiannya”. Para dewa ini menemui manusia di bumi, yang disebut oleh Mattulada sebagai “manusia-manusia istimewa”, “manusia luar biasa”, “manusia setengah dewa”. Para dewa  kemudian menghadirkan para penguasa di bumi, dan menciptakan ketertiban. Manusia tunduk dan takluk menerima nasib (Latoa, 1995:65).
Oleh karena Sure’ Galigo bukanlah kisah tentang kehidupan manusia manusia nyata, maka Mattulada menyiratkan bahwa lontara’ tersebut tidak mengandung pengetahuan tentang sistim nilai dan pranata sosial manusia: “Bagaimanakah kita bisa melukiskan watak pranata sosial dari sudut mereka, kalau yang ada hanyalah watak manusia dewa istimewa itu, yang bentuk peranannya dan segala perilakunya adalah perilaku dalam peranan dewa-dewa belaka? Segala sesuatu ditentukan dari atas menurut kehendak sang dewa” (Latoa, 1995:66). Mattulada kemudian menyarankan perlunya pengkajian terhadap periode penulisan Sure’ Galigo.
Panngaderreng di Era Pembaharuan
Buku ini diterbitkan pada awal masa pemerintahan Orde Baru, ketika spirit pembangunan dipacu, dan stabilitas diarusutamakan. Pada era ini, perubahan sistim nilai (Panngaderreng) dalam kepemimpinan elit politik di Sulawesi Selatan pun berubah dalam hal cara menjadi pemimpin, strukturnya masih berpola elit masa lalu (Latoa, 1995:504).
Karlina Supeli dalam Paradigma Baru Strategi Kebudayaan Indonesia (2014:11) menggunakan mentalitas zaman untuk merefleksikan cara hidup, merasa, berpikir, dan berperilaku masyarakat yang dinamis. Kelenturan mental dalam suatu masa, yakni hasrat dan kemampuan suatu kaum untuk mengubah bahkan meninggalkan cara pandang yang dominan. Misalnya, mentalitas elit pada masa kolonial biasanya disebut juga mentalitas “inlander”, “amtenaar”, untuk mengilustrasikan perubahan pada aspek cara atau gaya memerintah, tetapi pola struktur politiknya adalah warisan feodal. Perubahan lebih karena didorong oleh hasrat ragawi.   
Pada masa kerajaan, seleksi kepemimpinan mendasarkan pada pewarisan biologis dengan mengutamakan kemurnian darah dan sedikit kemampuan pribadi. Memasuki pemerintahan Hindia Belanda, seleksi kepemimpinan pun mengutamakan ketuturunan elit disertai dengan kesetiaan kepada pemerintah Hindia Belanda (Negeri Kerajaan Belanda). Pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, ada usaha mengedepankan ciri kepemimpinan kharismatik, didasarkan kekaguman pada pemimpin pejuang, pahlawan, disertai kesetiaan pada korps yang otoriter tertutup.
Pengaruh unsur-unsur Panngaderreng pada kehidupan masyarakat politik masa Orba tampak pada arah kebijaksanaan penguasa dalam pengambilan keputusan; misalnya dalam pengangkatan dan pemilihan aparat pemerintahan di daerah (desa), pengerahan massa untuk mengikuti kegiatan atau rapat umum, dan usaha menciptakan ketaatan pada keputusan politik penguasa. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, unsur Ade’ identik dengan sopan santun, kebiasaan untuk menjaga ketertiban umum.
Di sektor perdagangan, supremasi niagawan Bugis berlangsung hingga tahun 1950an. Memasuki masa perdagangan moderen yang memadukan jejaring lokal, nasional dan global, supremasi ekonomi tradisional tersungkur, tidak mampu menghadapi pesaingnya, baik pedagang Tionghoa maupun bangsa asing lainnya. Selain kalah dalam akumulasi modal, kapasitas berorganisasi, usahawan pribumi umumnya gagal dalam mengatasi hambatan tradisional seperti nepotisme (Latoa, 1995:500). Begitu pun sistim koperasi yang dicanangkan Bung Hatta tidak berkembang, bahkan menyimpang dari gagasan dan asas pendiriannya. Sistim liberasi pasar mengutamakan rasionalitas dan individualitas. Kondisi seperti ini semakin suram pada masa Orba, dimana kebijakan ekonomi bersifat terbuka bagi investasi multinational corporation dibawah kendali kebijakan Structural Adjustment Project (SAP) Bank Dunia/Imf. Pada momen ini, pengusaha Tionghoa lebih leluasa mengembangkan jejaring konglomerasi lantaran adanya semacam pembatasan bagi mereka agar tidak berpolitik (depolitisasi).
Perubahan peraturan perundang-undangan nasional pun merembes ke dalam kaidah-kaidah Panngaderreng, misalnya Siri’ yang berkaitan dengan hukuman menurut KUHP terhadap perbuatan ‘asusila’ seperti dalam kasus zinah maupun Silariang; kebiasaan membawa senjata tajam (Badik) tanpa izin; serta pembatasan bagi orang Bugis ke luar wilayah Suslel (Instruksi Gubernur Nomor 3/1969). Banyak pelanggaran peraturan pemerintah terjadi tanpa disadari sebagai suatu pelanggaran lantaran pelaku masih menganut kaidah tradisi Panngaderreng. 
Suatu peraturan baru dirasakan adil sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma yang diyakini orang Bugis, misalnya Pancasila. Orang Bugis mengapresiasi Pancasila dalam kaidah Ade’ Puroonro. Dalam lontara’ Latoa, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ternyatakan sebagai prinsip tertinggi, asal sekaligus akhir segala sesuatu. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab tersimpul dalam Siri’na Mattu Tongeng, atau dalam ungkapan awam Sipakatau. Sila Persatuan Indonesia terungkapkan dalam Parujunna to Tebbe’e. Sila Kerakyatan dan Permusyawaratan terlegitimasi dalam prinsip Turuseng ri Baruga-e atau dalam bahasa awam tudang sipulung. Sila Keadilan Sosial tersimpul dalam dalam ungkapan Siariwawong. Mattulada menegaskan bahwa tidak satupun sila dari Pancasila yang asing dalam kaidah Panngaderreng (Latoa, 1995:508).
Mattulada mengutip Sutopo (Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 1974:15), situasi ideal terjadi apabila terlahir organization man, yakni elit baru atau pemimpin yang bersikap idealistis, mendukung ideologi medernisme, anti feodal, anti kolonial, demokratis, humaniter sosialistis, serta berfungsi sebagai akumulator gagasan pembaharuan. Sehubungan dengan pendapat tersebut, Mattulada mengemukakan beberapa faktor pendukung terbentuknya elit baru pembaharu sebagai berikut:
(1) Orang Bugis memiliki tabiat pengembara, meninggalkan desa, sehingga memungkinkan kontak dengan dunia dan masyarakat luas;
(2) Orang Bugis memiliki kaidah-kaidah Panngaderreng yang fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan dari masyarakat dunia luar;
(3) Orang Bugis memiliki kesetiaan pada pemimpin, sehingga cepat mencontoh perubahan yang dilakukan pemimpinnya.
(Bersambung)


[1] Mattulada, Profesor, adalah Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin. Mattulada menjabat Ketua Senat Guru Besar Unhas periode tahun 1990-1994, setelah menjabat Rektor Universitas Tadulako tahun 1981-1990. Beliau wafat pada tanggal 12 Oktober 2000 di Makassar
[2] Menurut Dahlan Abu Bakar, penghargaan pertama yang diberikan kepada profesor Mattulada adalah “Mattulada Award” kepada 10 tokoh Sulsel   (https://www.kompasiana.com/www.independen.co/54f3892e745513992b6c7a47/pertama-kali-penghargaan-mattulada-diberikan)
[3] Orang Bugis yang dimaksud adalah To Ugi adalah suku bangsa terbesar di kawasan Sulawesi Selatan, berjumlah lebih dari dua pertiga jiwa, dan mendiami 14 di antara 23 kabupaten (p. 5).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar