Buku Mattulada dari Pejuang hingga
Ilmuwan setebal 168 halaman tersebut ditulis oleh Dr. Muh. Dahlan Abubakar,
M.Hum, diterbitkan oleh Kompas Media Nusantara. Buku tersebut memuat catatan
(reportase) kak Dahlan perihal Asal dan Kelahiran, Pendidikan dan Perjuangan,
serta Pengabdian dan Gagasan Pemikiran Mattulada hingga dekade tahun 2000-an. Layaknya
sebuah catatan reportase, buku ini mengutamakan kesaksian penulis berdasarkan
catatan pribadi, kebanyakan dari sumber pemberitaan Harian Kompas sejak tahun
1970-an.
Membaca beberapa bagian dalam buku
tersebut, saya penasaran; apa pesan yang disisipkan penulis dalam bukunya itu;
apa relevansinya, dan bagaimana kekinian atau kontekstualitas perjuangan dan
pemikiran Mattulada di era revolusi industri 4.0. Sayang, tidak cukup waktu untuk
membahas semuanya. Atas keterbatasan itu saya menulis catatan, semacam kesaksian
seorang yunior atas percakapan para senior dan profesor.
Mattulada wafat di Makassar dua puluh
tiga tahun silam, tepatnya 12 Oktober 2000 dalam usia 72 tahun. Pak Mat, demikian
kolega dan murid menyapa almarhum, dimakamkam di Taman Makam Pahlawan
Panaikang. Peristiwa pemakaman itu menegaskan sosok Mattulada yang jarang
diketahui generasi masa kini – sebagaimana dikemukakan kak Dahlan – adalah pejuang
sekaligus ilmuwan. Serta merta narasi “kepahlawanan” Mattulada menyimpan
konteks/latar sejarah kebangsaan, antara lain sebagai anggota Tentara Pelajar
1945-1950 berpangkat letnan (hal. 153), dan pelopor gagasan federalisme (Keadilan
vs Negara Federal, hal. 133), yang saat ini kita alami sebagai era otonomi
daerah pasca reformasi 1998.
Saya memahami reportase Kak Dahlan sebagai
upaya kontekstualisasi jiwa (etos) kejuangan dan keilmuan Mattulada bagi
generasi masa kini. Saya sependapat bahwa sosok Mattulada sebagai pejuang dan
sebagai ilmuwan; ibarat dua sisi selembar kertas timbal balik karena kedua hal
itu melekat sepanjang karir almarhum. Semisal kritik Mattulada terhadap rezim “Negara
Pejabat” (hal. 116) masa pemerintahan Orde Baru (Pemilu 1977); suatu pendapat
yang tidak lazim tetapi dipahami sebagai peringatan seorang intelektual
(ilmuwan)–bukan sebagai ‘demonstran’–agar rezim Orba mencegah pemerintahan RI
dari kepemimpinan despotik dan otoriter. Kritik ini kemudian benar, terbukti
“pejabat-penguasa” Orba runtuh dalam momentum Reformasi 1998, dua puluh tahun
kemudian. (reformasi itu ular)
Profesor Darwis mengungkap kepribadian seorang
pemimpin diukur dari sejauhmana dia mewujudkan Siriq (harga diri) dan Lempuq
(kejujuran). Kedua nilai dasar ini merupakan landasan etis dan moralitas yang
bersumber dari kesadaran pada nilai ketuhanan (tauhid), yang kemudian mengontrol
kepemimpinan politik orang Bugis. Terhadap hal ini Alwy Rachman melengkapi
pendapat Prof. Darwis bahwa moralitas orang Bugis bersifat resiprokal,
saling-melengkapi dan mempengaruhi, bukan logika “oposisi-biner” (saling
menegasi, mengingkari)[1].
Semisal Siriq berpasangan dengan Pesse/Pacce (empati), Lempuq berpasangan
dengan Getteng (integritas). Siriq tidak bertentangan dengan Getteng,
sebagaimana Pesse dapat berpasangan dengan Lempuq. Penggunaan Siriq secara
monolitik (sepihak) berisiko pada terbentuknya mentalitas pemimpin otoriter.
Oleh karena itu seorang pemimpin akan sanggup menegakkan harga dirinya karena
didasari oleh empati (keberpihakan) yang mendalam pada persoalan kemanusiaan
(keadilan).
Ada yang luput dari telaah kedua senior
di atas. Menurut saya, Mattulada mengubah konsep kepemimpinan orang Bugis dari
latar agraris (feodal) ke corak maritim (egaliter). Dalam “Kapitan Laut”,
Konsep Kepemimpinan Sulsel (hal. 141), kak Dahlan mengartikulasi gaya kapitan
laut dalam konteks Pilgub pasca kepemimpinan Prof. H. Achmad Amiruddin. Bagi
Mattulada “pola kepemimpinan kapitan laut pada asasnya yang terdalam, bersifat
kerakyatan dan fungsionalistik” (Kompas, 1993). Gayung bersambut, etos kepemimpinan
Kapitan Laut masyarakat kawasan timur Indonesia diwacanakan Ignas Kleden sebagai
Kapitan Perahu dalam suatu diskusi di Harian Tribun Timur (9 Maret 2012).
Konsep kapitan perahu juga dianalisis Kleden dalam Imajinasi Kebudayaan,
Kompilasi Pidato Kebudayaan DKJ 1998-2913 (hal. 62-63).
Tidak banyak tokoh Sulsel yang memiliki
talenta sekompleks Mattulada. Dalam pandangan Alwy Rachman, sosok Mattulada adalah
“manusia multidimensi”, satu di antara sedikit generasi emas orang Sulawesi
Selatan. Sebagaimana ditulis oleh Dahlan Abubakar, pada satu sisi, ketokohan
Mattulada dibentuk oleh dan berperan sebagai aktor dalam perubahan politik dari
masa Orde Lama, masa Orde Baru hingga masa Reformasi sebagai aktivis pergerakan
sekaligus intelektual. Pada sisi lain Mattulada memimpin organisasi
pembelajaran sebagai kepala sekolah, dekan, rektor, dan pasa saat yang sama,
beliau memproduksi pengetahuan sebagai guru, dosen, peneliti, budayawan, dan
akademisi. Buku disertasi Latoa merupakan karya terbaik Mattulada sebagai ilmuwan
sekelas Koentjaraningrat (Orang Kedua Doktor Antropologi, hal. 83).
Bagi saya pembelajaran yang kontekstual
dari pemikiran Mattulada terutama pada tulisan dan buku yang membahas Manusia dan
Lingkungan Hidup (1997). Bagian ini melengkapi kekurangan catatan kak Dahlan
dalam bukunya ini. Pertama, perhatian Mattulada pada desa (wanua) sebagai
entitas budaya nusantara. Alwy Rachman mensinyalir masih banyak entitas budaya,
khususnya bahasa daerah yang terisolisasi dari republik. Kearifan lokal sekian
lama menopang keberadaan republik, tetapi akibat keterisolasiannya berpotensi
menjadi “local criminal”, semisal menguatnya mentalitas sektarian dan
otoritarian berbasis lokalitas. Tanggapan ini sejalan dengan permasalahan pertama
dari tujuh tantangan kebudayaan dalam dokumen Strategi Kebudayaan Nasional 2018,
yakni pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan
sendi-sendi budaya masyarakat.
Kedua, tema ekologi budaya/manusia merupakan
fokus pengkajian Mattulada pada dekade 1990-an. Perhatiannya merupakan kritik
atas pertumbuhan ekonomi dan industri ekstraktif yang mengubah keseimbangan
ekosistem. Manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya semakin eksploitatif,
mengorbankan pertimbangan etika dalam kelestarian lingkungan hidup dan
ekosistem berbagai kelompok budaya. Wilayah Indonesia Bagian Timur menjadi
lokus pembangunan industri ekstraktf. Persoalan ini pun menjadi tantangan kebudayaan
nasional.
[1]
Yudi Latief dalam Pendidikan yang
Berkebudayaan (2018:200-2001) mengutip Clifford Geertz dalam Islam Observed (1968) bahwa pandangan
dunia keagamaan klasik nusantara umumnya bercorak iluminasionisme; segala
sesuatu berpasangan, saling mengidentifikasi, melengkapi. Pandangan dunia
modern berbasis logika Aristotelian menolak entitas kontradiktif atas kebenaran
pada kedua sisi yang saling bertentangan. Dalam logika primonial suku bangsa di
Indonesia segala sesuatu bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar