1 Jul 2022

BACARITA IDENTITAS KETIMURAN ERA DIGITAL

 

Materi Pemantik
Bacarita Digital: Identity and Belonging Rumata Artspace, 30 Juni 2022

Tulisan ini hendak merefleksi persoalan identitas sebagai wacana (teks) pada konteks keseharian dengan mengapungkan makna dari berbagai pengalaman budaya dari Tengah-Timur. Pokok bahasan yang hendak diwacanakan seputar identitas, entitas ketimuran, dan aktualitasnya di era digital. Penulis berharap wacana yang mengemuka akan membuat kita kian wawas diri.

Berwacana sebagaimana dipahami “anak gaul” adalah “ngomong doang”, “cerita melulu”, “kultum” saja – kuliah tujuh puluh menit. Tidak salah juga karena berwacana merupakan kemampuan “unjuk gagasan”, terlepas dari suka atau tidak. Contoh aksi wacana populer di media TV adalah stand up comedy. Secara kontekstual, konten maupun gaya tuturan komikanya itu berakar budaya pada tradisi lisan seperti Pacarita, Paccurita, Topongei, Panglago, Mop di kawasan Tengah dan Timur Indonesia. Selain penegasan identitas, lelucon, nasihat, fungsi wacana dalam tradisi lisan itu adalah kritik sosial.

Tentu saja tradisi berwacana sangat beragam tema, bentuk, gaya tutur, ruang dan medium artikulasinya sejalan dengan keanekaragaman budaya tempatan. Masyarakat Bugis-Makassar dahulu mengenal tradisi massureq, mabbarasanji, pau-pau, angngarq yang digelar dalam acara keluarga, kelompok sebaya maupun khalayak. Pada masa kini, kita masih menjumpai tradisi lisan populer Pacarita dalam bentuk lagu maupun lawakan di radio, televisi, di warkop maupun panggung rakyat. Jejak rekam mereka dengan mudah diakses melalui kanal youtube.

Wacana merupakan dialektika teks dan konteks. Hermeneutika mendefinisikan teks-tulisan adalah ucapan yang dibakukan, dan sebaliknya teks-lisan merupakan tulisan yang diucapkan. Teks lisan maupun tulisan terikat konteks, situasi dan ruang tertentu yang merepresentasi entitas sosial dan budaya yang khas. Ibarat tangan kanan dan tangan kiri, teks menciptakan konteks sebagaimana konteks melahirkan teks.

Sebagai ilustrasi, kita memahami ungkapan dalam bahasa Bugis mallempa orowane, majjujung makkunreie (laki-laki memikul, perempuan menjunjung). Teks ini melekat pada sistem kewarisan, dua bagian laki-laki dan satu perempuan. Kita dapat memaknai teks ini dari konsepsi kesetaraan gender. Memikul dan menjunjung adalah peran-peran yang dapat dipertukarkan. Namun dalam keseharian menjadi tidak lazim mengharuskan perempuan memikul, laki-laki menjunjung. Dalam hal ini berlaku dalil kepantasan.

Pada masyarakat adat kita belajar ekologi budaya yang bersumber dari mitos tentang hutan larangan atau hutan keramat yang diceritakan atau diwariskan secara turun temurun antar generasi. Mematuhi larangan merupakan wujud kesetiaan pada leluhur. Demikian pula ritual air masyarakat desa di kawasan Karst Geopark Maros-Pangkep. Kepercayaan (mitos, ritus) merupakan entitas-aktual. Kita dapat mewacanakannya sebagai politik konservasi, melindungi dan melestarikan sumber daya agraria adalah kewajiban, bukan hak.

Pacarita Mereproduksi Pengalaman

Di era digital, orang tua maupun orang muda dituntut untuk beradaptasi dengan “perintah zaman” (cultural imperative). Istilah “melek digital” (2000-an) merupakan perkembangan dari zaman “melek teknologi” (90-an) dan “melek huruf” (70/80-an). Ketiga istilah ini merepresentasi identitas sosial antargenerasi. Hal ini dilandasi oleh gerakan modernisasi di bidang pendidikan, menjadikan aksara latin bahasa Indonesia dan Inggris sebagai alat ukur dari kemampuan baca-tulis. Masyarakat tempatan/desa yang mampu membaca dan menulis dalam aksara “lontaraq”, “carakan”, “jawoe”, “melayu-arab” tidak termasuk dalam kategori “melek huruf”. Apatah lagi suku-suku bangsa di wilayah timur mengutamakan tradisi lisan, sebagian besar tidak memiliki aksara atau setidaknya belum membakukan (kanosisasi) tradisi lisannya.

Bacarita merupakan bentuk cerita lisan. Istilah ini khas pada masyarakat suku bangsa di wilayah tengah-timur republik. Aksentuasi orang ba-carita, mengadaptasi aksen “orang barat” ber-cerita. Bacarita atau bercerita merupakan kemampuan literasi yang mengaktualkan sekaligus merepresentasi identitas budaya suku bangsa. Bercerita sebagaimana asal katanya sepadan dengan arti tuturan, karangan, lakon, dongeng, hingga bualan tentang peristiwa, perbuatan, atau pun penderitaan orang secara faktual maupun rekaan yang diwujudkan dalam bentuk dongeng, sandiwara, wayang, ritual, film, dan sebagainya.

Istilah bacarita digunakan pada berbagai konteks penamaan seperti pada program Guru Bacarita Narasi Perdamaian, website Bacarita Law Journal (Ambon); café, toko dan media online bacarita.id (Manado); buku Kitorang Bacarita, RM Raja Tuna Bacarita (Papua), dan kanal youtube #bacarita; organisasi Komunitas Bacarita NTT (Kupang); outlet Manis T-Shirt-Bacarita, Warkop Pacarita & Pujasera New Bacarita (Makassar).

Kekuatan tradisi bertutur sebagai genre cerita rakyat populer sangat bertumpu pada penuturnya. Passinriliq, penutur cerita sinriliq di Makassar nyaris tidak lagi populer, bahkan putus generasi penerusnya setelah kepergian Sirajuddin Bantang dan Syarifuddin Dg. Tutu. Banyak orang meneliti tradisi sinriliq, tetapi sedikit sekali orang yang mewarisi tradisi ini. Hal yang sama terjadi pada Pakkacaping dan Passureq.

Berbeda dengan tradisi lisan Pacarita atau Pacurita (tukang cerita). Tradisi ini berakar dari Pau-pau ri Kadong atau cerita lisan yang dianggukkan. Relatif bertahan karena tidak bergantung pada media dan peralatan. Dengan hanya mengandalkan ingatan, pacarita beraksi pada berbagai ruang dan kesempatan laiknya komika Stand-up Comedy. Pacarita yang pernah populer di kota Makassar adalah H. Sallang. Laiknya komika, almarhum bacarita dalam acara hajatan, pementasan, acara pejabat. Belakangan ini, gaya bacarita digunakan para Da’i dengan memasukkan unsur lelucon dalam ceramahnya.

Tradisi tutur ini relatif mampu mengadaptasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan. Semisal program Pacarita (Panggung Canda Ria dan Tawa) Radio Gamasi FM asuhan penyiar A. Nojeng. Radio Gamasi, singkatan dari Gaya Makassar Ada di Sini menyiar sejak tahun 1980. Radio Gamasi mengusung dua misi utama, yakni mempertahankan bahasa dan budaya daerah Sulawesi Selatan. Radio ini mempetahankan logat bahasa Makassar/Bugis sebagai cara jitu untuk bertahan.

Bacarita Identitas Ketimuran

Beridentitas dapat berarti proses menjadi dengan cara menegaskan jati diri sebagai makhluk yang berbudaya melalui kegiatan berwacana. Ki Hajar Dewantara dan Nikolaus Driyarkara memahami hal ini sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Selain merefleksi diri sebagai subjek persona, secara dinamis manusia menyempurnakan akal budi dan budi pekertinya bersama persona lain dalam suatu konteks sosial dan fisikal.

Proses peneguhan jati diri seseorang dapat dianalogikan dengan pembentukan identitas budaya, yakni merupakan hasil persilangan kebudayaan dunia. Sebagai ilustrasi, siapa sesungguhnya orang Makassar itu? Bila kita mengatakan orang Makassar adalah salah satu suku di pulau Sulawesi yang berbahasa Makassar dan beragama Islam, maka sebenarnya kita mengakui bahwa identitas orang Makassar itu merupakan bentukan dari berbagai ras dan budaya bangsa dunia seperti Melayu, India, Persia, China, dan Eropa. Persilangan atau pun budaya kosmopolitan itu masih berlangsung hingga kini.

Bagaimana bila kita menjawab bahwa orang Makassar saat ini identik dengan ujaran yang keras/kasar, suka buang sampah sembarangan, gemar tawuran, dan intoleran? Karena berdasarkan rilis media disebut kota Makassar termasuk dalam 10 kota yang intoleran, lebih dari 34 kasus tawuran selama tahun 2021, dan rata-rata warga memproduksi 1000 ton sampah perhari. Dari kenyataan ini, kita menyadari ada prinsip berbudaya yang tidak kita tegakkan.  

Istilah budaya Timur (Eastern) berlawan dengan budaya Barat (Western). Budaya Timur nusantara lebih reflektif-introspektif dengan mengarahkan kesadaran pada jati diri (personality), sehingga orang timur lebih mengutamakan aksi daripada teori. Sedangkan budaya Barat dipandang lebih objektif, rasional-instrumental dengan kecenderungan mengarahkan kesadaran pada dunia di luar dirinya (the others).

Yudi Latief (2018) merujuk Geertz (1968) menandai dua inti keberagaman orang Timur nusantara, yakni world view (sistem keyakinan dan pandangan dunia) dan ethos (nilai moral, emosi dan motivasi). Pandangan dunia keagamaan orang Timur bercorak iluminasionisme; segala sesuatu di dunia ini bersifat mono-dualisme (dwi-tunggal), entitas yang berpasangan, saling mengidentifikasi, melengkapi, ketergantungan. Sementara pandangan dunia orang Barat modern berhulu pada logika Aristotelian, menolak entitas kontradiktif, dan mengakui kebenaran pada kedua sisi yang saling bertentangan.

Para orientalis mengidentifikasi “budaya timur” atau pun filosofi ketimuran berbasis mitologi dan teologi, bukan sains dan teknologi. Secara geopolitik bangsa Timur, khususnya di Asia Tenggara digolongkan ke dalam negara dunia ketiga dan berkembang. Ironisnya, cara pandang Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur berkonotasi mirip dengan stigma bangsa Barat terhadap bangsa Timur yang tertinggal dan rawan konflik. Hal ini berimplikasi pada pendekatan pembangunan Indonesia Bagian Timur yang berpola Barat.

Suatu pengalaman aktual tentang transmigrasi, beras dan minyak goreng di Maluku. Sebelum proyek transmigrasi, orang Maluku menjadikan sagu sebagai bahan makanan pokok. Sekira tahun 90-an, orang Maluku mulai mengenal padi dan mengkonsumsi beras (nasi). Ironisnya, banyak anak-anak kepulauan sarapan pagi nasi kuning, tetapi tidak pernah mengalami kehidupan bertani. Pengetahuan bertani sawah dan padi diperoleh dari buku, sekolah, juga internet. Sebaliknya para transmigran dahulu merintis pembukaan lahan sawah untuk melestarikan identitas budaya pangan, yakni makan nasi.

Jelas bahwa wilayah tengah-timur Indonesia adalah benua maritimnya Indonesia. Selain rempah, kita memiliki bahan baku minyak goreng yang melimpah. Pengetahuan budi daya dan produksi minyak kelapa masih mengakar tetapi tidak bertransmisi kepada generasi masa kini. Ketika produksi minyak sawit bermasalah, kita mengalami kelangkaan minyak goreng. Kapasitas teknologi pangan olahan tidak cukup untuk menjadikan kita sebagai produsen minyak goreng di kawasan timur. Pada akhirnya, kita bergantung pada pengusaha produsen minyak sawit.

Identitas budaya maritim yang kini mengalami krisis adalah tektonika, yaitu seni merancang bangun bahan-bahan material alam menjadi karya arsitektur. Romo Mangunwijaya melandasi pengertian arsitektur sebagai seni yang mengartikulasikan pengetahuan tentang ruang mencakup lingkungan, sosial dan ekonomi (tribina).

Orang timur membangun pemukiman di atas struktur geologi yang rentan dari genangan air dan getaran kerak bumi (tektonik). Sebagai pembelajaran, konstruksi rumah panggung orang Sulawesi dan rumah bawah orang Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Desain konstruksi rumah adat merupakan hasil korespondesi pengetahuan budaya (antropologi), sejarah dan warisan budaya (arkeologi), seni, dan arsitektur (tektonika). Secara teknis, pengetahuan arsitektur mencakup pengetahuan tentang penentuan waktu dan tempat, pemlihan jenis material, organmen, teknik sambungan, ukuran tinggi badan mpunya rumah, dan pembagian ruang yang adaptif terhadap pergerakan alam/tanah hingga ritus keselamatan.

Catatan Penutup

Bagaimana kita meramu berbagai disiplin pengetahuan, pengalaman praktis, dan konteks budaya yang beragam menjadi ide karya. Ada beberapa catatan yang dapat menjadi ramuan.

Pertama, prinsip profesional. Berasal dari kata profesio berarti “janji publik”, mengabdi pada urusan orang banyak, dan bermaslahah untuk kemajuan bersama. Kita sedia dan sanggup melaksanakan suatu pekerjaan bukan semata kesukaan, tetapi berkomitmen.

Kedua, berpikir generalis itu penting, meski sulit menghindar dari kenyataan yang spesifik (instrumental). Kemampuan berpikir holistik, analitis-sintetis, transdisiplin dibutuhkan karena keterampilan teknis-taktikal bisa ditangani lebih baik oleh mesin (AI), big data dan connectivity.

Ketiga, menjadi aktivis yang menjadikan seni sebagai medium artikulasi pengetahuan (artivisme), demikian sebaliknya tidak relevan lagi mendikotomi pengetahuan dengan seni. Peran artivis merefleksikan kecakapan individual (jati diri) berdasarkan pengalaman sehari-hari.

Keempat, pendekatan riset-advokasi masih cocok dipakai sebagai alat (tools) memproduksi pengetahuan. Bukan saja mengartikulasikan ide kreatif, tetapi juga menumbuhkan solidaritas untuk perubahan sosial.

Kelima, beberapa tema ketimuran yang menantang kita untuk dialami antara lain: aktualisasi warisan budaya tradisi lisan; preservasi budaya ekologis dan kekayaan intelektual masyarakat adat; mitigasi ruang dan hunian masyarakat perkotaan dan kepualauan; serta mediatisasi kerukunan sosial di kalangan generasi muda.(M. Nawir: Freelancer, peneliti, fasilitator komunitas KPRM, board Arkom Yogya, alumni Fakultas Ilmu Budaya Unhas).

Bacaan/Rujukan:

Karlina Supelli, Paradigma Baru Strategi Kebudayaan (2014). 

Yudi Latief, Pendidikan yang Berkebudayaan (2018). 

Ibe Karyanto, Pandangan Ki Hajar Dewantara dan Nikolaus Driyarkara (PRESISI, 2021). 

H. Ahmad Ubbe dkk, Laporan Akhir Penelitian tentang Hukum Perkembangan Hukum Adat di Sulawesi Selatan (Dephumkam, 2005). 

Andi Muh. Akhmar, dkk, Panduan Pembelanjaran Budaya Ekologis Masyarakat Adat To Cerekang (FIB, 2021). 

M. Nawir, Wawas Diri di Masa Pandemi (Subaltern, 2021). 

Ahmad Rofie, Mitos Pribumi Malas: Imej Orang Jawa, Melayu, Filipina dalam Kapitalisme Penjajah (1989). 

I Made Suastika, dkk (ed), Tradisi Lisan sebagai Kearifan Lokal Budaya dan Karakter Bangsa (Prosiding, 2016). 

Orientalisme: Sebuah Catatan Singkat (http://eprints.undip.ac.id/pdf). Identity and Belonging (https://mindmetaphors.weebly.com/identity-and-belonging.html). 

Oliver Leaman, Key Concept in Eastern Philosophy (1999): https://www.routledge.com/Key-Concepts-in-Eastern-Philosophy/Leaman/p/book/9780415173636

Kebaruan dalam Sains dan Teknologi untuk Menunjang Pembangunan yang Berkelanjutan (Prosiding, 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar