Latoa,
Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis adalah judul buku
karangan Mattulada[1],
yang diterbitkan pertama kali oleh Gajah Mada University Press (1985). Buku ini
merupakan disertasi Mattulada untuk memperoleh gelar Doktor Antropologi di
Universitas Indonesia tahuh 1975.
Tidak banyak tulisan yang mengulas latar-hidup
Mattulada dan isi bukunya ini. Hal yang berbeda dengan tulisan tentang profil
cendekiawan-budayawan Bugis lainnya seperti Profesor Andi Zainal Abidin Farid. Sejauh
yang terpantau, profesor Mattulada dikenal sebagai cendekiawan kritis. Ada penulis
yang menyebut beliau, pejuang, penentang Westerling. Satu di antaranya Dahlan
Abu Bakar, wartawaan senior, alumni Fakultas Sastra Unhas, yang bersaksi bahwa
Mattulada berani menyebut Indonesia masa pemerintah Orde Baru adalah “Negara
Pejabat”; sikap kritis yang jarang dicetuskan oleh para budayawan-cendekiawan
Sulsel pada masa itu. Mungkin karena hal itu pula pak Mat, begitu panggilan
akrabnya, nyaris tidak pernah memperoleh penghargaan[2].
Latoa, demikian
penyebutannya, melukiskan sistim nilai dan wujud budaya politik orang Bugis[3].
Naskah Latoa tergolong dalam jenis Lontara’, yang membedakannya dengan naskah Sure’ Galigo. Naskah ini menandai
periode sejarah masyarakat Sulawesi Selatan, dimulai sekitar abad XIII hingga
abad XVIII. Tokoh-tokoh utama di dalamnya merupakan para raja dan rakyat yang
hidup dalam suatu sistim demokrasi-monarki. Latoa sendiri diangkat dari peranan
seorang bagi penasihat raja Bone, yakni Kajaolaliddo.
Sebagaimana diterangkan penulisnya pada
Bab Pendahuluan, penulisan Latoa dimaksudkan untuk mentransformasikan “unsur-unsur
lama” dari suatu kebudayaan ke dalam budaya politik masyarakat generasi
berikutnya. Adalah menjadi tugas tiap
generasi untuk menjaga kesinambungan hidup dari wujud kebudayaan itu, terutama
agar terpeliharanya keserasian, perkembangan integrasi kepribadian manusia
Indonesia dalam pembangunannya (Latoa, 1995:2).
Unsur-unsur lama Panngaderreng berupa nilai-nilai, norma dan sejumlah pranata
kehidupan yang ideal, mencakup aspek sikap dan pandangan hidup (singkeruang), tingkah laku (barangkau’), dan harta-benda (abbaramparangeng) {Latoa, 1995:2).
Berkaitan dengan hal ini, Laica Marzuki (Siri:
Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, 1995:21) merumuskan wujud kebudayaan (Panngaderreng) Mattulada ke dalam
struktur piramida terbalik. Semakin ke bawah, semakin kongkrit karakteristik sistim
kebudayaan itu. Namun, demikian cita-cita, gagasan serta pemikiran yang
terdapat pada sistim budaya (cultural
system) tidak hanya berpengaruh secara transaparan pada sistim sosial
(social system) dan peralatan kehidupan (physical
culture); Sebaliknya bisa terjadi pengaruh dari bawah ke atas piramida,
sehingga akan terbentuk gagasan dan pemikiran baru.
Mattulada menyebut Latoa sebagai studi
tentang antropologi politik, khususnya sistim politik kerajaan Bone, yang
menjadi lokus dan fokus pengkajiannya berdasarkan naskah lontara’ yang
diterbitkan B.F. Matthes (1872) di Amsterdam. Naskah lontara’ ini bergenre sure’
bicara attoriolong berisi kumpulan peraturan-peraturan dan
undang-undang yang berlaku dalam kerajaan Bone.
Dalam uraian pada Bab III, Mattulada mengabstraksi
konsep Panngaderreng sebagai proses
sosialisasi individu ke dalam sistim politik, yang disebutnya Menegara. Laiknya proses seorang warga
negara Indonesia melembagakan nilai-nilai utama Pancasila untuk sampai pada
kesadaran tentang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses Menegara bagi orang Bugis dilakoni
dengan menginternalisasi empat nilai fundamendatal dalam Panngadereng; Ade’, Bicara, Wari’, dan Sara’ (Latoa, 341). Suatu sistim
politik dapat dibangun apabila ditopang oleh keempat nilai dan azaz fundamen (Ade’), sebagai berikut:
(1) Azas Mappasilasa’e, yakni manifestasi Ade’ dalam wujud sikap dan tingkah
laku individu yang menjaga keserasian, pencegahan dan penyelamatan;
(2) Azas Mappasisaue, yakni manifestasi Ade’ sebagai
pedoman legalitas dalam bentuk kesadaran individu yang diungkapkan melalui
Bicara tentang kesamaan perlakuan secara hukum maupun etika;
(3) Azas Mappasenrupae, yakni manifestasi Ade’ melalui Rapang untuk
memelihara kontinuitas pola dan stabilitas perubahan.
(4) Azas Mappallaiseng, yakni manifestasi Ade’ melalui Wari untuk mencapai
ketertiban dengan pembatasan terhadap interaksi antarindividu dan kelembagaan
sosial.
Lebih jauh, Mattulada menegaskan bahwa
Ade’ mencakup pengertian yang luas, mencakup kaidah kemasyarakatan, hukum, adat
dan kebiasaan. Mattulada menyimpulkan kedua konsep tersebut seperti dalam
kutipan berikut ini (Latoa, 1995:345):
“Tiap-tiap segi kebudayaan mengandung aspek Ade’ dan
Ade’ itulah yang memberi isi kepada Pannggaderreng. Apabila panngaderreng itu
adalah kumpulan dari seluruh aspek Ade’, maka dapatlah dikatakan bahwa
panngaderreng ialah wujud kebudayaan orang Bugis dan Ade’ adalah kongkritisasi
atau penjelmaan sesuatu aspek kebudayaan, baik dalam bentuk nilai-nilai ideal
berupa customs, adat dan lain-lain
yang disebut singkeruang;
kelakuan-kelakuan yang disebut barangkau,
maupun dalam bentuk fisik yang disebut abbaramparangeng.
Periode
Galigo dan Lontara’
Sebagaimana ditegaskan oleh Mattulada
pada bab Pendahuluan, jenis kepustakaan lontara’ dibagi menjadi dua bagian,
yaitu Sure’ Galigo dan Lontara’. Kedua jenis naskah ini menandai peralihan
periode tradisi lisan ke tulisan masyarakat Bugis dahulu. Yang pertama berisi
mitologi kejadian manusia, diwariskan secara lisan antargenerasi, kemudian
ditulis ulang menjadi Lontara’. Sure’ Galigo adalah mitos para dewa di puncak
langit (Boting-langi’) yang menitiskan “manusia istimewa” (Latoa, 1995:65)
sebagai penghuni dan pengatur tata tertib di atas bumi. Tokoh-tokoh utana dalam
mitologi Galigo seperti Batara Guru, We Nyili’ Timo, Batara Lattu, We Opu
Sengeng, We Cuday, Sawerigading. Dengan nada satire, Mattulada mengilustrasikan
para dewa turun atau diturunkan dari langit karena “mereka tak mampu mengatasi
kesepiannya”. Para dewa ini menemui manusia di bumi, yang disebut oleh
Mattulada sebagai “manusia-manusia istimewa”, “manusia luar biasa”, “manusia
setengah dewa”. Para dewa kemudian menghadirkan para penguasa di
bumi, dan menciptakan ketertiban. Manusia tunduk dan takluk menerima nasib
(Latoa, 1995:65).
Oleh karena Sure’ Galigo bukanlah kisah
tentang kehidupan manusia manusia nyata, maka Mattulada menyiratkan bahwa
lontara’ tersebut tidak mengandung pengetahuan tentang sistim nilai dan pranata
sosial manusia: “Bagaimanakah kita bisa melukiskan watak pranata sosial dari
sudut mereka, kalau yang ada hanyalah watak manusia dewa istimewa itu, yang
bentuk peranannya dan segala perilakunya adalah perilaku dalam peranan
dewa-dewa belaka? Segala sesuatu ditentukan dari atas menurut kehendak sang
dewa” (Latoa, 1995:66). Mattulada kemudian menyarankan perlunya pengkajian terhadap
periode penulisan Sure’ Galigo.
Panngaderreng
di Era Pembaharuan
Buku ini diterbitkan pada awal masa
pemerintahan Orde Baru, ketika spirit pembangunan dipacu, dan stabilitas
diarusutamakan. Pada era ini, perubahan sistim nilai (Panngaderreng) dalam
kepemimpinan elit politik di Sulawesi Selatan pun berubah dalam hal cara
menjadi pemimpin, strukturnya masih berpola elit masa lalu (Latoa, 1995:504).
Karlina Supeli dalam Paradigma Baru Strategi Kebudayaan Indonesia (2014:11) menggunakan
mentalitas zaman untuk merefleksikan cara hidup, merasa, berpikir, dan
berperilaku masyarakat yang dinamis. Kelenturan mental dalam suatu masa, yakni
hasrat dan kemampuan suatu kaum untuk mengubah bahkan meninggalkan cara pandang
yang dominan. Misalnya, mentalitas elit pada masa kolonial biasanya disebut
juga mentalitas “inlander”, “amtenaar”, untuk mengilustrasikan perubahan pada
aspek cara atau gaya memerintah, tetapi pola struktur politiknya adalah warisan
feodal. Perubahan lebih karena didorong oleh hasrat ragawi.
Pada masa kerajaan, seleksi kepemimpinan
mendasarkan pada pewarisan biologis dengan mengutamakan kemurnian darah dan
sedikit kemampuan pribadi. Memasuki pemerintahan Hindia Belanda, seleksi kepemimpinan
pun mengutamakan ketuturunan elit disertai dengan kesetiaan kepada pemerintah
Hindia Belanda (Negeri Kerajaan Belanda). Pada masa Orde Lama hingga Orde Baru,
ada usaha mengedepankan ciri kepemimpinan kharismatik, didasarkan kekaguman pada
pemimpin pejuang, pahlawan, disertai kesetiaan pada korps yang otoriter
tertutup.
Pengaruh unsur-unsur Panngaderreng pada
kehidupan masyarakat politik masa Orba tampak pada arah kebijaksanaan penguasa
dalam pengambilan keputusan; misalnya dalam pengangkatan dan pemilihan aparat
pemerintahan di daerah (desa), pengerahan massa untuk mengikuti kegiatan atau
rapat umum, dan usaha menciptakan ketaatan pada keputusan politik penguasa. Sementara
dalam kehidupan sehari-hari, unsur Ade’ identik dengan sopan santun, kebiasaan
untuk menjaga ketertiban umum.
Di sektor perdagangan, supremasi niagawan
Bugis berlangsung hingga tahun 1950an. Memasuki masa perdagangan moderen yang
memadukan jejaring lokal, nasional dan global, supremasi ekonomi tradisional
tersungkur, tidak mampu menghadapi pesaingnya, baik pedagang Tionghoa maupun bangsa
asing lainnya. Selain kalah dalam akumulasi modal, kapasitas berorganisasi,
usahawan pribumi umumnya gagal dalam mengatasi hambatan tradisional seperti
nepotisme (Latoa, 1995:500). Begitu pun sistim koperasi yang dicanangkan Bung
Hatta tidak berkembang, bahkan menyimpang dari gagasan dan asas pendiriannya. Sistim
liberasi pasar mengutamakan rasionalitas dan individualitas. Kondisi seperti ini
semakin suram pada masa Orba, dimana kebijakan ekonomi bersifat terbuka bagi
investasi multinational corporation
dibawah kendali kebijakan Structural
Adjustment Project (SAP) Bank Dunia/Imf. Pada momen ini, pengusaha Tionghoa
lebih leluasa mengembangkan jejaring konglomerasi lantaran adanya semacam
pembatasan bagi mereka agar tidak berpolitik (depolitisasi).
Perubahan peraturan perundang-undangan
nasional pun merembes ke dalam kaidah-kaidah Panngaderreng, misalnya Siri’ yang berkaitan dengan hukuman
menurut KUHP terhadap perbuatan ‘asusila’ seperti dalam kasus zinah maupun Silariang; kebiasaan membawa senjata tajam
(Badik) tanpa izin; serta pembatasan bagi orang Bugis ke luar wilayah Suslel
(Instruksi Gubernur Nomor 3/1969). Banyak pelanggaran peraturan pemerintah
terjadi tanpa disadari sebagai suatu pelanggaran lantaran pelaku masih menganut
kaidah tradisi Panngaderreng.
Suatu peraturan baru dirasakan adil
sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma yang diyakini orang Bugis, misalnya
Pancasila. Orang Bugis mengapresiasi Pancasila dalam kaidah Ade’ Puroonro. Dalam lontara’ Latoa,
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ternyatakan sebagai prinsip tertinggi, asal
sekaligus akhir segala sesuatu. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
tersimpul dalam Siri’na Mattu Tongeng,
atau dalam ungkapan awam Sipakatau.
Sila Persatuan Indonesia terungkapkan dalam Parujunna
to Tebbe’e. Sila Kerakyatan dan Permusyawaratan terlegitimasi dalam prinsip
Turuseng ri Baruga-e atau dalam
bahasa awam tudang sipulung. Sila
Keadilan Sosial tersimpul dalam dalam ungkapan Siariwawong. Mattulada menegaskan bahwa tidak satupun sila dari
Pancasila yang asing dalam kaidah Panngaderreng (Latoa, 1995:508).
Mattulada mengutip Sutopo (Beberapa Pokok Antropologi Sosial,
1974:15), situasi ideal terjadi apabila terlahir organization man, yakni elit baru atau pemimpin yang bersikap
idealistis, mendukung ideologi medernisme, anti feodal, anti kolonial,
demokratis, humaniter sosialistis, serta berfungsi sebagai akumulator gagasan
pembaharuan. Sehubungan dengan pendapat tersebut, Mattulada mengemukakan
beberapa faktor pendukung terbentuknya elit baru pembaharu sebagai berikut:
(1) Orang Bugis memiliki tabiat
pengembara, meninggalkan desa, sehingga memungkinkan kontak dengan dunia dan
masyarakat luas;
(2) Orang Bugis memiliki kaidah-kaidah
Panngaderreng yang fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan dari masyarakat
dunia luar;
(3) Orang Bugis memiliki kesetiaan pada
pemimpin, sehingga cepat mencontoh perubahan yang dilakukan pemimpinnya.
(Bersambung)
[1] Mattulada, Profesor,
adalah Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin. Mattulada menjabat Ketua
Senat Guru Besar Unhas periode tahun 1990-1994, setelah menjabat Rektor
Universitas Tadulako tahun 1981-1990. Beliau wafat pada tanggal 12 Oktober 2000
di Makassar
[2] Menurut Dahlan Abu Bakar,
penghargaan pertama yang diberikan kepada profesor Mattulada adalah “Mattulada
Award” kepada 10 tokoh Sulsel (https://www.kompasiana.com/www.independen.co/54f3892e745513992b6c7a47/pertama-kali-penghargaan-mattulada-diberikan)
[3] Orang Bugis yang
dimaksud adalah To Ugi adalah suku bangsa terbesar
di kawasan Sulawesi Selatan, berjumlah lebih dari dua pertiga jiwa, dan
mendiami 14 di antara 23 kabupaten (p. 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar